Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Oleh: I Gede Yudarta, SSKar., M.Si (Dosen PS. Seni Karawitan)

Gamelan Gong KebyarMengamati perkembangan seni karawitan Bali khususnya seni karawitan kekebyaran dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta, 2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali.

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.

Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kekebyaran, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, dalam komposisi ”Kebyar Ding”, yang diciptakan pada tahun 1920-an tidak terdengar tiupan suling. Ini dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pada awal munculnya gamelan gong kebyar, suling masih berfungsi sebagai instrumen sekunder dan belum menjadi bagian yang penting dalam sebuah komposisi.

Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969, dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun oleh para komposer sudah dikembangkan sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sunaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.

Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebaga alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.

Fungsi Gamelan Gong Gede Batur (3)

Fungsi Gamelan Gong Gede Batur (3)

Oleh Pande Mustika (Dosen PS Seni Karawitan)

Fungsi Ritual

Gamelan Gong GedeGamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, sebagai salah satu wujud budaya, yang kehadirannya masih didukung oleh masyarakat Bali khususnya masyarakat Desa Pakraman Batur. Berfungsi sebagai persembahan dalam berbagai keperluan pada kehidupan masyarakatnya, yaitu sebagai persembahan untuk keperluan upacara agama khususnya upacara dewa yadnya.

Adapun upacara puja wali yang dapat diiringi barungan gamelan Gong Gede adalah :

Upacara puja wali di Pura Jati dilaksanakan tiga hari sebelum purnama kasa dengan penyajian gamelan Gong Gede yang lebih diistilahkan sebagai tedun terompong.

Upacara puja wali pada purnama karo, merupakan puja wali yang dilaksanakan tepat di depan pelinggih Padmasana di Pura Ulun Danu Batur dengan penyajian gamelan Gong Gede yang komplit atau tedun Trompong, dan lama kegiatan selama tiga hari.

Upacara puja wali pada purnama kelima dilangsungkan tiga hari di Pura Kental Gumi atau di Pura Ulun Danu, dengan disajikan gamelan Gong Gede lengkap atau tedun trompong.

Upacara puja wali pada purnama kaulu dilangsungkan di Pura Ulun Danu selama tiga hari, dengan disajikan gamelan Gong Gede atau tedun terompong.

Upacara puja wali pada purnama kedasa dilangsungkan di Pura Ulun Danu Batur yang merupakan puncak upacara. Menurut Jero Gede Duuran dan Jero Gede Alitan mengatakan upacara ini disebut upacara Bhatara Turun Kabeh yang dilangsungkan selama 11 hari sampai 14 hari dengan penyajian barungan gamelan Gong Gede (tedun trompong) dengan gamelan bebonangan. Pada saat terakhir upacara (penyineban) gamelan Gong Gede turun dari bale gong (tempat penyimpenan) tempat penyajiannya menuju madia mandala untuk mengiringi tarian baris perang-perangan, metiti suara dan menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik.

Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur merupakan bagian integral dari ritual keagamaan yang memiliki ciri-ciri sebagai seni ritual. Pada prinsipnya eksistensi gamelan Gong Gede menunjukkan ciri-ciri seni ritualistik seperti itu. Selain sebagai seni tirual, penyajian gamelan Gong Gede juga pendukung suasana yang dapat dijadikan salah satu ciri (cihna) sedang berlangsungnya upacara keagamaan.

Fungsi Sosial

Dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi sebagai pengemban seni (karawitan), barungan Gong Gede hampir setiap bulan purnama di undang (tuwur) oleh krama yang melaksankan piodalan (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura-pura lainnya) di desa pekraman Batur. Jero gambel yang melaksanakan tugasnya tidak menerima upah dalam bentuk uang (ngayah).

MAKNA GAMELAN GONG GEDE BATUR

Makna gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai ungkapan emosional dari pelaku seni yang diungkapkan lewat bahasa musik mempunyai makna sebagai berikut: makna religius, makna pelestarian budaya, makna keseimbangan.

