by admin | Jan 20, 2010 | Artikel, Berita, pengumuman
By: I Made Marjaya
Art is one of seven culture elements that show the identity of a nation because it has special characteristic which is bringing an unique experience that improve by its own and stay save inside the artist that create it (Soedarso, 1990:63)
An art is also the ancestor’s idea, sense and intention results which are inherited from generation to generation since the human civilization exist. Balinese art that inspired by Hindu always improves in accordance to the development of the society that supports it. An art is created to keep the balance of live based on Hindu, and also convinced has power to attract every one to enjoy it. The basic power in conducting art thing is beauty or known as ethics. Every creation of art is always base on ethics (act value), logic (truth value), and aesthetics (beauty value). Also in creating an art thing must fulfill three elements which are satwam (truth), siwam (greatness) and sundaram (beauty).
Art is the expression of human soul which implemented in art form which are classified into four main groups which are art of performing, fine art, art of media recording and art of literature. The art of performing has meaning an art that the expression conducted by performing acts because the art moves on space and time. That is way it called only temporary art, an art that is not durable and gone when the art has already been performed. An art of performing covers art of dancing, art of music, martial art and art of drama. Fine art has meaning an art that the expression fall into two or three dimensions, and the art form has a visualization and static characteristic. Fine art included art of painting, sculpture, art of graphic, artistic skill, advertisement art, architecture art and decoration art. Art of media recording is audio-visual art and the realization is the existence of recording art. Media recording art covered film, video and audio computer art. Art of literature is writing work, if compared to other writing work, has various characteristics of superiority like authenticity, artistic, transferred in contents and the expression. Art of literature covers novel, short story, epic, lyrics and also recitation art (Bandem, 1996:1)
An art also has wide and limited meaning. In wide meaning it is an art that related to the human skill such as writing a poem, making shoes, or predict the incoming of sun eclipse. Further more the art in limited meaning is used in a special class of skill includes the product called the fine arts such as art of painting, art of music, art of dancing, shadow play puppetry art, architecture art etc (Marajaya, 2004:11)
For Balinese society, performing an art is a tribute (yadnya), which can be offered to the God (Ida Sanghyang Widi), and for the physical needs, so that through an art a person can be prosperous. Therefore wherever they are and whatever they do, the balance of live concept will always become the main basic. According to the philosophy and logical in prakempa manuscript, the human balance of live concept can be materialized into several dimensions such are:
(1) The human balance of live in single dimension, is the balance of live based on mokshartam jagaddhitaya ca iti dharma philosophy; (2) The human balance of live in dualistic dimension, which is believe of two massive powers like bad and good, night and noon, man and woman, north and south, real and illusion etc; (3) The human balance of live in third dimension, which is believe to the existence of three elements of life such as tri murti, tri loka, tri aksara, tri sakti etc; (4) The human balance of live in fourth dimension, which is believes to the four powers of life such as catur lokapala, catur asrama, catur purusa arta etc; (5) The human balance of live in fifth dimension, which is believes to the existence of five powers of life, panca mahabhuta, panca sradha, panca yadnya etc; (6) The human balance of live in sixth dimension such as sadripu, sad rasa etc; (7) The human balance of live in seventh dimension, which is the human balance of live that believed to the seven conceptions, such as sapta wara, sapta loka etc; (8) The human balance of live in eighth dimension, which is the human’s believe to the eight powers such as asta iswarya; (9) The human balance of live in ninth dimension, is that human must believe with the existence of nine elements in balance such as dewata nawa sanga; (10) The human balance of live in tenth dimension, which is believe to the existence of ten elements in balance such as dasa aksara (Bandem, 1986:11).
Tri Hita Karana A Conception In Conducting Balinese Arts, download.
by admin | Jan 20, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Gede Oka Surya Negara (Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar)
Ujian TA Seni Tari (ilustrasi)
Salah satu dari berjenis-jenis cerita yang di ambil sebagai lakon dalam teater-teater daerah adalah cerita Ramayana. Cerita ini mengisahkan peperangan antara Rama, Raja Ayodya melawan Rahwana, Raja Alengka. Demikian terkenalnya cerita Ramayana ini di Indonesia, sehingga mendorong hati para pujangga dan seniman untuk mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya seni (Bandem, Murgiyanto, 1996 : 34). Bentuk karya seni pertunjukan tradisional Bali yang tetap eksis mengetengahkan epos Ramayana dalam penyajiannya adalah Wayang Wong.
Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat dibeberapa daerah di Indonesia. Di Bali, Wayang Wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan dialog Bahasa Kawi yang selalu menampilkan wiracarita Ramayana (Soedarsono , 2002 : 140).
Di Bali ada dua jenis Wayang Wong yaitu Wayang Wong Parwa dan Wayang Wong Ramayana. Perbedaannya terletak terutama pada dua hal yaitu Wayang Wong Parwa mengambil lakon dari wiracarita Mahabharata, sedangkan Wayang Wong Ramayana mengambil lakon dari wiracarita Ramayana. Semua pelaku (pemegang peran) dalam Wayang Wong Parwa (kecuali panakawan-panakawan) tidak memakai tapel, sedangkan Wayang Wong Ramayana sebalik-nya semua memakai tapel. Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud Wayang Wong di Bali adalah Wayang Wong Ramayana tersebut dan Wayang Wong Parwa disebut Parwa saja (Bandem, 1983 : 147).
Munculnya drama tari Wayang Wong di Bali diperkirakan pada abad XVI (1460-1550) pada jaman Kerajaan Gelgel (Klungkung), yaitu ketika kehidupan kesenian Bali mengalami puncak kejayaannya pada jaman pemerintahan Dalem Watu Renggong (dalam Budi Artha, 2004: 1).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Guru Gede Putu Tirta menyatakan bahwa sekitar abad XVII – XVIII, datang keluarga Sangging, Pande, Sangsi, Jelantik, Arya Wang Bang Pinatih dan Pasek ke Desa Tejakula yang mengawali pembangunan Pura. Kemudian datang pula para seniman yang bernama I Dewa Batan dari Desa Bunutin (Bangli), membawa tari Parwa dan I Gusti Ngurah Made Jelantik dari Desa Blahbatuh (Gianyar) membawa Tari Gambuh. Kedua tokoh inilah yang menciptakan Wayang Wong di Desa Tejakula (wawancara, 2 Februari 2006).
Informasi lainnya didapatkan dari Bendesa I Made Mudana, mengatakan bahwa sekitar abad ke – 17 Masehi, penduduk dari berbagai daerah di Bali datang ke Tejakula karena daerah ini subur, sehingga cocok bagi mereka untuk pertanian. Penduduk pendatang yang ingin menetap di Desa Tejakula, diharuskan mengikuti aturan/syarat-syarat yang telah berlaku, seperti diharuskan menanggalkan kasta, wangsa, atau kebangsawanannya (wawancara, 18 Januari 2007).
Informasi yang didapatkan ini memang benar adanya, terbukti sampai saat sekarang masyarakat Desa Tejakula tidak memakai kasta/ kebangsawanannya dalam nama-namanya yang tertulis baik secara adat maupun administrasi.
Menurut ketua Yayasan Wayang Wong Tejakukus, Bapak I Nyoman Sutaya, pantai Tejakula dahulunya adalah pelabuhan terbesar di Bali, sehingga memberi peluang masuknya para pendatang dari daerah Bangli, Gianyar, Klungkung, Buleleng, dan Karangasem yang masing-masing membawa budaya daerah, sehingga mampu meningkatkan perekonomian dan kesenian di Desa Tejakula. Salah satu keseniannya adalah berupa Wayang Wong yang merupakan pengembangan dari Gambuh dan Parwa, yaitu kesenian sebelumnya yang tidak lagi berkembang di Tejakula sekitar abad ke -18 (wawancara 17 Januari 2007).
Wayang Wong Tejakula Sebagai Sumber Cerita Dalam Karya Anggada Mada, selengkapnya.
by admin | Jan 19, 2010 | Artikel, Berita, pengumuman
Oleh Pande Mustika (Dosen PS Seni Karawitan)
Fungsi Ritual
Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, sebagai salah satu wujud budaya, yang kehadirannya masih didukung oleh masyarakat Bali khususnya masyarakat Desa Pakraman Batur. Berfungsi sebagai persembahan dalam berbagai keperluan pada kehidupan masyarakatnya, yaitu sebagai persembahan untuk keperluan upacara agama khususnya upacara dewa yadnya.
