Melihat Pegayaman, Merayakan Perbedaan

Kiriman : I Nyoman Payuyasa (Dosen PS Film dan Televisi FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Indonesia dikenal karena keragamannya. Hal ini juga membuat Indonesia rentan konflik. Aneka ragam akulturasi budaya di desa Pegayaman, Buleleng, membangkitkan rasa optimis bahwa Indonesia masih mencintai kedamaian, nilai toleransi di tengah perbedaan yang begitu besar. Kehidupan di desa ini tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Harmonisasi kepaduan dua perbedaan ini nampak pada berbagai tataran kehidupan, mulai dari bahasa, sistem berbagi, dan penghormatan atau penghargaan atas perayaan hari-hari besar. Akulturasi ini merupakan suatu keindahan yang tak ternilai harganya. Perbedaan bukanlah hal yang harus diperdebatkan, melainkan dikombinasikan untuk dapat menciptakan keharmonisan. Pegayaman memberikan contoh yang patut ditiru guna merayakan perbedaan dengan kebahagiaan dan kehangatan.

Kata Kunci : Akulturasi, Toleransi, Keharmonisan.

Selengkapnya dapat unduh disini

 

Kartun Konpopilan, Kartun Untuk ‘Orang Pintar’

Kiriman : I Wayan Nuriarta (Dosen Desain Komunikasi Visual FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Kartun Konpopilan adalah kartun yang hadir setiap hari Minggu di Koran Kompas. Kehadirannya selalu membuat pembaca harus berpikir sebelum mendapat kepuasan dalam humor, karena kartun ini tidak pernah menyampaikan pesan dengan kata-kata melainkan hanya menggunakan visual atau gambar saja.  Konpopilan hadir dengan rangkaian peristiwa dalam tiap panilnya. Agar lebih jelas bagaimana humor itu disampaikan maka perlu dibaca atau dibedah bagaimana Ade sebagai sang karunis menghadirkan visual kartun Konpopilan. Salah satu karyanya adalah kartun Konpopilan 11 September 2016. Tiap panilnya akan dibahas secara deskriptif dengan menggunakan teori keganjilan untuk mendapatkan humor. Pada panil satu digambarkan suasana perkenalan peserta dan persiapan peserta pertandingan catur. Panil dua menggambarkan situasi pertandingan catur antara satwa kuda dengan satwa buaya yang baru dimulai. Pada panil tiga menunjukan manusia bercaping dan satwa kuda dengan ekspresi gembira, senang dan bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresi satwa buaya yang bengong, kaget, lesu. Panil empat menunjukan manusia bercaping dan satwa kuda kadet, lantaran satwa buaya memainkan biji catur berbentuk buaya yang ditempatkan berhadapan dengan biji catur kuda. Satwa buaya menunjukan keganjilan pada panil ini. Ganjil karena menghadirkan elemen kejutan, terjadi taknyambung atau benturan antara tanggapan indra yang dipikirkan dengan kenyataan yang ditemui. Humor yang dihadirkan bisa didapat dengan cara mengupas atau membedah tiap visual pada tiap panil. Maka tidak salah jika kartun konpopilan kemudian disebut sebagai kartun untuk ‘orang pintar’.

Kata Kunci: Kartun, Konpopilan, Humor 

 Selengkapnya dapat unduh disini

Fenomena Sensor Dan Perspektifnya

Kiriman : I Nyoman Payuyasa (Dosen Prodi Film dan Televisi FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Media televisi dewasa ini memiliki sifat yang demokratis dengan kebebasan berekspresi, memerlukan semacam penata atau pengatur kode etik, baik itu secara konten ataupun kemasan. Media televisi memiliki tanggung jawab yang tidak hanya sebatas menyuguhkan tayangan hiburan semata, tetapi juga harus memperhatikan konten yang edukatif. Beranekaragam pendapat bermunculan dari publik yang merasa resah dengan fenomena sensor yang dianggap kebablasan. Sensor yang dilakukan ini memang berdasarkan acuan pengaburan. Stasiun televisi dilarang menampilkan tayangan dengan menunjukkan bagian tubuh tertentu yang dinilai terlalu dewasa untuk disiarkan. KPI sebagai lembaga induk yang mengatur sepenuhnya terkait rambu-rambu tayangan acara televisi, perlu melakukan kajian ulang terhadap materi-materi yang wajib disensor. Hal-hal berkaitan dengan penyamaan interpretasi, kebijakan jam tayang, dan mengkritisi konten dan gambar acara secara utuh, rasanya perlu dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut atas keluhan yang diutarakan masyarakat.

Kata Kunci : Televisi, Sensor, KPI

Selengkapnya dapat unduh disini

HUT RI KE-71 Dalam Kartun Oom Pasikom

Kiriman : I Wayan Nuriarta (Dosen PS DKV FSRD ISI Denpasar) 

