Pasang Surut Gambuh Pedungan Di Tengah Laju Budaya Global

Pasang Surut Gambuh Pedungan Di Tengah Laju Budaya Global

Kiriman I Nengah Sarwa dan Wardizal yang telah diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi September 2007

Gambuh pada masa lampau

Gambuh (foto: blog.baliwww.com)

Pulau Bali yang juga dikenal dengan sebutan pulau seribu pura  dengan mayoritas penduduknya menganut agama Hindu, merupakan sebuah pulau yang kaya akan aneka ragam seni pertunjukan.  Menurut catatan STSI Denpasar, di awal tahun 1984 tercatat 66 jenis kesenian yang berkembang di Bali. Berdasarkan pemetaan kesenian yang dilakukan oleh Universitas Udayana dan STSI Denpasar pada tahun 1992, tercatat adanya 5612 kelompok seni pertunjukan diseluruh Bali. (Bandem, 1996:62). Tidaklah berlebihan, kalau Mantle Hood seorang tokoh ethnomusikologi dunia asal Amerika Serikat menyebut Bali adalah sorga dari dunia seni “paradise in the world of arts” (Soedarsono, 1999:17).

Gambuh merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan klasik yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan sosio-kultural masyarakat Bali dari dahulu sampai sekarang. Gambuh merupakan suatu istilah yang tidak hanya populer di Bali, akan tetapi diberbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Sulawesi, Lombok, Madura dan lain sebagainya. Kata Gambuh tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda pada setiap daerah. Di Jawa, kata Gambuh dipakai untuk menyebutkan sejenis kidung (vokal) dan juga nama seekor belalang (Bandem, 1983:68-69). Secara etimologi, Gambuh berasal dari kata Gam yang berarti jalan/bergerak dan buh = bhuh = bhu yang berarti bupati atau raja-raja. Gambuh berarti jalan hidup atau hikayat raja-raja (Bandem, 1975:16-17). Secara ontologis dan terminologis banyak pendapat yang bermunculan terkait dengan pengertian kata Gambuh. Menurut I Made Bandem, “Gambuh adalah terlalu kasih kepada orang yang tidak bisa berterima kasih (bahasa Melayu); kulina wis krep nidake (bahasa Jawa); bisul dan tekes (bahasa Sunda); bangsa kledek, sedangkan kledek itu sendiri adalah sebuah tari-tarian rakyat Jawa Tengah yang ditarikan oleh penari-penari wanita. Penari tersebut menyajikan tariannya di jalan-jalan diikuti oleh beberapa pemain musik Jawa.” (Bandem, 1975:25-26). Gambuh merupakan drama tari paling tua dan dianggap sebagai sumber drama tari Bali. Gambuh merupakan warisan drama tari yang dipentaskan dalam istana Majapahit tahun 1334 sampai abad ke 16. Setelah berakhirnya masa kejayaan kerajaan Majapahit di pulau Jawa awal abad ke 16, terjadi gelombang perpindahan besar-besaran raja-raja Majapahit ke pulau Bali. Di pulau Bali kebudayaan Hindu berkembang tanpa gangguan sampai Bali ditaklukan oleh Belanda 1906-1908. Sebagai keluarga bangsawan Jawa yang terbuang ke Bali, mereka hidup bersama para pengikutnya. Seluruh unsur kebudayaan Bali mereka masukan ke dalam peninggalan budaya Majapahit termasuk segala aspek kesenian (Bandem, 1996:26-27). Menurut Dibia, drama tari Gambuh adalah suatu drama tari klasik yang berbentuk total teater, dimana didalamnya terpadu dengan baik dan harmonis unsur-unsur tari, tembang/dialog/vokal drama dan sastra (Dibia, 1978:9).

Sebagai salah satu bentuk seni klasik dan tertua di Bali, Gambuh telah mengalami berbagai periode historis, masa populer atau kurang populer. Gambuh pernah mengalami masa-masa kejayaan, ketika ia terlahir sebagai seni istana dan diayomi oleh para raja. Dalam kapasitasnya sebagai seni istana (puri) serta dukungan yang sangat kuat dari raja yang cinta akan perkembangan kebudayaan, Gambuh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Gambuh menjadi seni kesayangan seisi puri dan masyarakat sekitarnya. Kondisi ini telah menyebabkan Gambuh tumbuh dan berkembang menjadi teater besar istana pada abad ke-19. Hal ini semakin mendapat legitimasi  dimana kebanyakan istana pada abad ke-19 memilki bangsal khusus yang disebut bangsal Gambuh atau bale pegambuhan (Formagia, 2000:21). Dalam realitasnya sekarang, masa-masa kejayaan Gambuh mungkin hanya tinggal kenangan. Kemajuan yang begitu pesat dibidang ilmu pengatahuan dan teknologi (khususnya teknologi informasi) telah membawa dampak yang luar biasa terhadap perubahan sosio-kultural masyarakat. Kesenian Gambuh mulai ditinggalkan, dan pertunjukan Gambuh sepi penonton.

