Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010

Pada tahun anggaran 2010, ISI Denpasar  kembali menyelenggarakan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) bagi mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan. Mulai tahun 2009 Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) untuk dilaksanakan dan dikembangkan oleh perguruan tinggi.

Pengertian Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahaan adalah suatu proses kreativitas dan inovasi yang mempunyai resiko tinggi untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendatangkan kemakmuran bagi wirausahawan.  Kewirausahaan itu dapat dipelajari walaupun ada juga orang-orang tertentu yang mempunyai bakat dalam hal kewirausahaan.  Strategi pendidikan yang diwujudkan dalam PMW bertujuan membentuk soft skill agar berperilaku sesuai karakter wirausaha.

Pada tahun 2009 ISI Denpasar telah menye-lenggarakan PMW,  menetapkan 88 orang mahasiswa peserta PMW dengan jumlah proposal rencana bisnis 34 judul (mandiri dan berkelompok), modal kerja yang dialokasikan sebesar Rp. 7.900.000,- (tujuh juta sembilan ratus ribu rupiah) per mahasiswa.

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010, selengkapnya.

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang

Oleh I Wayan Mudana, diterbitkan dalam Jurnal Mudra Edisi September 2007

Pengaruh pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat Bali dapat dilihat dari berbagai kreativitas seni yang dilakukan oleh masyarakat, sistem organisasi kemasyarakatan yang dijalankan, serta karakteristik atau prilaku masyarakat Bali yang merupakan unsur utama ke Baliannya. Dari unsur seni budaya, pariwisata dapat mendorong masyarakat untuk menghidupkan kembali seni kebudayan asli yang sudah hampir terlupakan, dapat menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, serta dapat menumbuhkan kreativitas seni masyarakat yang dapat memperkaya kasanah budaya Bali. Namun disayangkan kebanyakan motivasi mereka lebih pada komersialisasi, sehingga sering mengakibatkan terjadinya provanisasi benda-benda seni yang bersifat sakral dan tempat suci yang sering mendapatkan sorotan masyarakat banyak. Dari aspek keorganisasian, pariwisata dapat memperkokoh organisasi tradisional seperti banjar, desa pakraman, subak yang merupakan identitas masyarakat Bali yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Sedangkan dari aspek prilaku dan pola hidup yang sering digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai kebaliannya masyarakat Bali sudah adanya tedensi pergeseran, namun secara umum masyarakat Bali masih bisa mempertahankan karakteristik prilaku sebagai masyarakat Bali.

Khusus mengenai eksistensi seni budaya yang merupakan hasil karya masyarakat Bali asli yang belum dipengaruhi budaya asing (luar) yang sering diidentifikasikan sebagai budaya tradisional yang mencerminkan identitas warna lokal (budaya lokal) Dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap budaya lokal maka dalam penelitian ini akan diteliti tentang salah satu unsur seni budaya yang berupa karya seni patung yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Silakarang, Singapadu Kaler, Sukawati, Gianyar. Lokasi ini merupakan jalur pariwisata yang sering dilewati bahkan dikunjungi oleh wisatawan yang membeli dan memesan patung. Sering sekali patung yang dipesan oleh wisatawan sesuai dengan desain yang mereka kehendaki, sehingga eksistensi patung tradisional terancam perkembangannya bahkan dikwatirkan terancam kepunahannya. Apalagi dengan berkembangnya kunjungan wisatawan dari berbagai belahan dunia yang memungkinkan banyak ide atau desain-desain yang bervaraiasi yang mengapresiasi patung tradisional. Sehingga patung yang dihasilkan tidak lagi memberikan warna lokal asli daerah Bali, tetapi lebih pada dominasi budaya wisatawan terhadap budaya lokal.

Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif dan komperatif, yaitu penelitian yang menjelaskan suatu fenomena dan membandingkan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang eksistensi seni patung tradisional akibat adanya pengaruh pariwisata, dan membandingkan antara pendapatan yang diterima oleh masyarakat dari pembuatan patung tradisional (warna lokal) dengan pendapatan yang diterima dari pembuatan patung modern.

