Denpasar (ANTARA) – Institut Seni Indonesia Denpasar membawakan pergelaran sendratari (seni drama dan tari) berlakon Ratu Ayu Mas Membah dengan paduan artistik tradisi, lakon mitos dan kekuatan teknologi, dalam ajang pergelaran perdana Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44.
Sendratari dengan lakon Ratu Ayu Mas Membah ini menampilkan narasi mitologis tentang kemuliaan dan kesucian Danau Batur,” kata Rektor ISI Denpasar Prof Dr Wayan Kun Adnyana dalam keterangan tertulisnya di Denpasar, Senin.
Penampilan ISI Denpasar pada malam pertama PKB sangat mempesona undangan dan ribuan penonton yang hadir memenuhi tempat duduk Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, pada Minggu (12/6) itu.
Sebanyak 200-an seniman, dari penari, penabuh, gerong, dalang, dan narator, serta penata lampu dan video, tampil padu, saling menguatkan. Sekaligus berhasil mencipta tempo artistik yang memukau. Banyak adegan yang mendapat respons tepuk tangan penonton.
Prof Kun Adnyana menambahkan, garapan tersebut dikreasi dengan memadukan kekuatan tari, ritmis gamelan, mistis gending dan tembang, juga gemerlap tata lampu, efek asap buatan, efek bunyi elektronik, dan teknologi video.
“Lakon yang mengisahkan nun jauh di masa lalu, kala Gunung Batur purba meletus. Menjadikan Tampur Hyang mengambil jalan tapa semadi memohon anugerah Bhatara Indra,” ujarnya pada acara yang juga disaksikan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, Menteri Parekraf Sandiaga Uno, Gubernur Bali Wayan Koster, dan pejabat daerah Bali lainnya.
Bhatara/Dewa Indra kemudian mencipta Danau Batur, dan mengamanatkan agar air jernih menyejukkan kehidupan ini dibagi ke seluruh penjuru Bali. Ratu Ayu Mas Membah/Mbah membagi air, bertemu kawula dan prajuru negari.
Guru Besar Sejarah Seni Rupa itu melanjutkan, dalam perjalanan membagi air Batur, Ratu Ayu Mas Mbah mengalami banyak godaan, hingga bertriwikrama menjadi sosok tua renta. Kemudian menciptakan tiga danau untuk menggenapi Danau Batur, yakni: Danau Buyan, Tamblingan, dan Beratan.
“Empat sumber mata air abadi itu yang menghidupi dan penyembuh peradaban Bali; Catur Kumbha Mahosadhi,” ujar Dr Ketut Kodi selaku dalang tunggal pergelaran itu.
Adegan penutup, benar-benar menjadi puncak yang mengesankan, Ratu Ayu Mas Membah dari sosok renta menyempurna sebagai jelita sempurna dalam prabawa Dewi Danu.
Babak akhir ini ditata berkarisma dengan penampilan Sadyang Panji, tiga barong purbawi, naga raksana, dan juga tata cahaya dan efek bunyi elektronik yang mengesankan.
Rektor ISI turun langsung bersama direktur artistik Dr Ketut Suteja, Ketua Produksi Dr Made Arsiniwati, pengarah Prof Komang Sudirga, koreografer Surya Negara, Adi Gunarta, Bang Sada, Komang Sri Wahyuni, Wayan Suartini, dan Tjok Istri Padmini.
Sementara komposisi gamelan dipandu komposer Dr Ketut Garwa, Nyoman Kariasa, Diana Putra, Nyoman Parta, Nyoman Mariana, Nyoman Sudina, dan Andika Putra.
Selain karena penguasaan gerak tari yang mumpuni dari kalangan dosen seperti Made Sidia, Ida Wayan Satyani, Wayan Sutirta, juga didukung penuh talenta muda mahasiswa sarjana dan pascasarjana ISI Denpasar.
Penampilan juga disempurnakan tembang gerong, tata kostum, rias karakter, dan properti pertunjukan.
Desainer kostum, properti, video, tata panggung, gerong, narator dan tandak, serta tata rias diterjunkan dari dosen lintas fakultas.
Mereka itu yakni Anom Mayun Konta, Cok Alit Artawan, Ayu Ketut Putri Rahayuning, Bagus Hari Kayana, Sekar Marheni, Made Astari, Ngurah Dwijaksara, Bagus Bratanatyam, Ngurah Sudibia, Sutapa, Manik Suryani, Agung Swandewi, Nyoman Kasih dan Sulistyawati.
Direktur artistik Dr Ketut Suteja menjelaskan, pergelaran hasil kolaborasi ISI Denpasar dengan Komunitas Usadhi Lango ini dipersiapkan selama kurang lebih tiga bulan.
Proses penciptaan karya dimulai dengan penyusunan skenario yang diarahkan oleh Ratu Begawan Putra Nawawangsa, latihan sektoral, dan gelar gabungan.
Seluruh undangan dan ribuan penonton haru dan bahagia menonton pergelaran, mengingat di awal acara sempat turun gerimis, jelang dimulai rembulan rekah dan langit benderang sampai akhir acara.
