Kelompok lukisan Pita Maha yang mengalami pembaharuan, Bagian I

Kelompok lukisan Pita Maha yang mengalami pembaharuan, Bagian I

Kelompok lukisan yang mengalami pembaharuan pada tema, sinar, bayangan, dan pewarnaan dalam Seni Lukis Pitamaha.
Oleh: Drs. I Dewa Made Pastika

a. Judul karya         : Rajapala.

Bahan                    : kanvas dan tempra.

Tahun pembuatan  : 1972.

Seniman                : Ida Bagus Made Nadera.

Ringkasan ceritera.

Rajapala sedang mencuri kain salah satu dari tujuh bidadari yang sedang mandi. Bidadari tersebut yang kemudian menjadi isterinya Rajapala.

Obyek lukisan.

Lukisan yang berjudul Rajapala mengambarkan bidadari dari kahyangan sedang mensucikan diri (mandi) di sebuah taman. Ketujuh bidadari, semuanya tanpa busana (telanjang), sambil membawa sekuntum bunga untuk menghias diri, berkumpul di sebuah kolam pertamanan.

Sementara dari sela pohon kayu Rajapala sedang mengkait selembar kain bidadari yang kemudian akan menjadi isterinya. Bidadari yang tanpa busana dalam berbagai gerakan menunjukkan adanya napas erotik yang merupakan ciri khas dari karya lukisan Ida Bagus Made Nadera. Di sekitar permandian berbagai jenis tumbuhan dan bunga-bungaan, menambah keheningan dan keindahan suasana taman. Pewarnaan alam cerah didominasi oleh warna biru kelam. Bidadari berwana oker kecoklatan, disertai kontras warna warna antara gelap dan terang sangat tegas dan tajam.

Kesatuan (unity) atau keutuhan

Dalam lukisan yang berjudul Rajapala, tersusun dari unsur-unsur rupa yang dapat menunjang kekompakan, mencapai  suatu kesatuan yang utuh. Unsur rupa tujuh bidadari tersusun dalam ikatan gerakan tubuh yang satu berkaitan dengan yang lainnya. Ada gerakan bidadari yang sedang berdiri, dengan yang  sedang duduk, saling berhubungan pandangan, mengesankan seolah-olah ada komunikasi diantaranya, merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kelompok tujuh bidadari, ditunjang oleh elemen pertamanan seperti bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan, kolam dan batu-batuan. Rajapala yang sedang mencuri kain bidadari, adalah figur utama yang sangat erat kaitannya dengan judul ceritera, menyatu dengan elemen lainnya.

Garis kontour yang ritmis, sebagai pembatas bentuk sangat besar peranannya dalam mengikat elemen atau unsur rupa lainnya. Garis tersebut pada pemandangan alam sebagai pembatas kontras warna antara gelap dan terang. Yang memisahkan obyek yang jauh dengan obyek yang dekat letaknya, adalah merupakan ciri khas dari karya Ida Bagus Made Nadera.

Garis kontour pada figur bidadari dan bentuk lainnya, ketebalannya mengikuti arah penyinaran dapat mempersatukan bentuk bidadari dan lainnya. Bentuk bidadari didistorsi untuk  penekanan dalam pencapaian karakter, yaitu dengan cara menyangatkan atau memperpanjang proporsi  kaki dan tangan nya.

Kelompok lukisan yang secara utuh mengalami pembaharuan pada bidang tema, proporsi, anatomi plastis, pewarnaan, dan sinar bayangan dalam lukis Pita Maha, selengkapnya

