Oleh : Drs. I Wayan Suardana, M.Sn., Jurusan Kriya Seni, FSRD, Penciptaan 2008
Abstrak Penelitian
Setiap upacara adat dan keagamaan di Bali memrlukan Upakara sebagai wujud dari Upacara tersebut, dan disesuaikan dengan jenis dan tujuan Upacara yang dilakukan. Material Upakara sebagain besar merupakan segala hasil dari lingkugan alam yang ada yang diolah sedemikian rupa dan jadulah suatu bentuk tertentu yang secara visual mengandung nilai estestis yang tinggi. Disamping kandungan estetis yang tinggi didalamnya juga terkandung nilai filosofis dengan penuh makna dan arti.
Keagungan dan kemuliaan segala peralatan Upacara dan didukung dengan prosesi Upacara yang sngat meriah dan kusuk memperlihatkan betapa sucinya dan indahnya Upakara tersebut. Segala sesuatu penuh makna dan penuh arti dan secara visual memancarkan kandungan nilai estetis yang tak ternilai harganya. Kebahagiaan dan kebanggaan akan muncul di hati orang atau masyarakat apabila mereka telah melaksanakan Upacara secara lengkap dan meriah.
Pelaksanaan Upacra persembahan telah selesai, maka segala Upakara yang disebut dengan Lugsuran atau Paridan sudah dapat dipindahkan dan dirapikan. Bagian dan kondisinya masih baik dapat dimakan atau dapat digunakan untuk yang lainnya, tetapi bagian yang tidak berguna dapat dibuang sebagai sampah. Sesuatu yang sangat mulia dan sangat agung dalam beberapa hari atau menit saja kemudian sudah menjadi sampah yang tidak berguna bahakan dianggap mengganggu.
Dari kaca mata artistik puing-puing Upakara ternyata tidak hanya sampah belaka, tetapi suatu yang sngat menarik dan mengandung nilai estetis yang tinggi. Puing-puing Upakara merupakan suatu media yang sangat artistik yang sungguh sangat sayang dibuang begitu saja. Fenimena di atas melahirkan sebuah konsep penciptaan yaitu “Tebuang Sayang” yang dilatar belakangi oleh aktifitas Upacara keagamaan, dimana totalitas religius yang kuat sebelum pelaksanaan Upakara tidak dibarengi dengan penghargaan setelah upacara selesai. Sungguh sangat sayang sebuah karya seni yang agung dan artistik dibuang begitu saja tatkala sudah dianggap tidak berguna lagi dan menjadi puing-puing sampah yang tak karuan.
Dari hasil eksplorasi yang penggarap lakukan, penggarap berhasil membuat beberapa rancangan disain kriya murni dalam bentuk dua dimensional yang diaktualisasikan dengan teknik ukir. Teknik pahatan yang digunakan disini sedikit keluar dari pakem kriya selama ini yang mana pahatan harus dimunculkan secara unik, rumit, halus dan sebaginya. Namun dalam karya ini pahatan ditampilkan secara ekspresif yang penuh dengan kebebasan baik melalui garis, bidang, ruang dan tekstur. Pahatan ekspresif ini digunakan untuk menghilangkan image selama ini bahwa untuk menghasilkan sebuah karya kriya memerlukan ketekunan dan waktu yang relatif lama. Disamping itu juga untuk menjawab bahwa dalam kriya itu juga ada gagasan dan ekspresi dan bukan hanya kemampuan ketrampilan belaka. Finishing dalam karya ini menggunakan eksperimen warna yang ditampilkan baik secara pelakat maupun transparan dengan goresan kuas yng ekspresif. Penggunaan warna sebagai finishing karya ini karena ingin memunculkan warna yang sebenarnya dari sumber obyek yang ada. Centre of interes juga akan dimunculkan dari proses pewaqrnaan ini. Warna yang digunakan adalah warna akrelic yaitu warna pencair air yang dapat diolah dengan mudah. Pencampuran dan permainan warna akan diadakan di atas material sehingga kan menjadi warna komplementer yang scara visual warna menjadi dominan. Finishing akhir dipoles dengan semir kiwi untuk mencari kilap yang mncul dari dalam kayu.