Adapun upacara puja wali yang dapat diiringi barungan gamelan Gong Gede adalah :
Upacara puja wali di Pura Jati dilaksanakan tiga hari sebelum purnama kasa dengan penyajian gamelan Gong Gede yang lebih diistilahkan sebagai tedun terompong.
Upacara puja wali pada purnama karo, merupakan puja wali yang dilaksanakan tepat di depan pelinggih Padmasana di Pura Ulun Danu Batur dengan penyajian gamelan Gong Gede yang komplit atau tedun Trompong, dan lama kegiatan selama tiga hari.
Upacara puja wali pada purnama kelima dilangsungkan tiga hari di Pura Kental Gumi atau di Pura Ulun Danu, dengan disajikan gamelan Gong Gede lengkap atau tedun trompong.
Upacara puja wali pada purnama kaulu dilangsungkan di Pura Ulun Danu selama tiga hari, dengan disajikan gamelan Gong Gede atau tedun terompong.
Upacara puja wali pada purnama kedasa dilangsungkan di Pura Ulun Danu Batur yang merupakan puncak upacara. Menurut Jero Gede Duuran dan Jero Gede Alitan mengatakan upacara ini disebut upacara Bhatara Turun Kabeh yang dilangsungkan selama 11 hari sampai 14 hari dengan penyajian barungan gamelan Gong Gede (tedun trompong) dengan gamelan bebonangan. Pada saat terakhir upacara (penyineban) gamelan Gong Gede turun dari bale gong (tempat penyimpenan) tempat penyajiannya menuju madia mandala untuk mengiringi tarian baris perang-perangan, metiti suara dan menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik.
Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur merupakan bagian integral dari ritual keagamaan yang memiliki ciri-ciri sebagai seni ritual. Pada prinsipnya eksistensi gamelan Gong Gede menunjukkan ciri-ciri seni ritualistik seperti itu. Selain sebagai seni tirual, penyajian gamelan Gong Gede juga pendukung suasana yang dapat dijadikan salah satu ciri (cihna) sedang berlangsungnya upacara keagamaan.
Fungsi Sosial
Dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi sebagai pengemban seni (karawitan), barungan Gong Gede hampir setiap bulan purnama di undang (tuwur) oleh krama yang melaksankan piodalan (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura-pura lainnya) di desa pekraman Batur. Jero gambel yang melaksanakan tugasnya tidak menerima upah dalam bentuk uang (ngayah).
MAKNA GAMELAN GONG GEDE BATUR
Makna gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai ungkapan emosional dari pelaku seni yang diungkapkan lewat bahasa musik mempunyai makna sebagai berikut: makna religius, makna pelestarian budaya, makna keseimbangan.
Makna Religius
Pertunjukan gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai salah satu karya seni, sebagai ungkapan yang dapat dilihat dari penyajian karawitan (tabuh), tidak sekedar sebagai ungkapan estetik tetapi juga mempunyai makna religius. Dalam konteks religius, semua unsur masyarakat terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut dengan ngayah.
Barungan gamelan Gong Gede dalam mengiringi upacara keagamaan (ritual) memiliki makna religius. Penabuh gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebelum melaksanakan tugasnya selalu diperciki Tirta untuk mendapatkan keselamatan.
Makna Pelestarian Budaya
Derasnya aliran informasi dalam era globalisasi terutama di bidang seni (khususnya seni karawitan) membawa dampak positif dan negatif, hal ini mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya yang dimiliki. Kesadaran untuk melestarikan warisan budaya yang luhur (Gong Gede) memberi makna hidup dan rasa kemuliaan. Untuk menghadapi tantangan harus ada kemauan yang murni sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batur.
Makna Keseimbangan
Dalam pelaksanaan upacara tertentu Kehadiran gamelan Gong Gede sudah menjadi kebutuhan. Keterikatan gamelan Gong Gede dengan ritual keagamaan melahirkan perilaku-perilaku sosial yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakatnya.
