Fungsi Karawitan Bali Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual

Fungsi Karawitan Bali Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual

Fungsi Karawitan Bali Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual, kiriman   I Ketut Ardana (dosen ISI Yogyakarta)

Gong Kebyar dalam Ujian TAMenelaah fenomena kesenian secara kontekstual sangat erat hubungannya dengan sosio kultural terhadap lingkungan tempat seni itu hidup dan berkembang.  Ahimsa-Putra mengelompokan telaah kesenian dalam antropologi ada 2 katagori, yaitu (1) telaah yang berciri tekstual, (2) telaah yang berciri kontekstual. Telaah tekstual yaitu memandang fenomena kesenian sebagai sebuah “teks” untuk dibaca, untuk diberi makna, atau untuk dideskripsikan strukturnya, bukan untuk dijelaskan atau dicarikan sebab musababnya. Hal ini berbeda dengan telaah kontekstual, yakni telaah yang menempatkan fenomena kesenian di tengah konstelasi sejumlah elemen, bagian, atau fenomena yang berhubungan dengan fenomena tersebut. Paradigma yang umumnya digunakan dalam menelaah kesenian secara kontekstual adalah struktural, fungsional karena pendekatan inilah yang sangat menonjol kontekstualitasnya. Paradigma fungsional yang digunakan dalam tulisan ini dibatasi permasalahannya. Permasalahan itu menyangkut seputar karawitan Bali di Yogyakarta sebagai topik utama dalam penulisan.

Peran dan fungsi kesenian pada umumnya dalam masyarakat sangatlah beranekaragam.  Pluralitas budaya memposisikan kesenian khususnya kesenian tradisi memiliki kekayaan bentuk maupun fungsi. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Selain keragaman budaya, hal ini juga dipengaruhi oleh iklim geografis yang berbeda. Sebagai contoh, Antara manusia yang hidup di negara berkembangan dengan yang hidup di negara maju sangat berlainan dalam memanfaatkan seni pertunjukan pada hidup mereka. Di negara-negara yang sedang berkembang yang dalam tata kehidupanya masih banyak mengacu ke budaya agraris, kesenian memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Lebih-lebih apabila negara tersebut memeluk agama yang selalu melibatkan seni dalam kegiatan-kegiatan upacaranya, seperti misalnya agama Hindu di Bali. Sebaliknya, di negara-negara maju yang dalam tata kehidupannya sudah mengacu ke budaya industrial, yang segala sesuatu diukur dengan uang, sebagian besar bentuk-bentuk kesenian merupakan penyajian estetis yang melulu untuk dinikmati keindahannya. Keadaan semacam ini bisa diamati misalnya di Amerika Serikat. Oleh karena itu, Ada beberapa teori fungsi yang dirumuskan oleh para pakar seni. Curt Sachs dalam bukunya History Of The Dance menyatakan bahwa ada 2 fungsi tari, yaitu (1) untuk tujuan-tujuan magis; dan (2) sebagai seni tontonan. R.M. Soedarsono mengelompokan fungsi seni pertunjukan menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok fungsi-fungsi primer dan kelompok fungsi-fungi sekunder. Secara garis besar seni pertunjukan memiliki 3 fungsi primer, yaitu (1) sebagi sarana ritual; (2) sebagai  ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi; (3) sebagai presentasi estetis. Khusus tentang seni musik etnis Alan P. Merriam  dalam bukunya yang berjudul The Antropology Of Music mengatakan ada 8 fungsi musik etnis, yaitu (1) sebagai kenikmatan estetis, yang bisa dinikmati oleh penciptanya atau penontonnya; (2) hiburan bagi seluruh masyarakat; (3) komunikasi bagi masyarakat yang memahami musik, karena musik bukanlah bahasa universal; (4) representasi simbolis; (5) respons fisik; (6) memperkuat konformitas norma-norma sosial; (7) mengesahkan institusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan; (8) sumbangan pada pelestarian serta stabilitas kebudayaan. Para pakar ini memfungsikan seni pertunjukan baik tari, karawitan (musik etnis), serta teater tradisional dengan proporsi yang berbeda-beda. Namun demikian, ada suatu persamaan persepsi, yaitu seni selalu dihadirkan dalam upacara ritual keagamaan serta sebagai “benda” untuk dinikmati keindahannya. Dari keragamaan pernyataan di atas muncul suatu pertanyaan, bagiamanakah peran dan fungsi karawitan Bali di Yogyakarta?. pertanyaan ini tentu saja bisa dijawab dari beberapa teori fungsi di atas.

