Delegasi ISI Denpasar sedot perhatian Thailand

Delegasi ISI Denpasar sedot perhatian Thailand

Delegasi ISI Seminar, Worshop dan pentas sedot perhatian pada Culture Festival di Songkhla Rajabath University dan Konjen RI Thailand dalam Hut 64 RI

Laporan I Komang Arba Wirawan

Songkhla Thailand (ISI Denpasar)

Usai Pentas di Konjen RI Thailand

Usai Pentas di Konjen RI Thailand

Delegasi kesenian yang berjumlah 25 orang dari Institut Seni Indonesia Denpasar, di bawah pimpinan I Wayan Sueca.,S.Skar.,M.Mus, sebelum tampil yang pertama diterima di kampus Songkhla Rajabath University yang luas dan bersih, tidak terdapat coretan dengan pakaian hitam putih mahasiswanya. Yang menyambut delegasi ISI diantaranya, pejabat tinggi Wakil Rektor Bidang Penelitian, Saensak Siriphanich Ph.D, Direktur bidang kebudayaan Ass. Prof. Dr. Kanut Thattong, Asst Prof Dr. Painote Duang Viset, President of Songkhla University, Rojana Sri Sai Songkhla Rajabath University, Head Of Cultural Center, Sarita Srisunan, Ass Prof Worasit Muttameta Fac. Of fine Arts, Songkhla Rajabath University. Setelah dilaksanakan penyambutan pada malam harinya, tim kesenian tampil dengan materi, Tari Selat Segara, Tari Legong Keraton, Tari Topeng Keras, diiringi penabuh dari FSP diantaranya Rektor ISI, dan Tari Cak Kontemporer mengambil lakon Ramayana, gabungan FSP dan FSRD yang tampil kompak dan memukau dihadapan ribuan pengunjung culture festival yang diadakan Songkhla Rajabath University.

Penampilan hari kedua di tempat yang sama delegasi kesenian ISI tampil dengan materi yang berbeda yaitu Tari Legong Keraton, Oleg Tambulilingan, Tari Topeng Tua, dan Tari Cak Kontemporer, sama dengan hari pertama ribuan penonton berjejal menyaksikan penampilan wakil dari ISI Denpasar, Bali Indonesia.

“Melihat apresiasi masyarakat Thailand terhadap kesenian Bali saya cukup puas” kata Sueca seusai menarikan topeng Tua dan Keras. Ini membuktikan ISI telah go Internasional” Imbuhnya. Menyaksikan tim kesenian ISI Rektor Prof I Wayan Rai,S.MA, berharap untuk tampil secara maksimal lagi untuk pertunjukan di acara Ulang Tahun Kemerdekaan RI Ke 64 di sebuah hotel berbintang, dikawasan Pariwisata Thailand. ”Saya bangga dengan penampilan di Songkhla Rajabath University, dengan sambutan yang antusias, dan berharap tampil yang maksimal di Hut 64 Konjen RI ” Harap Rai. Karena Prof Dr. I Wayan Rai, S.MA. tidak dapat turut hadir pada perayaan Hut RI karena menghadiri konferensi SFAPA, di Chiangmay Bangkok.

Sebelum tampil dalam perayaan Hut RI ke 64  delegasi kesenian ISI Denpasar diundang Konsul RI di Songkhla Bapak M.Rizky Safary, dalam pembicaraan Rektor ISI dengan Konjen RI terjadi dialog yang sangat erat seperti di rumah sendiri. Ada beberapa catatan pembicaraan seperti Bali ternyata merupakan inspirasi Thailand dalam pengembangan pariwisatanya, Konjen mengusulkan untuk mepatenkan produk-produk budaya Bali, untuk didaftarkan copy rightnya seperti batik, ornamen, bahkan nama Bali seharusnya dipatenkan karena ikon Bali banyak dipergunakan di Thailand ini”harap M.Rizky Safary.

Kerjasama ini akan ditindaklanjuti dengan MOU antara ISI dan Konjen Sonkhla, untuk dapat berperan dalam memperkenalkan budaya Bali di Asia Tenggara, dan Konjen akan tetap mengupayakan mempasilitasi ISI Denpasar dalam bidang kerjasama budaya karena minat warga Thailand untuk melanjutkan kuliahnya, penelitian bersama, pemuatan bersama dalam jurnal Mudra dan pertukaran dosen maupun mahasiswa semakin meningkat. ISI sendiri terus akan bekerjakeras untuk, mempromosikan Indonesia di Asia Tenggara khusunya untuk menarik minat wisatawan dan kerjasama antar bangsa-bangsa Asia dalam pendidikan untuk kemajuan bersama,Ungkap Rai.

