Seminar Nasional Bali-Dipantara Waskita II merupakan rangkaian dari progran Festival Nasional Bali Sangga Dwipantara II Tahun 2022 sebagai ajang penguatan inovasi Tri Dharma Intitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Seminar Nasional sebagai ruang diseminasi berbagai karya tulis dan pemikiran-pemikiran akademik seni budaya bagi para maestro, seniman, budayawan, akademisi, pekerja kreatif dan mahasiswa bertalenta. Kegiatan ini berlangsung pada Jumat tanggal 29 Juli 2022, yang dibuka Rektor ISI Denpasar Prof. Dr Wayan Adnyana, S.Sn., M. Sn.
Dalam sambutannya Rektor ISI Denpasar menyampaikan bahwa Seminar Nasional Bali-Dwipantara Waskita II bertajuk “Tirtha-Rakta-Sastra” menunjuk pemaknaan kekuatan air sebagai daya cipta seni dan susastra. Air dalam konteks denotatif, konotatif, dan simbolik senantiasa hadir menyatu dalam lelaku budaya Nusantara. Air sebagai elemen alam, mengalami kondisi krisis; kelangkaan air bersih, pencemaran, dan kekeringan menjadi isu global, merupakan salah satu bagian dari 17 sasaran pembangunan berkelanjutan. Air dengan seperangkat idiom kultural, etik tradisi, dan imajinasi persona-komunal diwariskan dari generasi ke generasi. Air bahkan, secara simbolik terbangun menjadi entitas relegi dengan berbagai manifestasi ritualnya. Berbagai ritus air di Bali, seperti: Malukat, Banyu Pinaruh, Siat Yeh, dan Magpag Toya menjadi orientasi pemuliaan hidup manusia dalam harmoni diri dengan alam semesta. Orientasi pemuliaan ini menjadi muasal rekacipta mahalango; keserbanekaan mahakarya.
Dalam sambutannya Rektor menyampaikan ucapan terimakasi kepada seluruh penyaji yang telah berkenan membagi pengalaman, pengetahuan, dan sekaligus membagi spirit positif untuk perkembangan dunia seni dan desain di Indonesia melalui kegiatan Seminar Nasional ini. Harapanya Seminar Nasional Bali Dwipantara Wasikta II secara nyata menjadi ruang diseminasi berbagai karya tulis dan pemikiran-pemikiran akademik yang bertajuk Tirtha-Rakta-Sastra. Seminar Nasional juga sebagai ruang aktualisasi akademik bagi seluruh insan akademisi yang berpadu dengan para tokoh, para aktivis sekaligus maestro seni dan desain di Indonesia. Dalam kegiatan ini mengundang Bapak Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D sebagai Pembicara Kunci, serta delapan tokoh bereputasi sebagai Pembicara Undangan yang terdiri dari seniman, desainer, tokoh inspiratif, dan aktifis penggerak bidang seni budaya di tingkat nasional. Pembicara Undangan yang dimaksud meliputi: 1) tokoh peremuan inspiratif Ibu Anne Avantie; 2) tokoh sepritual yang disegani di Bali dan di Indonesia Jero Gede Batur Alitan; 3) tokoh atau akativis pluralisme Romo Benny Soesatyo; 4) tokoh nasional dan sekaligus pembina BRAIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) Prof. Ir. I Gede Wenten, M.Sc., Ph.D; 5) Restu Iman Sari Kusumaningrum sebagai seniman sekaligus katalisator seni; 6) Tosin Himawan sebagai Kolektor Seni Rupa dan mantan Presiden Komisaris Astra Internasional, serta menjadi sumber inspirasi bagi kolektor muda di Indonesia; 7) Dr. A. A. Gede Rai Remawa, M.SN sebagai Doktor Ilmu Desain lulusan Institut Teknologi Bandung ; dan 8) Dr. Ni Made Arshiniwati sebagai Doktor Kajian Budaya dan juga Ketua Senat Intitut Seni Indonesia Denpasar. Selain itu, Seminar Nasional ini juga diisi oleh Narasumber Call for Paper dari berbagai perguruan tinggi Seni dan Desain di Indonesia. Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D sebagai Pemakalah Kunci sangat menyambut baik kegiatan Seminar ini. Baginya pilihan tajuk seminar (Tirtha- Rakta- Sastra) memiliki makna yang sangat dalam. Seni merupakan wujud ekspresi diri dan karakter bangsa dan sekaligus adalah pemersatu, perekat bangsa dalam keragaman. Keragaman yang dimaksud yaitu keragaman budaya, bahasa, suku bangsa, keyakinan dan berbagai macam keragaman yang secara alamiah hadir di Bumi Nusantara. Kenyataan ini dapa terjadi karena seni merupakan bahasa universeal yang dapat mengekpresikan rasa kemanusiaan. Olehkarena itu seni seharusnya selalu didengungkan dan dibangun perannya melalui berbagai karya cipta. Seni sebagai daya hidup masyarakat mengandung pemahaman bahwa masyarakat tanpa sentuhan seni bagaikan robot-robot yang hidup di era yang penuh dengan destrupsi dan individualisme. Kehadiran seni sebagai daya hidup yang menghantarkan lingkungan lebih manusiawi. Dalam makalahnya Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi juga mengharapkan kampus-kampus Perguruan Tinggi Seni tidak hanya menjadi tempat kajian seni dan budaya, namun juga menjadi salah satu simpul dalam membangun seni sebagai energi dalam membangun kemanusiaan di setiap daerah. Berbagai Festival Seni yang hadir ditengah masyarakat sangat bermanfaat dalam membangun karakter bangsa yang menyadarkan dan mengingatkan bahwa keragaman seni dan budaya adalah kekuatan yang paling dasyat yang dimiliki bangsa Indonesia. Indonesi dikaruniai keragaman biodeviersitas, kekayaan alam, ragam hayati, ragam lautan, keragaman adat, berbagai pulau yang dipisahkan oleh air. Olehkarena itu Institut Seni dapat menjadi perajut ragam budaya tersebut, sehingga dapat menghadirkan daya cipta bangsa, menjadi contoh bagi dunia, menjadi inspirasi bagi dunia, yang membuktikan keragaman itu menjadi kekuatan dalam kehidupan sosial, kekuatan dalam pembangunan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa. Kehadiran Institut Seni tidak hanya sebagai tempat kajian seni, tapi dapat menjadi padepokan, konservatorium seni dan sekaligus sebagai penghasil kreator-kreator yang dapat menggelorakan seni ini bagi masyarakat luas. Seminar hari ini dapat menjadi area, ajang dalam mencurahkan gagasan, membangunkan seni dan budaya Nusantara menjadi daya hidup bagi bangsa.
Masing-masing penyaji dalam Seminar Nasional ini mengelaborasi tajuk “Tirtha-Rakta-Sastra” ke dalam topik beragam, diantaranya: ” Tirtha Ulun Danu Batur; Air dalam Pembangunan Berkelanjutan; Tirtha-Rakta-Sastra Dalam Entitas Relegius dan Representasi Air Pada Karya seni; Fusi Seni dan Teknologi; Kelembutan Air Kekuatan Seni; Air Sebagai Sumber Inspirasi Rekacipta Seni Pertunjukkan; Air dan Api: Paradigma; Revolusi Mental bagi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; Pendidikan Karakter dalam Perebutan Tirta Amerta pada Pemutaran Gunung Mandara; Air Medium Berkarya Seni Cetak Saring Berwawasan Lingkungan; Estetika Air: Ritual Barong Wae Etnik Manggarai Di Flores; dan berbagai topik yang dapat mewakili keragaman kultural, etik tradisi, dan imajinasi masyarakat di berbagai daerah Nusantara.