Karawitan Bali sebagai mana yang dikenal oleh banyak kalangan memiliki 2 katagori, yiatu (1) karawitan instrumental; dan (2) karawitan vokal. Karawitan instrumental adalah seni suara yang menggunakan alat musik sebagai sumber suara sedangkan karawitan vokal adalah seni suara yang menggunakan suara manusia sebagai sumber suara. Namun demikian, tidak dipungkiri ada juga penggabungan kedua elemen tersebut dalam 1 bentuk lagu yang disebut dengan sandyagita, dan gegitan. Oleh karena itu, fungsi karawitan Bali di Yogyakarta dikaji dari aspek karawitan Instrumental, karawitan vokal, dan sandyagita.

Fungsi Karawitan Bali Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual, selengkapnya

Regenerasi Penari Tayub Di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Oleh: Y. Murdiyati dan Sunaryo (Dosen pada Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta )

Di Jawa terdapat wujud kebudayaan yang dalam persebarannya sering muncul unsur-unsur yang sama, karena pengaruh kondisi lingkungan dan waktu. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai konsep adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya itu. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Mengingat hal tersebut, guna kepentingan analisis konsep kebudayaan, perlu dikemukakan unsur-unsur kebudayaan universal, sekaligus sebagai isi semua kebudayaan yang ada di dunia, yakni: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah menjadi sub unsur-unsurnya. Demikian halnya dalam pembicaraan kebudayaan di Tambakrama juga dapat menghubungkan kesenian khususnya Tayub dengan unsure-unsur yang terkait, misalnya masalah-masalah kehidupan masyarakat termasuk yang remaja, komunikasi, pendidikan kesenian, ekonomi, dan komersial kesenian yang dikembangkan oleh turisme, dan aspek politis kesenian yang harus diterapkan dalam proses pembinaan kepribadian dan integrasi nasional.

Kebudayaan tersebut minimal memiliki tiga wujud, yakni: (1) wujud kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kompleks aktivitas kelakuan berpola pada manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda-benda hasil karya manusia.  Wujud pertama yaitu ide, gagasan dan sebagainya yang bersifat abstrak, misalnya ide untuk menciptakan karya ilmiah atau karya tari, baik tari klasik maupun tari rakyat. Mengingat salah satu tari rakyat yang sekaligus dijadikan objek penelitian ini adalah tari Tayub di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, maka contoh wujud pertama kebudayaan tersebut misalnya adat nanggap Tayub dalam upacara Rasulan atau bersih desa, nadaran, perkawinan, khitanan, pengobatan dan sebagainya.

Menurut Marsiyono, keberadaan Tayub dalam upacara-upacara tersebut dilakukan secara turun-temurun atau diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini Kluckhon menyatakan bahwa  mengingat kebudayaan merupakan proses belajar, bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis, maka seharusnya wujud pertama kebudayaan yang telah dipaparkan, disosialisasikan kepada masyarakat remaja khususnya sebagai generasi penerus, agar secara keseluruhan dapat dipahami, bahkan dipertahankan (dilestarikan, dibina, dikembangkan) dalam kehidupan sosial sesuai dengan perkembangan zaman. Namun kenyataannya wujud kebudayaan tersebut kurang disosialisasikan atau tidak ada kegiatan pembelajaran tari Tayub bagi generasi penerus.