Penelitian ini dilakukan di Desa Silakarang yang merupakan jalur menuju kawasan pariwisata Ubud dan mulai dilakukan dari bulan Oktober 2005 sampai bulan Februari 2006. Alasan pengambilan lokasi ini, karena di Desa Silakarang yang 90% masyarakatnya sebagai pematung batu padas dan merupakan daerah pematung pertama di daerah Gianyar, yang sering disebut sebagai sentral seni patung batu padas. Karya-karya seni patung yang dibuat di Silakarang dianggap bisa mewakili eksistensi seni patung tradisional kalau dilihat dari aspek bentuk, fungsi dana makna, dan dampak pariwisata dilihat dari aspek estetik, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai jalur wisata yang banyak dilewati oleh para wisatawan, transaksi bisnis antara para wisatawan dengan para pengusaha sangat besar pengaruh pariwisata terhadap eksistensi budaya lokal khusunya seni patung tradisional.

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang, selengkapnya

Apresiasi  Estetika Dan  Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga  Kebertahanan NKRI

Apresiasi Estetika Dan Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga Kebertahanan NKRI

Oleh Ketut Sumadi, diterbitkan dalam jurnal Mudra Edisi September 2007

Indonesia termasuk negara besar di kawasan Asia Tenggara yang terdiri atas ratusan pulau, memiliki beragam etnik (suku) yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak budaya berbeda satu sama lain. Kemajemukan budaya atau multibudaya dalam pandangan Posmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme.  Paham  multikulturalisme diperkirakan diwacanakan pertama kali pada tahun 1960 oleh ahli Sosiologi Kanada, Charles Hobart ketika dilangsungkannya konferensi tentang Dewan Kanada tentang agama Kristen dan Yesus di Winnipeg (Manitoba) Kanada, namun sebagai wacana politik yang resmi berkembang di Kanada tahun 1997 dan di Australia tahun 1977-1978 (Ardhana,2001:3), konsep multikulturalisme ini diterjemahkan Edi Sedyawati sebagai konsep “aneka budaya” (Bagus, 2001:8).

Keunikan dan keanekaragaman kultur masing-masing etnis itu, baik dalam bentuk seni sastra, seni pertunjukkan, seni suara/musik, seni kriya, maupun seni lukis, memiliki estetika yang berbeda pula.. Di Eropa perumusan tentang estetika baru terjadi tahun 1648 oleh Baumgarten, tetapi baru dapat diakui secara umum setelah Immanuel Kant (1724-1804), seorang Filsuf Jerman, memakainya dalam tulisan-tulisan falsafinya (Jelantik, 1994: 15).  Estetika sebagai filsafat keindahan memang berkaitan erat dengan seni (Wurianto, 2006 dalam Suastika, 2006:vii). Mengutif Plato (dalam Sutrisno, 1999;107), Wurianto menguraikan, keindahan dapat ditengarai dari dua hal, yaitu benda-benda/hal-hal indah merupakan kelompok objek yang dilihat, dinikmati dan didengar yang berada di sekeliling manusia. Selain itu keindahan  ada tanpa melekat  dalam dunia objek-objek indera, tetapi berada dalam “the intelligible world”, yaitu dunia nontemporal, nonspesial, tetapi dalam dunia forma yang berisi sari-sari pokok dan abadi dari pengetahuan. Keindahan mengatasi dunia indera, pengalaman, yaitu pengalaman akan keindahan merupakan hal yang khusus, tidak dapat tuntas dideskripsikan, dipaparkan. Sementara itu,  Thomas Aquinas  memberikan syarat-syarat mengenai keindahan dengan ciri: (a) Indah itu sekaligus sempurna, tidak terpecah dan tidak tersamai; (b) Berciri harmoni, selaras, bermakna proporsional; (c) Jelas, terang, dan jernih. Sedangkan G.W.F. Hegel (dalam Woryomartono, 2001:39) menyatakan bahwa letak dan kedudukan karya seni yang dalam hal ini disebut dengan “fina art” adalah usaha dan manifestasi dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya.