Abstrak

Pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-71 tahun ini, ada pertanyaan penting yang patut dikemukakan yaitu apa yang sudah dicapai bangsa ini, apa yang perlu dipertahankan dan apa yang perlu segera diperbaiki atau diselesaikan. Kehadiran kartun Oom Pasikom pada hari Sabtu, 20 Agustus 2016 menjadi penting untuk dicermati ditengah-tengah kegembiraan perayaantersebut, karena ada paradoks yang dihadirkan terkait kondisi Indonesia hari ini. Merunut dari sejarah bangsa, Indonesia telah merdeka sejak 71 tahun yang lalu dari penjajahan Belanda. Bangsa ini telah merdeka, bebas menentukan tujuannya untuk mensejahterakan rakyat. Namun pada kenyataannya tujuan itu masih belum berjalan sepenuhnya, karena rakyat Indonesia masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan. Kondisi itu digambarkan dalam kartun Oom Pasikom yang hadir di harian kompas pada rubrik opini. Sebagai sang kartunis, GM Sudarta sangat cerdas memainkan teks visual menjadi sebuah kartun yang sangat menarik. Dengan goresan hitam putih,karya kartun Oom Pasikom hadir sebagai autokritik yang melihat terjadi ketimpangan yang sangat tinggi antara rakyat biasa dengan para pejabat/ orang-orang berdasi. Yang miskin sepertinya semakin miskin dan sebaliknya yang kaya semakin kaya. Melalui momentum HUT RI ke-71 ini tentu semua rakyat Indonesia berharap agar para pemangku kebijakan/pejabat/orang-orang berdasi mampu untuk mewujudkan upaya mensejahterakan rakyat secara merata sesuai dengan tujuan kemerdekaan.

Kata Kunci: Kartun Oom Pasikom, Kemerdekaan, Republik Indonesia.

Selengkapnya dapat unduh disini

110 Tahun Puputan Badung: Merangkai Dokumen Arsitektur Puri Denpasar

Kiriman : I Gede Mugi Raharja (Program Studi Desain Interior FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Pada 20 September 2016, peristiwa puputan Badung sudah berlangsung 110 tahun yang lalu. Bagi rakyat Kerajaan Badung, puputan Badung merupakan sebuah peristiwa heroik untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedaulatan sampai titik darah penghabisan. Akan tetapi, pasukan ekspedisi militer Belanda menilai bahwa peristiwa puputan Badung terjadi karena perintah raja yang tidak baik, raja yang mabuk akibat pengaruh minuman keras. Setelah peristiwa puputan Badung, pusat pemerintahan Kerajaan Badung di Puri Denpasar diduduki Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagian lokasi puri dijadikan kantor, rumah pejabat pemerintah kolonial dan hotel, sehingga sisa bangunan Puri Denpasar tidak ada lagi. Untuk kepentingan studi arsitektur puri di Bali, sangat penting merangkai dokumen Puri Denpasar, untuk memperkaya pengetahuan tentang pola-pola ruang dan bentuk bangunan puri di Bali. Berdasarkan laporan tentang kerajaan-kerajaan di Bali yang dibukukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia pada 1906, dapat diketahui tentang peta Kota Denpasar dan sketsa denah Puri Denpasar, serta sebagian bentuk bangunannya. Rincian nama bangunannya dapat diketahui dari Kidung Puputan Badung karya A.A. Alit Konta. Lokasi puri Denpasar, kini ada di antara Jalan Surapati, Veteran, Durian dan Kaliasem. Kompleks Puri Denpasar, dimulai dari pembangunan taman peristirahatan oleh I Gusti Ngurah Gede Oka, yang letaknya di Utara pasar-sore, sehingga taman ini kemudian disebut Taman Denpasar. Setelah I Gusti Ngurah Gede Oka meninggal, pembangunan Taman Denpasar dilanjutkan oleh putranya, I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada 1788, dengan mendirikan beberapa bangunan, yang kemudian menjadi Puri Denpasar. Puri inilah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Badung. I Gusti Ngurah Made Pemecutan kemudian dikenal sebagai pendiri Puri Denpasar.

Kata Kunci: Puputan, Heroik, Arsitektur, Taman, Puri.

Selengkapnya dapat unduh disini

Istana Presiden Tampaksiring Bali Rancangan Arsitektur Bercorak Nasional

Kiriman : I Gede Mugi Raharja (Dosen Prodi Desain Interior FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Istana Presiden Tampaksiring merupakan Istana Presiden yang dibangun pada masa kemerdekaan. Desainnya bercorak Nasional dengan sedikit sentuhan estetika arsitektur tradisional Bali, dirancang oleh arsitek R.M. Soedarsono. Area istana, sebelumnya merupakan pesanggrahan Kerajaan Tampaksiring. Lokasi ini disukai Presiden Sukarno, karena udaranya sejuk. Setelah diijinkan membangun istana, barulah sejak 1957 dibangun Istana Presiden secara bertahap sampai 1963. Bangunan pertama adalah Wisma Merdeka untuk presiden dan keluarga, disusul Gedung Pameran dan Wisma Negara untuk tamu-tamu Negara. Di antara kedua wisma ini dibangun Jembatan Persahabatan yang dibangun di atas celah tebing. Selanjutnya dibangun Wisma Yudhistira untuk para menteri dan pejabat tinggi negara, serta Wisma Bima untuk para pengawal dan petugas keamanan. Terakhir dibangun wantilan atau pendapa. Yang paling menonjol pada Istana Tampaksiring adalah lansekapnya yang luas dapat mengimbangi unit-unit bangunannya yang terpisah-pisah. Rancangan Istana Presiden Tampaksiring juga mempertimbangkan rakyat. Sehingga masyarakat sekitar leluasa melewati istana melalui jalan setapak saat akan mengambil air, mandi atau bersembahyang ke Pura Tirta Empul. Renovasi yang dilakukan pada 2003, dimaksudkan agar Istana Tampaksiring sesuai dengan perkembangan zaman, agar setara dengan hotel berbintang lima.

Kata Kunci: Pesanggrahan, Corak Nasional, Rakyat, Renovasi, Bintang lima.

Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...