Artikel ini, mencoba mengungkap tentang pasang surut Gambuh Pedungan di tengah laju budaya global (global culture). Secara umum, keadaan dan perkembangan Gambuh Pedungan (Gambuh yang ada di kelurahan Pedungan Kota Denpasar), tidak jauh berbeda dengan Gambuh yang terdapat pada daerah-daerah lainnya di Bali. Secara historis, Gambuh Pedungan  merupakan seni istana yang erat kaitanya dengan puri Satria dan puri Pemecutan (Formagia,2000:21). Sebagai seni istana (puri), keadaan dan perkembangan Gambuh Pedungan mendapat perlindungan dan pengayoman dari raja.  Pada waktu itu, penguasa (raja) masih tertarik melestarikan semua bentuk tradisi teater dan seni daerah.  Pada zaman pemerintahan raja-raja di Bali, Gambuh Pedungan sering mengadakan pertunjukan di puri Pemecutan dan puri Satria. Besarnya perhatian raja dan keterkaitan Gambuh dengan istana (puri), khususnya puri Satria dan Pemecutan, telah menyebabkan Gambuh Pedungan tumbuh dan berkembang dan mencapai puncak keemasannya. Kondisi tersebut juga telah melahirkan penari-penari Gambuh handal. Satu di antara penari yang paling terkenal adalah I Gede Geruh (almarhum), yang sangat besar jasa dan kontribusinya terhadap pelestaraian, perkembangan dan keberlanjutan Gambuh Pedungan. Pada masa jayanya Gambuh Pedungan, pekak Geruh memang tidak semasyur sekehe Gambuh desa Batuan, Kabupaten Gianyar. Namun, Gambuh Pedungan yang termasuk dalam kawasan kota Denpasar itu “menyimpan mutiara” yang terpendam di dalamnya, yakni I Gede Geruh. Pada masa mudanya beliau sanggup memerankan semua tokoh yang ada dalam seni Pegambuhan. Atas kemampuannya itu, Geruh diminta oleh masyarakat untuk mengajarkan tari Gambuh sampai ke desa Depeha Buleleng dan desa-desa lainya di Bali. Walaupun pekak Geruh hidup dengan penuh kesederhanaan, mengaku merasa bangga karena banyak anak didiknya menjadi “orang” yang menempati posisi penting serta sukses dalam meniti karir. Beliau mengabdikan diri sepenuhnya dalam dunia seni dan mewariskan keahliannya itu kepada pelajar/mahasiswa di Kokar dan ASTI Denpasar. Penghargaan yang dimiliki antara lain “Kerti Budaya” dari Pemda Badung tahun 1973; Tanda penghargaan sebagai Dosen luar biasa ASTI Denpasar tahun 1979; Piagam Dharma Kusuma Madya dari Pemda Bali tahun 1981; dan Cincin Emas “Ciwa Nata Raja” dari STSI Denpasar tahun 1994.

Pasang surut Gambuh Pedungan sesungguhnya sudah dirasakan semenjak tahun 70-an. Pada saat itu, Gambuh Pedungan mengalami kemunduran sampai pada taraf yang sangat memperihatinkan. Sebagian besar penari dan penabuh Sekaa Gambuh Pedungan telah berusia lanjut. Struktur pertunjukannya dengan komposisi tari dan tabuh yang dulunya lengkap (utuh) sudah tidak lengkap lagi. Instrumen gamelan pengiring tari juga telah banyak yang rusak, sehingga dalam setiap pementasan selalu memakai gamelan yang tidak lengkap (Sudana, 1993:2-3). Dalam perkembangan jaman sekarang ini yang semakin mengglobal Gambuh Pedungan mulai ditinggalkan, dan regenerasi dibidang seni pertunjukan Gambuh dirasakan cukup sulit (Sudiana, 2000:5).

Pasang Surut Gambuh Pedungan Di Tengah Laju Budaya Global, selengkapnya

Seni  Lukis  Bali Dari  Perspektif  Modernisasi

Seni Lukis Bali Dari Perspektif Modernisasi

Kiriman I Dewa Putu Merta, diterbitkan dalam jurnal Mudra

DualismeSalah satu kebijakan strategis untuk mempercepat  pembangunan dengan menyusun suatu perencanaan yang terpadu dan konprehensif dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan dan mempertimbangkan potensi yang ada sehingga terwujud pembangunan yang multi sektor. Salah satunya pembangunan di bidang seni budaya, termasuk didalamnya adalah seni rupa.

Seni Rupa yang berkembang ditengah masyarakat Bali masa ini, tidak terlepas dari perjalanan seni rupa Indonesia. Seni rupa modern hadir dalam masyarakat Indonesia sekarang, sesungguhnya telah dimulai sejak masa perintisan Raden Saleh (1807-1880) yang melukiskan sesuatu dengan wujud kehadirannya bercorak realistis. R. Saleh sebagai pelopor seni rupa Indonesia yang pernah belajar seni lukis di Eropa pertama kali mengembangkan teknik melukis modern di Indonesia (Kusnadi, 1990-199:156).

Perkembangan selanjutnya berselang setengah abad setelah R. Saleh meninggal baru disusul masa Hindia Jelita (Hindie Molek) tahun 1908-1937. Para seniman memandang gejala yang ada disekelilingnya dari sudut yang indah, molek, cantik dan permai, seperti gunung, laut, sawah, ladang, kampung, sungai, fauna dan flora, dan manusia terutama gadis-gadis yang cantik  (Ibid. p. 60). Pelukis yang ada masa itu terbagi dua: yaitu kelompok pelukis peribumi dan kelompok pelukis asing yang digandeng oleh penjajah kolonial Belanda. Antara pelukis peribumi dengan pelukis asing sama-sama melukis tentang keindahan alam Indonesia.