BAN-PT Ingatkan Sistem Akreditasi Telah Berubah

BAN-PT Ingatkan Sistem Akreditasi Telah Berubah

JAKARTA – Kepala Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT), Kamanto Sunarto, mengatakan bahwa BAN-PT telah melakukan perubahan sistem akreditasi. Di mana katanya, yang semula hanya untuk program studi (prodi), saat ini menjadi sistem akreditasi untuk program studi dan institusi perguruan tinggi. Dikatakannya pula, perubahan ini merupakan bagian dari implementasi UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
“Informasi diubahnya sistem akreditasi ini memang belum banyak yang mengetahui. Oleh karena itu, kami jelaskan bahwa sejak tahun 2007, BAN-PT telah melakukan akreditasi sejumlah institusi perguruan tinggi,” terang Kamanto, di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta, Jumat (22/10).
Selain itu, instrumen akreditasi generik yang dikembangkan pada tahun 2001, terang Kamanto lagi, juga dirumuskan ulang untuk menyesuaikan dengan peraturan/perundangan, serta mengakomodasi perubahan paradigma penjaminan mutu pendidikan. “Paradigma penjaminan mutu itu semula menekankan pada input. Namun sekarang, bergeser pada process-output dan bahkan outcome,” ujarnya.
Lebih lanjut Kamanto menambahkan, dengan memperoleh status akreditasi lewat instrumen baru ini, maka perguruan tinggi diharapkan untuk lebih siap mengajukan akreditasi program studi di tingkat internasional. Dikatakannya, instrumen akreditasi yang baru untuk program studi sarjana sendiri mulai diimplementasikan tahun 2009. Sedangkan untuk program studi diploma, magister dan doktor, dimulai pada tahun 2001.
Untuk diketahui, tercatat hingga saat ini BAN-PT telah melakukan akreditasi terhadap lebih dari 80 institusi perguruan tinggi. Jumlah institusi dan program studi yang harus diakreditasi atau akreditasi ulang sendiri selalu berubah, karena status akreditasi akan kadaluarsa dalam lima tahun. (cha/jpnn)

Sumber: http://www.jpnn.com/read/2010/10/22/75214/BAN-PT-Ingatkan-Sistem-Akreditasi-Telah-Berubah-

2014, Pembentukan BLU 70 PTN Harus Selesai

2014, Pembentukan BLU 70 PTN Harus Selesai

JAKARTA – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menargetkan sebanyak 70 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, untuk dapat segera membentuk Badan Layanan Umum (BLU). Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemdiknas, Dodi Nandika, kepada JPNN di Jakarta, Kamis (21/10).
Dikatakan Dodi, saat ini ada 20 PTN yang sudah memiliki BLU. Menurutnya pula, untuk membentuk BLU, yang harus dilakukan PTN antara lain adalah mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “Total, jumlah PTN ada (sebanyak) 90. Jadi, sisanya saat ini ada 70 PTN yang belum membentuk BLU. Kita pastinya akan mendorong semua PTN tersebut untuk segera membentuk BLU, meskipun akan dilakukan secara bertahap. Tahun 2014 sudah harus selesai semua,” ungkapnya.
Dodi menambahkan, meski ada pembatalan UU BHP beberapa waktu lalu, pemerintah (Kemdiknas) tidak ingin menghilangkan otonomi perguruan tinggi yang selama ini sudah berjalan. Selain itu katanya, tetap perlu pengelolaan keuangan yang fleksibel bagi PTN, disertai kontrol terhadap pembiayaan orang tua pada perguruan tinggi. “Menurut kami, jika dilihat dari sisi kelembagaan, maka yang paling tepat untuk menampung misi tersebut adalah BLU,” ujarnya.
Selain itu untuk saat ini, lanjut Dodi, beberapa PTN diakui juga masih dalam tahap persiapan, serta belum memenuhi syarat untuk pembentukan BLU. “Banyak PTN yang belum siap untuk membentuk BLU. Tetapi kita akan tetap menunggu,” katanya.
Dodi menerangkan, awalnya hanya sebanyak 8 (delapan) PTN saja yang bersedia dan siap untuk membentuk BLU. Namun dalam kurun waktu dua tahun, sampai saat ini sudah meningkat menjadi 20 PTN yang telah memiliki BLU. “Maka dari itu, kami optimis-lah, jika tahun 2014 nanti semua PTN sudah membentuk BLU,” imbuhnya.
Sementara itu, Mendiknas M Nuh yang ditemui JPNN secara terpisah, juga sempat mengakui bahwa ada beberapa PTN yang menolak untuk membentuk BLU. Namun menurutnya, pihak Kemdiknas tak terlalu menanggapi penolakan tersebut. “Saya rasa penolakan itu bukan secara institusi, tetapi lebih bersifat personal. Mungkin mereka yang awalnya tidak perlu menyetor ke pemerintah melalui APBN, sekarang ditetapkan. Jadi, penolakan itu biarkan saja,” serunya. (cha/jpnn)