Wujud kedua sering disebut sistem sosial, yang terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul, dan selalu mengikuti pola-pola berdasarkan adat setempat, misalnya aktivitas dalam penyelenggaraan upacara Rasulan, pertunjukan Tayub, berorganisasi dan sebagainya. Sistem sosial di Tambakrama misalnya aktivitas manusia yang berinteraksi selalu mengikuti pola-pola berdasarkan adat seperti halnya sikap saling menghormati, beretika (bersopan santun, bertata krama), bersatu, gotong royong, solider, terbuka dan sebagainya. Kenyataannya para remaja kurang memperhatikan perihal etika dalam kehidupan sehari-hari, padahal seharusnya bila kebudayaan itu telah dipahami, sudah barang tentu tercermin pula dalam perilaku mereka. Selain itu, para remaja juga kurang berminat masuk organisasi untuk menggalakkan kegiatan pembelajaran tari Tayub, sehingga pengurus, guru atau penari senior, dan organisasi itu sendiri tampak kurang berperanan dalam mempertahankan tari tersebut. Dengan kata lain, kurang terjalin kerjasama untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran (workshop) tari Tayub. Padahal, seharusnya seluruh komunitas itu menjalin kerjasama untuk mencari strategi demi mempertahankan kehidupan Tayub dalam masyarakat.

Tidak berbeda halnya dengan wujud ketiga atau kebudayaan fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia. Di Tambakrama misalnya salah satu cabang kebudayaan yakni kesenian Tayub, sebenarnya komunitas masyarakat kesenian itu memiliki balai desa dan seperangkat instrumen gamelan jawa,  yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar tari Tayub, juga beberapa stel kostum tari. Hanya wujud fisik tersebut kurang dimanfaatkan untuk membentuk komunitas generasi penerus, sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup tari Tayub. Oleh karena itu, diharapkan adanya sponsor untuk menyelenggarakan pembelajaran tari Tayub secara rutin khususnya bagi para remaja. Kesenjangan itulah antara lain yang mendorong dilakukannya penelitian ini, sekaligus sebagai alasan penelitian. Selain belum ada yang meneliti, alasan lainnya adalah kurangnya budaya sarasehan, diskusi, seminar, ceramah, pelatihan atau pembelajaran tari Tayub dan sebagainya.

Regenerasi Penari Tayub Di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selengkapnya

Fungsi  Petulangan  Dalam  Upacara  Ngaben

Fungsi Petulangan Dalam Upacara Ngaben

Oleh. I Dewa Made Pastika

Ngaben (foto by GC)Fungsi petulangan dalam upacara ngaben sangat erat kaitannya de-ngan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu. Seperti kerbau yang terdapat diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak roh-roh jahat dan sebagai tunggangan roh le-luhur di akhirat (Van Der Hoop, 1949:136). Di daerah Toraja, Sulawesi pada waktu peralatan penjenasahan banyak kerbau dipotong, satu di antara kerbau tersebut dianggap sebagai kendaraan orang yang meninggal di akhirat. Hias-an rumah masyarakat Toraja dibuat dari kayu berbentuk kerbau. Hal ini ada persamaan dengan petulangan berbentuk lembu pada upacara ngaben di Ba-li. Binatang kerbau mempunyai arti yang sangat penting dalam upacara penjenasahan (Van Der Hoop, 1949:138).

Kepercayaan terhadap binatang menjangan yang disucikan, digam-barkan dalam bangunan bagian muka dari Menjangan Seluang Mospait, ru-mah suci untuk dewa Mojopahit dalam kuil di Pura Desa Singaraja Bali, sua-tu peringatan terhadap perpindahan orang Hindu Jawa ke Bali setelah jatuh-nya Majapahit (Van Der Hoop, 1949:156). Di Bali kepercayaan terhadap bi-natang lembu sebagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa Siwa. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa. Sedangkan Dewa Wisnu ber-fungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut di-sucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifes-tasinya masing-masing.

Menurut Drs. Ida Bagus Purwita dari Griya Yang Batu Denpasar, (sekarang sulinggih) meninjau dari segi filosofinya bahwa perwujudan petu-langan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal. Binatang nama lainnya sattwa terdiri dari kata sat dan twa. Sat berarti inti (esensiil); twa berarti sifat. Jadi sattwa berarti bersifat esensiil dalam agama ialah Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan menggunakan petulangan berbentuk binatang, mengandung maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudan petu-langan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari binatang tersebut.

Penggunaan petulangan dengan bentuk binatang ditentukan oleh si-fat perwatakan serta kewajiban seseorang dalam masyarakat. Menurut lontar awig-awig Denpasar milik Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petulangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu sebagai berikut: Bagi wangsa sudra jadma memakai petulangan ben-tuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina. Sang Aria memakai petulanggan berbentuk menjangan. Sang Kesatria memakai petulangan ben-tuk singa. Brahmana Welaka memakai petulangan bentuk lembu hitam dan Pendeta memakai petulangan bentuk lembu putih. Dengan demikian fungsi petulangan adalah sebagai berikut.