Pada masa itu juga Rudolf Bonnet dan Walter Spies datang ke Bali. R. Bonnet dan W. Spies adalah seniman asing yang menaruh perhatian sangat besar terhadap kesenirupaan di Bali. Mereka membentuk perkumpulan yang melibatkan seniman, masyarakat, pemuka desa, dan budayawan melalui pendekatan dan musyawarah dengan berbagai kalangan terutama pihak penguasa Puri Ubud, akhirnya perkumpulan terbentuk pada tahun 1930-an dengan nama “ Pita Maha”  (Ibid. p. 255). “Pita” artinya luhur dan “Maha” artinya agung, jadi Pita Maha berarti ikatan seniman yang “luhur dan agung. Maksud dan tujuannya adalah untuk memajukan dan mengembangkan nilai-nilai luhur hasil karya seni dan mengangkat kesejahtraan para senimannya. Pita Maha menjadi wadah para seniman Bali untuk mengembangkan kreativitasnya. Perpaduan estetika modern Barat dengan estetika klasik Bali yang berlandaskan ajaran agama Hindu. Estetika modern dibawa oleh seniman Barat R. Bonnet dan W. Speis bercampur dengan estetika klasik yang dibawa para seniman Bali. Perpaduan dua estetika ini melahirkan mazab baru dalam kesenirupaan di Bali yang disebut Seni Lukis Bali Modern (Murdana, 2001:4).Gaya ini memperhatikan anatomi realistis untuk mengungkapkan kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa meninggalkan ciri seni lukis tradisional Bali. Masa ini merupakan tonggak awal pertumbuhan seni rupa modern di Bali ditandai dengan perubahan tema, corak, kebebasan ekspresi, dan bersifat sekuler.

Seputar tahun 1950-an muncul gerakan akademis dalam seni rupa. Hal ini muncul dari aspirasi dan pemikiran para angkatan muda yang ingin penyegaran dalam bentuk karya seni. Pemikiran dan aspirasi tersebut melahir gagasan untuk mendirikan sekolah-sekolah seni. Tahun 1950 lahirkan beberapa sekolah tinggi seni di Indonesia seperti seni rupa di ITB, ASRI Yogyakarta, dan selanjutnya disusul oleh seni rupa di Denpasar, IKJ yang ikut memberikan andil dalam pertumbuhan seni rupa modern di Bali. Konsepsi kesenirupaan mulai dengan jelas dirumuskan secara verbal dalam bentuk buku-buku yang tertulis pada katalog.

Perjalanan seni rupa tidak berjalan mulus walaupun negara Indonesia sudah merdeka. Pada tahun 1965 saat pemerintahan orda lama kegiatan kreativitas seniman sempat terpecah dan mandeg. Seniman tidak masih konsentrasi pada kreativitas seni untuk kepribadian, tapi perhatian seniman terbagi untuk kepentingan politik yang sedang bergolak.

Pemerintahan orde baru tahun 1966, dengan kebijakan program pembangunan dalam berbagai sektor, maka seniman Indonesia mulai mendapatkan kebebasan untuk kreativitas. Termasuk pertumbuhan seni rupa Bali juga bangkit lebih-lebih didukung oleh kebijakan program pemerintah, daerah Bali dicanangkan sebagai daerah pariwisata di kawasan Indonesia bagian timur. Sejalan dengan program tersebut pemilik modal mulai menanamkan modalnya di Bali untuk mendukung pembangunan sektor pariwisata. Para pemilik modal juga menanamkan modalnya dalam bidang seni, sehingga muncul art shop dan gallery untuk menampung hasil kreativitas para perupa. Berbagai aliran dalam seni rupa modern berkembang, lebih-lebih dengan banyaknya lahir para perupa-perupa jebolan akademis menambah semaraknya modernisasi seni rupa. Melihat dari paparan diatas, dalam pembahasannya akan menekankan pada: kapan terjadi modernisasi seni lukis Bali dan bagaimana bentuk-bentuk karya seni lukis Bali setelah  terjadi modernisasi tersebut.

Seni  Lukis  Bali Dari  Perspektif  Modernisasi selengkapnya

Karawitan Bali Dalam Perspektif Rasa

Karawitan Bali Dalam Perspektif Rasa

Kiriman I Wayan Suweca

Seniman karawitan Bali masa lampau sesungguhnya sudah sangat peka terhadap rasa musikal, hal itu kita warisi hingga sekarang dan kita cukup dibuat terpesona ketika mendengarkan gending-gending ciptaan mereka, rasa musikalnya enak dan cocok/sesuai dengan apa yang mereka ingin ungkapkan. Ketika hal ini ditanyakan kepada beberapa guru senior tradisional mereka menjawab dengan bermacam-macam. Ada yang menyebutkan hal itu disebabkan sang komposer masa lampau sudah sangat sepuh dan sangat peka terhadap rasa musikal, namun ada juga menyebutkan karena sang komposer masa lampau membuat lagu melewati eksplorasi yang mantap dan membutuhkan waktu yang cukup lama termasuk mengadakan semedi sebelum mencipta lagu (Wawancara dengan I Wayan Berata tanggal 28 Juli 2004 dirumahnya). Jawaban seperti ini tentu sifatnya sangat filosofis bahkan mungkin juga politis sehingga membuat kita selalu tanda tanya dan terus ingin menelusuri guna mendapatkan jawaban yang lebih mudah dipahami dari segi keilmuan.

Beberapa literarur telah ada yang menyinggung masalah rasa musikai seperti misalnya Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, kedua lontar ini sesungguhnya telah menjelaskan teori rasa dalam karawitan Bali, walaupun untuk memahami secara mendalam masih sangat susah karena sifat literatur tersebut lebih mengedepankan aspek estetika filosofis. Di satu sisi dewasa ini kita sangat membutuhkan teori yang bisa memandu para seniman muda untuk memahami teori sekaligus mempraktekkannya.

