Kiriman Saptono, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
1. Pendahuluan
Dalam arti yang sangat luas, kebudayaan dapat dinyatakan sebagai keseluruhan masalah-masalah sepiritual, material, segi-segi intelektual dan emosional yang beragam, dan memberi watak kepada suatu masyarakat atau kelompok sosial.
Kebudayaan juga dapat pula diartikan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan pribadi manusia; hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan (Bandem, 1995). Para ahli kebudayaan menekankan pentingnya aspek kebudayaan diperhitungkan dalam pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), adalah kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirinya dengan belajar. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, ada tujuh unsur kebudayaan secara universal, yaitu; (1). Bahasa, (2). Sistem teknologi, (3). Sitem mata pencaharian atau ekonomi, (4). Organisasi sosial, (5). Sitem pengetahuan, (6). Religi, dan (7). Kesenian.
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan pendukungnya terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang sangat beragam wujudnya. Jika dipandang dari sudut budaya, di Indonesia terdapat budaya-budaya yang sangat beragam (pluralistik), mulai dari adanya budaya lokal, suatu kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan keluarga; kebudayaan daerah, suatu kebudayaan yang disepakati oleh daerah atau suku bangsa tertentu seperti kebudayaan Jawa, Bali, Minang, Sunda, Bugis, Sasak, Dayak, Papua, Madura, dan sebagainya. Wawasan aneka budaya (multikultural) dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali ditampilkan dan dianjurkan dalam berbagai forum (Edi Sedyawati 2002), namun sebenarnya perlu disadari bahwa situasi aneka budaya itu tidak sama di semua negara, meskipun sama-sama mempunyai keanekaragaman budaya. Lebih lanjut Edi Sedyawati, mengemukakan adanya tiga tipe negara dalam hubungannya dengan keanekaragaman budaya yang dikelolanya. Pertama, dengan upaya pembangunan imperium (atas sejumlah negara), umumnya kerajaan-kerajaan yang mulanya merupakan negara bebas, namun berada dibawah kekuasaan dan pemantauan kaisar dan pemerintahannya. Mereka mempunyai kebudayaannya masing-masing dan berbeda-beda dengan kebudayaan yang dianut kaisar (contoh kekaisaran di Romawi). Meskipun memiliki kebudayaan-kebudayaan lokal, mereka tidak diberi pengakuan yang nyata. Kedua, adalah negara yang terjadi melalui suatu proses kolonisasi dan pendudukan. Negara tipe sepert ini keanekaragaman budaya dapat berkembang secara rumit. (contoh: The United States America, Kanada, dan Australia). Walaupun isu multikulturalisme iitu sendiri berasal dari negara-negara tersebut, yang rupanya sangat menyadari akan problematik yang ditimbulkan. Ketiga, adalah negara tempat keanekaragaman budaya itu terdapat berdasarkan prinsip penyatuan dan persatuan. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengakuan akan adanya cita-cita bersama untuk masa depan, kesamaan latar belakang sejarah, dan kedekatan budaya. (contoh: Indonesia, India, dan Thailand).
Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat juga memiliki kebudayaan nasional yang disebut “Kebudayaan Nasional Idonesia” seperti yang tertuang dalam pasal 32 UUD 1945.
Yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini adalah, “Mungkinkah kita melakukan pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya berbasis komunitas? didalam situasi krisis nasional yang sedang kita alami sekarang ini”.
Di dalam tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan singkat tentang masyarakat Bali Sekarang dan peran pembangunan, pariwisata yang berwawasan budaya, keragaman dan komunitas budaya.
Budaya Pluralistik Dalam Prespektif Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas selengkapnya