  1. Dalam pengertian umum petulangan berfungsi sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, berfungsi sebagai pengantar roh ke alam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasil perbuatan di dunia.
  2. Menunjukkan jenis sekte seseorang yang dianut leluhurnya.

  3. Menunjukkan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.

  4. Menunjukkan rasa bakti dan penghormatan terhadap dewa-dewa, karena dengan meniru wahananya sebagai sarana upacara. Maka seolah-olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi.

  5. Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbulkan kepuasan batin bagi yang di-upacarai, orang yang menyelenggarakan upacara, seniman (sangging) yang mengerjakannya, dan masyarakat luas yang menikmatinya.

Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa

Oleh I Made Latra (Dosen pada UPT. MKU Universitas Udayana Denpasar)

Berbicara masalah pengkajian sastra-sastra klasik Indonesia umumnya dan sastra Bali khususnya, mungkin dapat kita renungkan kembali pernyataan R.M.Ng. Poerbatjaraka ketika meresmikan berdirinya Fakultas Sastra Uni-versitas Udayana tahun 1958. Pernyataan beliau adalah “Bali adalah pulau yang telah terkenal sebagai peti tempat penyimpanan dan pembendaharaan sastra dan budaya lama” (Sudharta, 1989:10). Pernyataan tersebut sesung-guhnya mengandung dimensi waktu jauh ke depan, agar “peti” yang me-ngandung “misteri-misteri budaya lama” dipahami oleh para generasi.

Karya-karya kesusastraan Bali mengandung dua hal pokok yaitu: (1) mempunyai konsep-konsep artistik tersendiri, dan (2) mempunyai kon-sep-konsep spritual kemanusiaan dan atau kebenaran yang universal dan ha-kiki (Agastia, 1980: 2). Di samping itu olah Sastra Bali tidak semata-mata bersifat susastra, melainkan erat kaitannya dengan kepercayaan, adat-isti-adat, upacara ritual, maupun tradisi sosial masyarakat Bali yang bersifat kompleks (Suastika, 1985:1) Dalam kesusastraan itu sarat berbagai pengeta-huan seperti: filsafat, ajaran ethika, estethica, arsitektur dan Astronomi (Puja,1982/1983: 29).

Pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra klasik sangat diperlukan zaman sekarang, agar generasi muda yang akan datang tidak ke-hilangan jejak untuk menelusuri aktivitas sosial budaya atau peradaban ne-nek moyangnya. Perlunya kita mempelajari, memahami warisan rohani bu-daya bangsa masa lampau lewat sastra-sastra lama, seperti diucapkan oleh Ida Bagus Mantra, “Ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-per-ubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan, tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan dan manusia harus menegakkan kehidupan ro-haninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama yang terdapat dalam pustaka-pustaka suci, sehingga ia butuh dalam menghadapi perubahan itu sendiri dan tetap berjalan dalam mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek untuk menjalankan kewajibannya” (Agastia, 1994:59).

Sastra klasik Bali yang tentunya memiliki kekhasan tersendiri hingga kini masih terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dalam tradisi “mabebasan” (pembacaan karya sastra secara bergiliran disertai diskusi), dalam sebuah kelompok sosial yang disebut “Sekaa Pesantian”. Sejalan de-ngan urain itu, A. Teeuw mengatakan di mana-mana di pulau Jawa, Madu-ra, Bali, Lombok, di bagian Sumatra dan Sulawesi, sastra memang seba-giannya diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah tertulis, tetapi sastra ini secara wajar dibacakan bersama-sama, antara pembaca dan pendengar seringkali pula bergiliran perannya, seperti dalam mabebasan di Bali dan nembang di Jawa (1998:40). Apa yang telah dijelaskan A. Teeuw tentang mabebasan di Bali sampai saat ini masih terus terpelihara, dikembangkan, dihayati, diulas serta ditulis bahkan diciptakan kembali.

