BAMBU, POHON MUSIKAL PENEDUH SUKMAWI

BAMBU, POHON MUSIKAL PENEDUH SUKMAWI

Salah satu gamelan Bali yang terbuat dari bamboo adalah Jegog. Gamelan ini umumnya dapat dijumpai belahan Bali Barat

Salah satu gamelan Bali yang terbuat dari bamboo adalah Jegog. Gamelan ini umumnya dapat dijumpai belahan Bali Barat

Bambu adalah tumbuh-tumbuhan purba yang paling musikal. Flora jenis rumput raksasa (gramineae) yang telah ada sejak 200.000 tahun SM ini banyak dijadikan alat musik di berbagai belahan dunia. Keindahan tiupan seruling dan puspa warna nada-nada yang dilantunkan si buluh perindu ini telah mengisi kehidupan dan kebudayaan masyarakat, sejak zaman primitif hingga sekarang. Beragam alat musik dari bambu telah tercipta dan diwarisi, termasuk di Bali. Beberapa bentuk alat musik bambu yang ada di Bali, 4-6 Nopember lalu ditampilkan dalam  sebuah Festival Bambu di Bentara Budaya Bali, Sukawati, Gianyar.

Di tanah air kita, bambu sebagai media musikal setidaknya telah dicatat keberadaanya pada abad ke-12. Sastra kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu Panuluh (1130 – 1160) dalam salah satu baitnya menulis: pering bungbang muni kanginan manguluwang yeaken tudungan nyangiring yang terjemahan bebasnya adalah bambu berlubang tertiup angin suaranya merdu meraung-raung bagaikan suara suling. Musik bambu yang dimaksud dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno itu adalah sunari yang hingga kini masih ditemukan di Bali, mengalun sendu di tengah persawahan atau berdesah magis dalam ritual keagamaan besar di pura.

Gambang sebagai salah satu gamelan bambu tua Bali juga telah dilukiskan dalam Candi Penataran di Jawa Timur (abad ke-14 Masehi). Prasasti yang dibuat pada zaman pemerintahan  Anak Wungsu di Bali (1045 Masehi) menyinggung pula tentang  anuling (peniup seruling), yang kemungkinan besar serulingnya terbuat dari bambu. Dua lontar tua tentang gamelan Bali, Aji Gurnita dan Prakempa memposisikan gamelan Gambang  dan Petangyan (gamelan Joged Pingitan) sebagai barungan (set gamelan) bambu yang menjadi representasi budaya dan presentasi estetik masyarakat Bali zaman kerajaan tempo dulu.

Selain memiliki martabat sebagai media ekspresi musikal, bambu di tengah masyarakat Bali, sejak dulu hingga sekarang, menempati posisi sakral-simbolik disamping tentu juga praktis multi fungsi. Dalam konteks sakral religius, ketika hari raya Galungan, sebatang bambu yang dihias janur ditancapkan di depan rumah setiap penduduk sebagai ungkapan syukur kemenangan dharma (kebajikan) atas adharma (kezaliman).  Tiying gading (bambu kuning) secara khusus dipakai properti benda-benda suci keagamaan, dari upacara persembahan kepada Tuhan hingga upacara pembakaran mayat. Karena pentingnya fungsi dan makna bambu tersebut maka masyarakat Bali mengenal dewasa ayu (hari baik) menebang bambu dan mengupacarai segala tanaman pada Tumpek Bubuh, bersiklus 210 hari. Bambu dalam wujudnya sebagai gamelan juga dipersembahnkan sesajen setiap enam bulan sekali pada hari Tumpek Krulut.

Kendati diupacarai begitu takzim, di tengah dinamika kehidupan yang dahsyat dalam era kesejagatan ini, kini seni tradisi pada umumnya mengalami guncangan hebat. Termasuk, beberapa bentuk gamelan bambu seperti Gambang dan Tingklik (gamelan Joged Pingitan) yang semakin langka. Bahkan Terompong Beruk, gamelan yang dulu menjadi bagian dari budaya agraris tradisional itu kini hampir punah. Namun demikian, di sisi lain, hak hidup tumbuhan bambu dan kesanggupannya sebagai wadah berkesenian masih tampak menunjukkan geliatnya. Gamelan Joged Bumbung masih bergairah mengiringi gelinjang para penarinya. Gamelan Gong Suling menguak di tengah gemerincing pariwisata Bali. Gamelan Jegog mendongak hingga ke luar negeri.

