Foto: Pawai “Waruna Nata Samasta” ISI Denpasar (Bali) bersama Sanggar Karawitan Bungan Dedari dalam Bali Street Carnival World Water Forum di Kawasan ITDC Nusa Dua Bali, Senin (20/5).
Suguhan “Waruna Nata Samasta” Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar (Bali) bersama Sanggar Karawitan Bungan Dedari tuai apresiasi penonton Bali Street Carnival World Water Forum. Carnival Budaya ini dilaksanakan Senin, 20 Mei 2024, pada pukul 17.00 sampai 18.00 WITA di Kawasan ITDC Nusa Dua Bali.
Ratusan penonton yang sebagian besar delegasi negara-negara peserta World Water Forum (WWF) ke-10 Tahun 2024 tampak antusias menyaksikan garapan tari dan tabuh, persembahan kolaboratif 173 mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan ISI Denpasar.
Foto: Pawai “Waruna Nata Samasta” ISI Denpasar (Bali) bersama Sanggar Karawitan Bungan Dedari dalam Bali Street Carnival World Water Forum di Kawasan ITDC Nusa Dua Bali, Senin (20/5).
Rute pawai dimulai dari depan Museum Pasifika Bali, selanjutnya melintas di depan panggung kehormatan yang bertempat di depan SOGO Departement Store dan Bali Collection Departement Store, serta berakhir di jalan sebelah timur Gedung Devdan Show.
Pawai Budaya bertema “Samudra Cipta Peradaban” ini merupakan persembahan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali untuk dipertunjukkan kepada peserta World Water Forum. Pawai total diikuti 1.200 peserta yang terdiri dari oleh ISI Denpasar bersama Sanggar Karawitan Bungan Dedari, Sanggar Seni Paripurna Gianyar, Sanggar Seni Pancer Langiit Bali, Sanggar Seni Kokar Bali, Sanggar Seni Gumiart, dan Sanggar Gita Mahardika.
Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerja Sama ISI Denpasar Prof. Dr. I Komang Sudirga mengatakan “Waruna Nata Samasta (WNS)” bermakna penghormatan dan pemuliaan terhadap Dewa Baruna yang menjadi tokoh sentral dalam garapan ini. Bagi masyarakat Bali, air adalah sumber kehidupan. Sumber-sumber air baik di pegunungan maupun di samudra luas tidak saja merupakan sumber kesejahteraan secara sekala-niskala (lahir-batin) tetapi juga merupakan sumber orientasi nilai seperti Ulu-Sor, Luan-Teben, Purusha-Pradana, Segara-Giri yang secara filosofis merepresentasi tentang keseimbangan ekologis yang seyogyanya dilestarikan, dirawat, dijaga, disakralkan dan disucikan.
Foto: Pawai “Waruna Nata Samasta” ISI Denpasar (Bali) bersama Sanggar Karawitan Bungan Dedari dalam Bali Street Carnival World Water Forum di Kawasan ITDC Nusa Dua Bali, Senin (20/5).
Prof. Komang Sudirga mengungkapkan, ISI Denpasar telah mempersiapkan suguhan WNS sejak 1 bulan lalu. Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan secara kolaboratif berpartisipasi untuk menciptakan garapan yang harmonis. “ISI Denpasar mempersiapkan dengan matang komposisi tari dan tabuh, serta kostum dan properti. Latihan intensif juga dilakukan guna menyuguhkan penampilan memukau bagi para penonton, sekaligus mempromosikan kekayaan seni dan budaya Bali ke kancah internasional,” ujar Guru Besar Bidang Seni Karawitan ini.
Kegiatan ini dihadiri Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri PUPR RI Basuki Hadimuljono, Sekretaris Daerah Provinsi Bali Drs. Dewa Made Indra, delegasi negara-negara peserta WWF ke-10 Tahun 2024, dan undangan lainnya. (ISIDps/Humas-RT)
DENPASAR, radarbali.id- Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara khusus menghadirkan Gambyuh Agung, sebuah ciptaan barungan baru yang bertitik mula dari pemuliaan Gambuh untuk acara Peed Aya (Pawai) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44, Minggu (12/6) lusa. Menghadirkan 88 buah instrumen gamelan dengan melibatkan 99 penabuh dan penari rarejangan.
Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana, menyatakan, bahwa barungan ini meramu padu ragam melodis asta swara bisah; dari seruling gambuh, bonang, genggong, kendang krumpung, bumbung gebyog, krepyak, mandolin, dan okokan. “Adapun asta swara bisah adalah delapan gema suara kekal, inti bunyi semesta; bisah menunjuk sandang aksara (Bali): alun pelafalan ‘h’. Setaut pemuliaan gambuh sebagai drama musikal klasik yang bergema ke seantero dunia, maka ansamble ciptaan baru ini mengedepankan instrumen bermatra mengalun melodis dengan seruling gambuh sebagai guru swara.
“Secara konseptual komposisi yang dicipta ini mengharmoni tekstur bunyi alami ketaksaan seruling pagambuhan, mengelaborasi alunan ritmis bonang, kendang, okokan, krepyak, gebyog, mandolin, dan genggong. Sejalan pemaknaan Danu Kerthi Huluning Amreta (memuliakan air sebagai sumber kehidupan), garapan Gambyuh Agung tahun ini mengambil tajuk ‘Langlang Tembang Danu’, yang menerjemahkan tradisi ritus melis sebagai prosesi penyucian alam semesta (Bhuwana Alit-Bhuwana Agung)”, terang mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu.
Dipilih sebagai komposer Nyoman Windha dan Nyoman Sudiana S.SKar, M.Si., serta Koordinator Produksi Dr. Ketut Garwa. Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar, Prof. Dr. Komang Sudirga, yang juga Pengarah Produksi, menjelaskan, barungan baru Gambyuh Agung ini merupakan representasi sumringah seruling gambuh yang dipadu harmoni semarak bunyi-bunyian alam lingkungan.
“Bentuk ansambel baru ini dijadikan sebagai media ungkap, terinspirasi tradisi melis, yang merupakan bagian aktivitas penting dalam upacara yadnya. Melis dengan sarana sampyan ‘Lis’ ketika menaburkan air, menjadi inspirasi estetik garapan ini. Berpijak dari ide tersebut, komposer menata potensi musikal mandolin, dikombinasi dengan warna-warni bunyi alam persawahan (bunyi-bunyi ekologis). Secara konseptual dan kompositoris, media ungkap ini dieksplorasi menghasilkan tekstur bunyi yang khas mendayu, mengangkat kekuatan melodi mandolin, berikut diperkuat alunan merdu seruling pagambuhan. Jenis bunyi mengalun tersebut dielaborasi degupan ritmis instrumen perkusi: bonang, kendang, okokan, kepuakan, bumbung gebyog, dan genggong (enggung),” terang Guru Besar Karawitan itu.
Nyoman Windha mengungkapkan, barungan Gambyuh Agung secara artistik mengonstruksi nuansa alunan musik tradisi berlaras pelog dan selendro secara mengalir, dengan memberi aksentuasi bunyi-bunyian yang mengalir-mendayu, sebagaimana spirit kesucian dan kebeningan air danau. “Secara musikal, irama musik prosesi inovatif ini, menerjemahkan sifat -sifat air yang lembut, lentur, teguh, kukuh, yang membuncah menembus batu karang. Karakter bunyi halus dan lembut dipadu degupan bumbunggebyog beraksen kuat.
Penampilan musik prosesi kolosal Gambyuh Agung ini, sangat berbeda dengan musik prosesi yang selama ini dikenal dan ditampilkan pada setiap pawai, seperti adi mardangga, ketug gumi, atau jenis gamelan balaganjur lainnya. Semua jenis gamelan tersebut, seragam bernuansa hingar bingar, keras, dan gemuruh.
“Gambyuh Agung, sebagai antitesa yang justru bertumpu pada jenis instrumen melodi yang lembut, mendayu, dan menggema lirih. Inilah barungan gamelan yang merepresentasikan secara simbolik kekuatan air atau danau. Tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ mengibarkan keluhuran dan kemuliaan danau sebagai sumber mata air dan penyembuhan peradaban manusia,” tambah Ketut Garwa, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
“Gambyuh Agung sebagai wahana mengalirkan gagasan tanpa henti, mengalirkan air tanpa batas. Melanglang juga bermakna berkelana menyebar air suci, seperti kemuliaan Ratu Ayu Mas Mbah membagi air Danau Batur ke seluruh Bali,” tambah Prof Sudirga. (arb/ken)
DENPASAR, MataDewata.com | Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara khusus menghadirkan Gambyuh Agung, sebuah ciptaan barungan baru yang bertitik mula dari pemuliaan Gambuh untuk acara Peed Aya (Pawai) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 pada Minggu (12/6/2022) ini. Menghadirkan 88 buah instrumen gamelan dengan melibatkan 99 penabuh dan penari rarejangan.
Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana menyatakan, bahwa barungan ini meramu padu ragam melodis asta swara bisah; dari seruling gambuh, bonang, genggong, kendang krumpung, bumbung gebyog, krepyak, mandolin dan okokan. Adapun asta swara bisah adalah delapan gema suara kekal, inti bunyi semesta; bisah menunjuk sandang aksara (Bali): alun pelafalan ‘h’. Setaut pemuliaan gambuh sebagai drama musikal klasik yang bergema ke seantero dunia. Maka ansamble ciptaan baru ini mengedepankan instrumen bermatra mengalun melodis dengan seruling gambuh sebagai guru swara.
“Secara konseptual komposisi yang dicipta ini mengharmoni tekstur bunyi alami ketaksaan seruling pagambuhan, mengelaborasi alunan ritmis bonang, kendang, okokan, krepyak, gebyog, mandolin dan genggong. Sejalan pemaknaan Danu Kerthi Huluning Amreta (memuliakan air sebagai sumber kehidupan). Garapan Gambyuh Agung tahun ini mengambil tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ yang menerjemahkan tradisi ritus melis sebagai prosesi penyucian alam semesta (Bhuwana Alit-Bhuwana Agung),” terang mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu di kampus setempat, Senin (9/6/2022).
Dipilih sebagai komposer Nyoman Windha dan Nyoman Sudiana S.SKar, M.Si., serta Koordinator Produksi Dr. Ketut Garwa. Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar, Prof. Dr. Komang Sudirga, yang juga Pengarah Produksi menjelaskan, barungan baru Gambyuh Agung ini merupakan representasi sumringah seruling gambuh yang dipadu harmoni semarak bunyi-bunyian alam lingkungan.
Ditambahkannya, bentuk ansambel baru ini dijadikan sebagai media ungkap, terinspirasi tradisi melis yang merupakan bagian aktivitas penting dalam upacara yadnya. Melis dengan sarana sampyan ‘Lis’ ketika menaburkan air, menjadi inspirasi estetik garapan ini. Berpijak dari ide tersebut, komposer menata potensi musikal mandolin, dikombinasi dengan warna-warni bunyi alam persawahan (bunyi-bunyi ekologis).
Secara konseptual dan kompositoris, media ungkap ini dieksplorasi menghasilkan tekstur bunyi yang khas mendayu. Mengangkat kekuatan melodi mandolin, berikut diperkuat alunan merdu seruling pagambuhan. “Jenis bunyi mengalun tersebut dielaborasi degupan ritmis instrumen perkusi: bonang, kendang, okokan, kepuakan, bumbung gebyog dan genggong (enggung), “ terang Guru Besar Karawitan itu.
Komposer Nyoman Windha mengungkapkan, barungan Gambyuh Agung secara artistik mengonstruksi nuansa alunan musik tradisi berlaras pelog dan selendro secara mengalir, dengan memberi aksentuasi bunyi-bunyian yang mengalir-mendayu, sebagaimana spirit kesucian dan kebeningan air danau. “Secara musikal, irama musik prosesi inovatif ini, menerjemahkan sifat -sifat air yang lembut, lentur, teguh, kukuh, yang membuncah menembus batu karang. Karakter bunyi halus dan lembut dipadu degupan bumbung gebyog beraksen kuat,” terangnya.
Penampilan musik prosesi kolosal Gambyuh Agung ini, sangat berbeda dengan musik prosesi yang selama ini dikenal dan ditampilkan pada setiap pawai, seperti adi mardangga, ketug gumi, atau jenis gamelan balaganjur lainnya. Semua jenis gamelan tersebut, seragam bernuansa hingar bingar, keras dan gemuruh.
“Gambyuh Agung, sebagai antitesa yang justru bertumpu pada jenis instrumen melodi yang lembut, mendayu, dan menggema lirih. Inilah barungan gamelan yang merepresentasikan secara simbolik kekuatan air atau danau. Tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ mengibarkan keluhuran dan kemuliaan danau sebagai sumber mata air dan penyembuhan peradaban manusia, “ tambah Ketut Garwa, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. “
“Gambyuh Agung sebagai wahana mengalirkan gagasan tanpa henti, mengalirkan air tanpa batas. Melanglang juga bermakna berkelana menyebar air suci, seperti kemuliaan Ratu Ayu Mas Mbah membagi air Danau Batur ke seluruh Bali,” tambah Prof Sudirga. Ks-MD