Disela-sela program pertunjukan dengan jadwal yang padat seminar dan workshop diselenggarakan di gedung rektorat lantai delapan Songkhla Rajabath University, seminar menampilkan pembicara, Prof. Dr. Rai.S.MA dengan materi kerjasama ISI Denpasar dan go Internasional, pembicara kedua dari Fakultas Seni Pertunjukan sebagai pembicara pertama I.Gusti Ayu Srinatih,SST.M.Si, The Relationship Between Dance and Music in Balenese Performing Arts, pembicara kedua Ni Made Ashinawati,SST.M.Si, makalah: ”Learning Balinese Dance”.,pembicara ketiga Ni Ketut Dewi Yulianti SS.M.Hum judul makalah: ”The Significance of English in enhanching dance teaching quality, dan dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Dra. Ni Made Rinu,M.Si dengan makalah Art Painting of Balinese Classic, Artistic Images and Excellence Painting of Balinese in present day.

Seminar ini diikuti oleh workshop tari, tari kecak, wayang, dan lukis klasik wayang kamasan yang menyedot peserta dari mahasiswa dan dosen Sonkhla Rajabath University termasuk para pejabat-pajabat tingginya turut serta dalam worshop ini. Ini pengalaman yang menarik bagi kami dapat belajar menari Bali dan lukis wayang tradisional”ungkap Saensak Siriphanich Ph.D, wakil rektor bidang penelitian.

Penerimaan baik dari Konjen RI di Songkhla, Songkhla Rajabath University dan Suratani University sangat baik di kedua delegasi disambut seperti tamu kenegaraan dengan pertunjukan tarian-tarian tradisional Thailand yang mempesona, pertunjukan wayang Thailand, serta kemasan pameran yang dikombinasikan dengan seni pertunjukan, tatarias penari dan penampilan okesrta yang membuat kagum delegasi, Ini perlu di contoh bagaimana kolaborasi pameran dan pementasan, menjadi suatu yang tak terpisahkan”ungkap Rai dengan rasa gembira kepada seluruh delegasi. Selanjutnya delegasi diarak dalam pawai dengan lampu seterongking (lampu dengan minyak tanah), menuju taman dengan suguhan musik tradisional, tari dan makanan tradisional dan durian Thailand yang manis dan legit. Ketua delegasi turut mencoba memainkan musik tradisional Thailand beberapa saat, Pengalaman pertma saya memainkan musik tradisional Thailand”ungkap Sueca sambil menabuh musik.

Penyambutan ini langsung oleh President Songkhla Rajabaht University, sesuatu dapt dipelajari di Thailand untuk mahasiswa yang turut serta dalam delegasi adalah suasana kampus, tidak ada coretan dimana-mana, etika kepada dosen, para pejabat kampusnya sangat tinggi, apalagi kepada presiden atau rektornya sangat dihormati oleh mahasiswa, dan seluruh civitas akademika”ini pelajaran paling berharga untuk kita semua’ kata Diah Yeti yang menarikan sita dalam kecak kontemporer delegasi ISI”.”Mudah-mudahan dapat kami tularkan kepada teman-teman mahasiswa di ISI Denpasar, nantinnya.”Karena pengalaman ini juga berkat kerjakeras Bapak Rektor”Imbuhnya.

Hasil perjalanan delegasi ISI Denpasar di Thailand selama seminggu seminar dan workshop yang dibanjiri peserta, pertunjukan yang memukau penonton membuat kegembiraan, delegasi ISI apalagi MOU dengan Suratani University akan ditandatangani antara kedua belah pihak.

Keterangan Foto:

Delegasi Kesenian ISI Denpasar Usai Tampil pada Perayaan 64 Tahun RI, oleh Konjen RI di Songkhla Thailand, foto bersama Konjen, Insert: Rektor ISI Prof Dr. I Wayan Rai,S.MA, dengan Presiden/Rektor Songkhla Rajabath University Thailand Asst. Prof. Dr Pairote Duangwiset.

The Function Of Water (Tirtha) In Balinese Hindu Rituals By Ida Ayu Made Puspani and Ni Wayan Sukarini

The Function Of Water (Tirtha) In Balinese Hindu Rituals

By

Ida Ayu Made Puspani and Ni Wayan Sukarini

e-mail:[email protected]/[email protected]

Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion

3rd SSEASR Conference, Bali Island, Indonesia

June 3-6, 2009

I. INTRODUCTION

The Balinese belief and worship of Hindu Dharma in Bali governs all the activities of the daily life of the Balinese. The three basic fundamentals of Hindu Dharma are Yadnya (rituals), Tattwa (philosophy) and Susila (moral behaviour), which are interacted to form Balinese culture.