Masyarakat Bali memiliki tak kurang dari 25 barung gamelan, delapan hingga 10 ansembel adalah gambelan bambu. Gamelan berbahan logam Gong Kebyar adalah salah satu gamelan Bali yang berkembang sejak tahun 1915 yang kini hampir dapat dijumpai di setiap banjar atau desa di Bali. Namun walaupun eksistensi gamelan bambu kalah jauh dari gebyar-gebyar Gong Kebyar, sejatinya salah satu instrumen yang terbuat dari bambu, seruling atau suling, justru masuk dalam hampir setiap barungan gamelan Bali, sebagai pembawa melodi dan mempermanis lagu. Bahkan salah satu ansambel gamelan Bali, gamelan Gambuh, yang memiliki pengaruh luas terhadap gamelan lainnya, menempatkan beberapa instrumen suling sebagai alat musik terpentingya.

Beberapa bentuk gamelan bambu yang kini masih diwarisi dan diteruskan oleh masing-masing komunitasnya, secara tradisional diklasifikasikan fungsinya sebagai gamelan yang berkaitan dengan ritual adat atau keagamaan dan gamelan bambu yang berfungi sebagai ungkapan seni murni dan hiburan. Gambang misalnya adalah gamelan yang biasanya disajikan saat prosesi upacara agama. Ansembel xylophone bambu yang dimainkan dengan panggul (pemukul gamelan) yang bercabang dua ini kini hanya mampu dimainkan oleh segelintir seniman tua. Penampilannya di tengah upacara keagamaan juga kurang mampu mengusik perhatian hadirin.

Jika Gambang hanya merupakan gamelan bersifat instrumental, gamelan Tingklik dipakai sebagai iringan Joged Pingitan atau Gandrung. Seni pentas yang dulu khusus ditampilkan di kalangan kaum bangsawan pada era feodalisme itu, setelah datangnya para penjajah, membiak melahirkan bentuk-bentuk seni pergaulan seperti  Leko,  Adar, Gudegan, Tongkohan dan lain-lainnya. Kini dua kelompok grup Joged Pingitan atau Gandrung masih mencoba bertahan dengan sanggaan religiusitas masyarakat adat, satu di Ketapian, Denpasar, dan satu lagi di desa Sukawati Gianyar.

Joged Bumbung adalah bentuk tari pergaulan yang merupakan cucu dari Joged Pingitan. Jika Leko, Adar, Gudegan, Tongkohan kini tak jelas keberadaannya, Joged Bumbung berkembang di seluruh Bali dengan kekhasannya masing-masing. Gamelan Joged Bumbung yang juga disebut Rindik selain berfungsi untuk mengiringi tari joged juga dapat berdiri sendiri sebagai sajian musik instrumental. Seperti halnya Gong Suling, gamelan Joged Bumbung terlihat sering dihadirkan memberikan suasana nyaman di hotel atau menemani para wisatawan makan-minum di restauran.

Gamelan bambu yang disebut Jegog dapat dijumpai di kawasan Bali Barat, khususnya di Kabupaten Jembrana. Secara fisik, dibandingkan dengan gamelan Bali lainnya, Jegog tampak megah dan gagah. Tongkrongannya yang mendongak dan kemeriahan cat ukirannya, memunculkan kesan penuh percaya diri. Batangan-batangan bambu besar yang menjadi media utama sumber bunyinya mencuatkan identitas yang agung. Selain menyajikan musik instrumental, belakangan gamelan ini juga dipakai sebagai iringan tari kreasi dan sendratari.