Dalam perspektif kajian budaya (culture study) di Indonesia, masing-masing  kultur etnis di Indonesia memiliki estetika yang sarat muatan untuk membangun kehidupan harmonis dan  selaras dalam ranah budaya Nusantara yang bhineka tunggal ika. Karena itu,  tidak berlebihan kiranya, jika kajian pengetahuan tentang estetika dan  etnis multikultur di Indonesia  diharapkan dapat  mengangkat nilai relevansi dan makna dari keragaman budaya tersebut, sehingga akan melahirkan pemahaman tentang seni budaya sebagai  upaya mencegah disharmoni berbangsa dan bernegara, yang pada akhirnya bermuara pada kebertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di sinilah diperlukan adanya kemauan yang tulus dari seluruh etnis di Indonesia untuk melangkah seiring seirama dalam mengapresiasi estetika dalam kandungan budaya yang beragam itu. Konsep  apresiasi sangat dekat dengan penikmatan. Dalam apresiasi terdapat proses yang melibatkan aspek pemahaman, sikap, dan penilaian Pemahaman terkait dengan pengalaman pribadi yang berhubungan dengan ingatan, penerapan, analisis, kemampuan mensintesis dan unsur-unsur kritis. Di tengah gegap gempitanya kreativitas para seniman melahirkan karya-karya seni,  menurut Jelantik (1994:7), pembicaraan tentang estetika menjadi semakin penting, karena  karya seni yang dilahirkan itu tidak bisa lepas dari  rasa kepedulian atas bobot dan mutu estetik, serta  kepedulian atas arah kemana dibawanya kesenian itu.  Oleh karena itu,  wahana yang  besar untuk menumbuhkan  iklim apresiasi estetika itu  adalah melalui bangku pendidikan, baik formal maupun nonformal.

Secara formal pengenalan dan kajian apresiasi estetika diberikan di sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai di Perguruan Tinggi, terlebih pada Perguruan Tinggi Seni seperti di Institut Seni Indonesia (ISI) di seluruh Indonesia, kajian estetika tidak cukup di atas kertas semata, tetapi lebih pada usaha membawa keindahan itu dalam ranah budaya yang mengantar setiap orang menemukan jati dirinya dan kesadaran sebagai warga negara Indonesia yang bersatu serta berdaulat.

Sedangkan secara nonformal, pengenalan dan kajian apresiasi estetika kultural multietnis di Indonesia bisa diberikan lewat  aktivitas berkesenian di bale banjar atau di sanggar-sanggar kesenian yang kini tumbuh subur di tengah masyarakat, seperti yang dilakukan Sanggar Tari “Lokananta” dari Banjar Mukti Singapadu, Sukawati Gianyar (Bali Post,  4 Februari 2007). Pesta Kesenian Bali (PKB) juga bisa menjadi studi kasus menarik, karena selama sebulan berlangsungnya  PKB setiap tahun, banyak menampilkan seniman dari berbagai etnis di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Demikian pula para seniman kini mulai menampilkan karya-karya seni yang menggabungkan berbagai elemen budaya etnis di Indonesia sebagai wujud usaha mereka  membangun semangat kebersamaan dan persatuan bangsa melalui estetika.

Tulisan singkat ini memang dimaksudkan untuk menggugah apresiasi masyarakat terhadap estetika seni multietnis itu dari perspektif kajian budaya dalam rangka mencegah  disharmoni dan menjaga kebertahanan NKRI di tengah krisis multidimensi yang, salah satunya diwarnai dengan terjadinya  konflik  etnis di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini.

Apresiasi  Estetika Dan  Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga  Kebertahanan NKRI, selengkapnya

Peranan Tindak Tutur Dalam Seni Pertunjukan Ketoprak

Oleh Agus Rinto Basuki, diterbitkan dalam Jurnal Mudra edisi September 2007

Ketoprak sebagai salah satu kesenian daerah Jawa Tengah (khususnya), telah mampu mengundang banyak penonton dan pendengar di pelbagai pelosok pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh penampilan ketoprak sebagai ‘teater tradisional’, dapat menggambarkan cerita yang telah berakar, berdasarkan keteladanan yang luhur bangsa Indonesia pada masa silam, dan merupakan refleksi kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa khususnya.

Bahasa yang digunakan dalam ketoprak dapat mengakrabkan situasi dengan masyarakat penonton. Kenyataan ini tampak berbagai pertunjukan, baik melalui panggung, radio, maupun televisi, merupakan salah satu unsur yang memiliki peranan sangat dominan. Oleh karena itu, bahasa ketoprak merupakan repertoar yang sangat menarik untuk diteliti, terutama yang menyangkut penggunaan bahasa, atau dalam kajian ini difokuskan pada segi tindak tutur.

Menurut Austin (dalam Levinson, 1983:236)22 JL. Austin adalah seorang filosof berkebangsaan Inggris, ia merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang dapat dilakukan dengan kata-kata. Pandangannya yang paling mendasar tercermin dalam kuliah-kuliahnya, yang terkumpul menjadi sebuah buku yang diberi judul How to Do Things with Words.