Barungan gamelan Gong Gede dipandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa kesehimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian Bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula sernangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan. Konsep rwa bhineda oleh seniman Pengrawit dituangkan dalam gamelan Bali (Gong Gede). Hal ini dapat diamati pada sistem pelarasan ngumbang-isep dan instrumen yang berpasangan (lanang wadon).
by admin | Jan 19, 2010 | Artikel, Berita, pengumuman
Oleh Drs. I Made Radiawan, Ap.Des, M.Erg
Dalam sejarah perkembangan ornament Bali sangat berhubungan dengan:
Kakul-kakulan
Aspek kehidupan beragama di Bali, karenanya agama hindu berkaitan dengan budaya yang ada di daerah Bali yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam kehidupan beragama muncul adanya aktivitas-aktivitas dalam kehidupan seperti berkesenian. Aktivitas tersebut adalah dengan adanya upacara yadnya. Pada proses upacara tersebut dibarengi dengan alat-alat upacara diwujudkan yang seindah-indahnya. Sebagai contah dengan dibuatnya sesajen/banten yang seindah-indahnya untuk dihaturkan kepada Tuhan/ Ida Sanghyang Widi Wasa selama upacara tersebut berlangsung. Pada bangunan (pelinggih) yang ada diareal Pura dibuatlah ornament/motip baik itu keketusan, pepatraan dan kekarangan yang beraneka ragam sebagai wujud bakti kepada Ida Sanghyang Widi Wasa.
Aspek benda-benda sejarah, Daerah Bali sangat potensi penemuan benda-benda sejarah. Seperti didesa Pejeng seperti nekara pejeng yang berupa nekara perunggu yang ditempatkan di Pura Penataran Pejeng, nekara terhiasakan ornament tatahan topeng, diperkirakan umurnya 1500 tahun, juga ditemukan relief di Yeh Pulu, Goa Gajah, Gunung Kawi, Patung Dewi di desa Kuteri Blahbatuh, arca dipupr Puseh Batuan, Pura Puncak Penulisan, Pusering Jagat.
Aspek masa pemerintahan raja-raja di Bali, begitu pada masa Bali Age, Bali diperintah oleh para arya dari Majapahit tahun 1343 Masehi. Pusat kerajaan semula di Samplangan Gianyar dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan sebagai Dalem pertama di Bali, dan pindahlah ke Klungkung Dalem Waturenggong sebagai rajanya, berpusatnya kebudayaan dan kesenian berada di kerajaan Gelgel, yaitu di kab Klungkung, terbukti adanya gambar wayang yang tertera di langit-langit bangunan kertagosa. Pada masa kerajaan seniman mengabdi di istana dan mempersembahkan berbagai karya-karya indah yang diterapkan pada bangunan di Pura dan Puri. Kegiatan dalam menghias pada masa kerajaan di Gelgel banyak bidang yang bermunculan yaitu ragam hias tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia. Seniman mempersembahkan ornament pada bangunan Puri seperti dipahatkan pada pintu-pintu, pilar dan tembok bangunan seperti pepatraan, keketusan dan kekarangan (flora fauna).
Pada jaman Kolonial, dapat pengaruh dari luar dengan berbagai motip dan teknik seperti disebutkan patra Olanda, patra Cina dan patra Mesir.
by admin | Jan 18, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Dewa Putu Gede Budiarta
Kesenian Bali sangat erat kaitannya dengan agama sehingga keduanya berjalan selaras, seakan-akan tak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keaatan masyarakat Bali kepada agama dan tradisinya tersebut membuat keseniaan Bali berkembang dengan sangat suburnya. Seni lukis sebagai salah satu cabang kesenian, di samping seni yang lainnya, yang lahir berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan. Lukisaan wayang dengan tema-tema yang diambil dari wiracerita Mahabarata dan Ramayana adalah merupakan sarana upacara agama.
Sejarah kehidupan seni tradisional pada umumnya maupun seni lukis khususnya di Bali telah mulai tampak pada abad ke 13 yaitu pada periode Bali pertengahan. Di Bali seni lukis tradisi yang merupakan salah satu hasil karya seni yang berkembang dengan suburnya, yang didukung oleh alam lingkungannya. Seperti yang disebutkan oleh Jhon Dewey bahwa seni tidak akan dapat hidup dan tidak dapat lepas dari segi-segi kehidupan dalam masyarakat. Di dalam lingkungan itulah seni itu dinikmati (Suparli 1983 : 24 ).
