Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, S.Sn., Alumni ISI Denpasar
Dalam kehidupan masyarakat Bali, Geriya merupakan sebuah rumah atau tempat tinggal bagi seorang pendeta suci Hindu beserta keluarganya. Geriya, secara etimologis berasal dari kata Grha (baca : Griha) dalam Bahasa Sansekerta yang berarti rumah. Dalam perkembangan bahasa, maka kata Grha berubah menjadi kata Geriya. Di dalam Geriya, pada umumnya dapat dilihat dan dirasakan begitu kentalnya nuansa budaya yang tercermin dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang di dalamnya.
Di bidang kesenian, Geriya juga merupakan tempat olah seni yang konservatif, khususnya pembelajaran seni tradisional seperti tari dan pedalangan. Hal ini dikarenakan seni tradisional tersebut bersentuhan langsung dengan sumber pustaka suci yang dijadikan sumber acuan dalam setiap isi pementasannya, misalnya tari topeng maupun wayang. Kedatangan orang-orang yang ingin menimba ilmu kesenian tradisional di Geriya Bongkasa menjadikan suasana begitu hidup, di mana interaksi guru dan murid membawa suatu dinamika kehidupan seni yang indah. Pola kehidupan seperti inilah yang menjadi tradisi kehidupan di dalam lingkungan Geriya yang ingin terus dipertahankan.
Salah satu Geriya yang masih kuat mempertahankan tradisi olah spiritual dan olah seni di Bali adalah Geriya Gede Bongkasa. Geriya yang terletak di Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ini hingga kini masih teguh mempertahankan nilai-nilai di bidang spiritual dan kesenian. Di bidang spiritual, hal ini ditunjukkan dengan adanya tradisi kependetaan yang tidak pernah putus semenjak Geriya Bongkasa berdiri (sekitar tahun 1840). Hingga kini telah ada lima keturunan pendeta yang ada dan akan terus berlanjut.
Cerita indah tentang berkesenian di Geriya Gede Bongkasa diawali sekitar 1890-an yang ditandai dengan adanya seorang dalang bernama Ida Pedanda Gede Singarsa (juga seorang pendeta). Beliau adalah dalang wayang kulit tradisional Bali yang khusus bertutur tentang cerita Ramayana. Pada jamannya, beliau dijuluki dengan sebutan Dalang Bongkasa, yang sangat disegani karena kemampuannya menghayati cerita, olah vokal yang mumpuni dengan ciri khas yaitu ngore (meniru suara kera), tarian wayang yang sangat luwes dan tentu saja taksu yang beliau miliki. Karena hal-hal tersebutlah, beliau selalu mendapat kesempatan melayani permintaan masyarakat untuk memainkan wayang-wayang beliau ke berbagai tempat di seluruh pelosok Bali. Berbagai cerita mengesankan dan juga berbau mistis menghiasi perjalanan beliau dalam mengarungi jagat seni pedalangan.
Kemampuan utama ini lalu diturunkan kepada cucu beliau yaitu Ida Bagus Gede Sarga. Beliau adalah putra pertama dari Ida Pedanda Gede Oka Singarsa dan Ida Pedanda Istri Oka yang lahir pada tahun1906. Seolah sudah menjadi sebuah identitas, julukan Dalang Bongkasa yang melekat pada sang kakek, diturunkan secara alami oleh masyarakat kepada Ida Bagus Gede Sarga. Saban hari, saat masa kecilnya, Dalang Sarga kerap duduk dipangku sang kakek dan mulutnya diludahi dengan sisa kunyahan sirih. “cuiiihhh… cuuuiihh.. dumadak cai lantang tuwuh, cai suba buin mani nerusang taksun kakyange ngewayang” (cuiiihhh… cuuuiihh.. semoga kamu panjang umur, kamulah yang akan meneruskan taksu kakek dalam menarikan wayang kelak), kenang beliau akan harapan sang kakek supaya dirinya menjadi pewaris taksu dalang (Bali Post : 9 November 2003).