Austin mengamati bahwa tuturan-tuturan itu tidak saja dipakai untuk melaporkan sesuatu kejadian, tetapi dalam hal-hal tertentu, tuturan itu harus diperhitungkan sebagai sebuah pelaksanaan tindakan (actions).

Penelitian ini bertujuan antara lain: a) Mendeskripsikan berbagai bentuk tindak tutur dalam ketoprak, b) Mendeskripsikan beberapa konteks tuturan, dan c) Mengetahui fungsi tindak tutur dalam ketoprak. Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis penelitian ini akan diwujudkan dalam bentuk khasanah teori Seni dan teori Linguistik, khususnya tentang teori tindak tutur yang bertipe kesenian panggung (ketoprak, wayang, ludruk, kentrung, dan sebagainya). Manfaat praktis dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti bidang seni budaya, yang memfokuskan pada masalah kebahasaan. Diharapkan pula, hasil dari penelitian ini dapat menopang pengetahuan para seniman panggung, untuk lebih memperhatikan kaidah-kaidah linguistik (pragmatik), daripada kaidah-kaidah konvensional.

Beberapa teori yang dijadikan ancangan dalam penelitian ini antara lain: a) Semantik dan Pragmatik, b) Konteks, dan c) Pra anggapan, Implikatur dan Inferensi. Semantik berbeda dengan Pragmatik, meskipun keduanya memandang bahasa dari segi makna. Semantik memandang bahasa menurut makna leksikal, yang terpisah dari situasi dan konteks. Dengan kata lain, memandang makna bahasa yang bebas konteks (context independent). Pragmatik memandang makna bahasa menurut pemakainya, yang terikat oleh situasi dan konteks (context dependent). Sehubungan dengan penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pada kajian pragmatik.

Istilah Konteks dipergunakan untuk mengacu pada pemahaman antar tokoh (penutur dengan mitra tutur), tentang pengetahuan, pengalaman, persoalan yang dipraanggapkan, situasi, waktu, tempat, dan peristiwa. Atau dengan kata lain, semua latar belakang yang berkaitan dengan pengetahuan penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, konteks tidak hanya mengacu ungkapan secara verbal sebagai konteks lingual (cotext), tetapi juga mengacu pada beberapa hal yang ada di luar bahasa, sebagai konteks non lingual (context).

Makna pragmatik sebuah tuturan tidak selalu didapatkan dari tuturan yang sungguh-sungguh disampaikan oleh penutur. Dengan kata lain, makna yang tersurat dalam sebuah tuturan, tidaklah selalu sama dengan makna yang tersirat. Makna yang tersirat akan dapat diperoleh dengan mencermati konteks yang menyertai munculnya tuturan itu. Untuk dapat memahami sebuah konteks, diperlukan piranti yang berupa teori, yaitu ; Pra anggapan, Implikatur, dan Inferensi.

Secara umum, penutur selalu merancang pesan-pesan bahasanya berdasarkan asumsi-asumsi, yang sudah diketahui oleh mitra tutur. Tentu saja asumsi itu dapat salah, tetapi asumsi-asumsi itu mendasari banyak hal dalam penggunaan bahasa. Apa yang diasumsikan oleh penutur, sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui oleh mitra tutur, dapat disebut sebagai pra anggapan (presupposition).

Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang sebenarnya, bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut, dan bukan pula merupakan konskwensi logis dari tuturan itu, itulah yang disebut dengan implikatur.

Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh mitra tutur, karena dia tidak tahu apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh penutur. Karena jalan pikiran penutur berbeda dengan mitra tutur, akan memungkinkan kesimpulan mitra tutur meleset, atau bahkan salah sama sekali. Apabila hal ini terjadi, maka mitra tutur harus membuat inferensi lagi. Dalam hal ini Gumperz (dalam Kartomihardjo, 1993:31) menganjurkan untuk lebih banyak menggunakan kesimpulan yang bersifat pragmatik, dan bukannya yang logis saja.