Semenjak daerah Bali dibuka bagi kedatangan orang-orang asing pada permulaan abad ke 20, Seni lukis Bali ternta mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan,baik dalam hal tema maupun bentuk, bahan dan teknik melukis. Seni lukis Bali sebagian telah bergeser dari seni sacral ke seni sekuler,dari seni untuk kepentingan agama ke arah seni untuk kepentingan komersial dan selera pribadi. Hal ini disebabkan adanya pengaruh yang dibawa oleh dua pelukis Barat yang datang ke Bali seperti R. Bonnet dan Walter Spies sehingga terjadilah pembaharuan dalam bidang seni lukis.
Batuan adalah sebuah desa di kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Kehidupan seni lukis tradisional di desa ini tak luput dari pelukis asing, sehingga timbul corak baru di dalam perkembangannya, yang oleh beberapa pengamat seni disebut sebagai “Seni Lukis gaya Batuan“ Seni lukis ini mempunnyai ciri-ciri antara lain: Penggambaran suasana seperti suasana malam, proporsi dan anatomi manusia serta binatang digambarkan secara naïf, yaitu sederhana dan dekoratif, mengunakan perspektif burung terbang, sehingga objek seolah-olah dilhat dari atas, komposisi penuh, temanya berkisar pada cerita pewayangan, cerita rakyat serta kehidupan masyarakat Bali.Semenjak adanya interaksi dan pengaruh dari seniman-seniman asing terhadap seniman Bali khusus Batuan di mulai pada tahun 1930-an telah melahirkan mazab baru yang disebut seni lukis Bali Modern Di sini di dapat keterangan yang lebih jelas tentang lahirnya seni lukis gaya Batuan ,karena dengan tegas dikatakan bahwa sejak saat itulah sebenarnya permulaan seni lukis Bali menemukan bentuknya yang baru. Dari uraian diatas dan ditinjau dari sjarah perkembangannya maka jelaslah seni lukis gaya Batuan bertitik tolak dari seni lukis tradisi wayang yang telah mendapat pengaruh dari pelukis Barat. Pengaruh unsure-unsur kebudayaan asing ditanggapi dengan suatu sikap selektif dan ditunjang dengan kreatif dan ditunjang dengan kreatif. Apabila unsur-unsur kebudayaan asing diserap begitu saja tanpa seleksi maka akan terjadi adalah hilangnya kepribadian bangsa. Dalam seni lukis gaya Batuan unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa oleh kedua pelukis asing berupa pengetahuan tentang anatomi,perspektif,maupun proporsi yang realistis diserap oleh para pelukis Batuan, kemudian digabungkan dengan unsur-unsur seni lukis tradisional yang dekoratif. Walaupun seni lukis di Bali khususnya Batuan sudah kena pengaruh pelukis asing tokoh-tokoh pelukis Batuan seperti I Made Budi masih tetap dengan gayanya yang khas.
Kesenian adalah salah satu unsur dari kebudayaan,kesenian timbul dan merupakan bagian terpenting dari pengalaman manusia dalam mencari,menikmati dan menggagumi keindahan,Bentuk-bentuk keindahan yang braneka ragam ini timbul dari imajinasi kreatif manusia dalam upaya mencapai kepuasan batinnya. Kesenian merupakan ekspresi pengalaman keindahan atau pengalaman estetik manusia. Manusia merasakan pengalaman dalam memandang alam, karena alam dihayati sebagai penjelmaan dari ide keindahan, sehingga menjadi symbol dari keindahan itu sendiri. Akan tetapi dalam penjelmaan estetik manusia tidak membedakan antara symbol dan yang disimbolkan karena dalam pengalaman estetik antara symbol dan yang disimbolkan menjadi satu (Suryadiredja 2003: 260). Manusia selalu mencoba untuk memenuhi keinginannnya dalam mencapai kebahagiaan karena itu agar dapat terus menikmati dan hidup dalam keindahan,manusia mengabadikan pengalaman estetisnya dalam bentuk kesenian. Kesenian Bali adalah produk seni hasil intraksi konduksif dan hakiki antara manusia dengan masyarakat Bali serta lingkungannya,yang terdiri atas seniman, dan masyarakat pendukung seni yang dijiwai Agama Hindu.