Adalah I Nyoman Rembang, empu karawitan Bali yang berinovasi mengeksplorasi batangan-batangan bambu menjadi media musikal baru pada tahun 1985. Melalui Bumbang, demikian ansembal bambu ciptaannya disebut, Rembang bukan hanya menambah khasanah gamelan bambu  namun juga menggugah para seniman dan masyarakat akan potensi dan riwayat bambu sebagai mediator keindahan seni. Kehadiran Bumbang yang menjelajahi laras pelog dan slendro, bahkan nada-nada pentatonik, juga mempertegas bahwa bambu memang pohon musikal yang meneduhkan sukmawi manusia.

Kadek Suartaya

TARI PENDET MENABUR DOA PERDAMAIAN JAGAT

TARI PENDET MENABUR DOA PERDAMAIAN JAGAT

Tari Pendet

Tari Pendet

Sebuah cipta tari yang disebut Pendet, sejak pertengahan Agustus lalu,  mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Ini gara-gara ditampilkannya salah satu tari kreasi dari Pulau Dewata tersebut dalam iklan pariwisata negeri jiran Malaysia. Promosi Visit Malaysia Year yang sekelebat menghadirkan lenggang gemulai dan senyum manis empat penari Bali itu membuat masyarakat Indonesia gerah. Iklan pariwisata yang disebar gencar secara internasional itu ditengarai sebagai upaya Malaysia mengklaim tari Pendet sebagai seni budayanya sendiri.

Banyak yang beropini pendakuan tari Pendet oleh Malaysia dipicu oleh kepentingan pragmatis-ekonomis, dalam konteks ini industri keparawisataan yang memang dikelola sungguh-sungguh negeri tetangga itu dengan mempromosikan  bangsanya sebagai  Truly Asia. Pendet sebagai salah satu tari Bali yang sudah sangat familiar menyongsong wisatawan mancanegara,  mereka pinjam tanpa permisi untuk pencitraan eksistensi nilai keindahan budaya. Tetapi karena tari Pendet–seperti juga Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, batik yang sebelumnya pernah didaku Malaysia—adalah ekspresi sub kebudayaan Indonesia, tentu saja  ulah dan sepak terjang bangsa serumpun itu tak etis bahkan diteriaki sebagai maling siang bolong.   Hasrat dan agresifitas kapitalisme dunia pariwisata rupanya membuat Malaysia kehilangan urat malu.

Namun isu tari Pendet dalam iklan pariwisata Malaysia itu mampu menggugah bangsa Indonesia, termasuk masyarakat Bali, akan keberadaan seni budayanya. Masyarakat Indonesia kebanyakan sudah mulai benar melafalkan nama tari Bali ini. Masyarakat Bali yang kurang begitu akrab dengan seni tari jadi ingin tahu sosok tari Pendet itu. Nama I Wayan Rindi (almarhum) yang menciptakan tari Pendet pada tahun 1950-an, kini menjadi agak dikenal. Wacana yang mengarah pada kesadaran akan seni budaya bangsa yang muncul dalam representasi media massa terasa begitu hangat dengan semangat sarat kepedulian.

Dalam jagat kepariwisataan Bali, tari Pendet hadir sebagai tari selamat datang. Namun di tengah masyarakat Bali sendiri, tari yang dibawakan secara berkelompok ini belakangan agak jarang disajikan sejak munculnya tari Panyembrama pada tahun 1971. Hingga tahun 1980-an, tari  ciptaan I Wayan Baratha ini lebih sering ditampilkan sebagai tari pembukaan  dalam pagelaran seni pertunjukan komunal bahkan juga dalam seni pentas turistik. Munculnya tari bertema sejenis seperti tari Puspawresti (1981) oleh I Wayan Dibia, Puspanjali dan Sekar Jagat (keduanya karya N.L.N Swasthi Widjaja Bandem), dan tari Selat Segara ciptaan Gusti Ayu Srinatih pada tahun 1990-an semakin menenggelamkan tari Pendet. Lomba-lomba tari Bali pun sangat jarang mengangkat materi tari berdurasi 5-6 menit ini.

