Eksotisme Ngelawang, Romantisme Usang

Feb 13, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan

Eksotisme tentang sebuah pentas seni komunal yang dulu dapat disimak dalam rangkaian hari suci Galungan, kini selalu mengundang romantisme. Pentas seni nomaden yang dikenal dengan ngelawang itu, di masa lalu, memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan bahkan tetap meriah hingga ritual Kuningan. Tetapi belakangan, pertunjukan keliling yang mementaskan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman. Seperti tampak pada Galungan pertengahan Mei ini, begitu sulit memergoki sekaa-sekaa seni pertunjukan tampil penuh keintiman di tengah masyarakat.

Ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat. Benda-benda keramat seperti Barong dan Rangda misalnya diusung ke luar pura berkeliling di lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat. Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.

Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan. Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan. Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni balih-balihan seperti Arja, Janger, atau Joged misalnya juga dapat disaksikan  masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif dan apresiatif.

Sebagai seni tontonan, ngelawang adalah suguhan seni pentas yang serius tapi juga  santai.   Untuk mengapresiasinya penonton  tidak harus duduk kaku,  namun  bisa jongkok,  berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan  bergesekan sembari menikmati alam bebas. Hampir tak ada jarak antara pelaku seni  dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas ini tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi  di  bawah pohon besar  yang rindang,  pementasan Barong bisa digelar di tepi sungai, drama tari Arja bisa hadir di jalan  umum  atau bahkan di tengah keramaian pasar. Ia bisa dijumpai pada sore atau malam hari dan mungkin juga di pagi hari.

Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks  sakral-magis agaknya semakin redup. Pada tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar. Rumah-rumah penduduk sekonyong-konyong didatangi misalnya oleh Barong Kedingkling. Figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh  seisi rumah. Diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul  tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman merajan. Selesai. Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.

Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diduga, ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.  Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan kemenangan dharma atas adharma.

Eksotisme Ngelawang, Romantisme Usang selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...