Makna Religius

Pertunjukan gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai salah satu karya seni, sebagai ungkapan yang dapat dilihat dari penyajian karawitan (tabuh), tidak sekedar sebagai ungkapan estetik tetapi juga mempunyai makna religius. Dalam konteks religius, semua unsur masyarakat terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut dengan ngayah.

Barungan gamelan Gong Gede dalam mengiringi upacara keagamaan (ritual) memiliki makna religius. Penabuh gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebelum melaksanakan tugasnya selalu diperciki Tirta untuk mendapatkan keselamatan.

Makna Pelestarian Budaya

Derasnya aliran informasi dalam era globalisasi terutama di bidang seni (khususnya seni karawitan) membawa dampak positif dan negatif, hal ini mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya yang dimiliki. Kesadaran untuk melestarikan warisan budaya yang luhur (Gong Gede) memberi makna hidup dan rasa kemuliaan. Untuk menghadapi tantangan harus ada kemauan yang murni sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batur.

Makna Keseimbangan

Dalam pelaksanaan upacara tertentu Kehadiran gamelan Gong Gede sudah menjadi kebutuhan. Keterikatan gamelan Gong Gede dengan ritual keagamaan melahirkan perilaku-perilaku sosial yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakatnya.

Barungan gamelan Gong Gede dipandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa kesehimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian Bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula sernangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan. Konsep rwa bhineda oleh seniman Pengrawit dituangkan dalam gamelan Bali (Gong Gede). Hal ini dapat diamati pada sistem pelarasan ngumbang-isep dan instrumen yang berpasangan (lanang wadon).

Apresiasi Musik

Apresiasi Musik

Oleh: Ketut Sumerjana (dosen PS. Seni Karawitan)

Bhakti PringPengalaman musikal manusia beraneka ragam dan sejauh ini tidak ada yang memiliki pengalaman yang persis sama (Hugh M. Miller. 1958 : 1). Yang jelas adalah berwarna manusia tidak dapat menghindar dari pengalaman musikal, dengan demikian bisa dikatakan bahwa mungkin musik merupakan sumberdaya berharga dari sekian banyak pengalaman manusia. Jika seseorang menyadari arti penting yang potensial dari musik dalam kehidupannya, biasanya seseorang tersebut akan berhasrat untuk menjadikan pengalaman musikal tersebut lebih  berharga lagi.

Dengan adanya bermacam-macam jenis musik, maka pengalaman musikal yang diterima umat manusiapun beraneka ragam pula. Tingkat pengalaman musikal seseorang inilah yang akan menentukan seberapa jauh tingkat apresiasi seseorang terhadap musik. Hal lain yang menentukan tingkat apresiasi musik seseorang juga ditentukan dengan usaha secara sadar dalam latihan mendengarkan musik secara penuh pengertian. Sebab yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan apresiasi musik bernilai tinggi tidaklah mudah untuk mengapainya.

Istilah apresiasi berasal dari trimologi Ingris, yakni appreciate yang berarti menghargai (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1989 : 35). Jadi apresiasi musik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memahami musik dengan jalan menghargainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap hasil penciptaan karya seni merupakan suatu bukti nyata fisikal (physical evidence), terbentuk dari suatu proses pemikiran serta usaha seniman dalam berolah seni. Dalam apresiasi mau tidak mau berkaitan dengan pengkajian seni itu sendiri sebagai suatu substansi fenomena fisik yang primair (primary document).

Pemunculan sebuah komposisi sebagai suatu substansi fisik yang kasat mata dengan spesifikasi tersendiri, memberikan keluasan pengkajian yang disesuaikan dengan disiplin penikmat yang ada, dan disejajarkan dengan kaidah dari jenis karya seni. Selanjutnya kesetaraan penikmat seni dengan bunyi yang dikaji, dapat memberikan peluang adanya suatu premis terhadap keterkaitan antara komposisi seni musik dengan penikmatnya. Kondisi seperti ini dapat ditelaah lebih dalam lagi dengan berbagai segi dan cara pandang tertentu yang di antaranya adalah : estetik, artistik, form, irama dan lain sebagainya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah apresiasi mempunyai arti : kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya dan penilaian/penghargaan terhadap sesuatu (Anton Moelino, 1989 : 41). Dengan berlandaskan pada keterangan tersebut dapatlah kiranya ditarik suatu benang merah antara istilah apresiasi dan apresiasi musik. Karena dalam apresiasi diperlukan adanya kesadaran terhadap nilai-nilai seni, sudah sewajarnya bila didalam apresiasi musik juga diperlukan adanya kesetaraan nilai-nilai seni dalam disiplin seni musik. Penginderaan tentang kesadaran nilai-nilai seni musik dapat dengan menggunakan pendekatan musikologi untuk mengetahui bobot kesadaran yang dimilikinya.