Melalui tradisi mebebasan inilah masyarakat Bali mengakrabi dan mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap sebagai ajang “kritik sastra”, karena melalui tradisi ini sebuah karya diba-cakan, diterjemahkan, diulas serta dikomunikasikan antara anggota sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua arah dengan sangat “demokratis” Di antra anggota yang hadir, sehingga pa-da akhirnya akan disepakati adanya sebuah nilai yang adiluhur sebagai cer-min hidup dalam berpikir, berkata, dan berprilaku. Penulisan dan penya-linan karya-karya sastra kakawin, geguritan dan lain-lainnya di Bali sampai menjelang abad 20-an masih berlangsung di bebarapa Puri, Geriya dan sanggar-sanggar penulisan lainnya.

Salah satu karya sastra abad XX yang luput dari perhatian kita selama ini adalah berjudul “Kakawin Ekàdaúaúiwa”. Kakawin ini ditulis oleh seo-rang astra Brahmana muda dari Sibetan Bebandem, Karangasem Bali. Nas-kah kakawin ini masih ditulis di atas sebuah buku tulis dan belum sempat ditulis di atas rontal. Dengan demikian, naskah kakawin ini dapat dikatakan sebagai naskah tunggal.

Kakawin Ekadaúaúiwa merupakan karya sastra kakawin abad XX, yang digubah oleh pangawi yang masih tergolong sangat muda. Kakawin ini memiliki kedudukan yang sangat penting di antara kakawin yang ada, karena faktor isi dan keunikan penyajiannya yang merupakan jiwa zaman yaitu adanya ajaran “Siwa Sidanta” yang khas model Bali. Demikian pen-ting kedudukannya terutama di antara peneliti yang ada, sehingga Kakawin Ekadaúaúiwa sangat pantas atau penting diteliti. Naskah ini penulis dapat-kan langsung dari pengarangnya, yang tentunya sangat jarang dijumpai adanya pengarang yang sangat produktif menulis karya sastra tradisional se-perti kakawin di zaman modern ini. Sungguh bahagia dan bangga hati pe-nulis atas kreativitas pengarang kakawin ini, sehingga penulis merasa ter-tarik meneliti Kakawin Ekadaúaúiwa ini sebagai bahan kajian, sekaligus se-bagai upaya penghargaan terhadap hasil ciptaannya dan berusaha menye-barluaskan kepada masyarakat agar karya tradisional khususnya kakawin berkembang secara berkelanjutan. Di usia yang masih tergolong muda seo-rang astra Brahmana kelahiran Sibetan Bebandem Karangasem telah me-nunjukkan kreativitasnya di bidang olah sastra, dalam bentuk puisi Jawa Kuna berupa kakawin, yang tentunya tidak sembarang pengawi Bali mampu melakukannya. Di samping kesukaran bahasa yaitu penguasaan bahasa Ja-wa Kuna puisi Jawa Kuna sangat rumit, belum lagi harus memperhatikan isi cerita dan pengungkapan estetika memerlukan daya imajinasi yang tinggi.

Berdasarkan latar belakang di atas, kajian terhadap Kakawin Eka-daúaúiwa ini memiliki kedudukan penting dalam khazanah kebudayaan Ba-li, yaitu: 1) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah tem-bang? 2) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna?

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mendes-kripsikan nilai-nilai estetis yang bersifat konseptual yang terkandung dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa ini. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam estetika yang terdapat dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa yang sarat akan nilai-nilai kebenaran lewat mang-gala, corpus (isi), dan epilognya.

Sedangkan manfaat bagi penulis dan masyarakat luas, oleh karena konsep-konsep pemikiran yang terkandung dalam karya ini sebagai sum-bangan pemikiran untuk memahami konsep-konsep kebudayaan masa lam-pau, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa, khususnya kebudayaan daerah, dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional.

Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa Selengkapnya

Kesenian Ching Pho Ling Di Daerah Purworejo Jawa Tengah Cerminan Budaya Pisowanan

Oleh: Nanik Sri Prihatini (Dosen Jurusan Tari dan pada Program Pascasarjana ISI Surakarta)

Purworejo secara administrasi merupakan salah satu daerah kabupaten di Propinsi Jawa Tengah bagian selatan. Kabupaten Purworejo menurut Koen-tjaraningrat termasuk ke dalam wilayah  budaya Bagelen yang kaya dengan seni pertunjukan rakyat. Bagelen pada abad XVIII menjadi wilayah Mata-ram yang disebut wilayah Negaragung, daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat kerajaan (Djuliati, 2000:12). Kekayaan seni pertujukan rakyat di daerah Bagelen ditandai dengan adanya berbagai bentuk seni per-tunjukan yang masih hidup dan berkembang di daerah tersebut. Setidaknya ada kurang lebih 30 bentuk seni pertunjukan rakyat yang berupa tari, musik dan teater.

