Gianyar-Sebagai implementasi atas keberhasilan ISI Denpasar dalam memenangkan Program Hibah Kompetisi (PHK) –B-Seni Bacht IV 2009, yang diraih oleh Jurusan Seni Tari, Jurusan Pedalangan dan Jurusan Seni Rupa Murni. Maka pada hari Sabtu (31/10 2009), Jurusan Pedalangan akan mementaskan karya Pakeliran Wayang Inovatif dengan judul “Sangita Mahamaya”. Ini merupakan karya adaptasi dari gelar wayang berjudul “Kidung Mpu Tantular”, Karya I Gusti Putu Sudarta, SSP, MSn ketika menyelesaikan studi pascasarjananya di ISI Surakarta setahun yang lalu. Namun sekarang dikemas lebih monumental apalagi lokasi pementasan (Pura Samuan Tiga) yang dipilih cukup mempunyai aura magis dan historis yang cukup tinggi. Dimana menurut sejarah Pura Samuan Tiga adalah lokasi dimana seluruh sekte-sekte Agama Hindu di Bali disatukan menjadi konsep Tri Kahyangan oleh Mpu Kuturan. Jadi terdapat korelasi antara konsep pementasan sisi historis .
Menurut Koordinator Program yang sekaligus Pembantu Dekan I Fakultas Seni Pertunjukan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP, MSn, Karya ini bermaksud untuk mentransformasikan konsep kemanusiaan dan keragaman budaya. Konsep tersebut nampak tersirat dan tersurat dalam teks kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang terkenal yakni “…bhineka tunggal ika…” yang dipakai motto oleh bangsa Indonesia untuk mempersatuan nusantara. Penggarap juga piawai mensinergikan gamelan Bali dan Jawa serta vokal/tembang rokhani dari agama dunia untuk menegaskan dramatikal pakelirannya. Kidung, Qawwali, Gregorian Chant, Bhajan, dan Sutra Budha, adalah doa agama dilaraskan sebagai wujud keragaman budaya (multikulturalisme).
Menurut Sang Pengagas karya I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn yang juga dosen Jurusan Pedalangan ini, karya ini terinspirasi pada keadaan jaman majapahit yang dinilai sama dengan fenomena yang berkembang di Indonesia pada saat ini. Dimana disintegrasi bangsa yang didasari oleh perbedaan Agama dan Kepercayaan, agamasentris yang menjurus terorisme dan masih banyak kasus serupa. Sudarta menganalogikan proses kontemplasi Empu Tantular dalam menghasilkan mahakarya kekawin Sutasoma sebagai klimaks pertunjukan ini dan memberi pesan kepada masyarakat Indonesia untuk selalu menjunjung Persatuan dan Kesatuan Bangsa dengan semangat “Bhineka Tunggal Ika”, yang terasa semakin dilupakan maknanya.
Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA menyambut gembira pertunjukan ini dan menegaskan bahwa pertunjukan pakeliran unggulan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menunjukkan, bahwa garapan kalangan kampus berkewajiban membangun suasana berkesenian yang kreatif dan kondusif perduli terhadap alam, lingkungan, budaya dan agama serta lingkungan akademiknya sendiri.
Prof. Rai juga mengingatkan agar pertunjukan ini dijadikan sosialisasi kepada masyarakat Bali sebagai komunikannya dalam menuju masyarakat yang moksartam jagadhita dan lebh memaknai arti Bhineka Tunggal Ika yang dijadikan semboyan Negara Indonesia.
Garapan Pakeliran ini dikemas cukup menarik dengan tata lampu, tetabuhan dan gending yang mengangkat multikulturisme namun masih terkesan bisa ”bersahabat” dengan gegendingan/tetabuhan Bali pada umumnya. Pertunjukan ini juga memberikan ”nafas baru” pada pertunjukan wayang di Bali, yang notabene sudah akrab dengan ”Cenk-Blonkisme” yang semarak dengan tata lampu dan efek suara digital, namun lebih ke pemaksimalan pemanfaatan setting panggung dan penataan adegan yang lebih theatrikal, namun masih kelihatan ”rasa” pakeliran Wayang Bali-nya. Semoga dengan Karya wayang inovatif ini pertunjukan Kesenian dan para seniman di Bali juga ”terjangkit” dengan ”virus” inovatifnya sehingga makin mengembangkan dan melestarikan dunia kesenian itu sendiri, tanpa meninggalkan jatidirinya atau akar kesenian Balinya.
Sinopsis Carita
Suasana upacara odalan (ritual) yang diselenggarakan oleh masyarakat di setiap pura di Bali, dilaksanakan dengan tulus ikhlas (bhakti). Upacara ritual sebagai yantra (sarana) untuk mengikis ego untuk mencapai kesadaran spiritual dan merasakan keberadaan dan kebesaran Hyang Widhi. I Gusti Putu Sudarta oleh keluarganya sering dipanggil `tu raka, memang lahir di Bedulu, salah seorang anak pemangku/pengemong Pura Samuan Tiga, Gianyar. Ia kenal dan akrab betul bahkan terlibat langsung dengan kesibukan upacara besar di pura tersebut. Digelarnya upacara ritual dengan segala suasana yang ditimbulkan nampak bagaikan sebuah peristiwa teater yang luar biasa. Suasana dramatik tersebut mengawali karya ini, semua pendukung baik penari, dalang, dan musisi melakukan doa pemujaan dan persembahan di depan kelir. Gelar awal ini bermakna dari keheningan dan kedamaian sekaligus sebagai yantra (sarana) persembahan.
Gagasan karya ini adalah suasana masa silam, cermin politik kerajaan Majapahit pada jaman Mpu Tantular yang ada kemiripan dengan kondisi Indonesia saat ini. Mpu Tantular menyindir penguasa Majapahit dengan ajaran cinta kasihnya lewat karya sastra kakawin Sutasoma yang ketika itu dilanda perpecahan. Konflik bathin Mpu Tantular, dengan ilusi konflik antara kelompok Arya dan Dashyu dalam legenda Agastya. Disharmonis masa lalu nyatanya bermuara sampai sekarang, bahkan meluas ke berbagai belahan dunia termasuk di nusantara. Nilai kebijaksanaan (wisdom), pencerahan diri atau kesadaran (kabudhan) merupakan intisari cerita Sutasoma.
Semar/Tualen mengingatkan Mpu Tantular akan tugasnya sebagai wiku untuk memberikan pencerahan kesadaran dan budi pekerti lewat karya sastranya. Sesungguhnya yang ingin disampaikan adalah konflik yang sedang melanda nusantara, dengan bangkitnya kaum radikal yang menebar kekerasan dan sentiment agama sebagai pemicunya. Keadaan ini dibiarkan terus berlangsung bahkan diperalat oleh oknum politisi yang berada di balik layar demi kekuasaan dan keuntungan yang direngkuhnya. Berkat pencerahan Sanghyang Adi Budha, lahirlah sangita mahamaya, pesan kasih dari Bunda Illahi Alam Semesta dalam lantunan kidung/kakawin sutasoma yang bernuansa humanis dari jemari tangan halus Mpu Tantular.