Lontar Prakempa menyebutkan ada empat aspek utama dalam gamelan Bali yaitu tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika), dan gegebug (teknik) (Bandem, 1986:1). Keempat unsur pokok sebagai isi dari lontar Prakempa ini pada dasarnya sebuah sumber berharga guna mencermati teori rasa musikal dalam karawitan Bait. Sebagai sebuah pedoman pokok keempat aspek utama ini masih perlu diteliti secara mendalam untuk bisa dijadikan landasan dalam menguraikan lebih eksplisit untuk menjadi sebuah keterangan yang mudah dicerna.

Lontar Aji Gurnita ada menyebutkan sebuah bab khsus yang diberi judul Tutur Catur Muni-Muni, yaitu empat gamelan sekawan yang semuanya dianggap bersumber pada gamelan Gambuh, sebuah gamelan yang konon penciptanya adalah para dewa dari langit (Ibid.,  p. 6). Gamelan Gambuh atau Pegambuhan oleh seniman Bali sering disebut-sebut sebagai “tambang emas” atau sumber inspirasi atau sumber acuan penciptaan gamelan dan repertoar gamelan lainnya.  Hal ini berarti dengan mengoreksi secara detail unsur-unsur musikal gamelan Gambuh akan ditemukan seperangkat cara atau aturan untuk menciptakan sebuah lagu yang baik.

Penelitian yang sifatnya menerangkan lebih detail mengenai isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita sesungguhnya sudah dilakukan oleh seniman karawitan Bali dan banyak melahirkan teori-teori yang sangat bermanfaat bagi pembelajaran karawitan Bali. Almarhum I Gusti Putu Geria lewat analisisnya telah melahir-kan konsep Tri Angga, sebuah teori logika musikal dan bedah struktur karawitan Bali, yang pada dasarnya adalah konsep estetika dalam memahami struktur. Teori ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman bagi para komposer untuk membuat struktur gending menjadi harmonis serta memiliki kaedah-kaedah estetika.

I Made Bandem selain telah menterjemahkan dan membedah dengan cermat isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, juga menelaah dan menguraikan lebih detail aspek teknik/gegebug kemudian menyusun sebuah artikel berjudul Ubit-Ubitan, Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Ubit-ubitan atau kotekan yang dianalisis oleh I Made Bandem berdasarkan informasi dua maestro karawitan Bali yaitu almarhum I Gusti Putu Geria dan almarhum I Nyoman Kaler. Lebih lanjut disebutkan bahwa ragam kotekan atau ubit-ubitan juga akan menentukan rasa musikal tertentu (Ibid., p. 15).

I Wayan Rai S dalam orasi ilmiahnya berjudul Unsur Musikal dan Ekstra Musikal dalam Penciptaan Gending-Gending Iringan Tari Bali juga telah memberikan panduan kepada kita untuk memahami karakterisasi karawitan sebagai iringan tari. Rai menyebutkan ada dua unsur penting yang dijadikan acuan oleh komposer dalam menciptakan iringan tari Bail yaitu unsur musikal dan unsur ekstra musikal (Rai, op. cit. p. 4).  Penelitian yang dilaku-kan I Wayan Rai ini masih merupakan hasil analisis dan hipotesa awal untuk dijadikan acuan dalam mengadakan penyelidikan yang sifatnya lebih detail.

Colin McPhee dalam bukunya berjudul Music In Bali (1966) juga menjelaskan tentang adanya variasi dalam tetekep yang dapat melahirkan karakterisasi gending-gending Pegambuhan. McPhee menyebutkan tetekep selisir memiliki karakter halus (refined), tetekep tembung memiliki karakter keras (coarse), sedangkan tetekep sundaren memiliki karakter antara halus dan keras. Tetekep tebeng juga berkarakter halus tetapi biasanya digunakan secara khusus untuk mengiringi tokoh putri (princess), sedangkan tetekep baro untuk mengiringi tokoh pelayan dan pelawak dalam dramatari Gambuh (Phee, 1966:40). Namun demikian apa yang menyebabkan variasi tetekep itu dapat menentukan perbedaan rasa belum dijelaskan secara detail  McPhee hanya menjeiaskan kenyataan yang biasa dipergunakan kemudian dideskripsi seperti tersebut di atas.

Karawitan Bali Dalam Perspektif Rasa, selengkapnya

Makna Balaganjur Dalam Aktivitas Sosial Masyarakat Bali

Makna Balaganjur Dalam Aktivitas Sosial Masyarakat Bali

Kiriman I Wayan Suharta

Adhi Merdangga ISI DenpasarBalaganjur adalah sebuah orkestra tradisional Bali yang memiliki perangai keras, didominasi oleh alat-alat perkusi dalam bentuk lepas. Ciri yang sangat menonjol untuk menentukan identitas Balaganjur bahwa umumnya dimainkan sambil berjalan kaki untuk mengiringi kegiatan-kegiatan tertentu yang sifatnya prosesi. Balaganjur terbentuk dari berbagai jenis alat dengan “warna” suara yang beraneka ragam. Kendati demikian, semua jenis alat tersebut masih memiliki kesamaan dari cara memainkannya yaitu dengan cara dipukul (Sugiartha, 1996:31).

Secara fisik Balaganjur didominasi oleh instrumen-instrumen berpencon, bentuk instrumen-instrumen tersebut pada dasarnya sama, hanya saja terdapat perbedaan ukuran besar-kecil setiap bagian instrumen. Alat-alat yang menjadi kesatuan barungan Balaganjur dapat dikelompokkan menjadi kelompok instrumen pemegang melodi, kelompok instrumen pemberi ornamentasi, kelompok  instrumen pemurba irama dan kelompok instrumen pengatur matra.