Dilihat dari bentuk pertunjukannya, seni pertunjukan rakyat di dae-rah Purworejo nampaknya dilatarbelakangi oleh kondisi dan fenomena se-tempat yang pernah terjadi pada masa lalu. Dengan kata lain bahwa keseni-an rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Purworejo merupakan re-presentasi atau pengungkapan peristiwa masa lalu ke dalam suatu wujud ke-senian. Peristiwa masa lalu yang pernah terjadi di daerah Purworejo di antaranya pada masa terjadinya perang Dipanegara melawan kolonial pada tahun 1825-1830, pengaruh kekuasaan kerajaan Mataram Baru dan masuk-nya agama Islam. Realitas tersebut digarisbawahi oleh Sedyawati (1995: 1), di antaranya bahwa bentuk seni pertunjukan yang membawa pesan ke-Islam an telah berlangsung turun-menurun dan mempunyai masyarakat pendu-kung di tiap-tiap daerahnya. Nuansa ke-Islam-an tercermin dengan diguna-kannya instrumen terbang (rebana), jidur atau bedug kecil dan lagu-lagu yang disajikan dengan bahasa Arab. Pengaruh perang Dipanegara tercermin pada tema keprajuritan serta bentuk sajian dengan pola lantai berbaris, ge-rak, busana, dan peralatan tari yang digunakan. Seni pertunjukan rakyat yang berkembang di daerah ini pada umumnya disajikan secara kelompok dan hampir semuanya menggunakan pola lantai berbaris.

Ada sembilan bentuk seni pertunjukan rakyat yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang di daerah Purworejo, adalah: Dolalak, Ching Pho Ling, Kobrosiswa, Kuda Kepang, Kuntulan, Madya Pitutur, Samanan, Kemprang, dan Slawatan. Dari bentuk-bentuk yang telah disebutkan, Dola-lak merupakan salah satunya yang paling berkembang, kondisi ini ditandai dengan jumlah kelompok atau perkumpulan Dolalak yang ada. Eksistensi saat ini, kesenian Dolalak disajikan oleh penari-penari perempuan yang sebelumnya selalu disajikan oleh penari laki-laki. Saat ini tercatat kurang lebih 120 kelompok Dolalak wanita tersebar di seluruh wilayah Purworejo. Untuk itu Dolalak di Kabupaten Purworejo dijadikan sebagai kesenian ung-gulan.

Keberadaan Dolalak yang menjamur sangat berbeda apabila diban-dingkan dengan seni pertunjukan Ching Pho Ling yang keberadaannya sa-ngat memprihatinkan. Kesenian Ching Pho Ling yang pernah hidup di bebe rapa tempat di wilayah Purworejo seperti di Kecamatan Kaligesing, Keca-matan Bagelen, saat ini hampir punah dan satu-satunya yang masih hidup terdapat di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.

Mataram Baru merupakan sebuah kekuasaan politik yang berpusat di daerah Yogyakarta, dan sejak awal abad XVII mulai menguasai Pulau Jawa. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran-lingkaran konsen-tris yang berpusat di keraton, tempat kediaman raja dan tempat ibukota kera-jaan. Konsentris pertama disebut kutagara, ibukota kerajaan, adalah tempat pengaruh raja yang paling kuat. Konsentris kedua adalah negaragung, wi-layah yang disediakan bagi lungguh (tanah yang disediakan atau dipinjam kan sebagai sarana nafkah) para kerabat dan pejabat kerajaan. Adapun konsentris ketiga disebut daerah mancanagari, jabarangkah dan pasisiran yang diperintah oleh seorang bupati kepala daerah