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar tampil sebagai garda depan dalam perjuangan mewujudkan Profesor Penciptaan Seni. Melalui Bali-Dwipantara Waskita (Simposium Republik Seni Nusantara) serangkaian Festival Nasional Bali Sangga Dwipantara II, ikhwal urgensi keberadaan Profesor Penciptaan Seni di Indonesia yang saat ini makin langka, dibahas sekaligus dirumuskan solusi. Simposium dilaksanakan ISI Denpasar bekerja sama dengan Asosiasi Pencipta Seni Indonesia (Apesi) dilangsungkan secara luring dan daring, Kamis (7/4) di Gedung Nata Praja Mandala kampus setempat. Simposium bertajuk “Mata Air Cipta Seni (Guru Besar Penciptaan Seni Indonesia)” ini menghadirkan pembicara kunci Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek, Kemdikbudristek RI, Prof. Ir. Nizam, Ph.D, serta pembicara undangan: Dr. Ignas Kleden, Prof. Sardono W. Kusumo, Dr. Tisna Sanjaya, Dr. Gusti Putu Sudarta, Dr. FX. Widaryanto, Dr. Susas Rita Loravianti, dan juga hadir daring Direktur Sumberdaya Ditjendiktiristek M. Sofwan Effendi tersebut, menghasilkan rekomendasi pengakuan profesor penciptaan seni dalam skema baru usulan Guru Besar.
Pada Simposium Nasional yang dipandu Tommy Awuy ini, mengemuka bahwa jumlah Profesor Penciptaan Seni di Indonesia semakin menyusut bahkan mendekati nihil, akibat pemberlakuan aturan persyaratan khusus karya ilmiah jurnal internasional untuk semua pengusulan Profesor. Padahal, doktor penciptaan seni di Indonesia dididik dan sekaligus melakukan praktik seni di masyarakat untuk menghasilkan karya seni atau desain, bukan paper jurnal. Kelangkaan jumlah Profesor Penciptaan Seni kemudian berimplikasi langsung pada penyelenggaran pendidikan tinggi seni di Indonesia. Sangat jarang mahasiswa magister atau program doktor penciptaan seni mendapat pembimbing/promotor, figur panutan, dan model penciptaan dari seorang Profesor Penciptaan Seni.
Rektor ISI Denpasar yang sekaligus Ketua Tim Perumus hasil Simposium, Prof. Wayan ‘Kun’ Adnyana menjelaskan, bahwa perjuangan doktor penciptaan seni dan desain di semua perguruan tinggi di Indonesia untuk mencapai jabatan Profesor Penciptaan Seni/Desain diberlakukan tidak adil oleh aturan syarat khusus menulis artikel pada jurnal internasional. Doktor penciptaan seni dan desain yang tergabung dalam Apesi telah berikrar akan tetap maju mengusulkan jabatan Profesor hanya melalui jalur penciptaan karya seni. Untuk itulah, ISI Denpasar mewadahi perjuangan ini melalui wahana simposium yang menghadirkan maestro, empu seni, dan doktor penciptaan seni se-Indonesia, selain narasumber juga hadir 135 peserta aktif dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia.
“Hal yang menggembirakan, bahwa permasalahan ini telah mendapat perhatian dari Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek melalui Direktorat Sumber Daya telah menyusun rancangan peraturan menteri terkait tiga jalur pengusulan Profesor, yakni akademik (baca Jurnal Internasional), kekaryaan/vokasi (karya seni atau desain monumental), dan profesional. Kita berharap rancangan peraturan dimaksud segera ditetapkan, sehingga usulan nama Doktor Penciptaan Seni yang telah memiliki reputasi dunia, seperti Dr Tisna Sanjaya dan Dr Rahman Sabur, dapat segera ditetapkan sebagai Profesor Penciptaan Seni, karena umur mereka rata-rata jelang pensiun, “tandas Prof Kun, yang juga Ketua Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI) itu.
Pembina Apesi, Prof Sardono W Kusumo memaparkan, bahwa Doktor Penciptaan Seni di Indonesia telah melakukan praktik penciptaan seni melibatkan masyarakat dalam jumlah yang masif. Model prakti seni seperti itu, selaras dengan praktik penciptaan seni yang telah dilakukan seniman generasi perintis kemerdekaan, seperti Usmar Ismail, S. Sudjojono, Affandi, dan lain-lain. “Mengingat, bahwa pendidikan seni di Indonesia sesungguhnya dibangun untuk menghasilkan seniman dalam spirit kebangsaan, karena memang didirikan pertama kali oleh tokoh-tokoh seniman yang juga pejuang kemerdekaan. Spirit kebangsaan kemudian, diterjemahkan dalam praktik penciptaan seni yang bertolak dari keragaman budaya dan ekosistem sebagai sumber. Karya cipta juga dijadikan orientasi untuk menjawab persoalan era masa kini. Lulusan pertama pendidikan seni tersebut tercatat telah menghasilkan seniman hebat, diantaranya: Idris Sardi, FX. Soetopo, Slamet Abdul Syukur, Suka Hardjana, Paul Gautama Soegiyo, Ahmad Sadali, AD. Pirous, dan G. Sidharta. Namun, pendidikan seni kini, justru meninggalkan peran maksimal sebagai perintis penciptaan seni, karena semata mengikuti sistem pendidikan sains semata, bukan karya seni. Padahal sekarang, di dunia pendidikan dikenal pemisahan antara sains, teknologi, enjinering, seni, dan matematika. Artinya, kelima pilar pendidikan itu harus diakui kemandiriannya. Sehingga doktor penciptaan seni di Indonesia dalam pengakuan jabatan fungsional profesor, mesti dibangun atas prinsip pengakuan karya seni, “terang koreografer papan atas Indonesia itu memberi argumen.