Kelompok instrumen pemegang melodi, dimainkan oleh enam orang penabuh (pemain gamelan); empat orang pemain reyong dan dua orang sebagai pemain ponggang. Instrumen pemberi ornamentasi yaitu cengceng kopyak, pemainnya tidak tetap  antara enam sampai duabelas  orang. Kelompok instrumen pemurba irama yaitu dua buah kendang (lanang-wadon) dimainkan oleh dua orang. Instrumen pengatur matra; meliputi dua buah gong (lanang-wadon) dimainkan oleh seorang penabuh, sebuah tawa-tawa, sebuah kempli, sebuah kempul dan sebuah bende yang masing-masing dimainkan oleh seorang penabuh. Karena Balaganjur adalah musik prosesi, maka diperlukan tenaga tambahan yang membantu membawakan gong empat orang, kempul satu orang dan bende satu orang.  Jadi secara keseluruhan penabuh yang diperlukan untuk mendukung penyajian Balaganjur antara 25 sampai 35 orang.

Balaganjur merupakan salah satu wujud kesenian yang hingga sekarang masih mencerminkan karya seni yang adiluhung, sehingga harus dilestarikan keberadaannya. Namun demikian kedudukan Balaganjur akhir-akhir ini telah menghadapi masalah yang dapat dikatakan dilematis, meskipun tidak secara keseluruhan meng-anggap demikian. Pada satu pihak merisaukan bahwa Balaganjur tengah terancam nilai-nilai keasliannya, disisi lain justru keberadan Balaganjur semakin kokoh, kendatipun ditengah-tengah gelombang modernisasi yang begitu pesat.

Sebagai seni tradisional kesadaran untuk mengembangkan Balaganjur di kalangan seniman dan masyarakat Bali semakin bergaerah. Perhatian yang sungguh-sungguh dalam menggarap seni karawitan ini begitu menonjol bila dibandingkan dengan jenis karawitan yang lain. Walaupun gamelan merupakan bagian tak terpisahkan dari seni pertunjukan, secara audio-visual Balaganjur dapat berdiri sebagai seni tersendiri. Maka kemudian yang harus dipikirkan adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar Balaganjur tetap lestari, akan tetapi juga harus mendasarkan pada sikap terbuka terhadap kemungkinan penyesuaian unsur-unsur seni yang ada, sehingga relevan dan diterima menurut situasi zamannya.

Tulisan ini akan mengkaji eksistensi Balaganjur dewasa ini dengan berbagai inovasinya, terutama mengenai makna Balaganjur ketika Balaganjur sedang mengalami proses sekularisasi dengan dampak membawa “perubahan estetis” secara musikalitas. Perubahan yang dimaksud lebih mengarah kepada pengembangan khasanah yang dimiliki Balaganjur, yang pada intinya lebih banyak berpijak pada konsep dasar yang  telah ada untuk menghasilkan karya-karya yang inovatif, mantap dan masih mampu dicerna oleh masyarakat pendukungnya.

Dengan menjadikan Balaganjur sebagai topik tulisan ini, penulis bermaksud untuk menyajikan bagaimana masyarakat di Bali memberikan makna terhadap penyajian Balaganjur terutama dalam konteks aktivitas sosial masyarakat, baik  yang berkaitan dengan aspek kehidupan beragama dan adat, maupun dengan aspek kehidupan berkesenian dalam menghadapi perubahan di lingkungan budayanya. Beberapa hal penting yang menjadi catatan bahwa   1) Balaganjur masih tetap eksis dan unsur-unsurnya telah banyak mengalami perkembangan; 2) Balaganjur telah memiliki satu konsep garap yang mapan untuk melahirkan karya-karya yang baru; dan 3) dewasa ini telah lahir kreasi-kreasi Balaganjur, baik hasil karya para seniman muda maupun seniman tua dengan mengadopsi unsur-unsur seni kekinian yang dapat memperkaya khasanah Balaganjur itu sendiri.

Kesenian seperti Balaganjur adalah salah satu unsur kebudayaan memiliki wujud dan peran yang sangat menonjol dalam mengisi tujuan, yang berorientasi kepada pelestarian nilai-nilai budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan kesenian merupakan simbol dari masyarakat dan mengandung nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Tema-tema yang diangkat sebagai isi dari kesenian itu pada dasarnya bersumber dari kehidupan masyarakat.

Hakekat hidup orang Bali yang berpedoman pada hukum karma phala, sikap hidup yang berorientasi pada dualisme; baik dan buruk, sangat berpengaruh terhadap kesenian Bali (Bandem, 1996:33). Tema-tema kesenian Bali sebagian besar berangkat dari dualisme tersebut sehingga muncul norma dan etika yang kuat serta mengandung makna tertentu bagi setiap pertunjukan kesenian. Makna penyajian seperti Balaganjur sangat bergantung pada fungsinya. Ketika Balaganjur berfungsi melengkapi pelaksanaan ritual keagamaan Balaganjur memiliki makna religius dan ketika Balaganjur mengalami sekularisasi yang berorientasi seni presentasi estetis, Balaganjur mengalami perkembangan makna yang mengarah kepada makna profan.

Makna Balaganjur Dalam Aktivitas Sosial Masyarakat, selengkapnya.

