Oleh A.A Gede Yugus, Dosen Dosen Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, diterbitkan dalam jurnal mudra edisi september 2007.
Saat berkarya seni, seniman tidak dapat berkarya tanpa mulai mempertimbangkan “dewasa” positif dan negatif. Nilai spiritual yang bersifat relegius magis, seperti gambar rerajahan, gambar bbcggsimbol-simbol pretima, merupakan gambar yang sangat disucikan, sehingga baru bisa dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu, seperti pada odalan dan hari-hari suci lainnya. Namun karya seni lukis dijumpai pada bangunan suci yang difungsikan sebagai penghias pada upacra keagamaan, yakni untuk hiasan dinding, hiasan pada ider-ider, kober, langse, umbul-umbul, atau lelontek. Dalam hal ini umumnya karya-karya lukisan selalu mengambil tema dari mitologi seperti ceritera Mahabrata dan Ramayana yang bersumber dari buku-buku ajaran agama Hindu. Akan tetapi bentuk lukisan rerajahan yang digambarkan di atas kain putih berupa perpaduan aksara suci yang berujud Ong Kara (simbol Tuhan ). Sebelum memulai melukis para seniman mesti melakukan doa agar apa yang digoreskan mendapat kesucian dan mewujudkan sepirit (Arsana, 2004:205).
Dalam perkembangan berikutnnya seni lukis Bali juga tidak menutup diri dari pengaruh-pengaruh Barat. Pengaruh ini sudah ada sebelum pemerintah kolonial Belanda berkehendak menguasai penuh Pulau Bali awal abad XX. Hal ini terbukti dengan adanya patra jahe, patra punggel, patra cina, dan patra olanda dalam pembendaharaan dalam seni lukis di Bali, atau pada patra awangga, campuran gaya ukiran Bali, Belanda, dan Tiongkok (Darmawan, 2006:22).
Tahun 1920-an dibuka kantor pariwisata di Singaraja. Karya ukiran-ukiran sejak tahun itu mulai diproduksi dalam volume yang semakin meningkat dan wisatawan yang berkunjung semakin meningkat. Muncul pemilahan yang jelas antara pungsi yang bersifat relegius lama juru gambar yang masih bertahan dengan fungsi komersial sekuler yang baru berkembang. Selain istilah juru gambar, muncul, istilah “seniman lukis”. Tema karya-karyanya masih terangkat dari unsur-unsur kesenian lama, seperti relief, ceritera Tantri, dan fabel.
Selanjutnya, terjadi perkembangan mendapat pengaruh seniman asing tersebut (Anonim,1978). Di samping itu, kedua seniman ini banyak membawa pengaruh dan perubahan pada bidang seni lukis di Bali. Selain itu, terjadi perpaduan budaya antara pelukis Bali yang telah memiliki keterampilan teknik tradisional yang tinggi dengan pelukis asing ata Barat (R. Bonnet dan Walter Spies ) yang menguasai teknik baru dari Barat.
Akibat perpaduan budaya tersebut menyebabkan seniman-seniman muda Bali membuka diri, terutama perkembangannya sikap toleransi terhadap konsep-konsep baru yang dinilai positif untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan seni, dan yang lainnya. Kontak budaya ini terus berlangsung sehingga terbentuklah perkumpulan pelukis yang di beri nama Pitha Maha tahun 1935. Kedua pelukis Barat tersebut, bersama-sama seniman lokal di Ubud, terus mengadakan pembaharuan, khususnya di bidang seni lukis. Di samping itu Walter Spies dan R.Bonnet memberi pendidikan kepada mereka yang belajar melukis dan tertarik terhadap realis, yakni dengan mempelajari proporsi dan anatomi, kemudian diolah menjadi corak tradisional yang bersifat dekoratif. Munculnya R. Bonnet dan Walter Spies di tengah-tengah pelukis-pelukis Pita Maha melahirkan corak dan identitas terhadap para seniman masing-masing. Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dengan seni lukis yang berkembang sebelumnya. Dalam hal ini seperti penciptaan seni lukis untuk kepentingan relegius atau keagamaan yang di kerjakan secara komunal, yaitu masyarakat secara bersama-sama mengerjakan, kemudian pada hasil akhir tidak perlu mencamtumkan identitas penciptanya.
Dari perubahan pola tersebut, muncullah seniman yang kreatif menonjolkan identitas karyanya, di antaranya di Ubud yang sangat menonjol adalah pelukis A.A. Gede Sobrat, A.A Gede Meregeg, Ida Bagus Made, I Gusti Nyoman Moleh, I Dewa Ketut Ding, dan puluhan seniman lukis lainnya. Termasuk di Br. Padang Tegal. Di Pengosekan muncul pelukis I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Baret, I Ngendon dan yang lainya. Seni lukis Bali modern yang baru tumbuh ini mendapat sentuhan modern dari seni lukis corak Barat sehingga melahirkan berbagai gaya atau stil lukisan dengan ciri khas masing-masing. Sentuhan budaya Barat ini mempercepat proses pematangan dan menumbuhkan barbagai stil seperti lukisan gaya Ubud, Batuan, Pengosekan, Tebesaya, Kutuh, Padang Tegal, dan lain-lainnya. Dari berbagai perubahan dan pembaharuan yang dibawa pelukis Barat tersebut, kemudian muncul tema-tema kehidupan sehari-hari, di samping itu, ciri khas yang kedua adalah munculnya garis anatomi, perspektif, pengertian komposisi, proporsi, sinar bayangan, dan teknik seni lukis yang lebih disempurnakan.
Salah seorang pelukis Bali yang menonjol saat itu adalah pelukis A.A. Gede Sobrat dari Banjar Padang Tegal Ubud. A.A. Gede Sobrat sebagai pelopor pembaharuan seni lukis Ubud. Bakat seni dari garis ayah dan juga dari garis ibu. Bakat seni dari garis ibu menurun dari kakeknya bernama I Seleseh, adalah seorang undagi terkemuka di desanya dalam mengerjakan Puri Ubud, dan dari ibu yang sangat menguasai jejaitan banten. A.A. Gede Sobrat dilahirkan di Banjar Padang Tegal Ubud, Kabupaten Gianyar. Bakat seninya telah tampak sejak kecil. Dia selalu senang menonton berbagai pertunjukan kesenian, khususnya pertunjukan wayang kulit, yaitu bentuk kesenian yang memiliki nilai pendidikan, etika, dan kesenirupaan. Pada usia belasan tahun, yakni untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga, A.A. Gede Sobrat telah bekerja sebagai penerima telepon di Puri Ubud, yang saat itu sudah sering menerima kunjungan wisatawan domestik dari mancanegara. Di sinilah awal perkenalan dengan wisatawan, termasuk R.Bonnet dan Walter Spies, yang saat itu sebagai tamu Puri Ubud. Dengan perantara Cokorda Agung Sukawati persahabatan Sobrat dengan tamunya semakin akrab.
Fungsi Seni Lukis Bali Modern Anak Agung Gede Sobrat selengkapnya