Kendati di tanah kelahiraannya tari Pendet agak jarang dipentaskan, di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tari berkarakter wanita ini masih populer di kalangan peminat tari Bali. Di Jakarta misalnya, tari Pendet dijadikan materi wajib dasar oleh sanggar-sanggar tari Bali. Salah satu sanggar tari Bali dibawah Lembaga Kebudayaan Bali Saraswati yang bermarkas di di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sejak tahun 1970-an hingga kini memberikan materi tari Pendet. Bahkan lembaga yang kini dipimpin I Gusti Kompyang Raka itu juga memberikan kesempatan pada peminat tari Bali menabuh gamelan memainkan iringan tari Bali, termasuk iringan tari Pendet.

Sumber inspirasi lahirnya tari Pendet adalah sebuah ritual sakral odalan di pura yang disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet berlangsung setelah pendeta mengumandangkan puja mantranya dan dan seusai pementasan  topeng sidakarya—teater sakral yang secara filosofis melegitimasi upacara keagamaan. Hampir setiap pura besar hingga kecil di Bali disertai dengan aktivitas mamendet. Pada beberapa pura besar seperti Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung itu biasanya secara khusus menampilkan ritus mamendet dengan tari Baris Pendet. Tari ini dibawakan secara berpasangan atau secara masal oleh kaum pria dengan membawakan perlengkapan sesajen dan bunga.

Aktivitas mendet yang secara etimologis berasal dari mendak ( menyambut) itu, penarinya tak selalu dipersiapkan secara khusus, umumnya dapat dibawakan oleh seluruh partisipan, pria-wanita tua dan muda. Ketika gamelan sudah melantunkan gending papendetan, mereka yang ingin ngayah mendet—menari secara tulus–akan bergantian tampil di halaman suci pura, bisa secara solo, berpasangan, atau juga masal. Seorang kakek dapat dengan penuh semangat membawa sesajen dan bunga menari-nari improvisatoris berinteraksi dengan aksen-aksen gamelan. Seorang nenek renta  tak dinyana tiba-tiba bangkit dengan lincahnya berlenggak lenggok dengan ekspresi nan lugu. Para remaja yang masih energik juga sering dapat disaksikan mamendet dengan menari sesungguh-sungguhnya.  Semuanya dilakukan dalam bingkai berkesenian sebagai sebuah persembahan yang bermakna kegirangan menyongsong kehadiran para dewa.

Lewat doa dan persembahan semerbak bunganya, tari Pendet telah merajut harmoni intra dan multikultural. Sebagai seni tari sub kebudayaan Indonesia, tari Bali yang dibawakan kaum hawa itu menjadi jempatan toleransi dalam realita kebhinekaan kita mengapresiasi suatu ekspresi kesenian. Sebagai sebuah nilai estetik dan kultural Nusantara, tari Pendet telah menyemai komunikasi universal dengan bangsa-bangsa lain yang ber kontribusi pada harkat dan martabat keindonesian kita di mata dunia.

Kadek Suartaya

Isi Denpasar Tampil Dalam Pembukaan 1st Asian University Bridge Championship

Isi Denpasar Tampil Dalam Pembukaan 1st Asian University Bridge Championship

Tari Legong

Tari Legong

Sanur – Dalam penyelenggaraan 1st Asian University Bridge Championship, ISI Denpasar mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam upacara pembukaan dengan membawakan beberapa tarian dan tabuh. Acara pembukaan berlangsung tanggal 24 November 2009 bertempat di Paradise Hotel, Sanur-Bali. Selain itu ISI Denpasar juga dipercaya untuk mengisi posisi MC dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Dalam acara bertaraf internasional tersebut ISI Denpasar mendapat kehormatan untuk membuka acara lewat tarian Selat Segara, sebagai tari penyambutan tamu. Hadir dalam acara tersebut, Mr. See Tow Cheng, yang mewakili Presiden AUSF (Asia University Sport Federation), James Tangkudung sebagai perwakilan dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Haris Iskandar sebagai perwakilan dari Menteri Pendidikan Nasional, serta perwakilan dari International Contract Bridge Association. 1st Asian University Bridge Championship ini diikuti oleh lima negara, yaitu Cina, Singapura, Thailand, Thaipe serta tuan rumah Indonesia. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 24 hingga 30 November 2009.

