Film Dokumenter Karya Mahasiswa ISI Denpasar Juarai Udayana Film Festival 2.0

Film Dokumenter Karya Mahasiswa ISI Denpasar Juarai Udayana Film Festival 2.0

Foto kiri: Poster Film Dokumenter Hakekat Melukat: Peran Air dalam Spiritualitas. Foto kanan: (dari kiri kanan)  Pande Putu Argyananta Artana, I Komang Adi Triana Putra, Siti Hasah Husaeniah, dan Arnis Puspita Sari, mahasiswa ISI Denpasar peraih juara 1 kompetisi film dokumenter UFIFEST 2.0.

INSTITUT Seni Indonesia (ISI) Denpasar (Bali) mengukuhkan posisinya sebagai pusat pendidikan seni terkemuka dengan berkilau di kancah nasional. Dua film documenter karya mahasiswa dari Program Studi Produksi Film dan Televisi (PFTV), Fakultas Seni Rupa dan Desain berhasil menjuarai kompetisi Udayana Film Festival (UFIFEST) 2.0.

UFIFEST 2.0 diselenggarakan oleh Departemen Seni dan Kreativitas Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana. Festival ini mengumpulkan pelajar SMA, SMK, MA, serta mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk berkompetisi dalam sejumlah kategori, yakni fotografi, film fiksi pendek, film fiksi panjang, video dokumenter, dan vlog. Adapun tema yang diangkat dalam festival ini adalah “SEMESTA: Selaras Melestarikan Alam Nusantara”.

Film dokumenter berjudul “Hakekat Melukat: Peran Air dalam Kehidupan,” yang disutradarai oleh I Komang Adi Triana Putra memperoleh juara pertama kategori film documenter pada UFIFEST 2.0. Prodiksi film digarap Adi Triana bersama tiga rekannya di Prodi FTV ISI Denpasar. Mereka, yakni Siti Hasah Husaeniah, Arnis Puspita Sari, dan Pande Putu Argyananta Artana. Film ini menggambarkan peran air yang amat vital dalam kehidupan alam semesta, tak terkecuali dalam tradisi keagamaan Hindu Bali.

Adi Triana mengisahkan dia dan tim awalnya kebingungan untuk memilih topik yang cocok untuk kompetisi film documenter ini. Mereka akhirnya sepakat mengangkat tradisi melukat yang dirasa amat sesuai dengan tema UFIFEST 2.0. Mereka meyakini tradisi ini memiliki makna penting dalam penyucian dan pelestarian sumber mata air. “Tradisi melukat sangat erat dengan masyarakat Hindu Bali. Melukat bukan hanya tentang pembersihan jasmani dan rohani manusia, tapi juga menjaga keharmonisan dengan alam, terutama sumber air,” jelas Adi Triana.

Adi Triana dan tim bersama-sama menggarap film ini mulai dari pra-produksi hingga pasca-produksi. Mereka memilih Pura Mengening, Desa Saraseda, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali sebagai lokasi pengambilan video. Mereka mewawancarai sejumlah tokoh, termasuk Ketua PHDI Bali I Nyoman Kenak, S.H., Pemangku Pura Mengening Jero Mangku Made Marja, Petajuh Bendesa Saraseda I Made Jasa Yasmara, dan warga Desa Saraseda. Setelah empat hari pengambilan video, penggarapan film dilanjutkan dengan proses pengeditan klip video, penambahan efek visual, serta penyesuaian audio guna menciptakan narasi yang kuat dan menghasilkan kualitas film yang baik. Film dokumenter yang telah rampung pun mereka kirimkan kepasa panitia UFIFEST 2.0.

Panitia UFIFEST 2.0 mengumumkan pemenang kompetisi melalui sosial media pada 29 September 2023. Adi Triana dan rekannya mengaku terkejut saat mengetahui karya mereka  menduduki juara pertama dalam kompetisi ini. Dia mengaku tak berani berekspektasi untuk menang karena ini adalah kompetisi perdana mereka. “Prestasi ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus berkarya lebih baik lagi,” harapnya.

Foto kiri: Poster Film Dokumenter Mangrove Putri Menjangan. Foto kanan: Gede Bumi Apnala Bayu, R. Yugo Pangestu Notoamidjoyo, I Putu Raka Aditya, dan Putra Irawan, mahasiswa ISI Denpasar peraih juara 2 kompetisi film dokumenter UFIFEST 2.0.

Sementara itu, film dokumenter berjudul “Mangrove Putri Menjangan” berhasil meraih juara kedua dalam kategori yang sama. Film ini disutradarai oleh Gede Bumi Apnala Bayu dangarap bersama tiga rekan timnya, R. Yugo Pangestu Notoamidjoyo, I Putu Raka Aditya, dan Putra Irawan, yang tergabung dalam Tim Horizon Film. Film ini menyoroti upaya pelestarian lingkungan, terutama mangrove, yang dilakukan oleh Nature Conservation Forum Putri Menjangan (NCF Putri Menjangan) di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.

