Jakarta: Calon mahasiswa baru yang akam memulai masa perkuliahan dianjurkan untuk waspada karena saat ini masih ada 5 ribu program studi yang belum terakreditasi. Demikian dikatakan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal usai upacara kemerdekaan di kantornya, Selasa (17/8)
Padahal pemerintah sejak 2005 sudah meminta seluruh perguruan tinggi, baik swasta dan negeri, untuk mendaftarkan program studinya pada Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi. Kewajiban akreditasi termaktub dalam Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.”Di dalamnya (peraturan pemerintah), ada sejak ditetapkan peraturan tersebut, selama tujuh tahun perguruan tinggi harus sudah terakreditasi semua,” kata bekas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi ini.
Maka garis batas di 2012 akan menentukan bahwa, program studi yang belum terakreditasi maupun yang belum re-akreditasi, kata Fasli, tidak berhak mengeluarkan ijazah.
Kementerian tidak bisa memaksa setiap universitas untuk mengakreditasi program studinya. Akibatnya masih ada program studi yang belum terakreditasi dan sejumlah program studi yang sudah kadaluarsa. Alasan keterlambatan akreditasi tersebut, antara lain universitas merasa perlu menunggu dahulu, bahkan ada yang merasa tidak perlu.
Dengan masa akreditasi 5 tahun, pemerintah berharap ada kepastian kualitas program studi dari setiap universitas. “Supaya bisa memastikan, kualitasnya sama, lebih baik, atau kurang baik dibanding sebelumnya, makanya perlu di akreditasi,” kata Fasli.
Pemerintah berjanji menuntaskan semua program studi yang belum terakreditasi maupun yang belum re-akreditasi. “Diharapkan sebelum 2012 nanti, sebelum penerimaan mahasiswa baru, sudah jelas akreditasinya semua program studi di universitas,” paparnya.
Tahun 2010, kata Fasli, pemerintah nyaris menuntaskan akreditasi 4 ribu program studi. “Perhitungannya, kira-kira Rp 22 juta untuk akreditasi setiap program studi, kalau yang baru sudah diakreditasi, yang lama (reakreditasi) silakan masuk” kata Dia.
Keberadaan Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi sebagai satu-satunya badan pengakreditasi, diakui Fasli tidak mutlak. “Di UU memungkinkan ada Badan Akreditas lain, tapi dalam konteks pemerintah, hanya melihat Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi,” jelasnya.
DIANING SARI
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2010/08/17/brk,20100817-271791,id.html