“Patapakan atau topeng Ratu Ayu Mas Mbah memang merupakan topeng yang disakralkan, sejak pertama dipergelarkan pada acara Nuwur Kakuwung Ranu di jaba Pura Segara Danau Batur, kerja sama ISI Denpasar dengan Yayasan Puri Kauhan Ubud,” ujar Jero Mangku Adi, pamangku Pura Padma Nareswara ISI Denpasar itu.
DENPASAR, radarbali.id- Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara khusus menghadirkan Gambyuh Agung, sebuah ciptaan barungan baru yang bertitik mula dari pemuliaan Gambuh untuk acara Peed Aya (Pawai) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44, Minggu (12/6) lusa. Menghadirkan 88 buah instrumen gamelan dengan melibatkan 99 penabuh dan penari rarejangan.
Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana, menyatakan, bahwa barungan ini meramu padu ragam melodis asta swara bisah; dari seruling gambuh, bonang, genggong, kendang krumpung, bumbung gebyog, krepyak, mandolin, dan okokan. “Adapun asta swara bisah adalah delapan gema suara kekal, inti bunyi semesta; bisah menunjuk sandang aksara (Bali): alun pelafalan ‘h’. Setaut pemuliaan gambuh sebagai drama musikal klasik yang bergema ke seantero dunia, maka ansamble ciptaan baru ini mengedepankan instrumen bermatra mengalun melodis dengan seruling gambuh sebagai guru swara.
“Secara konseptual komposisi yang dicipta ini mengharmoni tekstur bunyi alami ketaksaan seruling pagambuhan, mengelaborasi alunan ritmis bonang, kendang, okokan, krepyak, gebyog, mandolin, dan genggong. Sejalan pemaknaan Danu Kerthi Huluning Amreta (memuliakan air sebagai sumber kehidupan), garapan Gambyuh Agung tahun ini mengambil tajuk ‘Langlang Tembang Danu’, yang menerjemahkan tradisi ritus melis sebagai prosesi penyucian alam semesta (Bhuwana Alit-Bhuwana Agung)”, terang mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu.
Dipilih sebagai komposer Nyoman Windha dan Nyoman Sudiana S.SKar, M.Si., serta Koordinator Produksi Dr. Ketut Garwa. Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar, Prof. Dr. Komang Sudirga, yang juga Pengarah Produksi, menjelaskan, barungan baru Gambyuh Agung ini merupakan representasi sumringah seruling gambuh yang dipadu harmoni semarak bunyi-bunyian alam lingkungan.
“Bentuk ansambel baru ini dijadikan sebagai media ungkap, terinspirasi tradisi melis, yang merupakan bagian aktivitas penting dalam upacara yadnya. Melis dengan sarana sampyan ‘Lis’ ketika menaburkan air, menjadi inspirasi estetik garapan ini. Berpijak dari ide tersebut, komposer menata potensi musikal mandolin, dikombinasi dengan warna-warni bunyi alam persawahan (bunyi-bunyi ekologis). Secara konseptual dan kompositoris, media ungkap ini dieksplorasi menghasilkan tekstur bunyi yang khas mendayu, mengangkat kekuatan melodi mandolin, berikut diperkuat alunan merdu seruling pagambuhan. Jenis bunyi mengalun tersebut dielaborasi degupan ritmis instrumen perkusi: bonang, kendang, okokan, kepuakan, bumbung gebyog, dan genggong (enggung),” terang Guru Besar Karawitan itu.
Nyoman Windha mengungkapkan, barungan Gambyuh Agung secara artistik mengonstruksi nuansa alunan musik tradisi berlaras pelog dan selendro secara mengalir, dengan memberi aksentuasi bunyi-bunyian yang mengalir-mendayu, sebagaimana spirit kesucian dan kebeningan air danau. “Secara musikal, irama musik prosesi inovatif ini, menerjemahkan sifat -sifat air yang lembut, lentur, teguh, kukuh, yang membuncah menembus batu karang. Karakter bunyi halus dan lembut dipadu degupan bumbunggebyog beraksen kuat.
Penampilan musik prosesi kolosal Gambyuh Agung ini, sangat berbeda dengan musik prosesi yang selama ini dikenal dan ditampilkan pada setiap pawai, seperti adi mardangga, ketug gumi, atau jenis gamelan balaganjur lainnya. Semua jenis gamelan tersebut, seragam bernuansa hingar bingar, keras, dan gemuruh.