Musikologi merupakan terjemahan dalam Bahasa Ingris musicology, istilah ini berangkat dari terminologi Prancis yakni musicology, hal ini sejalan dengan istilah Jerman abad 19 musikwissenschaft. Istilah ini dianggap paling tepat untuk menggambarkan suatu disiplin yang membahas tentang pengetahuan serta penelitian dari semua aspek tentang musik. Awal dari rentangan musikologi sangat luas, yakni dari sejarah musik barat hingga taksonomi musik primitif, dari akusti ke estetika, dari harmoni dan kontrapung hingga pedagogi piano. Elaborasi tentang katagori musikologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan banyak bermunculan, dimulai dari formula Hugos Riesman dan Guido Adler pada abad 19, sampai pada Charles Seeger, seorang plopor Ethnomusikologi Amerika moderen yang berasil menerbitkan formulasi tentang klasifikasi musik secara komprehensif.

Aprsiasi Musik, selengkapnya:

Sekaa-Sekaa Gambang di Kota Denpasar

Sekaa-Sekaa Gambang di Kota Denpasar

Kiriman I Gede Yudatha (Dosen Program Studi Seni Karawitan ISI Denpasar)

Gamelan GambangSebagai salah satu seni pendukung aktivitas ritual dalam masyarakat Bali, keberadaan kesenian Gambang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Dari survey yang dilakukan ASTI Denpasar (sekarang ISI) pada tahun 1988 tercatat tidak kurang dari 82 barung gamelan Gambang masih dapat di jumpai di Bali dimiliki oleh desa, sekaa, lembaga formal dan perorangan (Rai, S. 1998:2). Jumlah tersebut tentunya cukup besar bagi sebuah kesenian golongan tua, karena bentuk kesenian tua lainnya populasinya lebih sedikit dari gamelan Gambang. Namun demikian di wilayah Kota Denpasar kesenian ini merupakan salah satu kesenian langka. Bila dibandingkan dengan gamelan lainnya seperti Gong Kebyar, Pelegongan, Angklung dan yang lainnya, populasi gamelan Gambang dapat dihitung dengan jumlah jari tangan.

Populasi tersebut kemudian mengalami peningkatan dimana dari hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Binoh, Ubung Kaja, Denpasar Barat, pada 28 September 2004 berhasil di wujudkan kembali kesenian Gambang di wilayah tersebut, dimana sebelumnya sudah dinyatakan punah. Selanjutnya pada tahun 2008, atas inisiatif pemerintah dan seniman Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaannya diadakan kembali 4 (empat) barung Gamelan Gambang yang nantinya akan disebar ke empat wilayah kecamatan di Kota Denpasar. Dari hasil pendataan tersebut hingga saat ini terhitung terdapat 9 (sembilan) barung gamelan Gambang yang tersebar di wilayah Kota Denpasar.

Sekaa Gambang Pura Klaci, Desa/Banjar Sebudi Sumerta Klod

Pura Klaci merupakan sebuah tempat persembahyangan masyarakat yang terdapat di wilayah Banjar Sebudi, Desa Sumerta Klod. Pura ini disungsung oleh sekelompok keluarga serta masyarakat yang terdapat di sekitarnya. Sebagai ebuah tempat persembahyangan, sebagaimana pura-pura yang lainnya perayaan piodalan atau petirtan dilaksanakan setiap enam bulan sekali yaitu bertepatan pada hari Sabtu, Saniscara Umanis Watugunung atau bertepatan dengan perayaan Hari Raya Saraswati yang merupakan peringatan terhadap turunnya Ilmu Pengetahuan.

