Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan
Sebuah cipta tari yang disebut Pendet, pada pertengahan Agustus 2010 lalu, mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Ini gara-gara ditampilkannya salah satu tari kreasi dari Pulau Dewata tersebut dalam iklan pariwisata negeri jiran Malaysia. Promosi Visit Malaysia Year yang sekelebat menghadirkan lenggang gemulai dan senyum manis empat penari Bali itu membuat masyarakat Indonesia gerah. Iklan pariwisata yang disebar gencar secara internasional itu ditengarai sebagai upaya Malaysia mengklaim tari Pendet sebagai seni budayanya sendiri.
Banyak yang beropini pendakuan tari Pendet oleh Malaysia dipicu oleh kepentingan pragmatis-ekonomis, dalam konteks ini industri keparawisataan yang memang dikelola sungguh-sungguh negeri tetangga itu dengan mempromosikan bangsanya sebagai Truly Asia. Pendet sebagai salah satu tari Bali yang sudah sangat familiar menyongsong wisatawan mancanegara, mereka pinjam tanpa permisi untuk pencitraan eksistensi nilai keindahan budaya. Tetapi karena tari Pendet–seperti juga Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, batik yang sebelumnya pernah didaku Malaysia—adalah ekspresi sub kebudayaan Indonesia, tentu saja ulah dan sepak terjang bangsa serumpun itu tak etis bahkan diteriaki sebagai maling siang bolong. Hasrat dan agresifitas kapitalisme dunia pariwisata rupanya membuat Malaysia kehilangan urat malu.
Namun isu tari Pendet dalam iklan pariwisata Malaysia itu mampu menggugah bangsa Indonesia, termasuk masyarakat Bali, akan keberadaan seni budayanya. Masyarakat Indonesia kebanyakan sudah mulai benar melafalkan nama tari Bali ini. Masyarakat Bali yang kurang begitu akrab dengan seni tari jadi ingin tahu sosok tari Pendet itu. Nama I Wayan Rindi (almarhum) yang menciptakan tari Pendet pada tahun 1950-an, kini menjadi agak dikenal. Wacana yang mengarah pada kesadaran akan seni budaya bangsa yang muncul dalam representasi media massa terasa begitu hangat dengan semangat sarat kepedulian.
Dalam jagat kepariwisataan Bali, tari Pendet hadir sebagai tari selamat datang. Namun di tengah masyarakat Bali sendiri, tari yang dibawakan secara berkelompok ini belakangan agak jarang disajikan sejak munculnya tari Panyembrama pada tahun 1971. Hingga tahun 1980-an, tari ciptaan I Wayan Baratha ini lebih sering ditampilkan sebagai tari pembukaan dalam pagelaran seni pertunjukan komunal bahkan juga dalam seni pentas turistik. Munculnya tari bertema sejenis seperti tari Puspawresti (1981) oleh I Wayan Dibia, Puspanjali dan Sekar Jagat (keduanya karya N.L.N Swasthi Widjaja Bandem), dan tari Selat Segara ciptaan Gusti Ayu Srinatih pada tahun 1990-an semakin menenggelamkan tari Pendet. Lomba-lomba tari Bali pun sangat jarang mengangkat materi tari berdurasi 5-6 menit ini.
Kendati di tanah kelahiraannya tari Pendet agak jarang dipentaskan, di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tari berkarakter wanita ini masih populer di kalangan peminat tari Bali. Di Jakarta misalnya, tari Pendet dijadikan materi wajib dasar oleh sanggar-sanggar tari Bali. Salah satu sanggar tari Bali dibawah Lembaga Kebudayaan Bali Saraswati yang bermarkas di di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sejak tahun 1970-an hingga kini memberikan materi tari Pendet. Bahkan lembaga yang kini dipimpin I Gusti Kompyang Raka itu juga memberikan kesempatan pada peminat tari Bali menabuh gamelan memainkan iringan tari Bali, termasuk iringan tari Pendet.
Sumber inspirasi lahirnya tari Pendet adalah sebuah ritual sakral odalan di pura yang disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet berlangsung setelah pendeta mengumandangkan puja mantranya dan dan seusai pementasan topeng sidakarya—teater sakral yang secara filosofis melegitimasi upacara keagamaan. Hampir setiap pura besar hingga kecil di Bali disertai dengan aktivitas mamendet. Pada beberapa pura besar seperti Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung itu biasanya secara khusus menampilkan ritus mamendet dengan tari Baris Pendet. Tari ini dibawakan secara berpasangan atau secara masal oleh kaum pria dengan membawakan perlengkapan sesajen dan bunga.