Oleh: I Komang Darmayuda
Menurut Setia (dalam Dharma Putra, 2004) pada artikelnya yang berjudul “Kecendrungan Tema Politik dalam Perkembangan Mutakhir Lagu Pop Bali”, dikatakan bahwa lagu pop Bali memasuki dunia rekaman pada awal tahun 1970-an, yang dilakukan oleh Band Putra Dewata pimpinan A.A. Made Cakra (almarhum). Judul album pertamanya adalah Kusir Dokar yang rekamannya dilakukan di Banyuwangi, karena kebutuhan untuk studio rekaman di Bali pada saat itu belum ada (Dharma Putra, 2004: 92). Dalam album tersebut A.A. Made Cakra berhasil menampilkan identitas lagu Pop Bali dengan nuansa Balinya yang kental. Banyak tema-tema lagunya mengungkapkan tentang keadaan alam dan situasi kondisi masyarakat Bali saat itu. Sebagian besar melodi lagu-lagu ciptaan A.A. Made Cakra menggunakan tangga nada pelog dan slendro, sehingga tembang atau melodinya sangat khas dengan nuansa Bali. Pada saat itulah dapat dikatakan bahwa identitas lagu Pop Bali berhasil diciptakan oleh A.A. Made Cakra. Hal ini juga dapat disimak dari rekaman album-album berikutnya yaitu, Galang Bulan, Dagang Koran dan seterusnya. Dari sekian banyak lagu ciptaannya, A.A. Made Cakra telah mampu mempertahankan identitas atau ciri khas lagu pop Bali, menggunakan bahasa Bali dengan baik, dan dengan nuansa Bali yang kenntal tanpa terpengaruh oleh nuansa lagu pop dari daerah-daerah lainnya, maupun nuansa lagu pop Indonesia atau pop Barat.
Pada perkembangan selanjutnya di era 1980-an, nama seperti Ketut Bimbo, Yong Sagita, Yan Bero, Yan Stereo mulai populer dengan lagu-lagunya yang bertema jenaka, cinta, dan banyak mengetengahkan tema tentang fenomena-fenomena aktual yang sedang terjadi di masyarakat saat itu. Kehadiran para pencipta sekaligus penyanyi tersebut cukup mampu mengubah selera pasar lagu pop Bali dengan berbagai gaya dan irama pop yang ditawarkan. Bila disimak dari iringan musiknya, banyak musisi yang sudah menggunakan sistem digital (MIDI), yakni dengan memprogram musik iringannya pada satu instrument yang disebut keyboard dengan dibantu oleh peralatan yang cukup canggih seperti MC (Miccrosoft Computer). Dengan peralatan seperti itu, iringan musik untuk lagu-lagu pop Bali sudah mulai dikerjakan oleh seorang programmer musik, tanpa harus menggunakan alat-alat musik Band (gitar melodi, gitar bas, drum, dan keyboard) seperti yangdilakukan pada era A.A. Made Cakra.
Diakhir tahun 1990-an perkembangan lagu pop Bali semakin semarak dengan hadirnya Widi Widiana. Lagu-lagunya banyak mengeksploitasi kisah cinta dengan irama musik yang melankolis dan mendayu-dayu. Hadirnya para progremer dari luar Bali cukup memberi warna terhadap nuansa iringan musik pop Bali. Nuansa dan identitas lagu pop Bali yang sebelumnya sudah jelas diciptakan oleh Anak Agung Made Cakra belakangan menjadi sedikit kabur. Di era ini, lagu pop Bali dipadukan dengan nuansa-nuansa lain seperti ; nuansa Mandarin, Jawa Timuran, Sunda, Jawa dan lain-lainnya. Dengan demikian, seandainya lagu-lagu pop Bali dimainkan secara instrumental (tanpa vocal atau kata-kata), maka akan sulit membedakan antara lagu pop Bali dengan lagu pop daerah lainnya, seperti Sunda, Banyuwangi, Jawa Tengah, dan Mandarin.
Di tahun 2003, hadirlah Lolot N Band yang menawarkan pembaruan pada lagu pop Bali, dan memilih musik dengan irama yang menghentak (Rock Alternatif). Dengan sambutan yang positif dari masyarakat terhadap pembaruan oleh Lolot N Band, menjadikan lagu pop Bali tidak hanya beraliran pop, melainkan sudah merambah ke aliran-aliran alternatif lainnya seperti ; reagge (Joni Agung & Double T), Rap ( XXX ), Keroncong (Agung Wirasutha), dan Rock Funky (Bintang Band).
Di era globalisasi yang disertai dengan kemajuan teknologinya, lagu pop Bali yang semula sudah jelas jati diri dan identitasnya, cendrung mengarah pada tren-tren musik tertentu, dan penggunaan bahasa Bali cukup bebas. Sejalan dengan perubahan ini, kini telah terjadi interaksi budaya, terjadinya pembauran seni dalam nuansa lagu pop Bali. Hal ini terjadi karena konsep globalisasi memberikan peluang yang cukup besar akan terjadinya pembauran seperti itu Pembauran terjadi dalam skala yang berbeda-beda, baik dilaksanakan secara terencana dengan konsep yang jelas maupun yang terjadi secara spontan tanpa didasari oleh pemikiran yang matang, menyangkut berbagai aspek terutama bentuk, isi, dan tata penyajian. Untuk melebur atau menyatukan nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya diperlukan wawasan yang luas dan kematangan dalam diri seniman, sehingga tidak berdampak pada perusakan identitas yang ada. Pembauran seperti itu patut dicermati akan kemungkinan berdampak yang kurang baik terhadap kesenian Bali termasuk juga lagu pop Bali (Dibia, 2004 : 1).
Untuk itu diperlukan strategi untuk mempertahankan identitas dan jati diri lagu pop Bali, dengan jalan mendalami kembali nilai-nilai, prinsip-prinsip dasar, dan roh budaya Bali dalam lagu pop Bali. Rasa bangga terhadap budaya sendiri harus senantiasa ditingkatkan. Dengan rasa optimisme yang tinggi kita akan mampu mengembangkan lagu pop Bali tanpa meninggalkan jati diri atau identitasnya.
Dari pemaparan tersebut, peneliti akan memfokuskan penelitian terhadap perubahan-perubahan yang dialami pada Perkembangan Lagu Pop Bal di Era Globalisasi. Perkembangan yang terjadi meliputi pada penggunaan bahasa Bali, nuansa musikal, dan irama musik atau aliran musik yang digunakan.