Pers dan kebudayaan bagaikan mata pisau, yang menjadi “bencana” bagi kehidupan publik dan perilaku masyarakat, karena mampu mendorong perubahan menuju keseimbangan kekuasaan, kearifan dan keunggulan lokal atau daerah. Di samping itu, secara politis termasuk sangat cukup berkorelasi dengan kekuasaan, karena bisa mempengaruhi kreativitas politik masyarakat terhadap perubahan orientasi, strategi, dan kebijakan politik. Sehingga, pers dan kebudayaan seringkali dimanfaatkan berbagai pihak baik negara maupun kelompok di tengah masyarakat untuk kepentingan berbeda-beda.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, di singkat Orba yang berlangsung sejak 1968 hingga 1998 pers dengan media massa cetak maupun elekronik, dan kebudayaan dengan elemen seni, etnis dan agama seringkali dimanfaatkan sebagai pola strategis dalam mengkonstruksi legitimasi publik demi mencapai tujuan memenangkan persaingan di antara kelompok masyarakat untuk menandingi kekuatan negara. Sehingga, keberadaan pers dan kebudayaan seakan setali tiga uang, bagaikan terpenjara dan sangat terbatas. Bahkan, seringkali terjadi pembredelan media massa cetak dengan peristiwa berdarah yang disebut kisruh Malari, 15 Januari 1974. Sedikitnya, ketika itu tercatat selusin media massa cetak mengalami pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah. Di antaranya: Majalah Tempo, deTIK, dan Editor.
Namun, setelah presiden Soeharto lengser keprabon dan era reformasi mulai bergulir pers dan kebudayaan seakan mulai mendapatkan angin segar dan memasuki babak baru. Bahkan, presiden Habibie–sebagai pengganti Soeharto–melalui Menteri Penerangan, M. Yunus Yosfiah pada tahun 1998 menghapus SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Karena dianggap sebagai bentuk kebijakan represif pemerintah terhadap kebebasan pers dan perkembangan kebudayaan. Langkah bijak dan strategis dalam mencapai puncak kebebasan pers itu semakin diperkuat oleh presiden, KH Abdurahman Wahid dengan membubarkan Departemen Penerangan.
Reformasi dan Demokrasi
Kemudian pers mendadak berkembang pesat bagaikan jamur di musim hujan dan ratusan media massa cetak maupun eletronik bermunculan dengan beragam informasi beritanya. Mulai masalah terkait SARA hingga pribadi semakin tumbuh subur sebagai konsumsi masyarakat publik. Di samping itu, beragam perubahan secara perlahan mulai terjadi di tengah masyarakat. Persoalan mulai keagamaan, sosial budaya, sosiologis, historis, politik, hingga gender seakan mendapat angin segar menuju perubahan dan membuka diskursus pluralistik, yang mengarahkan pemberdayaan masyarakat bersifat partisipatif. Karena masyarakat dapat berkreativitas kebudayaan tanpa harus “menghegemoni” kelompok lain yang sangat heterogen, namun saling bersinergis dalam keanekaragaman.
Sayangnya, kebebasan pers kemudian menciptakan “ironi demokratisasi” yang mengakibatkan terjadinya konglomerasi media massa cetak yang hanya berpihak terhadap kepentingan ekspansi dan akumulasi modal segelintir pengusaha. Bahkan, dalam pandangan Agus Sudibyo bahwa kejatuhan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai akibat dari “ironi demokratisasi” terhadap kebebasan pers yang kebablasan. Menurutnya, media massa cetak terkesan kurang proporsional dalam memberi ruang terbuka terkait pendapat, perspektif, dan klaim yang muncul tentang kepemimpinan Gus Dur.
Hal senada juga diungkapkan oleh, Atmakusumah, yang mengatakan kemunduran citra pers di era tahun 2004, disebabkan oleh empat faktor, yakni: pertama, tekanan fisik dan serangan terhadap media pers dengan adanya demontrasi massa di kantor perusahaan pers; kedua, terbunuhnya juru kamera TVRI, Mohamad Jamaluddin, dalam konflik bersenjata di Aceh yang penyebab kematiannya tidak jelas; ketiga, penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Fery Santoro, oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Fery kemudiaan dibebaskan, tetapi Ersa tewas dalam tembak menembak antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia; dan keempat, larangan atau hambatan dari pejabat militer bagi wartawan dalam dan luar negeri untuk meliputi wilayah konflik bersenjata di Aceh.
PKB Dalam Konstruksi Media Massa: Antara Teks, Konteks, dan Realitas Selengkapnya