Foto 1. Foto Bersama Peserta Pelatihan Penulisan Proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
Acara Pelatihan Penulisan Proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2023 di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar. Acara tersebut diikuti oleh 240 mahasiswa dari seluruh program studi di lingkungan ISI Denpasar. Selain itu, anggota struktural institut seperti wakil rektor, dekan, dan koordinator program studi hadir dalam acara tersebut.
Acara dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Dr. Anak Agung Gede Rai Remawa. Dikatakannya, kegiatan ini merupakan salah satu persiapan untuk mengikuti kompetisi PIMNAS. Ia menegaskan, kepatuhan terhadap pedoman yang ada merupakan dasar utama untuk lolos seleksi tahap awal, yang seringkali diabaikan oleh peserta PKM. Beliau juga menutup sambutannya dengan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para narasumber yang telah bersedia datang dan berbagi saran strategi untuk dapat bersaing di tingkat nasional.
Pelatihan ini mengundang narasumber Eko Sri Haryanto, S.Sn., M.Sn, dari ISI Surakarta dan Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si., M.Si., Apt., dari Universitas Udayana. Eko Sri Haryanto narasumber yang berprestasi mengantarkan mahasiswa ISI Surakarta meraih medali emas di PIMNAS. Beliau menuturkan PIMNAS merupakan ajang bergengsi bagi perguruan tinggi di tingkat nasional. Kemudian beliau juga menuturkan tujuan PKM, tahapan PKM, sumber ide PKM, kiat-kiat ide agar terlihat menarik, kunci sukses PKM-PIMNAS (responsif, kreatif, inovatif, solutif, konstruktif, administratif). Lalu narasumber berikutnya Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si., M.Si., Apt, menjelaskan bahwa topik PKM yang diangkat boleh berbeda dari bidang ilmu mahasiswa. Beliau menawarkan sebuah cara keluar dari zona nyaman dan berani mengambil topik-topik yang menantang kreativitas mahasiswa. Bukan tidak mungkin akan muncul ide-ide revolusioner karena keluar dari zona nyaman tersebut, karena adanya sudut pandang keilmuan yang berbeda.
Foto 2. Narasumber Memaparkan Strategi dalam PKM
Kedua narasumber menekankan cara berpikir lain dari yang lain, lalu juga pentingnya mengikuti pedoman yang ada. Narasumber turut menjelaskan sulitnya mahasiswa menulis dan menjalin ide PKM, karena di dalamnya harus ada pendekatan IPTEKS, solutif untuk masyarakat, penjelasan logis dan masuk akal, berbasis data, runtut, koheren, serta taat regulasi.
Kegiatan ditutup dengan motivasi dari kedua narasumber agar mahasiswa berani untuk merealisasikan ide-ide inovatifnya. Mahasiswa harus menjadi penggerak, inovator, dan tonggak perubahan. Jangan takut gagal, karena kegagalan membuat kita lebih inovatif lagi.
Budaya Bali memang unik, maka tak pernah habis untuk dibicarakan. Sebut saja tembang Bali jenis pupuh atau macepat. Macepat yang biasanya menyelipkan pesan-pesan tentang kehidupan yang dijadikan sebagai pegangan dalam berperilaku di masyarakat, tetapi kini ada beda dan unik. Nilai-nilai luhur Pancasila diaplikasikan ke dalam 36 bait pupuh yang mengadopsi 36 butir nilai Pancasila. Namanya macepat itu “Surki”. “Pupuh ini unik, maka melalui program Program Kemitraan Masyarakat (PKM) kami menelitinya, lalu malakukan pembinaan kepada Sekaa Pasantian Swasti Marga Brata, Desa Selisihan, Klungkung,” kata Dosen Program Study (Prodi) Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Kadek Widnyana, SSP., M.Si. Minggu (31/7).
Program PKM itu, Kadek Widnyana melakukan bersama Ni Komang Sekar Marhaeni juga dari Prodi Seni Pedalangan dan Ni Putu Hartini dari prodi Seni Karawitan. Saat itu focus pada pupuh macepat “Surki” karya I Made Sija, maestro sekaligus budayawan kelahiran Banjar Dana, Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pupuh ini merangkum 36 butir Pancasila ke dalam 7 jenis pupuh, yaitu pupuh Sinom, Pucung, Ginada, Durma, Maskumambang, Pangkur, dan pupuh Dandang. “Surki akronim dari kata sasur siki. Sasur (pasasur) artinya tiga puluh lima, asiki artinya satu. Jadi pasasur asiki dalam konteks ini adalah 36 pada/bait pupuh implementasi dari 36 butir Pancasila,” papar seniman dalang ini.
Pupuh Macepat “Surki” ini sangat menarik dijadikan media tuntunan nilai-nilai Pancasila bagi masyarakat. Hal itu dicoba di Selisihan Klungkung. Kalau pada zaman Orde Baru, kegiatan ini disebut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). “Belum pernah ada pupuh yang mengulas tentang 36 butir nilai Pancasila. Maka itu, pembinaan pupuh “Surki” ini menjadi media untuk menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat, khususnya di Desa Selisihan Klungkung. Progaram ini, sekaligus sebagai pelestarian pupuh “Surki”,” sebutnya.