Di dalam pura tersebut tersimpan seperangkat barungan gamelan Gambang yang disebut dengan Gambang Piturun yang mana gamelan tersebut dipergunakan sebagai pengiring ritual keagamaan yang dilaksanakan di pura tersebut. Gamelan ini sangat disakralkan oleh para pendukungnya dan hanya para pengempon pura saja yang berhak untuk memainkannya. Adapun Gambang Piturun yang dimaksud adalah bahwa kesenian tersebut merupakan warisan secara turun-temurun para generasi pengempon pura dari masa lampau.

Keberadaan kesenian ini di wilayah Desa Sebudi sangat dikenal oleh masyarakat disekitar desa. Seringkali gamelan ini ditanggap oleh masyarakat untuk ritual keagamaan yang dilaksanakan. Ada yang mananggap sebagai pembayaran kaul, dan ada juga yang menanggap untuk dipergunakan sebagai pengiring upacara keagamaan seperti upacara Pitra Yadnya (Ngaben, Nyekah) dan Dewa Yadnya (Odalan di Sanggah Kemulan atau di pura). Pada masa yang lampau sekaa Gambang Pura Kelaci memiliki kewajiban ngayah di Puri Denpasar setiap dilaksanakan upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya.

Sekaa Gambang Banjar Bekul, Penatih

Sebagaimana halnya sekaa Gambang yang terdapat di Pura Klaci, keberadaan sekaa Gambang di Banjar Bekul juga sangat dikenal oleh masyarakat di sekitarnya. Gamelan ini disimpan di Banjar Bekul, Penatih. Menurut penuturan I Nyoman Warka (wawancara tanggal 18 Desember 2009), awal mula keberadaan kesenian Gambang di Banjar Bekul adalah paica (pemberian) Ida Betara Leluhur Penglingsir dari Griya Bajing Kesiman pada tahun 1930-an dan awalnya diamong oleh leluhur keluarga besar I Nyoman Warka, pada sekitar tahun 1970-an, seiring dengan semakin maraknya perkembangan gamelan Gong Kebyar, atas permintaan warga banjar Bekul kerawang bilah saron dari gamelan ini dimohon untuk dilebur dijadikan gamelan Gong Kebyar, dan untuk selanjutnya gamelan Gambang tersebut menjadi tanggung jawab masyarakat Banjar Bekul. Sebagai imbalan atas permintaan tersebut, masyarakat Banjar Bekul senantiasa melakukan ayah-ayah (kewajiban) setiap dilaksanakannya upacara keagamaan di Griya Bajing, dan saat pelaksanaan upacara dewa yadnya dan pitra yadnya, sekaa Gambang memiliki kewajiban untuk ngayah selama upacara dilangsungkan.

Saat ini tidak banyak aktivitas yang dapat dilakukan oleh sekaa gambang di Banjar Bekul, di samping terjadi kerusakan beberapa peralatan (instrumen), kurang diminatinya gamelan ini di kalangan generasi muda sangat menyulitkan dalam alih generasi. Sebagian besar anggota sekaa gambang ini sudah berusia lanjut dan sangat sulit dicarikan penggantinya.

Sekaa Gambang Banjar Tangguntiti, Tonja, Denpasar Utara

Berbeda dengan kedua sekaa Gambang di atas, kesenian Gambang di Banjar Tangguntiti dimiliki oleh keluarga dan saat ini disimpan di rumah Ni Wayan Warni salah seorang warga Banjar Tangguntiti. Keberadaan kesenian ini secara khusus dipergunakan untuk mengiringi upacara pitra yadnya yang dilaksanakan oleh masyarakat di sekitarnya maupun yang berada di luar desa.