Pandangan senada dilontarkan narasumber Dr Ignas Kleden, dengan mengatakan bahwa prinsip pendidikan seni untuk menghasilkan seniman, berbeda dengan pendidikan seni untuk menghasilkan ahli seni. Pendidikan untuk menghasilkan seniman, membutuhkan kehadiran profesor penciptaan seni, yang membimbing dan melatih mahasiswa untuk menghayati nilai-nilai kebudayaan atau kesenian untuk kebutuhan penciptaan, atau pengembangan kesenian itu sendiri. Sementara ahli seni merupakan model pendidikan untuk melatih nalar mahasiswa dalam identifikasi data-data kesenian, bukan mencipta seni atau desain. “Pendidikan seni untuk menghasilkan lulusan sebagai seniman, mesti dibangun dalam karakteristik penciptaan, tradisi memasuki pengalaman dan penghayatan nilai-nilai. Sehingga tidak membutuhkan tulisan model sains, karena cara seniman menulis itu berbeda, pendekatannya dari dalam karya seni, “urai cendekiawan lulusan Jerman itu.
Profesor Penciptaan Seni Diakomodasi
Plt. Dirjen Diktiristek Prof Nizam, memberi apresiasi terhadap penyelenggaraan Simposium Nasional itu, sembari mengingatkan kepada seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia untuk terus tampil sebagai garda depan dalam menghasilkan seniman atau desainer, selain pengkaji seni dan pendidik seni. “Kemdikbudristek telah melakukan penyusunan rancangan peraturan pengusulan guru besar atau profesor melalui tiga jalur, yakni: akademik (jurnal internasional), kekaryaan atau vokasi, dan profesional. Doktor Penciptaan Seni dalam pengusulan profesor dapat memakai jalur kekaryaan, yang dinilai karya seni atau desain monumental. Penilaian kekaryaan monumental ini, tentu membutuhkan masukan perguruan tinggi seni dan juga Apesi dalam menyusun formula penilaian yang solid”. Tentang rancangan tiga jalur pengusulan profesor juga dibenarkan Direktur Sumber Daya Diktiristek M. Sofwan Effendi, bahwa doktor penciptaan seni dapat menjadi profesor melalui jalur kekaryaan seni atau desain monumental. “Tiga jalur ini, merupakan hal prinsip yang telah disepakati dalam rancangan peraturan menteri yang baru terkait pengusulan guru besar. Semoga secepatnya dapat ditetapkan, sehingga perguruan tinggi dapat melakukan langka antisipasi, “jelasnya. Pada simposium, yang perumusan hasil rekomendasi berlangsung hingga malam hari itu, juga ditampilkan doktor penciptaan seni dengan reputasi kekaryaan yang telah mereka lakukan. Dr. Tisna Sanjaya menyajikan karya-karya partisipatoris (Gerakan Sosial Seni Masyarakat) di Cigondewa dan Citarum, Bandung. Karya Tisna telah dipergelarkan pada Venesia Biennale, juga pada Juni mendatang di Dokumenta, Jerman. Dr. Gusti Putu Sudarta mengeksplorasi penciptaan seni berbasis ritus, Dr. FX. Widaryanto membahas penciptaan seni pertunjukan dalam ekologi, Dr. Susas Rita Loravianti melakukan penciptaan seni pertunjukan pada budaya Minangkabau dan Mentawai.