Pelantikan BPM, Senat Mahasiswa dan HMJ Periode 2010-2011 FSRD ISI Denpasar

Pelantikan BPM, Senat Mahasiswa dan HMJ Periode 2010-2011 FSRD ISI Denpasar

Denpasar- Guna dapat mewakili keinginan-keinginan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya serta meningkatkan kualitas pendidikan, Fakultas Seni Rupa dan Desain FSRD ISI Denpasar melantik Badan Perwakilan Mahasiswa FSRD ISI Denpasar, pada Jumat, 22 Oktober 2010. Pelantikan dilakukan oleh Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Dra. Ni Made Rinu, M.Si serta disaksikan oleh Ketua Jurusan dan Ketua Program Studi dilingkungan FSRD ISI Denpasar.

Menurut Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan FSRD ISI Denpasar Drs. D.A. Tirta Ray, M.Si, Senat Mahasiswa merupakan organisasi kemahasiswaan intra kampus yang memiliki kedudukan resmi dilingkungan kampus. Organisasi Kemahasiswaan ini terdiri dari Senat dan BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) yang berfungsi sebagai badan Legislatif sedangkan Senat Mahasiswa berfungsi sebagai Badan Eksekutif . Oleh karena itu Senat Mahasiswa dan BPM yang mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing.

Para pengurus organisasi mahasiswa FSRD, Senat dan BPM berasal dari kader organisasi ekstra kampus ataupun aktivis-aktivis independen yang berasal dari berbagai Jurusan dan Bidang Studi atau Kelompok Kegiatan lainnya. Organisasi Mahasiswa tersebut dipilih melalui kegiatan Pemilu Mahasiswa yang berlangsung sangat demokratis dan penuh dengan semangat kekeluargaan serta menjungjung tinggi nilai-nilai kebersamaan untuk mencapai mufakat.

Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Dra. Ni Made Rinu, M.Si mengungkapkan selain berfungsi menyalurkan aspirasi para mahasiswa, terbentuknya organisasi kemahasiswaan ini juga berfungsi sebagai badan eksekutif yang diharapkan dapat melakukan partisifasi nyata dalam mewujudkan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan ilmunya, berperan aktif mengembangkan sikap ilmiah dalam dunia kesenian, meningkatkan dinamika ilmiah dan kreativitas mahasiswa serta ikut menciptakan integritas mahasiswa seni rupa, desain, fotografi yang berkualitas. Pihaknya berharap agar para wakil mahasiwa ini dapat mengemban dan mengamalkan tugas dengan sebaik-biknya.

Sementara susunan organisasi BPM, Senat Mahasiswa dan HMJ FSRD ISI Denpasar periode 2010-2011 adalah I Ketut Alit Wijaya sebagai Ketua BPM dari Jurusan Seni Rupa Murni; Nyoman Teragradya Winaya Ketua Senat dari PS. Desain Komunikasi Visual; A.A. Gd. Agung Jayawikrama Ketua HMJ Seni Rupa Murni; I Nyoman Endra Ketua HMJ Kriya Seni; I Komang Swakarma Ketua HMJ PS. Desain Interior; Rizky Indra Berata Ketua HMJ PS. desain Komunikasi Visual; serta Arya Sutawan Ngurah Ketua HMJ PS. Fotografi.

Humas ISI Denpasar Melaporkan

Semiotika, bagian II

Semiotika, bagian II

Oleh: Alit Kumala Dewi, S.Sn, Dosen PS DKV

Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006). Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

J. Derrida

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Semiotika, bagian II selengkapnya

Loading...