Menurut penuturan Ni Wayan Warni, kesenian ini sudah diwarisi secara turun-menurun dari para leluhurnya dimana para seniman pelakunya lebih banyak berasal dari Banjar Cabe. Suatu ketika, karena sebagian besar para pelakunya berada di Banjar Cabe, gamelan ini pernah dipindahkan ke Banjar Cabe. Namun berdasarkan pawisik yang diterima oleh Ni Wayan Warni dari para leluhurnya lewat mimpi, gamelan ini akhirnya dikembalikan dan disimpan keluarga Ni Wayan Warni. Saat ini Gamelan Gambang ini masih tersimpan dalam kondisi yang baik dan sewaktu-waktu dimainkan jikalau ada anggota masyarakat yang menanggap.

Sekaa Gambang Pura Dalem Bengkel Binoh, Desa Ubung Kaja Denpasar Barat

Sekaa Gambang Banjar Binoh, Desa Ubung Kaja setelah mengalami vacuum selama beberapa tahun akhirnya berhasil direkonstrusi kembali pada tahun 2006. Keberadaan kesenian Gambang ini lebih banyak difungsikan sebagai sarana pengiring upacara di Pura Dalem Bengkel Desa Binoh Klod, yang disungsung oleh sebagian besar masyarakat Banjar Binoh.

Sekaa Gambang Wahana Gurnita, Gabungan seniman Kota Denpasar

Sekaa Gambang Wahana Gurnita terbentuk pada bulan April tahun 2008. sekaa ini merupakan gabungan dari seniman-seniman Kota Denpasar. Terbentuknya sekaa Gambang ini tidak terlepas ide Walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra yang memiliki komitmen tinggi akan keberadaan kesenian utamanya penggalian, pelestarian dan pengembangan seni klasik dan sakral di Kota Denpasar. Adanya komitmen ini juga sangat berkaitan dengan misi budaya Kota Denpasar dalam mewujudkan Denpasar sebagai Kota Budaya. Tingginya perhatian pemerintah terhadap kesenian klasik, terbukti dengan diadakannya pembelian 4 (empat) barung gamedlan Gambang dari seniman Dewa Gede Darmayasa dari Bangli. Pengadaan empat barung gamelan Gambang ini nantinya diserahkan ke masing-masing kecamatan yang ada di Kota Denpasar untuk dikelola dan dikembangkan di masing-masing kecamatan.

Adanya ide tersebut kemudian disambut dengan antusias oleh seniman-seniman Kota Denpasar, sehingga pada tahun 2008 dibentuklah sekaa Gambang Wahana Gurnita yang anggotanya direkut dari kader-kader seniman di masing-masing kecamatan di Kota Denpasar. Menurut I Ketut Suanditha selaku ketua sekaa, direkrutnya kader-kader seniman di empat kecamatan yang ada, dasar pemikirannya adalah agar nantinya kader-kader tersebut yang lebih mengembangkannya di kecamatan masing-masing (wawancara tanggal 21 Oktober 2009, di Dinas Kebudayaan Kota Denpasar).

Menyimak perkembangan yang terjadi di Kota Denpasar, walaupun secara kuantitas jumlahnya mulai mengalami peningkatan, namun dari aktivitas yang dilakukan hanya beberapa diantaranya masih eksis di masyarakat dan secara rutin dipentaskan atau di sajikan dalam rangkaian upacara keagamaan maupun event-event lainnya. Beberapa permasalahan yang terkait dengan eksistensinya, sekaa-sekaa gambang yang ada masih perlu diadakan rekonstruksi dan pembinaan demi kelangsungan hidup dari kesenian ini. Sebagaimana sekaa Gambang yang terdapat di Banjar Bekul, memperhatikan kondisi peralatan yang dimiliki sangat perlu di renovasi dan diperbaiki karena beberapa bagian dari gamelan yang dimiliki sudah rusak sehingga sulit untuk dimainkan. Sedangkan, gamelan Gambang yang terdapat di Pura Dalem Bengkel dan di Tangguntiti, perlu diadakan pembinaan secara berkesinambungan karena sebagian besar seniman pelakunya dari luar wilayah yang bersangkutan.