Hindu religion is originated from India. The practice of the Philosophy in the Balinese Hindu in Bali is almost similar to the practice of Hindu in India whereas in Balinese Hindu is more  attached to the local culture. Basic practice of rituals are based on the Vedas (Holy Manuscript) and the philosophy of Yadnya (rituals ) are also referring to it. There are  five types of Yadnya

( means holy sacrifice with a pure heart)  in Balinese Hindu: 1)Dewa Yadnya: to the Gods and Goddesses as manifestations of the Supreme Being. 2)Pitra Yadnya: to the ancestors who give the people guidance in life and gave them the opportunity to be born. 3) Manusa Yadnya: to protect our lives and those of future generations 4)Rsi Yadnya: to the priests who guide us all on our spiritual journey. 5) Bhuta Yadnya: to any other beings (visible and invisible) to ensure that there will be harmony and unity in nature.

In Hindu believers there are important elements of nature to be considered as the guideline of rituals in retaining the harmonious living of the human being (Nair,2009). Those elements comprise of: earth, water, fire, air, and ether or sky ( which are called as panchamahabhuta).  Among the five elements water is represented by a circle symbolises fullness based on the graphical depiction of panchamahabhuta. Primarily water is the building block of life and all the living beings are at the mercy of God, for the water.

In India as well as in Bali water has been an object of worship from time immemorial, which signifies the non-manifested substratum from which all manifestation arise. This leads the practice of utilizing water as the purification of all rituals. In conducting every religious rite, the presence of holy water is the most important part of all Balinese ceremonies (Agastia, 2007). Holy water accompanies every act of Balinese-Hindu worship from individual devotion at household shrine to island-wide ceremonies.

Download click here

Simbolisme Air Dalam Teks Tantu Panggelaran Oleh Turita Indah Setyani

Simbolisme Air Dalam Teks Tantu Panggelaran Oleh Turita Indah Setyani[1]

Makalah pada Seminar Internasional:

Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion

3rd SSEASR Conference, Bali Island, Indonesia June 3-6, 2009

Membahas tentang air dapat dilihat dari berbagai aspek dalam kehidupan ini. Kita mengetahui dalam tubuh manusia terdiri atas 70 % air. Itu menyiratkan bahwa air sangat penting bagi tubuh manusia dan di dalam kehidupan ini. Bagi tubuh manusia dan dalam kehidupan sehari-hari air digunakan untuk minum. Selain itu, air juga dibutuhkan untuk kesehatan, sehingga disarankan meminum air 10-12 gelas (2,5-3 liter) per hari untuk bersirkulasinya cairan dalam tubuh supaya tidak terjadi pendendapan-pengendapan. Hal itu juga  dimaksudkan untuk pembersihan dari suatu penyakit. Di beberapa daerah, khususnya Jawa dan sekitarnya, air dianggap suci karena digunakan sebagai sarana ritual-ritual, baik untuk pembersihan atau pensucian diri (mandi air kembang) maupun benda-benda pusaka (jamasan). Bahkan dalam agama air juga sebagai simbol pensucian diri. Misalnya dalam agama Islam, air digunakan untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat; dalam agama Katholik, air digunakan untuk pembaptisan. Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa air digunakan sebagai simbol pensucian atau pembersihan dari kekotoran atau dari segala sesuatu yang bersifat tidak suci. Bagi manusia, pensucian atau pembersihan terhadap diri dari kekotoran fisik atau dari pikiran-pikiran duniawi. Penamaan air pun muncul dengan beberapa istilah yang dibedakan menurut maknanya masing-masing, khususnya dalam kehidupan masyarakat Jawa, air atau banyu, toya, way/wai (bahasa Jawa Kuna) disebut juga tirta (udhaka, Sansekerta). Pepatah Jawa meyebutkan “Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana, agama ageming diri.” Untuk memaknai hal semacam itu tentunya dibutuhkan pengetahuan simbolis berdasarkan latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai simbol pensucian diri.

Air pun banyak dibicarakan dalam karya-karya sastra Jawa, di antaranya menyebutkan juga bahwa air sebagai sumber kehidupan. Salah satu karya sastra tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah teks Tantu Panggelaran (TP). Karena teks TP merupakan karya sastra Jawa, maka untuk mengungkapkan makna simbolik di dalamnya dibutuhkan pengetahuan simbolis yang berkaitan dengan latar belakang budaya Jawa. Sementara itu, teori yang digunakan untuk memaknai simbol-simbol adalah yang dikemukan oleh Charles Sanders Peirce. Ia menyatakan bahwa simbol yaitu tanda yang paling canggih karena sudah berdasarkan persetujuan dalam masyarakat (konvensi). Contoh: bahasa merupakan simbol karena berdasarkan konvensi yang telah ada dalam suatu masyarakat. Selain itu, rambu-rambu lalu-lintas, kode simpul tali kepramukaan, kode S.O.S. juga merupakan simbol. Menurut Peirce dalam hubungan pembentukan


