Desain Mode Busana: Analogi Taman Ujung Karangasem

Kiriman : Nyoman Tri Ratih Aryaputri (Mahasiswa Ps. Desain Mode FSRD ISI Denpasar)

ABSTRAK

Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia merupakan suatu fenomena yang unik, karena perwujudannya mempertimbangkan iklim dan keadaan wilayah di Indonesia. Arsitektur Taman Ujung Karangasem tergolong dalam langgam arsitektur Kolonial, di mana taman ini merupakan taman air (arsitektur pertamanan) kerajaan Karangasem yang mengangkat air sebagai konsepnya. Dalam pembangunannya, arsitektur Taman Ujung Karangasem memiliki filosofi Hindu yang kuat sebagai dasarnya, yaitu falsafah pemutaran Mandhara Giri dan konsep Tri Hita Karana. Penulisan artikel ini merupakan ringkasan konsep desain busana hasil interpretasi arsitektur Taman Ujung Karangasem sebagai sumber ide perancangan. Perwujudan desainnya diupayakan dapat merepresentasi arsitektur Taman Ujung Karangasem, untuk desain busana wanita ready to wear, ready to wear deluxe dan haute couture. Penulisan ini menggunakan metode kepustakaan dan lapangan. Setelah melakukan analisa data, kemudian dilakukan proses perwujudan desain dengan mengambil beberapa unsur, seperti karakteristik arsitektur khas kolonial, fungsi, motif pada Balai Gili dan filosofi Hindu yang kuat yaitu falfasah Mandhara Giri dan konsep Tri Hita Karana. Keempat aspek tersebut kemudian dipadukan dengan gaya klasik romantik  (style classic romantic), terlihat seperti era colonial (look era colonial) dan mempertimbangkan tren busana di Indonesia pada 2017 (trend forecasting 2017 Vigilant), sehingga terwujud tiga desain busana, yaitu busana siap pakai (ready to wear), busana siap pakai yang mewah (ready to wear deluxe) dan adi busana (haute couture).

Kata Kunci: Air, Arsitektur kolonial, Busana wanita, Mandhara Giri, Tri Hita Karana.

 

Selengkapnya dapat unduh disini

 

Seni Pertunjukan Gambuh Kajian Makna Dan Nilai Budaya

 Kiriman : Wardizal, S.Sen., M.Si (Dosen FSP ISI Denpasar)

Abstrak

Gambuh, merupakan salah satu bentuk kesenian kasik, berunsurkan total teater dan dianggap sumber drama tari Bali. Kesenian gambuh telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosio kulural masyarakat Bali dari dahulu sampau sekarang.  Catatan sejarah menunjukkan, seni pegambuhan telah ikut mewarnai perkembangan beberapa bentuk kesenian lain di Bali. Sebagai sebuah karya seni, gambuh selain dijadikan obyek penikmatan estetis dan ritual, juga telah banyak dijadikan obyek studi. Gambuh, merupakan “tambang emas” yang tiada habisnya untuk digali dan dikaji dalam berbagai persfektif. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri dan mendalami tentang makna dan nilai budaya dalam seni pertunjukan gambuh. Teori makna yang dikemukakan Peter L. Breger dijadikan acuan untuk melihat makna gambuh dalam kehidupan sosio kultural Masyarakat. Menurut Breger, Manusia memberi makna kepada benda-benda, membubuhkan nilai pada benda-benda  itu, dan menciptakan tata susunan pengertian yang luas (bahasa, sistem lambang, lembaga) yang merupakan pedoman mutlak diperlukan dalam hidupnya. Breger membedakan makna ini atas dua kategori, yaitu makna dalam masyarakat tradisional (belum modern), dan makna dalam masyarakat modern. Dalam masyarakat yang belum modern, kebanyakan makna itu terberikan kepada manusia oleh tradisi, yang jarang atau tak pernah dipertanyakan. Dalam masyarakat modern, sebagian besar dari keseluruhan makna itu “dipilih” orang secara pribadi. Berkaiatan dengan persoalan makna tersebut, gambuh mempunyai beberapa makna dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat. Makna tersebut diantaranya adalah (1) makna keseimbangan, (2) makna simbolik dan (3) makna prestise dan kebanggaan lokal. Pemaknaan terhadap suatu unsur kebudayaan, terkait erat dengan sisitem nilai budaya. Sistem nilai budaya pada hakekatnya terdiri dari konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai beharga dan penting warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat bersangkutan. Megacu kepada Konsep nilai budaya universal yang dikemukakan oleh Spranger, terdapat 6 (enam) nilai budaya universal yang terkandung dalam seni pertunjukan gambuh. Nilai-nilai budaya tersebut adalah (1) nilai religius, (2) nilai estetis, (3) nilai solidaritas, (4) nilai ilmu pengetahuan,  (5) nilai kekuasaan.

Kata Kunci: Seni Pertunjukan, Gambuh, Makna, Nilai Budaya

Selengkapnya dapat unduh disini

Pinatex™ Inovasi Tekstil Ramah Lingkungan dari Limbah Daun Nanas

Kiriman : Dentia Mayasari (Mahasiswa S2 Program Studi Seni ISI Denpasar)

Abstract

Piñatex™ was invented by Dr Carmen Hijosa to fill the market gap for sustainable textile product. It’s non women natural made textile has unique aesthetic value and high technical performance. The whole life cycle of the textile has been designed and developed along enviromentaly friendly principles. Piñatex™is a story of innovation, finding beauty and inspiration in the discarded toward a noble intention of making fashion a more sustainable and ethical industry.

