Di ruang berukuran sekitar 2 x 4 meter di sebuah gang di Rawamangun, Jakarta Timur, dua laki-laki masing-masing menghadap layar komputer, salah satunya berisi permainan kartu. ”Kalau tesis, kami yang mengerjakan, tetapi disertasi nanti bos yang bikin, kami semua membantu,” tutur Oni, salah satu dari ketiganya.
Itulah praktik yang tersebar setidaknya di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar: membuatkan skripsi, tesis, dan disertasi sesuai pesanan. Ada yang jelas-jelas merupakan transaksi jual-beli biasa—sediakan judul penelitian dan uang, tesis, dan disertasi akan kami buatkan sesuai waktu—hingga praktik yang abu-abu karena masih melibatkan mahasiswa dalam pengerjaan.
Praktik seperti itu tidak sulit ditemui. Mereka beriklan di internet dan media cetak, lengkap dengan alamat dan nomor telepon serta nama yang bisa dikontak. Penelusuran di internet membawa ke lokasi seperti di atas. Isi ruangan hanya dua perangkat komputer dan beberapa kursi.
Untuk meyakinkan calon klien, ketiganya yang tampak santai dengan bersandal dan salah satunya memakai kaos oblong tanpa lengan mengklaim beberapa mahasiswa perguruan tinggi negeri di Yogyakarta dan Jakarta pernah meminta jasa mereka.
Tak jauh dari situ, di kawasan Jalan Pramuka, terselip di gang becek dan gelap di antara toko-toko pembuat stempel dan spanduk, di kios berukuran 2 meter x 2 meter, juga ditawarkan jasa pembuatan skripsi dan tesis.
”Saya hanya bisa beberapa bidang, hukum perdata tidak bisa; hukum yang ada hubungan dengan otonomi bisa. Saya tidak bisa bikin disertasi,” kata Igar (62) yang mengaku pensiunan guru SMA di Medan dan sarjana teknik mesin lulusan universitas swasta di kota yang sama.
Dia menunjukkan tesis yang baru dia selesaikan, topiknya otonomi di Papua untuk mahasiswa sebuah universitas swasta. ”Kalau sedang tidak banyak pesanan, tak sampai sebulan tesis selesai. Saya hanya perlu judul dan informasi tentang daerah yang diteliti, semua saya yang kerjakan. Pustaka bisa dari saya atau dari mahasiswa,” janjinya dan mengatakan dia hanya memahami buku berbahasa Indonesia.
Merata
Praktik subkontrak pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi bukan barang baru. Yang memprihatinkan, praktik yang menghasilkan skripsi, tesis, dan disertasi asli tapi palsu (aspal) ini meluas.
Menurut klaim para pemberi jasa, jasa mereka juga dimanfaatkan oleh mahasiswa PTN terkemuka. Pemesannya, terutama untuk tesis dan disertasi, adalah profesional, politisi, petinggi di BUMN, dan birokrat di lembaga strategis perencanaan nasional.
Tono (36), pengajar di PTN terkemuka di Jakarta, mengaku pernah menghubungkan temannya, calon notaris, yang butuh bantuan membuat tesis, dengan temannya yang dosen di PTN terkenal di Jakarta. Aan (31), magister komunikasi dari PTN ternama di Jakarta, mengaku ”mengampu” temannya dalam menyelesaikan disertasi di sebuah PTN di Jakarta.
Di Surabaya, Tria, yang mengaku magister manajemen dari PTN terkenal di kota itu, bersedia melayani konsultasi melalui internet menjelang mahasiswa ujian tesis atau disertasi. Dia dan teman-temannya sanggup membuatkan tesis dan disertasi dari bidang keilmuan apa saja, termasuk kedokteran bidang tertentu, kecuali psikologi, arsitektur, dan teknik mesin.
”Konsultan untuk teknik mesin sudah berhenti, dapat kerja lebih baik,” paparnya.
Motivasi kedua belah pihak beragam. Dari pembuat, ada yang beralasan untuk menyambung hidup, seperti pengakuan Igar. Ada yang untuk mobilisasi sosial vertikal.
”Saya mendapat jaringan teman-teman orang yang saya bantu. Dari kontak-kontak itu saya dapat pekerjaan sampai sekarang,” kata Wid, sarjana tata negara, yang tutup mulut tentang orang yang dia bantu.
Motif dari pihak pemesan juga macam-macam, mulai dari agar diangkat jadi PNS, naik pangkat, gengsi, hingga mobilisasi sosial vertikal. Ira, yang pernah menjadi peneliti biologi di PTN di Bandung, menyebut, ada dokter klinik ”menyeberang” ke bidang riset laboratorium minta dibuatkan penelitian.
Selain ingin gelar mentereng, doktor, juga untuk membuat makalah yang dibawa ke seminar di luar negeri dan agar usia kerja sebagai PNS lebih panjang. ”Untuk makalah ilmiah, nama saya dicantumkan sebagai penulis kedua karena si dokter memotong DNA saja tidak bisa, tetapi dia pesan penelitian menyangkut biologi molekuler,” tutur Ira.
Ira dan beberapa teman bersedia melakukan penelitian pesanan itu karena semangat mengembangkan ilmu sebagai peneliti tidak difasilitasi memadai. ”Bahan kimia untuk penelitian mahal sekali dan penelitian selalu berisiko gagal sehingga harus diulang,” papar Ira.
Biaya bervariasi
”Biro jasa” menawarkan dari Rp 1,5 juta untuk skripsi, Rp 3,5 juta untuk tesis, hingga Rp 35 juta untuk disertasi. ”Biaya ini murah dibandingkan dengan tempat lain,” kata Oni.
”Biaya bikin disertasi mahal soalnya harus ada yang baru.” Mahasiswa cukup menyerahkan judul yang disetujui pembimbing atau promotor, menyebut atau memberi judul buku bacaan sesuai keinginan dosen pembimbing atau tak terlibat apa pun.
”Jurnal gampang dicari di intenet,” kata Irman, teman Oni, yang mengaku adalah magister hukum PTN di Jakarta. Soal mahasiswa paham atau tidak paham isi tesis atau disertasi bukan urusan pembuat.
”Nanti kalau baca, kan, ngerti sendiri,” ujar Irman. ”Kalau mau ada diskusi, latihan tanya-jawab sebelum ujian, saya carikan orang-orangnya, tetapi tidak termasuk paket.”
Ira menyebut angka hingga Rp 150 juta untuk penelitian biologi molekuler, sementara Aan menyebut sekitar Rp 60 juta untuk pekerjaan membaca buku dan mencari jurnal, menyusun proposal dan metodologi, hingga membuatkan kesimpulan disertasi temannya.
”Saya libatkan teman yang saya bantu itu ikut baca buku, meneliti ke lapangan, dan ambil kesimpulan penelitian,” tutur Aan, magister komunikasi PTN di Jakarta. ”Terus terang, saya mulanya hanya membantu, tapi belakangan merasa kok (tindakan) ini salah.” (NMP/MH)
Sumber: http://edukasi.kompas.com