Proses produksi film ini melibatkan serangkaian wawancara dengan Ketua NCF Putri Menjangan, I Putu Ngurah Arya Wiratama, nelayan Desa Pejarakan, Komang Lulut, dan pemandu snorkeling, Wayan Suparta. Pengambilan video dilakukan selama tiga hari di Desa Pejarakan. Bumi dan timnya tidak hanya mengandalkan rekaman konvensional, tetapi juga memanfaatkan video drone serta pengambilan gambar bawah air. Dengan teknologi drone, mereka dapat memberikan pandangan yang dramatis dan unik dari atas, menggambarkan keindahan alam sekitar. Sementara itu, pengambilan gambar bawah air memungkinkan mereka untuk menjelajahi ekosistem laut dan menyoroti bagaimana kehidupan sehari-hari serta upaya pelestarian lingkungan yang berlangsung di lokasi tersebut. Kombinasi teknik-teknik ini memberikan dimensi yang mendalam dan penuh inspirasi dalam film dokumenter mereka.

Bumi Apnala menekankan tujuan pembuatan film ini jauh lebih luas daripada sekadar kompetisi. Film ini dihasilkan dengan harapan untuk menyebarkan kesadaran tentang pentingnya melestarikan lingkungan, terutama di Desa Pejarakan. “Kami berupaya agar film ini dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pelestarian alam,” ujarnya.

Koordinatar Prodi PFTV ISI Denpasar, I Nyoman Payuyasa, S.Pd., M.Pd memberikan apresiasi atas keberhasilan mahasiwa meraih juara dalam ajang kompetisi nasional. Menurutnya, Keberhasilan kedua film dokumenter ini menjadi bukti nyata dari dedikasi dan kualitas mahasiswa ISI Denpasar dalam bidang produksi film dan dokumenter. Selain itu, karya mahasiswa turut berkontribusi dalam upaya melestarikan budaya dan lingkungan. (ISIDps/Humas)

DOSEN ISI DENPASAR PRODUKSI FILM DOKUMENTER “PADU AREP” UNTUK MEMPOPULERKAN KEMBALI GENDING RARE

DOSEN ISI DENPASAR PRODUKSI FILM DOKUMENTER “PADU AREP” UNTUK MEMPOPULERKAN KEMBALI GENDING RARE

DENPASAR – Sejak Maret 2023, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar telah menggelar kegiatan penelitian dan penciptaan seni (P2S) dan salah satu penelitian diketuai oleh I Made Denny Chrisna Putra, seorang dosen dari Prodi Produksi Film dan Televisi, dan anggota peneliti Rai Budaya. Kegiatan ini melibatkan kerja sama antara keduanya untuk memproduksi sebuah film dokumenter yang berjudul “Padu Arep”. Film tersebut mengisahkan tentang hegemoni budaya pop terhadap seni tradisi lisan yang dikenal sebagai gending rare.

Gending rare merupakan kumpulan lagu tradisional dalam bahasa Bali Kuno dan beberapa menggunakan bahasa Jawa. Lagu-lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka, termasuk sebagai lagu-lagu permainan. Meskipun liriknya sederhana, dinamis, dan riang, gending rare sulit dimengerti oleh generasi saat ini. Sayangnya, dalam lima tahun terakhir, gending rare mulai kehilangan popularitas di kalangan masyarakat Bali. Pengaruh globalisasi mengakibatkan persepsi bahwa menyanyikan gending rare dianggap kuno sehingga orang tua lebih memilih lagu-lagu asing dan populer untuk anak-anak mereka.

Dalam upaya pelestarian seni budaya di tengah arus globalisasi dan hegemoni budaya pop, I Made Denny Chrisna Putra menyampaikan pentingnya menggunakan strategi media yang mudah dijangkau dan menarik perhatian. Film dokumenter “Padu Arep” diharapkan dapat mempopulerkan kembali gending rare di kalangan masyarakat Bali serta memperkenalkannya kepada khalayak yang lebih luas melalui media film dan memanfaatkan jalur distribusi yang tepat.

Dalam proses penciptaan film tersebut, I Made Denny Chrisna Putra sebagai produser film dan sinematografer bertemu dengan beberapa narasumber terkemuka. Salah satunya adalah I Made Taro, maestro seni permainan tradisional dan pencipta gending rare yang terkenal dengan karyanya “Goak Maling”. Selain itu, ada pula Guru Anom Ranuara, seorang budayawan, dan Raka Gunawarman, seorang musisi dan seniman musik yang dikenal dengan grup musiknya yang bernama Emoni. Raka Gunawarman bersama grup musiknya, Emoni, telah aktif mempopulerkan gending rare sejak 2012 dan masih bertahan hingga saat ini. Oleh karena itu, I Made Denny Chrisna Putra memilih Raka Gunawarman sebagai subjek utama dalam film dokumenter “Padu Arep” yang akan membawakan narasi tentang hegemoni budaya pop terhadap gending rare.

Kegiatan penelitian dan penciptaan ini telah berlangsung sejak Maret 2023 dan banyak melibatkan praktisi hingga mahasiswa film. Tim kreatif ini bertekad untuk memperkenalkan kembali gending rare dan menarik minat masyarakat dalam menjaga warisan budaya tak benda ini di tengah dominasi budaya pop yang tengah marak. Rencananya, film dokumenter “Padu Arep” akan segera dirilis untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat Bali bahwa mereka memiliki seni tradisi lisan yang bernama Gending Rare dan memperkenalkan gending rare kepada masyarakat dunia yang lebih luas.

Loading...