Sekitar Kontemporer Dalam Musik Kebudayaan Minang

Sekitar Kontemporer Dalam Musik Kebudayaan Minang

Oleh: Mahdi Bahar

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan perlu diakui ialah, bahwa kemunculan istilah (terminology) “kontemporer”  di Indo-nesia tidak terlepas dari “ulah” kaum akademis anak negeri ini. Istilah yang bukan merupakan produk budaya masyarakat di Indonesia itu mereka adopsi berdasarkan pemahaman yang beragam.

Ternyata istilah “kontemporer”  adalah istilah yang mem-punyai arti terlalu luas. Dalam diskusi sekitar masalah-masalah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki sebagai acara Pesta Seni Jakarta pada [tanggal] 13 Desember 1970 yang lalu, oleh para peserta secara diam-diam rupanya telah disetujui pilihan yang diajukan oleh Dr. Fuad Hasan, yaitu bahwa seni kontemporer adalah seni yang menggambarkan “Zeitgeist” atau jiwa waktu masa kini (…). [Sedyawati sendiri berpandangan, bahwa] yang lebih mendekati maksud yang dituju, yaitu: seni kontemporer adalah seni yang menunjukkan daya cipta yang hidup, atau menurut istilah Dr. Umar Kayam: yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir (Sedyawati, 1981:122).

Polemik dengan penilaian yang lebih menukik lagi tentang istilah kontemporer dan penerapannya dalam dunia musik “Indo-nesia” pada akhir-akhir ini (1994), tergambar dari pemikiran (konsepsi) yang dilancarkan atas pandangan Franki Raden dalam artikelnya berjudul “Dinamika Pertemuan Dua Tradisi: Musik Kontemporer Indonesia, di Abad XX”. Tulisan ini disigi Slamet Abdul Sjukur melalui esainya, “Mak Comblang dan Pionir Asongan: Musik Kontemporer itu Apa?.  Selanjutnya, Dieter Mack meng-”klarifikasi”-lagi tulisan tersebut melalui artikel berjudul, “Sejarah, Tradisi, dan Penilaian Musik: Mempertimbangkan “Musik Kontemporer” dari Kacamata Budaya Barat”. Kemudian, Yapi Tambayong menyorot pula artikel Franki itu melalui dialog antara “Pradangga” dan “Waditra” melalui tulisan berjudul, “Niat Kembali Sonder Pergi: Pelbagai Pergulatan Musik (di) Indonesia”. Bentuk dialog ini mirip dengan dialog Socrates bersama Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephalus,  Thrasymachus, dan Cleitophon di Piraeus dalam The Republic (Buchanan, 1977:5) membicarakan beberapa hal secara mendasar dan kritis. Namun yang jelas, bahwa pemahaman istilah contemporary (1631) sebagaimana dalam Webster’s Ninth  New Collegiate Dictionary yang berarti kejadian, keberadaan, kehidupan, yang ditandai oleh karakteristik periode sekarang (Mish, 1985:283) tersebut, tidak serta merta saja bisa diterapkan dalam membingkai suatu pembicaraan (disiplin).

Dalam kaitan itu pula tampaknya Mack dalam pengantar bukunya Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural mendasari pembicaraan antara lain dengan berpandangan, bahwa sejak tahun 1991 terasa diskusi berputar-putar terus tanpa ada penyelesaian yang memadai, sebab diterapkannya salah satu istilah dari lain budaya, tetapi arti pada budaya asal tersebut tidak disinggung, tidak diterapkan, bahkan barangkali kurang diketahui. (Mach, 2001:1). Namun dalam kaitan itu Mack mengakui pula, bahwa di Barat sendiri pun sering terjadi perbedaan persepsi antara jenis-jenis seni kontemporer (Ibid., p. 7).

Meskipun demikian Mack mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan musik kontemporer di Barat adalah per-kembangan karya seni otonom, yang dalam hal ini adalah musik seni (art music) Barat sejak awal abad XX, khususnya di Eropa dan Amerika, sebagai suatu sikap menggarap di ujung perkembang-an seni yang digeluti, yang merupakan reaksi atas dipandangnya musik seni sebelumnya tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman.(Ibid., p. 2, 35,36).

Apabila padangan tersebut merupakan pembenaran atas pengertian “musik kontemporer” dalam kebudayaan Barat, maka harus pulalah diterima kenyataan bahwa pada ujung perkembangan atau awal pertumbuhan fase-fase (zaman) yang disebut dengan Barok, Klasik, dan Romantik, sebagai model-model musik kontem-porer yang mewakili zamannya. Terjadinya zaman-zaman seni secara linear dalam rentang kurun waktu masing-masing, merupakan reaksi atas seni yang ada sebelumnya, sehingga ia merupakan gaya musik yang baru dari pada gaya seni yang ada sebelumnya. Dari persepsi ini patut dihormati pandangan Sjukur  yang mengatakan, bahwa memang tiap musik itu “kontemporer” pada zamannya, maka tidak mengherankan kalau Bach ditinggalkan jemaah gereja St. Thomas, karena musiknya dikecam sebagai terlalu norak buat waktu itu (Sjukur, 1994:15).

Penulis sependapat dengan cara berpikir seperti demikian dan oleh karenanya kajian dalam dimensi diakronis atau sejarah (history) seperti yang dimaksud Gilbert J. Carraghan, sj., yaitu kaji-an mengenai peristiwa-peristiwa manusia masa lampau atau kenyataan-kenyataan karya manusia masa lalu (Garraghan dan Delanglez, 1957:3) akan dapat memberikan periodisasi tentang perjalanan peradaban manusia. Sebutan Barok, Klasik, atau Roman-tik dalam perjalanan kebudayaan Eropa atau zaman Batu Tua, Batu Muda, Perunggu, Besi, dan seterusnya, dalam sejarah kebudayan Indonesia, tidaklah bernama pada saat pertama kali kejadian itu berlangsung. Ia diberi nama oleh “sejarawan” setelah kejadian dengan segala kemapanan yang menciri padanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu.