Dalam kesempatan tersebut ISI Denpasar juga mengisi acara cultural dinner dengan menampilkan tiga tarian Bali yaitu Tari Legong Kuntul,.Tari Oleg Tambulilingan serta diakhiri dengan tari ciptaan I Nyoman Cerita, Tari Satya Brasta.

Tari Legong Kuntul dibawakan oleh empat mahasiswa dari Jurusan Tari ISI Denpasar. Tarian ini adalah sebuah tarian klasik Bali yang memiliki perbendaharaan gerak yang sangat kompleks yang diikat oleh struktur tabuh pengiring, yaitu Gambuh, sehingga gerak-gerak tari Legong dikombinasikan secara koreografi dengan salah satu taria yang ada pada pegambuhan. Tarian Legong sangat dinamis, indah dan abstrak namun dibalik gerak-gerak itu tersembunyi gerak yang bersifat dramatis. Gamelan yang mengiringi tari legong adalah gamelan semar pagulingan. Lakon yang biasa dibawakan bersumber dari cerita Malat

Sementara tari selanjutnya adalah tari Oleg Tambulilingan. Tarian ini melukiskan dua ekor kumbang madu jantan dan betina yang sedang asik bercumbu rayu di taman bunga. Kata oleg berarti bergerak denga lembut, luwes san indah (menari) dan tambulilingan berarti kumbang madu.oleg tambulilingan adalah tari duet berpasangan. Namun demikian sering pula tari ini dibawakan oleh penari wanita keduanya, meskipun perannya laki-laki. Materi gerakannya banyak bersumber dari gerak-gerak Pegambuhan, Pecalonarangan dan Legong Keraton. Instrument pengiringnya adalah seperangkat Gamelan Gong Kebyar.

Dan diakhiri dengan tarian yang mampu memuaku para penonton, yaitu tari Satya Brasta. Tari yang menggambarkan tentang peperangan antara Gatot Kaca dengan Karna, yang diakhiri dengan gugurnya Gatot Kaca oleh senjata Konta.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A merasa bangga atas kesuksesan acara tersebut. Pihaknya berharap melalui ajang ini, kita dapat lebih mempromosikan keberadaan ISI Denpasar sebagai salah satu Perguruan Tinggi Seni yang ada di Indonesia. Mengingat hadirnya peserta dari berbagai Negara diharapkan mampu mewujudkan cita-cita kita yaitu “merekatkan bangsa baik lewat seni”.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

.

ISI Denpasar Raih 3 Penghargaan Dalam Anugerah Media Humas (AMH) Tingkat Nasional

ISI Denpasar Raih 3 Penghargaan Dalam Anugerah Media Humas (AMH) Tingkat Nasional

DSC_0102Yogyakarta- Kegiatan Pertemuan Tahunan BAKOHUMAS Tahun 2009 merupakan kegiatan ke empat yang diselenggarakan di Yogyakarta (Hotel Inna Garuga, Yogyakarta), dari tanggal 28-29 Oktober 2009. Peserta dari Pertemuan Tahunan BAKOHUMAS berjumlah kurang lebih 750 peserta dari 500 instansi (departemen instansi pusat, lembaga negara, BUMN, Perguruan Tinggi Negeri, Humas Provinsi dan Humas Kabupaten/Kota) di seluruh Indonesia.

Tema Pertemuan Tahunan BAKOHUMAS Tahun 2009 adalah : “Peran humas pemerintah dalam menyongsong implementasi undang-undang keterbukaan informasi publik, pada tahun 2010”. Tema ini diambil dalam rangka kesiapan para pejabat humas pemerintahan di seluruh Indonesia dalam melaksanakan amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang akan efektif berlaku pada bulan April Tahun 2010.