W#akil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FSP ISI Denpasar mengaku, masyarakat Desa Selisihan Klungkung, utamanya Sekaa Pasantian Swasti Marga Brata sangat serius mempelajari macepat “Surki”. Dalam waktu yang singkat mereka sudah dapat melakukannya, bahkan langsung mempratekannya. Kini, mereka sudah terbiasa membawakan pupuh macepat itu dalam kegiatan mesanti, baik ngayah ataupun dalam kegiatan adat lainnya. Pupuh Surki, bahkan mengema pada setiap tumah melalui komunitas HT (break). “Setelah pembinaan itu, masyarakat Desa Selisihan sudah biasa membawakan pupuh yang mengandung nilai-nilai 36 butir Pancasila selain, pupuh-pupuh yang biasa,” akunya polos.
Dalam Surki itu, pria yang akrab dipanggil Jero Dalang Bona atau Bapa Sija itu mengaplikasikan setiap satu butir nilai Pancasila ke dalam satu pada pupuh. Sila pertama terdiri dari 4 pada dengan menggunakan pupuh Sinom. Sila kedua terdiri dari 8 pada dengan menggunakan pupuh Pucung. Sila ketiga terdiri dari 5 pada dengan menggunakan pupuh Ginada. Sila keempat terdiri dari 7 pada dengan menggunakan pupuh Durma. Sila kelima terdiri dari 12 pada dengan menggunakan 3 pupuh yaitu: pupuh Maskumambang 7 pada, pupuh Pangkur 2 pada, dan pupuh Dandang 3 pada.
Ke 36 pupuh ini merupakan pengejawantahan dari 36 nilai-nilai Pancasila yang khusus dibuat oleh Seniman serba bisa, sekitar tahun 1997. Oleh karena bobot dan kualitas serta lirik semua pupuhnya merupakan nilai-nilai yang bisa memberikan pencerahan terhadap pendidikan kebangsaan dan kebinekaan. “Karena itu, kami memaandang perlu pupuh ini disosialisasikan ke masyarakat luas. Dalam konteks ini, kami menggunakan media pasantian sebagai sarana pengabdian kepada masyarakat,” tambah Kadek Widnyana.
Nilai-nilai dalam Pancasila merefleksikan kultur, nilai, dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Pancasila hadir sebagai pemersatu pandangan hidup warga Indonesia yang bertujuan untuk menjaga dinamika yang ada di dalam masyarakat. Karena itu, penyuluhan nilai Pancasila perlu diberikan kepada masyarakat Desa Selisihan agar pemahaman dan pengamalannya dapat lebih ditingkatkan. “Ini juga perlu dilakukan di seluruh lapisan masyarakat untuk meredam Paham komonisma, terorisma yang mulai menggoyang eksistensi Pancasila. degradasi moral, lemahnya mental karena pengaruh materialisma yang mengarah pada kehudupan individualism,” jelasnya.
Lahirnya pupuh macepat Surki ini sungguh bermanfaat. Jangan sampai nilai-nilai Pancasila hanya sebatas wacana dan pajangan belaka. Pengamalan itu penting agar tidak terjadi perpecahan, menumbuhkan rasa tolong menolong, saling mengasihi, tak terjadi mabuk-mabukan. “Fenomena itu sudah terasa dan terlihat di Desa Selisihan, sehingga keinginan untuk menanggulangi semakin derasnya pengaruh negatif di atas, pembina melakukan program PKM nilai-nilai Pancasila di desa Selisihan memalui kegiatan seni Pasantian,” sebut Kadek Widnyana.
Tujuan pembinaan ini untuk melestarikan pupuh “Surki” dengan jalan desiminasi ke masyarakat, menyebarkan nilai-nilai Pancasila lewat Surki, memperdalam teknik olah vokal secara teori dan praktik, ngandang ngelung, guru wilang, guru dingdong ngunjal angkihan, ngruna, murwa kanti, nada, lirik, ritma/melodi, dan tempo. “Metode dan kiat-kiat yang digunakan dalam pembinaan itu menggunakan langkah-langkah nyata berkenaan dengan proses pelatihan dan penguasaan pupuh macepat “Surki”,” sebutnya.
Kadek Widnyana, Komang Marhaeni dan Putu Hartini lalu kompak memaparkan, pembina melalui pelatihan kepada semua penembang sesuai pembagian pupuh dan lirik, selain penguasaan surki. Semua itu diawali dalam bentuk pacapriring untuk memantapkan penguasaan lirik. Pacapriring itu melodi dasar dari sebuah pupuh. Sebelum ngawilet penembang diwajibkan menguasai melodi dasar atau priring dari pupuh bersangkutan. Setelah lirik dan pacapriring sudah dikuasai, dilanjutkan dengan pelatihan ngawilet, permainan melodi pada sebuah pupuh namun tetap berlandaskan dari melodi dasarnya. “Pada pupuh “Surki” menegaskan arti dan makna dari setiap sila dari yang pertama hingga sila kelima,” pungkas mereka kompak. (BTN/bud)