[1]
[1] Staf Pengajar pada Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Program Studi Jawa, FIB UI, gedung 3 lantai 1. Kampus UI, Depok. Tlp./Fax. 021-78880208. Hp 081319570009 atau 021-93846124. Email: [email protected]

Selengkapnya dapat diunduh di sini

Hindu Ritual Of Ngotonin In Bali

Hindu Ritual Of Ngotonin In Bali

(A Discourse Analysis Approach)

By

I Made Rajeg, Luh Putu Laksminy, and Ni Luh Ketut Mas Indrawati

Balinese culture, in the course of its growth, has been passing a long road of history. It is mirrored by the firm bond of Balinese culture and Hindu since the beginning of the Anno Domini age, and by the integration within the skeleton system of national culture and modern era as well. (Mantra, 1993:11; Geria, 1995:91; Pitana, 1998:28-29).

Hindu, as one element of Balinese cultures, provides paths for Hindus to get closer to their Maker, their God; one of them is through Yadnya. The teachings related to yadnya is named Panca Yadnya, i.e. five kinds of yadnya ceremonies or sacrificing ceremonies. One of the ceremonies is  Manusa Yadnya (sacrifice ceremony to humankinds). Ngotonin ritual, one kind of Manusa Yadnya, is carried out to humans in their age of six months, and is regularly held in the interval of the next six months during their lives. Ngotonin has a deeply religious emotion – not only a form of human effort to protect an individual and rinse the darkness of their thoughts out, but also to clean up the way humans think since it is believed only from the holly and purified humans’ thoughts are the positive ideas, which are beneficial for themselves and others, born they mark, with sometimes elaborate purifica­tion ceremonies. (Wenten, 1999:1-12, Upadesa (1978:63; Koentjaraningrat, 1985: 40-46; Eiseman, 1988: 84). The prayer produced orally in the process of ngotonin ritual is a language in use, whatever the form it takes and indicates the relationship between language, culture and structure, considering the social structure as one part of the social system. The spoken prayer can be recoded in written text and becomes the reflection of Balinese culture and give the identity symbol of ethnic groups if it is seen from its context of situation in which it is used.

It is very important that a text is characterized by coherence, it hangs together and an important contribution to coherence comes from cohesion as these sets of linguistic resources that every language has (as part of textual meta-function) for linking one part of the text to another. (Halliday and Hasan, 1976: 1). The text consists of some features of the context of situation. It is important for us to know the context of situation of a text. By knowing the context of situation of a text we will be able to predict what are other people going to say and by doing so we understand what he or she does say (Koentjaraningrat, 1985: 40-46, Halliday (1985). This study will concern with the function of spoken prayer that is recoded in written text by relates it to context of situation.

Download click here

Notions of Evil Today: Perspectives of Sixth Graders in Manila by Dr. Rito V. Baring

The challenge of finding out the relevance of traditional religious notions remains a fresh concern for the local church in the Philippines, a predominantly Christian nation in the heart of Asia. Enriched by its diverse religious traditions, the Philippines no doubt stand as a witness to the constant quest to find meaning about one’s faith. In general, there is the quest to find the relevance of faith practices within the daily grind of life. Within this picture, there is the search for religious meaning which is given life through inquiries that ask about the truths proposed in the Christian faith.  The search for religious meaning is captured in the specific inquiry to make sense out of the growing demands and difficulties of life. Today questions about God and evil are raised to address the difficulties between the spiritual and the material. Traditionally, the question of God and evil are raised in the level of adults who raise the cry of pain or protest. Nothing much is heard, from a religious angle, about children’s notions for the simple reason that their mindset is too simple to handle such a delicate subject. How has the question of evil reverberated in the consciousness of the young pupils today? Hence, this paper seeks to address that issue by finding out how sixth graders interpret “evil” today. In particular, this paper wants to know how the sixth graders from selected public schools in Manila appropriate notions of evil today by evaluating their contemporary concepts of evil. This paper shall therefore describe the essential aspects of their notion of evil as gleaned from survey data from the students and shall analyze how emergent themes that are taken from their notions reflect particular popular mindsets.

The problem of Evil

The challenge of writing about evil rests on these framed limitations: (a) that it had always been defined as a negative reality in Christian sources, (b) that most discourses if not all takes evil in terms of its relationship to God and the good, (c) that by these characteristics, evil do not enjoy an epistemological distinction as a reality. The first two difficulties reflect traditional theological and Christian discourses on evil. Of late, current attempts have tilted towards rational discourses. In particular, philosophical and ethical discussions have proliferated in academic circles and literature. Indicative of this are the recent works of some scholars in the ethical practice such as that of Susan Neiman and Claudia Card. From the theological field, theological discussions remain anchored in traditional categories such as creation, God and spirituality.

Download click here

Loading...