Peranan  Tindak  Tutur Dalam  Seni  Pertunjukan  Ketoprak Selengkapnya

Makna Simbolik Tabu Pertunjukan Wayang Kulit Di Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah

Makna Simbolik Tabu Pertunjukan Wayang Kulit Di Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah

Oleh Sugeng Priyadi, di terbitkan dalam jurnal Mudra edisi Januari 2007

Nakula (Wayang Bali)Tabu pertunjukan wayang kulit di perdesaan Purbalingga, Karesidenan Banyumas banyak ditemukan. Hal itu menjadi mitos yang identik dengan daerah aliran Sungai Serayu-Klawing-Pekacangan. Oleh masyarakat setempat mitos wayang dipercaya sungguh-sungguh terjadi  di DAS Serayu yang selalu terkait dengan keberadaan Dataran Tinggi Dieng yang juga di sana ditemukan gugusan percandian yang dikaitkan dengan mitos wayang, bahkan perang Baratayuda pun terjadi di daerah Karesidenan Banyumas sehingga lakon Baratayuda disakralkan dan selanjutnya ditabukan oleh masyarakat lokal.

Tulisan ini merupakan sebagian dari hasil penelitian tabu pertunjukan wayang kulit di perdesaan Purbalingga yang ditempuh dengan metode folklor (wawancara, klasifikasi, dan verifikasi) (Danandjaja,1985:1-21) dan metode sejarah (heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi) (Notosusanto, 1978:35-43). Metode folklor ditempuh dengan pertimbangan karena sumber data berbentuk folklor lisan yang diwariskan oleh masyarakat setempat. Selanjutnya, bahan-bahan folklor dipakai sebagai sumber sejarah, khususnya dalam rangka penulisan sejarah kebudayaan  (Kartodirdjo, 1986) di tingkat lokal.

Perang Baratayuda dengan segala kekerasannya telah memakan korban yang cukup besar. Tidak hanya para prajurit dan pengikut kedua belah pihak yang bertikai, tetapi juga  yang paling tragis adalah keluarga Kurawa yang tumpas atau habis tanpa tersisa.