Konsentris kedua yang disebut daerah nagaragung biasanya di bawah wewenang seorang wadana yang disebut wadana jaba. Bagelen merupakan salah satu daerah negaragung yang tidak dipimpin oleh seorang wadana jaba tetapi oleh Demang Adipati. Untuk itu wewenang daerah Bagelen dikuasai oleh beberapa orang demang. Para demang ini bertugas mengurus masalah pajak serta masalah-masalah umum yang berada di kawasan wila-yahnya. Para demang biasanya bertanggung-jawab kepada para Patuh, yaitu pejabat dan kerabat kerajaan yang menguasai lungguh. Para patuh sebagai golongan priyayi atau sentana merupakan orang yang menerima lungguh pada umumnya tinggal di ibukota kerajaan dan tidak mengelola sendiri tanah mereka. Mereka menyerahkan pengelolaan lungguhnya kepada para demang setempat.

Dalam suatu sistem feodal seperti Mataram yang pada masa itu be-lum banyak mengembangkan ekonomi uang, untuk menggaji pegawai atau-pun memberi tunjangan kepada keluarga raja pada umumnya diberikan tunjangan dalam bentuk tanah, yang kemudian tanah garapan untuk nafkah tersebut disebut dengan nama tanah lungguh. Para penerima lungguh oleh para raja selanjutnya juga diberikan wewenang untuk menarik pajak atau hasil atas tanah lungguh. Tanah lungguh bagi para priyayi (pejabat keraja-an) dapat bersifat sementara, artinya hak untuk memungut pajak hanya da-pat dilakukan selama si penerima lungguh menjabat. Ada pula tanah lung-guh yang bersifat permanen, biasanya diberikan kepada keluarga raja, dan para sentana yang dikasihi oleh raja. Tanah lungguh yang kedua disebut tanah ganjaran atau tanah pusaka yang dapat dimiliki secara turun-temurun (Djuliati, 2000:51).

Kesenian  Ching  Pho  Ling  Di  Daerah  Purworejo Jawa Tengah  Cerminan Budaya Pisowanan, selengkapnya.

Respons Emotional Well-Being Dalam Laras Gamelan Jawa

Oleh Djohan (Dosen Musik pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta)

Dalam kehidupan sehari-hari, hampir bisa dipastikan setiap orang pernah mengalami perasaan nyaman atau tidak nyaman. Baik melalui hubungan interpersonal dalam lingkungan keluarga, tempat kerja, atau tempat tinggal. Persinggungan bermacam orang dengan watak, kepribadian, budaya, dan perilaku yang berbeda, sangat memungkinkan terjadinya gesekan-gesekan yang dapat memicu perilaku emosional. Sebagai akibatnya, frekuensi ke-nyamanan tentu akan membawa pengaruh pada kinerja serta kualitas hidup seseorang.

Sikap dan perilaku seseorang ketika harus berinteraksi dengan orang di luar dirinya sering kali menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Dampak positif akan diperoleh bila interaksi yang terjadi karena adanya jalinan yang baik dan saling memahami. Sementara dampak negatif akan timbul bila ada kesalah pahaman atau bahkan perbedaan pendapat di anta-ranya. Perilaku rasa senang atau tidak senang sering dapat dilihat secara ka-sat mata melalui perubahan fisiologis. Namun dapat pula tidak tampak ka-rena faktor ekspresi kultural yang berbeda pada setiap orang.

Bagi orang Jawa, sebuah relasi dipahami dengan keselarasan atau har-monis di mana kesabaran, kerendahan hati, kesopanan, penerimaan, peng-hindaran dan menarik diri dimaksudkan untuk mempertahankan hubungan yang nyaman (Mulder, 1999). Di satu sisi hubungan antar manusia, per-selisihan tidak dapat dihindari sehingga perasaan tidak senang pun tidak da-pat ditolak. Disisi lain budaya Jawa sarat dengan nilai yang juga banyak dimanifestasikan melalui bentuk-bentuk kesenian.

Salah satu luaran dari budaya yang hampir tiap hari ditemui orang di manapun berada adalah musik seperti yang disampaikan Merriam, (1964) dalam bukunya the Anthropology of Music bahwa tidak ada aktivitas bu-daya manusia yang begitu meresap, menjangkau sampai ke dalam, mem-bentuk, dan kadang mengendalikan perilaku manusia seperti musik. Dekat-nya musik dengan kehidupan ma-nusia kemudian menyebabkan tumbuhnya minat dan perhatian yang lebih besar terhadap musik, serta mendorong adanya kajian tentang musik kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu.