Dalam lukisan gaya Batuan karya I Made Budi terkandung nilai estetika, kemudian timbul pertanyaan mengapa yang menarik diteliti adalah tentang karya seni lukisnya? Sebelumnya perlu kita ketahui apa yang dimaksud dengan estetika, Estetika berasal dari bahasa Yunani Aiestheton berarti kemampuan melihat lewat penginderaan. Tujuan estetika adalah keindahan, istilah ini baru muncul tahun 1750 oleh A. G. Baungarten (Jakob Sumardjo, 2000:24) Djelantik menyebutkan bahwa ilmu estetika adalah yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan yang mempelajari segala aspek dari apa yang kita sebut “Keindahan“ (Djelantik, 1900:6)
Estetika merupakan cabang ilmu filsafat yang dapat menguraikan tentang pengertian-pengertian dan pemecahan persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang menerangkan tentang benda-benda estetis. Benda-benda estetis cakupannya beraneka ragam seperti seni lukis,maka kajian ini berhubungan dengan nilai-nilai estetis yang terkandung dengan nilai-nilai estetis yang terkandung didalamnya.
Estetika Seni Lukis Gaya Batuan Karya I Made Budi Dalam Perkembangan Seni Lukis Bali, selengkapnya.
by admin | Jan 18, 2010 | Artikel, Berita, pengumuman
Oleh: A.A Gde Bagus Udayana
Fotografi menurut Amir Hamzah Sulaeman mengatakan bahwa fotografi berasal dari kata foto dan grafi yang masing-masing kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut: foto artinya cahaya dan grafi artinya menulis jadi arti fotografi secara keseluruhan adalah menulis dengan bantuan cahaya, atau lebih dikenal dengan menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media kamera dengan bantuan cahaya (1981;94).
Fotografi juga merupakan gambar, fotopun merupakan alat visual efektif yang dapat menvisualkan sesuatu lebih kongkrit dan akurat, dapat mengatasi ruang dan waktu. Sesuatu yang terjadi di tempat lain dapat dilihat oleh orang jauh melalui foto setelah kejadian itu berlalu.
Pada dasarnya tujuan dan hakekat fotografi adalah komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi antara fotografer dengan penikmatnya, yaitu fotografer sebagai pengatar atau perekam peristiwa untuk disajikan kehadapan khalayak ramai melalui media foto.
Fotografi kewartawanan mempunyai daya jangkau yang sangat luas. Dia menyusupi seluruh fase intelektual hidup kita, membawa pengaruh besar atas pemikiran dan pembentukan pendapat publik. Kerja seorang wartawan foto adalah titipan mata dari masyarakat di mana fot yang tersaji adalah benar-benar bersifat jujur dan adil. Fotografi kewartawanan atau jurnalis adalah profesi pekerjaan untuk memperoleh bahan gambar bagi pemakaian editorial dalam surat kabar, majalah serta penerbitan lain. Sedangkan pekerjaannya sendiri memperoleh gambar-gambar yang akan melukiskan berita, memperkuat berita yang ditulis oleh reporter dan menyajikan berita secara visual.
Photo-Journalism menurut Norman, dipahami sebagai mencakup kombinasi gambar-gambar(ilustrasi) dan cerita (story). (1981; 183) fotografi pers merupakan pekerjaan memperoleh bahan gambar-gambar bagi pemakai editorial dalam surat kabar, majalah dan penerbitan lainnya, sudah ada pada pers Indonesia. Pekerjaan press fotographer adalah memperoleh gambar-gambar yang akan melukiskan berita, memperkuat cerita yang ditulis oleh reporter dan menyajikan berita secara visual.
Sesuai dengan sasaran yang esensial dari pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan, yaitu membantu khalayak ramai mengembangkan sikap untuk menghargai apa yang dianggap baik, di samping merangsang kemauan untuk merubah apa yang dianggap kurang baik. Salah satu ciri yang dimiliki para juru foto koran adalah secepatnya disampaikan kehadapan sidang pembaca. Secepatnya berarti sesuai dengan sajian kehangatan peristiwa itu sendiri, sehingga betapa baiknya sebuah photo belumlah punya arti sebagai berita jika hanya disimpan dalam laci atau album.