Keywords: Sustainable, natural, Dr Carmen Hijosa, Piñatex™, sosial

Selengkapnya dapat unduh disini

Pertunjukan Dramatari Wayang Wong Banjar Dentiyis Dalam Ritus Upacara Agama Hindu Di Desa Pakraman Batuan-Gianyar

Kiriman : I Wayan Budiarsa (Dosen Prodi Tari FSP ISI Denpasar)

Abstrak

Berbagai jenis pertunjukan drama tari di Bali, merupakan kekayaan seni budaya tak benda yang tidak ternilai harganya. Beragam warisan seni budaya adi luhung ini masih mampu menunjukan geliatnya di tengah-tegah arus global yang kini melanda dunia. Wujud usaha tersebut tidak terlepas dari peran serta masyarakat sebagai penyangga utama daripada keseniannya, pun demikian ritus upacara kegamaan Hindu Bali yang selalu menyertakan pertunjukan kesenian, yang salah satunya wayang wong sebagai bagian tarian bebali, berdampak makin tetap ajegnya salah satu drama tari ini. Khususnya wayang wong di Banjar Dentiyis Batuan Gianyar, tidak diketahui secara pasti kapan munculnya, namun keberadaannya sangat di sakralkan, dan dipercaya mampu memberikan dampak aura/ vibrasi positif bagi kehidupan mereka. Generasi muda di banjar setempat sangat antusias melestarikan kesenian ini, di samping beberapa jenis kesenian lainnya yang berkembang hingga kini.

Kata kunci: Wayang Wong, Dentiyis- Batuan, Bebali

Abstract

Various types of dance drama performances in Bali, is a wealth of intangible cultural art that is priceless. Diverse cultural heritage adi noble art is still able to show stretching in the global flow tegah now engulfing the world. The form of these efforts can not be separated from the role of the community as the main buffer rather than art, even so rite of religious ceremonies in Bali that always include art performances, one of which wayang wong as part bebali dance, the more impact remains steady one of this dance drama. Particularly the wayang wong in Banjar Dentiyis Batuan Gianyar, it is not known exactly when it appears, but its existence is in the sacred, and is believed to give an aura impact / vibration positive for their lives. The younger generation in the local banjar very enthusiastic about preserving this art, in addition to some other type of art that is growing ever since.
Keywords: Wayang Wong, Dentiyis- Batuan, Bebali

Selengkapnya dapat unduh disini

Memaknai “Ulun Danu” dalam Kebudayaan Bali

Kiriman : I Gede Mugi Raharja (Dosen Prodi Desain Interior FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39 pada 2017 bertemakan Ulun Danu (hulu danau). Tema Ulun Danu ini mengandung pesan kepada seluruh rakyat Bali, agar turut berperan serta dalam upaya melestarikan air sebagai sumber kehidupan. Sebagai sumber air yang besar, danau-danau yang ada di Bali agar terus dilestarikan dan dijaga. Tema tersebut diharapkan bisa menjadi refleksi kehidupan dengan membangun kesadaran masyarakat dalam memuliakan dan menghargai air sebagai sumber kehidupan dan peradaban manusia. Beberapa peradaban purba di dunia diketahui membangun peradabannya dekat dengan sumber air, seperti peradaban Mesir kuno dekat Sungai Nil, peradaban Mesopotamia (Irak purba) di dekat Sungai Tigris dan Eufrat. Mohenjo-Daro dan Harappa yang merupakan peradaban India purba, peradabannya di bangun di dekat Sungai Indus (Sindhu). Peradaban Bali menurut pada prinsipnya juga dibangun oleh “peradaban air”. Agama Hindu dimulai dari sisi Sungai Sindhu di India dan berkembang dari Sungai Sindhu ke wilayah sekitarnya, hingga menyebar keluar India dan sering disebut Agama Tirtha. Oleh karena itu, umat Hindu memuliakan dan menghargai air sebagai sumber kehidupan. Tujuan hidup menurut Hindu adalah mencari amerta, kehidupan yang langgeng, lepas dari kesengsaraan (suka tan pawali duka). Hal itulah yang menyebabkan agama Hindu sangat memuliakan air. Dalam keyakinan masyarakat Hindu Bali, gunung-gunung dan danau merupakan tempat yang suci, stana para Dewa. Pada naskah Purana Bali, disebutkan bahwa Danau Batur adalah Kahyangan Betari Uma, Danau Buyan adalah Kahyangan Betari Gangga, Danau Beratan merupakan Kahyangan Betari Laksmi dan Danau Tamblingan adalah Kahyangan Betari Sri.

Kata Kunci: Hulu Danau, Peradaban Air, Agama Tirta, Amertha.

 

 Selengkapnya dapat unduh disini

Ilustrasi Penari Pada Design Clothing Handmad Bali

 

Kiriman : Dewa Nyoman Bayu Pramana (Mahasiswa Program Pascasarjana (S2) Institut Seni Indonsia Denpasar)

Abstrak

Datangnya era globalisasi membuat masyarakat harus bersiap-siap menerima segala pengaruh yang datang dari luar. Sikap dan pola pikir yang benar menjadi kunci agar tidak tergerus oleh pengaruh arus  globalisasi. Namun sikap dan pola pikir yang menerima, akan mengakibatkan perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan globalisasi tidak hanya menyentuh satu aspek, namun semua aspek. Perubahan itu bisa terjadi pada segala bidang, seperti kesenian. Pengaruh globalisasi pada kesenian tradisional dapat terlihat dari minat kawula muda di Indonesia lebih memilih dan mengikuti budaya luar. Melihat hal itu, Handmade Bali yang bergerak di bidang clothing membuat gagasan mengenai pengaruh ini, dengan menyikapinya melalui desain yang bernuansa budaya Bali.

Kata kunci: Globalisasi, Budaya tradisional, Minat remaja, Desain

 

 Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...