Bentuk Gamelan Gong Gede

Bentuk Gamelan Gong Gede

Oleh: Pande Mustika

Gamelan Gong GedeBentuk gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur tak kalah pentingnya dengan unsur-unsur seperti; bentuk ensambelisasi, musikalitas, dan tata penyajian yang dituangkan secara ekspresif di atas pentas. Gamelan Gong Gede tersebut merupakan seni karawitan, dimana perpaduan unsur-unsur budaya lokal yang sudah terakumulasi dari masa ke masa. Unsur budaya Bali tercermin pada penggunaan instrumen dari perangkat gamelan Bali dan busana yang dipergunakan  oleh para penabuh (jero gamel). Budaya lokal tampak pada penggunaan tradisi-tradisi Bali seperti tabuh-tabuh yang memakai laras pelog, sesaji, dan para penabuhnya didominasi dengan memakai kostum penabuh seperti ; ikat kepala (udeng) dipakai warna hitam, bajunya dipakai warna putih disisinya memakai safari hitam berisi simbol, memakai saput orange, dan ditambah dengan membawa keris atau seselet. Istilah jero gamel tidak jauh berbeda dengan juru gamel. Kalau dilihat dari fungsinya semuanya                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      ini berarti tukang gamel, yang sudah melekat sebagai bagian dari identitas diri seseorang.

Instrumen

Bentuk instrumen gamelan Gong Gede ada dua jenis yakni : yang    1) berbentuk bilah dan 2) berbentuk (moncol). Menurut Brata, instrumen yang berbentuk bilah ada dua macam : bentuk bilah bulig, dan bilah mausuk. Bentuk bilah bulig bisa disebut dengan : metundun klipes, metundun sambuk, setengah penyalin.

Untuk instrumen yang berbilah seperti bilah metundun klipes, metundun sambuk, setengah penyalin dan bulig terdapat dalam instrumen gangsa jongkok penunggal, jongkok pengangkem ageng, dan jongkok pengangkep alit (curing). Instrumen-instrumen ini bilahnya dipaku atau sering disebut dengan istilah gangsa mepacek. Sedangkan bentuk bilah yang diistilahkan merai, meusuk, dan meakte terdapat pada instrumen pengacah, jublag, dan jegogan. Instrumen-instrumen ini bilahnya digantung yaitu memakai tali seperti jangat.

Instrumen yang bermoncol dapat dikelompokan menjadi dua yakni: 1) moncol tegeh (tinggi) dan 2) moncol endep (pendek). Contoh instrumen yang berpancon tinggi seperti; riyong ponggang, riyong, trompong barangan, dan tropong ageng (gede). Sedangkan instrumen yang berpencon pendek (endep) antara lain kempli, bende, kempul, dan gong.

Reportoar

Bentuk reportoar gending Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, berbentuk lelambatan klasik yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian gending yang masing-masing mempunyai bentuk urutan sajian. Adapun urutan dari bagian-bagian bentuk reportoar gending dari masing-masing bentuk reportoar adalah sebagai berikut :

  1. Bentuk reportoar gending gilak (gegilakan) terdiri dari bagian gending-gending kawitan dan pengawak.
  2. Bentuk reportoar gending tabuh pisan terdiri dari bagian gending kawitan, pengawak, ngisep ngiwang, pengisep, dan pengecet.
  3. Bentuk reportoar gending tabuh telu, terdiri dari bagian gending kawitan dan pengawak.
  4. Bentuk reportoar gending tabuh pat, tabuh nem, dan tabuh kutus mempunyai bagian gending yang sama yaitu kawitan (pengawit), pengawak, pengisep (pengaras), dan pengecet. Pada bagian gending pengecet terdapat sub-sub bagian gending yang urutan sajiannya adalah kawitan, pemalpal, ngembat trompong, pemalpal tabuh telu, pengawak tabuh telu. Alternatif yang lain dari susunan sajian sub bagian gending dalam pengecet ini adalah kawitan, pemalpal, ngembat trompong, dan gilak atau gegilakan.

Bentuk reportoar gending Gong Gede dapat ditentukan oleh jumlah pukulan kempul dalam satu gong, misalnya tabuh pat terdapat empat pukulan kempul dalam satu gongan pada bagian gending pengawak dan pengisap. Demikian juga pada bentuk-bentuk gending tabuh pisan (besik), tabuh telu, tabuh nem dan tabuh kutus.

Loading...