Sementara kegiatan lomba Anugerah Media Humas (AMH Tahun 2009) sesuai hasil penyeleksian diikuti oleh 167 peserta instansi pusat dan daerah (48 Departemen dan Lembaga Negara, 77 Pemda, 21 BUMN, serta 21 Perguruan Tinggi Negeri). Hasil seleksi yang dilakukan oleh Tim Penilai Independent dari kalangan media dan pakar kehumasan, diperoleh kurang lebih 114 nominasi untuk juara I, II, III, IV dan V, dari 6 kriterian, yakni : Penerbitan Internal; Profil Lembaga (cetak), Profil Lembaga (audio visual); Laporan Tahunan Cetak; Website; dan
Merchandise.

Dari enam kategori tersebut ISI Denpasar mengirimkan 4 produk yaitu Profil Lembaga (cetak), Profil Lembaga (audio visual); Website; dan Merchandise. ISI Denpasar yang notabene baru pertama kalinya bergabung dalam ajang ini mampu memboyong penghargaan ditiga kategori, yaitu Juara 2 Profil Lembaga (audio visual) yang merupakan hasil karya dari UPT. Puskom ISI Denpasar, dibawah pimpinan Hendra Santosa selaku Kepala Puskom ISI Denpasar, dengan dibantu oleh konseptor Ketut Hery Budiyana. Sementara website ISI Denpasar yang juga merupakan produk dari UPT. Puskom ISI Denpasar mendapat peringkat 5, dibawah rancangan IB. Praja Diputra. Untuk kategori merchandise, ISI Denpasar yang mengirimkan souvenir berupa kipas dan miniature wayang kayonan mendapat peringkat 4.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., tidak bisa menyembunyikan rasa bangga dan bahagia atas prestasi yang diraih, pihaknya berharap agar keberhasilan ini dijadikan cambuk bagi semua civitas ISI Denpasar untuk lebih meningkatkan diri sehingga mampu mengukir prestasi. Keberhasilan ini menurut Prof. Rai, adalah anugrah Tuhan, sehingga tak henti-hentinya beliau bersujud dan menghaturkan syukur kehadapan Tuhan. Ini juga sebagai bentuk eksistensi ISI Denpasar dalan kancah dunia pendidikan di Indonesia. Prof. Rai pun mengucapkan terima kasih atas kerja keras tim yang mampu memboyong hingga 3 penghargaan, karena berkat prestasi ini mampu mengangkat citra positif ISI Denpasar di tingkat nasional.

HUMAS ISI DENPASAR MELAPORKAN

Berita yang sama

Garapan Ekperimental Tari Baris Dan Lawung “KEBO IWA”

Garapan Ekperimental Tari Baris Dan Lawung “KEBO IWA”

IMG_1727Denpasar- Sebagai implementasi atas keberhasilan ISI Denpasar dalam memenangkan Program Hibah Kompetisi (PHK) –B-Seni Bacht IV 2009, Jurusan Tari akan mementaskan garapan Eksperimental Tari Baris dan Lawung bertajuk “Kebo Iwa”. Garapan tersebut akan dipentaskan pada 1 Desember 2009 nanti. Guna memantapkan garapan tersebut para penari, penabuh serta pendukung acara sudah memulai kegiatan latihan sejak 21 November 2009. Latihan awal adalah latihan sektoral yang terbagi menjadi  3 sektor latihan, yaitu latihan tabuh, tari pria dan tari wanita.

Menurut konseptor garapan, Prof. Dibya, dalam garapan ini dicoba untuk mempertemukan dua tradisi tari klasik dari dua budaya yang berbeda yaitu Bali dan Jawa. Tari Bali diwakili dengan Baris sedangkan tari Jawa dengan tari Lawung. Keduanya merupakan tari kepahlawanan yang menggunakan senjata tombak. Garapan ini merupakan sebuah eksperimen untuk mempertemukan tari Baris dengan tari Lawung. Dalam dance and drama disebutkan bahwa eksperimen menunjukkan kedekatan antara tari Baris dengan tari Lawung.