“Gambyuh Agung, sebagai antitesa yang justru bertumpu pada jenis instrumen melodi yang lembut, mendayu, dan menggema lirih. Inilah barungan gamelan yang merepresentasikan secara simbolik kekuatan air atau danau. Tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ mengibarkan keluhuran dan kemuliaan danau sebagai sumber mata air dan penyembuhan peradaban manusia,” tambah Ketut Garwa, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
“Gambyuh Agung sebagai wahana mengalirkan gagasan tanpa henti, mengalirkan air tanpa batas. Melanglang juga bermakna berkelana menyebar air suci, seperti kemuliaan Ratu Ayu Mas Mbah membagi air Danau Batur ke seluruh Bali,” tambah Prof Sudirga. (arb/ken)
DENPASAR, MataDewata.com | Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara khusus menghadirkan Gambyuh Agung, sebuah ciptaan barungan baru yang bertitik mula dari pemuliaan Gambuh untuk acara Peed Aya (Pawai) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 pada Minggu (12/6/2022) ini. Menghadirkan 88 buah instrumen gamelan dengan melibatkan 99 penabuh dan penari rarejangan.
Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana menyatakan, bahwa barungan ini meramu padu ragam melodis asta swara bisah; dari seruling gambuh, bonang, genggong, kendang krumpung, bumbung gebyog, krepyak, mandolin dan okokan. Adapun asta swara bisah adalah delapan gema suara kekal, inti bunyi semesta; bisah menunjuk sandang aksara (Bali): alun pelafalan ‘h’. Setaut pemuliaan gambuh sebagai drama musikal klasik yang bergema ke seantero dunia. Maka ansamble ciptaan baru ini mengedepankan instrumen bermatra mengalun melodis dengan seruling gambuh sebagai guru swara.
“Secara konseptual komposisi yang dicipta ini mengharmoni tekstur bunyi alami ketaksaan seruling pagambuhan, mengelaborasi alunan ritmis bonang, kendang, okokan, krepyak, gebyog, mandolin dan genggong. Sejalan pemaknaan Danu Kerthi Huluning Amreta (memuliakan air sebagai sumber kehidupan). Garapan Gambyuh Agung tahun ini mengambil tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ yang menerjemahkan tradisi ritus melis sebagai prosesi penyucian alam semesta (Bhuwana Alit-Bhuwana Agung),” terang mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu di kampus setempat, Senin (9/6/2022).
Dipilih sebagai komposer Nyoman Windha dan Nyoman Sudiana S.SKar, M.Si., serta Koordinator Produksi Dr. Ketut Garwa. Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar, Prof. Dr. Komang Sudirga, yang juga Pengarah Produksi menjelaskan, barungan baru Gambyuh Agung ini merupakan representasi sumringah seruling gambuh yang dipadu harmoni semarak bunyi-bunyian alam lingkungan.
Ditambahkannya, bentuk ansambel baru ini dijadikan sebagai media ungkap, terinspirasi tradisi melis yang merupakan bagian aktivitas penting dalam upacara yadnya. Melis dengan sarana sampyan ‘Lis’ ketika menaburkan air, menjadi inspirasi estetik garapan ini. Berpijak dari ide tersebut, komposer menata potensi musikal mandolin, dikombinasi dengan warna-warni bunyi alam persawahan (bunyi-bunyi ekologis).
Secara konseptual dan kompositoris, media ungkap ini dieksplorasi menghasilkan tekstur bunyi yang khas mendayu. Mengangkat kekuatan melodi mandolin, berikut diperkuat alunan merdu seruling pagambuhan. “Jenis bunyi mengalun tersebut dielaborasi degupan ritmis instrumen perkusi: bonang, kendang, okokan, kepuakan, bumbung gebyog dan genggong (enggung), “ terang Guru Besar Karawitan itu.
Komposer Nyoman Windha mengungkapkan, barungan Gambyuh Agung secara artistik mengonstruksi nuansa alunan musik tradisi berlaras pelog dan selendro secara mengalir, dengan memberi aksentuasi bunyi-bunyian yang mengalir-mendayu, sebagaimana spirit kesucian dan kebeningan air danau. “Secara musikal, irama musik prosesi inovatif ini, menerjemahkan sifat -sifat air yang lembut, lentur, teguh, kukuh, yang membuncah menembus batu karang. Karakter bunyi halus dan lembut dipadu degupan bumbung gebyog beraksen kuat,” terangnya.
Penampilan musik prosesi kolosal Gambyuh Agung ini, sangat berbeda dengan musik prosesi yang selama ini dikenal dan ditampilkan pada setiap pawai, seperti adi mardangga, ketug gumi, atau jenis gamelan balaganjur lainnya. Semua jenis gamelan tersebut, seragam bernuansa hingar bingar, keras dan gemuruh.
“Gambyuh Agung, sebagai antitesa yang justru bertumpu pada jenis instrumen melodi yang lembut, mendayu, dan menggema lirih. Inilah barungan gamelan yang merepresentasikan secara simbolik kekuatan air atau danau. Tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ mengibarkan keluhuran dan kemuliaan danau sebagai sumber mata air dan penyembuhan peradaban manusia, “ tambah Ketut Garwa, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. “
“Gambyuh Agung sebagai wahana mengalirkan gagasan tanpa henti, mengalirkan air tanpa batas. Melanglang juga bermakna berkelana menyebar air suci, seperti kemuliaan Ratu Ayu Mas Mbah membagi air Danau Batur ke seluruh Bali,” tambah Prof Sudirga. Ks-MD