Oleh karena itu, amat tepatlah pemakaian istilah kontemporer hanya melekat pada pengertian, yaitu terjadinya suatu tindakan yang dipandang tidak seperti sebelumnya. Pada tindakan ini ada sesuatu yang berubah sebagai manifestasi dari adanya tuntutan akan per-ubahan dari yang dipadang mapan sebelumnya. Pada waktu per-ubahan itu terjadi, maka peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang kontemporer (“mengkini”). Dalam hal ini, padangan tidak diberi arah pada apa atau ontologi dari aspek yang berubah; ontologi dari objek yang berubah tidak serta merta melekat padanya sebutan istilah kontemporer. Memang ontologi (apa) dari yang berubah merupakan produk dari suatu tindakan mengubah, tetapi setelah produk terbentuk sebagai suatu entitas, maka padanya tidak melekat lagi perubahan. Ia telah menetap sebagai sesuatu, bisa produk itu berupa karya seni, dan sebagainya.  Sebagai contoh, sebuah karya musik yang diciptakan dengan segala kebaruan dalam kaitannya dengan fenomena kontemporer, tidak akan berubah lagi se-bagaimana misalnya terlihat pada rekaman audio visualnya tatkala pertama kali karya tersebut dipertunjukkan. Sementara itu, perubahan sebagai suatu fenomena, bisa terjadi kapan saja setelah karya tersebut menjadi, seiring dengan perjalanan waktu secara linear; karya tinggal, waktu berjalan.

Cara pandang begini didasari oleh pemikiran konsistensi pemakaian arti berubah dengan dampak kebaruan dari yang sebelum berubah, yang niscaya padanya mencerminkan jiwa atau pemikiran masa itu. Oleh karenanya, kalau pengertian kontemporer dilekatkan pada materi atau ontologi yang berubah, maka logikanya akan tumbuh secara linear periodisasi kontemporer-kontemporer, bisa I, II, III, dst. Demikian pula apabila objeknya adalah “musik”, akan ada seharusnya musik kontemporer I, II, III, dan seterusnya.

Dalam tulisan ini, kontemporer diartikan seperti demikian, yaitu terjadinya peristiwa perubahan yang mencerminkan jiwa waktu masa kini atas bentuk-bentuk yang dipadang mapan sebelumnya. Dalam konteks ini, ontologi dari sesuatu yang berubah dimaksud adalah apa yang disebut musik oleh orang Indonesia pada umumnya dan secara khusus adalah musik kebudayaan Minang-kabau.

Profil “Kontemporer” Musik Kelahiran Minang selengkapnya

Patung Dewa Ruci Dalam Perspektif Budaya Bali

Patung Dewa Ruci Dalam Perspektif Budaya Bali

Oleh: I Nyoman Linggih

Dewa Ruci (foto balitravelportal.com)Menurut Koentjaraningrat (1990:203-204) setiap kebudayaan suku bangsa di dunia memiliki  tujuh unsur kebudayaan yang universal yaitu: 1) bahasa, 2) Sistem pengetahuan 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) sistem matapencaharian hidup 6) sistem religi, 7) kesenian.  Kesenian adalah merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena itu seni atau kesenian merupakan produk dari sebuah kebudayaan dari setiap suku atau bangsa di dunia. Untuk itu memahami sebuah fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisah-kan dari latar belakang di mana seni itu lahir.

Untuk dapat mengerti menyelami dan menilai usaha karya seni dari sesuatu bangsa dengan seksama, tidaklah cukup hanya menganalisa bentuk-bentuk karya seninya saja, kesusastraannya, seni suaranya, tari-tariannya dan seni rupanya. Pemahaman terhadap gaya hidup, keyakinan kepercayaan dan struktur penghidupan dan kehidupan dari suatu masyarakat adalah sendi-sendi yang sangat penting dalam penuangan bentuk karya seninya dan dengan demiki-an  dianggap sangat perlu untuk diselami dengan penuh simpati dan secara tertib untuk dapat mengadakan interpretasi dan peninjau-an yang tepat (Murdowo, 1967:18).

Bali  salah satu dari suku bangsa di Indonesia memiliki karakteristik seni dan budaya yang menarik. Oleh karena itu Bali tetap menarik bagi wisatawan mancanegara untuk dikunjungi untuk melihat kepaduan estetika budaya yang diilhami oleh sebuah frame yaitu religiusitas Hinduisme. Berdasarkan hal tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti Pulau Sorga, Paradise created, Pulau seribu pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara mengenai seni di Bali, karena hubungan agama Hindu dengan seni tak dapat dipisahkan, hal itu dapat menumbuhkan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat dalam berbagai bidang, ter-utama dalam bidang seni pahat, seni gamelan, seni lukis, seni tari, seni hias, seni patung dan lain-lain (Mantra,1991:5).