Garapan ini dilatar belakangi dengan dua wilayah budaya yang berbeda (Jawa dan Bali), namun sejak berabad-abad yang lalu, telah memiliki interaksi kultural yang sangat akrab. Oleh sebab itu banyak perwujudan ekspresi budaya yang datang dari kedua daerah ini memiliki kedekatan walaupun secara fisik Nampak berbeda. Baris dan Lawung adalah dua jenis tari klasik/ tradisional dengan latar belakang budaya yang berbeda; Baris dari Bali, Lawung dari Jawa Tengah. Dibalik perbedaan wujud fisik dari keduanya, terdapat beberapa kedekatan rasa estetis yang kiranya dapat dipertemukan untuk menghasilkan suatu garapan tari yang bernafaskan Jawa-Bali sebagai satu strategi untuk melahirkan tari-tarian yang bernafaskan Nusantara.

IMG_1706Ekperimen tari “Baris Lawung” pada dasarnya sebuah upaya kreatif untuk mempertemukan unsur-unsur dua budaya Indonesia yang berbeda. Garapan ini lebih mengutamakan olah tari, dengan mengedepankan bahasa gerak, dari pada bahasa verbal. Oleh sebab, kisah Kebo Iwa hanya dijadikan “tali” untuk menjalin rangkaian tari yang dihasilkan dari pengolahan kembali terhadap untus-unsur tari Baris dan Lawung.

Pembabakan

Babak I – Arus Selat Bali

Gambaran tarik menarik arus air laut di Selat Bali yang digambarkan dengan munculnya Baris dan Lawung (dalam jumlah masing-masing 4 orang)

  • Baris
  • Lawung
  • Interaksi kedua kelompok

Babak II – Di Kerajaan Bedahulu

Patih Kebo Iwa menghadap Raja Bedahulu untuk memohon restu dari Sang Raja menjelang keberangkatannya ke tanah Jawa guna memenuhi undangan Maha Patih Gajah Mada.

  • Pasukan Baris
  • Patih Kebo Iwa
  • Raja Bedahulu (diiringi dayang-dayang)
  • Kebo Iwa meninggalkan Bedahulu

Babak III – Di Kerajaan Majapahit

Mahapatih Gajah Mada senantiasa mengawasi pasukan kerajaan. Tiba-tiba dating laporan akan tibanya pasukan Kebo Iwa dari Bali. Dalam suasana tegang, Gajah Mada menjelaskan bahwa yang dating bukan musuh melainkan Patih Kebo Iwa dari Bali atas undangan dirinya. Pasukan Majapahit kemudian bergerak menjemput pasukan bali.

  • Patih Gajah Mada
  • Pasukan Lawung
  • Utusan Jawa
  • Gajah Mada dan pasukan bergerak menjemput Kebo Iwa

Babak IV- Pertemuan Pasukan Bedahulu dan Majapahit

Dalam mengiringi Kebo Iwa dan Gajah Mada ke istana Majapahit, pasukan Bali dan Jawa bergabung dalam suasana yang penuh persaudaraan.

  • Pasukan kebo Iwa bertemu pasukan Gajah Mada
  • Gajah Mada menyambut Kebo Iwa dan mengantarnya ketempat peristirahatan
  • Kedua pasukan (Baris dan Lawung) bergerak bersama-sama mengiringi Gajah Mada dan Kebo Iwa.
Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni ’Mudra’ ISI Denpasar

Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni ’Mudra’ ISI Denpasar

Prof. Rai tengah menunjukkan jurnal "Mudra" ISI Denpasar

Prof. Rai tengah menunjukkan jurnal "Mudra" ISI Denpasar

Denpasar – Guna membangun serta menggairahkan semangat dalam bidang tulis menulis dilingkungan dosen ISI Denpasar, UPT. Penerbitan ISI Denpasar menggelar Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni Mudra ISI Denpasar dari tgl 17-18 Nopember 2009, bertempat di Inna Bali Hotel Veteran. Kegiatan pengembangan jurnal bidang seni yang diberikan oleh DP2M-DIKTI kepada Jurnal Makara seri Sosial Humaniora untuk membina Jurnal MUDRA melalui hibah jurnal yang memenuhi Standar Mutu dan Tata Kelola Nasional, dengan ini pengelola jurnal MUDRA ISI Denpasar. Lokakarya diikuti 17 peserta yang terdiri dari penyunting, editor dan redaksi Jurnal Jurusan Tari (Agem), Karawitan (Bheri), Pedalangan (Wayang), Seni Rupa Murni (Rupa) dan Desain (Prabangkara). Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Wasmen Manalu dengan 3 materi naskah tentang, yaitu ”Memburu Naskah Lebih Bermutu Dan Manajemen Naskah”, ”Teknik Penyuntingan” serta ”Organisasi Penerbitan Dan Kiat Menjamin Keterlibatan Aktif Mitra Bestari”, Dr. Yoki Yulizar, MSc. Dengan materi ”Pengalaman Pengelolaan Berkala Dan Pelanggan”, Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A, yang mengevaluasi Jurnal. Selain itu hadir juga pembicara dari ISI Denpasar yaitu Drs. I Ketut Murdana., MSn, dengan materi ”Arah Kebijakan Penerbitan Institut Seni Indonesia Ke Depan”.

Dalam lokakarya terungkap bahwa publikasi dari karya dosen sangat diperlukan untuk bisa dibaca dan diketahui banyak orang tentang temuan, atau ide-ide cemerlang dari seseorang penemu yang kemudian bisa dikembangkan atau dijadikan sumber acuan bagi pelaksanaan program yang lain. Hal ini juga tidak terlepas dengan membangun semangat kembali untuk menggairahkan dalam bidang tulis menulis sebagai kewajiban tridarma seorang dosen dan kemudian mempublikasikannya. Sumber juga diketahui bahwa publikasi peneliti Indonesia di dunia internasional masih sangat kurang. Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya menulis yang belum berkembang di masyarakat pada umumnya, khususnya di perguruan tinggi. Hal ini juga disebabkan karena rendahnya kemauan dan kemampuan menulis hasil-hasil penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat dalam berkala bermutu, sehingga hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat publikasinya melalui berkala ilmiah nasional maupun internasional masih rendah atau kurang. Pengembangan budaya dalam meningkatkan kemampuan atau motivasi menulis, menjadi suatu tantangan dan permasalahan yang harus segera dapat dicarikan solusi pemecahannya. Untuk dapat menampilkan berkala ilmiah yang bermutu juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Kita sadari bahwa di Indonesia masih sedikit sekali berkala ilmiah yang mampu memuat naskah-naskah bermutu, karena ada dua pemasalahan umum yang dihadapi para pengelola berkala ilmiah, yaitu ketersediaan naskah bermutu; dan keberlanjutan pengelolaaan berkala. Naskah bermutu sangat terbatas karena pada kesadaran peneliti untuk mempublikasikan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat melalui berkala ilmiah masih belum termotivasi dengan baik. Tanggungjawab moral terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menyebarluaskannya masih perlu terus dimotivator oleh para pengelola, belum tumbuh dari dalam disri seorang peneliti/dosen. Padahal hasil-hasil penelitiannya tentunya akan yang sangat berguna bagi masyarakat luas baik untuk kepentingan praktis maupun pengembangan teoritis. Di samping itu kemampuan pengelola berkala juga dirasa kadang masih jauh atau kurang, sehingga tidak melakukan penyuntingan dan pengelolaan berkala secara optimal. Hal ini berdampak pada rendahnya mutu artikel yang diloloskan/dimuat. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada, maka diperlukan melakukan peningkatan mutu pengelolaan berkala ilmiah dengan mengadakan penataan dan lokakarya menajemen berkala ilmiah secara sisitematis dan berkelanjutan.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., mengungkapkan, lokakarya ini menjadi salah satu solusi, yang bertujuan meningkatkan kemampuan peserta dalam membuat artikel ilmiah sesuai dengan persyaratan untuk jurnal nasional dan internasional, dan patut kita sambut dengan tangan terbuka. Prof. Rai akan terus memotivasi para dosen untuk terus berkarya lewat tulisan. Sehingga tujuan utama dari kegiatan penataan dan lokakarya ini adalah meningkatkan mutu berkala dan kemampuan pengelola berkala ilmiah termasuk mekanisme serta segi-segi penting dalam meningkatkan mutu berkala dan proses akreditasi dapat terealisasi.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

Loading...