Tokoh-tokoh yang menjadi korban Baratayuda, baik ketika perang belum dimulai, ketika peristiwa itu berlangsung, maupun ketika Baratayuda telah usai, memakan korban yang menyedihkan. Meskipun lima orang Pandawa lolos dari kematian, tetapi mereka banyak kehilangan sanak-saudara dan anak-anak mereka. Babak I yang menjadi korban adalah Kalabendana yang terbunuh oleh Gatotkaca karena ia membocorkan Abimanyu yang kawin dengan putri Wirata, Dewi Uttari, kepada Siti Sundari. Karena marah, Gatotkaca menjadi mata gelap dan membunuh pamannya sendiri. Babak II korbannya adalah Antareja yang sudah siap turun laga, tetapi ia tidak mempunyai musuh. Para dewa sebenarnya sudah menetapkan bahwa Antareja akan dihadapkan dengan Baladewa. Namun, Kresna meminta ketetapan itu dibatalkan, maka dewa menyuruh Kresna untuk menyingkirkan mereka berdua. Prabu Baladewa disingkirkan ke Grojogan Sewu untuk melakukan tapa, sedangkan Antareja menjilat bekas telapak kakinya sendiri tanpa disadarinya hingga tewas. Babak III korbannya meliputi Drestarastra dan Dewi Gendari, serta Wisanggeni. Kedua orang tua Kurawa itu tewas karena Kresna melakukan tiwikrama sehingga ada tembok yang roboh dan menimpa Drestarastra dan Dewi Gendari. Kematian kedua orang tua Kurawa itu murni versi Jawa karena pada versi Mahabharata, Dewi Gendari ketika Perang Baratayuda berakhir ia mengutuk Kresna akan mengalami kematian yang sangat mengerikan dan keluarga Yadawa tumpas seperti Kurawa. Sementara itu, Wisanggeni berpulang ke alam keabadian dengan penuh kesadaran karena ia dinasihatkan oleh Sang Hyang Wenang. Jika Wisanggeni terlibat pada Perang Baratayuda, maka Pandawa akan menemui kekalahan, sebaliknya jika ia tidak terlibat, maka Pandawa akan memperoleh kemenangan. Babak IV yang jatuh sebagai korban adalah Bambang Irawan (terbunuh ketika akan bergabung dengan keluarga Pandawa), Utara dan Wratsangka (senapati Pandawa yang pertama-tama gugur), Rukmarata (putra mahkota Mandaraka), Resi Seta (senapati Pandawa), dan Resi Bisma (senapati Kurawa). Babak V mengisahkan tewasnya senapati Kurawa yang meliputi Prabu Bogadenta, Kertipeya, dan Murdaningsih, sedangkan dari pihak keluarga Pandawa, Antasena juga kembali ke alam keabadian yang kasusnya tidak berbeda dengan Wisanggeni. Pada Babak VI, banyak korban yang jatuh, baik dari pihak Kurawa maupun Pandawa. Korban pihak Kurawa meliputi Prabu Gardapati, Prabu Wresaya, Sarojakusuma (Sarojabinangun atau Lesmana Mandrakumara, putra mahkota Astina), Wisakusuma (putra Jayajatra), dan Jayajatra. Korban pihak Pandawa adalah anak-anak Arjuna, yaitu Abmanyu, Bambang Wilugangga, Sumitra, Gandawerdaya, Gandakusuma, dan Prabakusuma. Khusus Abimanyu, ia adalah korban yang jatuh paling menyedihkan karena lukanya arang kranjang atau seluruh tubuhnya terluka oleh senjata. Lakon yang menggambarkan kematian Abimanyu dianggap sebagai kisah yang paling pedih daripada babak-babak Baratayuda yang lain (Anderson, 2000:81). Babak VII korbannya berasal dari pihak Kurawa, yaitu Nara-nurwenda, Prabu Pratipa, Windandini, dan Burisrawa. Pada Babak VIII, Kurawa kehilangan Bagawan Krepa (yang terbunuh oleh Adipati Karna akibat perselisihan yang terjadi di antara mereka), Wikata, Wikatatleng, dan Dursasana. Kematian Dursasana oleh Werkudara itu sebagai akibat perilaku kurang ajar Dursasana terhadap Drupadi sehingga Werkudara berjanji akan mencincang Dursasana (Ibid., p. 102). Babak IX yang jatuh sebagai korban adalah dari pihak Kurawa, yaitu Durgandasena, Durtajayarata, dan Adipati Karna. Korban yang lain adalah Senjaya (putra Yama-widura) yang memihak Pandawa. Babak X merupakan babak yang menentukan karena babak ini dianggap sebagai babak akhir Perang Baratayuda. Babak ini menceritakan semua korban jatuh dari pihak Kurawa yang dimulai oleh Premeya, Pandita Durna, Prabu Salya, Antisura dan Surabasah (anak Sengkuni), Sengkuni, dan ditutup oleh kematian Duryudana di tangan Werkudara. Dua babak berikutnya adalah babak yang menceritakan pascaperang, tetapi kedua babak itu tidak terlepas dari peristiwa kekerasan. Babak XI yang jatuh sebagai korban adalah keluarga Pandawa yang meliputi Dewi Srikandi, Dewi Wara Sumbadra, Arya Setyaki, Trustajumna, Pancawala, Banowati, Kartamarma, dan Aswatama. Dua orang korban yang terakhir adalah orang-orang yang membuat kerusuhan, khususnya Aswatama yang berusaha menuntut balas atas kematian ayahnya (Zaehner, 1992:132), sedangkan Babak XII yang menjadi korban adalah Sencaka, Prabu Wesiaji (anak Brajamusti), dan Resi Jaladara (Prabu Baladewa). Korban-korban yang jatuh pada masa pasca-Baratayuda merupakan efek kekerasan yang ditimbulkan oleh peristiwa sebelumnya. Kekerasan Baratayuda tidak sendirinya padam dengan usainya perang tersebut (Nugroho, 2001:73-83) sebagaimana yang telah dikatakan oleh Geertz (1989:361) bahwa konflik Pandawa melawan Kurawa merupakan konflik yang tidak kunjung berakhir meskipun tampaknya akan diakhiri dengan perang Baratayuda (suatu lakon yang jarang dimainkan di Jawa).

Makna Simbolik Tabu Pertunjukan Wayang Kulit Di Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, selengkapnya

Tata  Busana  Adat  Bali  Aga  Desa Tenganan Pagringsingan  Dan  Desa  Asak  Karangasem

Tata Busana Adat Bali Aga Desa Tenganan Pagringsingan Dan Desa Asak Karangasem

Oleh: I Ketut Darsana, Tulisan dimuat dalam Mudra edisi September 2007

Tenganan (Foto: Arba Wirawan)Tata Busana sebagai salah satu aspek yang sangat esensial dalam kehidupan manusia dan dapat memberikan wahana prilaku manusia untuk dapat menunjukkan jati dirinya. Dari busana tercermin suatu identitas diri sebagai manusia individual, manusia dari suatu negara dan manusia yang memiliki pranata sosial yang lebih tinggi. Keanekaragaman dalam tata busana adat di Indonesia tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh adanya kesatuan bahasa dan agama.