Hal ini dipertegas lagi oleh   I Gusti Bagus Sugriwa (1952:22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya suku Bali-Hindu yang hidup bergolak sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang ranting dari agama Hindu Bali. Kesenian dengan agama ini mempunyai hubungan yang amat erat pada umumnya tidak dapat dipisahkan satu sama lainya. Tegasnya jika agama Hindu Bali itu musnah dari nusa Bali ini, tak dapat dipungkiri lagi kesenian Bali-Hindu yang meliputi seni sastra, seni nyanyi, seni tari, seni ukir, seni rupa dan lukis dan bunyi-bunyian pun akan turut hilang. Sebaliknya bila kesenian Bali-Hindu itu hilang, mungkin pula agama Hindu-Bali itupun gaib juga. Meskipun apa yang dikemukakan oleh I Gusti Bagus Sugriwa secara realitas emperik belum meyakinkan, namun secara normatik memang beralasan, dalam pengertian ada kekhawatiran beliau akan “kepunahan tradisi seni Hindu”. Konsep berkesenian dalam masyarakat Bali berkaitan dengan nilai agama Hindu yang sering terjelma dalam karya-karya seni.

Keindahan Bali dapat mencakup aspek-aspek seperti yang dikemukakan oleh The Liang Gie (1976:35) yaitu keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual. Dua aspek keindahan terakhir menyangkut kaidah estetika yang bersumber pada agama Hindu. Keindahan moral menyangkut sikap dan perilaku masyarakat Bali berdasarkan ajaran agama Hindu, demikian juga  keindahan intelektuil tercermin pada makna gagasan yang menjadi isi dari setiap seni yang tercipta. Estetika adalah salah satu unsur yang penting dalam hidup manusia. Ia menggerakkan manusia ke arah konstruktif  dalam berbagai lapangan hidup, antara lain kepada rasa jengah yang berlandaskan Rajasika dan Satwika (Mantra, op. cit. p. 12).

Landasan Rajasika dan Satwika ini merupakan dasar-dasar yang meletakkan hubungan keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai “roh” karya seni yang lahir dan berkembang di Bali. Kesenian Bali telah berkembang begitu pesatnya, seiring dengan perkembangan dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata tersebut, muncullah kreativitas seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali itu sendiri. Salah satu seni yang turut memperindah tata ruang kota atau jalan di Bali adalah seni patung. Seni patung ini termasuk seni pahat, yang meliputi seni-seni patung dan relief (Widia,1991:1). Dalam pandangan Murdowo (1967:41) bahwa pulau Bali dipenuhi dengan ukiran dan patung-patung; di puri-puri, pura-pura di pinggir dan persimpangan jalan selalu ada patung-patung yang terukir sangat indah dan mempunyai gaya style yang tersifat bagi seni pahat Bali. Patung-patung yang menghiasi sudut-sudut kota atau persimpangan jalan, seperti patung Caturmuka di jantung kota Denpasar , Patung Kala Rau di Kota Gianyar,  Patung Pemuteran Mandara Giri di Kota Gianyar, Dewa Indra Menjaga Tirta Suci di Gianyar dan sebagainya. Patung-patung seperti itu sumber penciptaannya diambil dari mitologi Hindu.

Secara umum patung-patung yang menghiasi keindahan kota di Denpasar, baik di wilayah Kabupaten Badung maupun di Kodya dapat digolongkan menjadi 1) patung Kala; Catur Muka di perempatan Jln. Gajah Mada, 2)  Monumen Puputan Badung di Lapangan Puputan Badung, Monumen Anumerta Kapten Japa di Simpang Empat Sanur, Monumen Anumerta Kapten Cokorde Agung Tresna di Simpang Empat Gatot Subroto, dan Monumen Anumerta Mayor I Gusti Ngurah Bagus Sugianyar di Simpang Empat Terminal Ubung. Monumen Anumerta I Gusti Ngurah Rai di  Pertigaan Tuban Nusa Dua, 3) patung Wayang/Dewa-Dewa; Pendeta di Suci, Gatotkacasraya Airport Tuban, Dewaruci di Simpang Siur Kuta, dan sebagainya. Secara khusus Denpasar pasti memiliki lebih dari 20 patung, patung-patung kecil, serta Monumen yang dapat dibagi menjadi 1) patung tradisional dan religius dari batu, 2) patung besar, modern dan realistik dari perunggu, 3) patung-patung kecil serta Monumen dari batu lunak atau semen kebanyakan dilapisi cat sebagai pelindung, dan antara lain karena ciri kerakyatannya disebut ‘seni semen’. Patung-patung tersebut ber-kaitan dengan:1) Dewa dan roh, 2) perjuangan kemerdekaan pada awal atau akhir abad ini, 3) tokoh-tokoh wayang, 4) kebijaksanaan pemerintah misalnya pemberantasan buta huruf dan 5) kegiatan sosial budaya yakni patung sebagai hiasan seperti yang sering kita lihat terbuat dari kayu untuk para wisatawan (Nas, 1996:14).

Tak kalah menariknya untuk disimak adalah Patung Dewa Ruci yang terletak di persimpangan Jalan Arteri Nusa Dua-Tanah Lot, penciptaan patung Dewa Ruci adalah merupakan transformasi dari teks-teks karya Sastra Jawa Kuna khususnya. Namun dalam perkembangan di lapangan terjadilah improvisasi bentuk patung, kehadiran tokoh  Bhima ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji, baik secara material maupun secara konseptual. Secara material adalah aspek estetika ragawi yang dapat dicerna oleh indria penglihatan, sedangkan aspek konseptual meliputi nilai-nilai tersirat yang ada pada Patung Dewa Ruci itu. Sebagai sebuah konsep visualisasi dari sebuah ajaran agama, maka Patung Dewa Ruci/Nawa Ruci sarat akan makna hidup dan kehidupan.

Loading...