Orang mulai mempertanyakan apa yang dirasakan seseorang ketika mendengar suatu jenis musik tertentu, mengapa musik yang menjadi tema suatu film yang dapat sedemikian memengaruhi orang-orang yang menon-tonnya, dan memiliki karakter musik tertentu, apakah karakter musik juga memiliki hubungan atau saling mempengaruhi terhadap masyarakat pemi-liknya.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, maka suatu disiplin ilmu tidak berhenti pada paradigma tunggal, dan terus melengkapi dari berbagai perspektif. Salah satu disiplin yang baru di Indonesia adalah Psikologi Mu-sik sebagai hibrida dari Psikologi dan Musikologi. Bagi Psikologi sendiri penerapan “hard science” dilakukan melalui bidang peminatan psikologi eksperimen, faal, psikoneurologi, psikobiologi dan yang sejenis.

Hal yang ingin dikembangkan adalah teori-teori dasar diri individu sebagai sosok biologis. Maka masalah “body” yang menjelaskan perilaku dari sisi fisiologis menjadi penting.  Namun demikian dalam kaitan dengan manusia, masalah “body” tidak dapat dilepaskan dari masalah “mind” sebab keduanya muncul bersama-sama dalam perilaku manusia. Untuk itu, telaah dari sisi “soft science” berperan dalam menjelaskan aspek-aspek persepsi, kognisi, atau emosi manusia.

Sebagai salah satu ilmu pengetahuan, musik juga dapat dijelaskan de-ngan tataran yang sama. Bahwa “hard science” di bidang musik akan lebih menyoroti perangkat keras dan alat, sebagai materi penghasil bunyi, dan dampak elemen musikal seperti pitch dan sebagainya. Kemudian pende-katan “soft science” lebih untuk menjelaskan bagaimana musik menggugah perasaan pendengarnya, mengapa jenis musik tertentu lebih disukai, dan bagaimana sebuah lagu tercipta, atau yang terkait dengan perilaku manusia. Bila dilihat dari aspek psikologi, maka kajian “soft science” di bidang mu-sik sangat erat terkait dengan dimensi-dimensi psikologis seperti persepsi, memori, dan emosi. Sehingga  dalam kajian tentang emotional well-being ini diharapkan juga dapat menjembatani antara Psikologi dan Musikologi. Dengan demikian telaah Psikologi Musik dapat berkembang karena kolaborasi di antara keduanya memungkinkan penjelasan yang lebih kom-prehensif.

Kajian pengaruh laras slendro terhadap emosi berupaya mengaitkan elemen musikal laras dengan aspek-aspek emosi. Seperti pendapat Sloboda (1999), yang secara eksplisit mengungkapkan bahwa musik memiliki fungsi untuk meningkatkan, mengubah emosi dan aspek spiritual, atau membawa seseorang pada kondisi “transenden”. Demikian pula penelitian yang meng-kaji peran musik dalam kehidupan sehari-hari oleh DeNora (1997) menun-jukkan bahwa musik merupakan sarana untuk menata dan meningkatkan kualitas diri baik pada aspek kognitif, emosi maupun fisik.

Hasil penelitian Sloboda (2001), menemukan bahwa musik berkaitan erat dengan perubahan suasana hati dan dapat menghasilkan ketenangan. Misalnya, musik dapat memperbaiki suasana hati yang diwarnai kejenuhan dan kebosanan, meningkatkan konsentrasi, memperkuat ingatan, menggu-gah semangat bahkan berkaitan erat dengan perasaan-perasaan lebih men-dalam seperti kesedihan dan kesepian. Oleh karena itu musik berkaitan erat terhadap emosi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan menguatkan hasil kajian yang dilakukan, seperti fungsi musik dalam kehidupan sehari-hari, dan musik dalam sebuah komposisi tetap akan memberikan kontribusi terhadap respons emosi walau rumit, sederhana atau sefamiliar apapun.

Respons  Emotional  Well-Being Dalam  Laras  Gamelan  Jawa, selengkapnya

Loading...