Tata busana adat Bali tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusianya karena dia berkembang sejalan dengan dinamika manusia dan kebudayaannya. Ini berarti perubahan aspek sosial budaya yang sangat cepat akan mempengaruhi pula norma-norma dan tata busana adat yang berlaku di masyarakat. Tetapi meskipun sesuatu adat istiadat mengalami perubahan dan perkembangan, di dalamnya akan tetap kita jumpai unsur-unsur yang konstan. Unsur-unsur yang konstan, tetap memelihara kesinambungan atau kontinuitas antara masa lampau dan sekarang, antara sekarang dan yang akan datang. Andaikata unsur-unsur yang konstan ini tidak ada, maka sudah tentu generasi sekarang tidak perlu dan tidak akan dapat mengerti generasi yang mendahuluinya

Adanya proses globalisasi, informasi serta pesatnya perkembangan industri pariwisata, menyebabkan masyarakat Bali tidak lepas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan luar. Pengaruh kebudayaan luar tersebut akan membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam berbagai kehidupan masyarakat Bali. Termasuk juga di dalam tata busana adat Bali. Industri pariwisata telah memberikan dampak terhadap kebudayaan Bali dalam katagori positif dan negatif. Secara positif, masyarakat Bali memperoleh manfaat ekonomi serta kebudayaan Bali dirangsang secara lebih progresif. Secara negatif unsur-unsur kebudayaan tertentu untuk konsumsi wisatawan terlibat ke produksi masa, komersialisasi dan orientasi materialisme. Oleh karena itu antisipasi terhadap pengaruh negatif seperti tersebut di atas perlu lebih dini dipikirkan, karena tidak diinginkan timbulnya suatu generasi kita sampai tercabut dari akar budaya dan tata nilai budaya Bali. Usaha yang kongkret yang dapat dilakukan adalah dengan penggalian, pengkajian, pendalaman serta memahami norma-norma, adat istiadat termasuk juga tata busana adat yang diwariskan dalam masyarakat Bali.

Begitu pula halnya dalam tari Bali pada mulanya penari memakai busana atau pakaian sesuai dengan apa yang ada pada saat itu sedang dipakai. Perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu unsur dalam tari, maka pakaian atau busananya diatur dan ditata sesuai dengan kebutuhan tari tersebut. Busana (kostum) untuk tari-tarian tradisional memang harus dipertahankan. Namun demikian, apabila ada bagian-bagiannya yang kurang menguntungkan dari segi pertunjukan, harus ada pemikiran lebih lanjut. Pada prinsipnya busana (kostum)  tersebut harus enak dipakai, tidak meng-ganggu gerak tari, menarik dan sedap dilihat penonton. Bila perlu murah harganya dan mudah didapat. Pada tata busana tari-tarian tradisional yang harus dipertahankan adalah desain dan warna simbolisnya. Secara umum hanya warna-warna tertentu saja yang bersifat teatrikal dan mempunyai sentuhan emosional tertentu pula. Di Indonesia pada umumnya merah memiliki arti simbolis berani, agresif atau aktif. Biru memiliki kesan teatrikal tentram. Hitam memberi kesan kebijaksanaan. Warna teatrikal lainnya adalah kuning yang memiliki kesan penuh kegembiraan dan putih memiliki kesan muda atau suci. Sekarang ini para koreografer mulai mencoba membuat desain busana (kostum) tari yang bukan saja berasal dari wayang kulit Bali dan drama tari yang lain, melainkan juga diambil dari busana tradisional “Bali Aga”.

Selain beberapa hal yang sudah diutarakan di atas, tata busana dalam seni pertunjukan juga berguna untuk mempertegas fungsi dramatik atau fungsi ekspresif dari setiap peran. Fungsi ekspresif  ini terlihat dalam penggambaran rasa sedih, ungkapan kemarahan dan lain-lain yang terkait dengan memainkan bagian-bagian tertentu dari tata busana yang dipakai oleh peran bersangkutan. Sementara diketahui penulis, tulisan-tulisan tentang busana adat Bali baru sebatas busana pengantin adat Bali dengan klasifikasi nista, madya, dan utama, serta busana Pitra Yadnya.

Tata  Busana  Adat  Bali  Aga  Desa Tenganan Pagringsingan  Dan  Desa  Asak  Karangasem, selengkapnya:

Loading...