Seperti kakeknya, Dalang Sarga juga dibekali ilmu kadyatmikan (kebatinan), ketrampilan menarikan tiap tokoh wayang, pengetahuan cerita dan tentu saja ciri khas trah Dalang Bongkasa yaitu ngore. Salah satu kekhasan beliau yang paling dikenal ialah tarian wayang tokoh Anggada. Identitas yang dahulu telah melekat kuat pada diri sang kakek, kini seolah menjadi semakin melekat di hati masyarakat dengan semakin seringnya beliau pentas memainkan wayang atau pun menjadi dalang sendratari Ramayana pada awal digelarnya Pesta Kesenian Bali pada akhir tahun 1960-an. Penampilan dalang yang selalu berpenampilan necis ini selalu ditunggu-tunggu oleh penikmat seni pada masa itu. Hal ini diutarakan sendiri oleh para seniman yang sempat satu pentas dengan beliau, pun demikian dengan komentar para murid yang sangat hormat pada beliau. Seiring dengan panggilan untuk menjadi pelayan umat sebagai tradisi yang harus dilanjutkan di Geriya, maka Dalang Sarga pun sampai harus menitikkan air mata meninggalkan segala kesenangan dunia luar untuk menapak jenjang kehidupan yang lebih mulia yaitu malinggih, ditasbihkan menjadi seorang pendeta bergelar Ida Pedanda Gede Putra Singarsa pada tahun 1984.
Aktivitas mendalang yang beliau geluti tatkala masih walaka (belum menjadi pendeta), tetap berlangsung namun tak lagi sesukanya untuk pentas ke luar Geriya. Beliau lebih memilih untuk menggelar pementasan wayang ke arah spiritual yaitu ruwatan Sapuleger. Setelah menjadi pendeta, banyak orang yang datang ke Geriya, memohon ilmu pedalangan kepada beliau. Tentu saja, hal ini ibarat penawar rindu akan aktivitas yang membesarkan nama beliau di jagat kesenian Bali. Ida Bagus Gede Mambal, I Made Persib (Kab. Badung), Ida Nyoman Sugata (Kab. Karangasem), dan tak lupa putra beliau sendiri yaitu Ida Bagus Gede Mahardika (kini telah duduk menggantikan ayahnya menjadi pendeta, bergelar Ida Pedanda Gede Giri Sunia Arsa) adalah beberapa dari murid-murid unggul yang beliau miliki. Perjalanan kesenian beliau yang luhur dan penuh kesan sebagai Dalang Bongkasa berakhir pada tahun 2003.
Keberagaman aktivitas kesenian di Geriya Gede Bongkasa tak hanya berhenti sampai di sana. Tempat ini ternyata masih menyimpan seorang putra utama yang digariskan untuk menjadi seorang penari. Beliau adalah Ida Bagus Made Raka Yoga, yang lebih akrab dipanggil Ida Bagus Aji Raka. Beliau adalah adik kandung dari Dalang Bongkasa/Dalang Sarga. Seniman kelahiran tahun 1929 ini dikenal publik sebagai Baris atau Jauk Bongkasa karena keterampilan beliau menarikan tari Baris Tunggal dan Jauk Keras, sehingga identitas tersebut diberikan oleh masyarakat.
Diperlakukan sama oleh kakeknya, Ida Bagus Made Raka dipersiapkan menjadi seorang penari karena menilik bakat yang dimilikinya. Dalam memulai karir kesenimanannya, di usia 10 tahun beliau berguru pada seorang guru tari bernama I Sampih dari desa Ubud, Gianyar sebagai guru tari Kebyar Duduk. Setelah itu, beliau sempat pula berguru pada seniman I Nyoman Kakul dan A.A. Raka Pajenengan dari desa Batuan. Dari I Nyoman Kakul, beliau memperdalam Tari Jauk Keras sedangkan dari A.A. Raka Pajenegan, memperdalam Tari Baris. Dari Desa Batuan beliau melanjutkan perjalanan kesenimanannya menuju seni Pearjaan (Arja).
Untuk mempelajari kesenian tersebut, beliau mendatangi Cokorda Oka Tublen dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar. Beliau adalah seniman multi talenta yang menguasai berbagai bidang seni seperti menari, menabuh dan juga membuat topeng. Di sana, Ida Bagus Made Raka mendalami teknik menabuh kendang secara intensif. Setelah merasa cukup menguasai, lalu penjelajahan beliau mengarah ke tari Patopengan, dengan mendatangi seniman I Ketut Rindha dari Desa Blahbatuh, Kabupaten Gianyar (Dibia : 2004).
Geriya Gede Bongkasa : Mata Air Kesenian Bali di Masa Lalu, Selengkapnya.