by tik ISi | Jul 8, 2021 | 2021, Artikel
Kiriman : I Wayan Nuriarta (Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar)
ABSTRAK
Ada kekhasan tersendiri yang dimiliki kartun Sompret karya I Wayan Sadha jika dibandingkan dengan karya kartunis Indonesia maupun Bali pada khususnya. Pertama, kekhasan itu adalah keterikatannya dengan budaya Bali. Penghayatannya yang mendalam pada budaya Bali menghadirkan kartun Sompret sebagai representasi opininya terhadap berbagai persoalan yang melanda budaya Bali. Kartun Sompret memberikan kritik dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, dari segi penggunaan bahasa, kartun Sompret karya I Wayan Sadha juga menunjukan keunggulannya. Dialog-dialog bahasa Bali yang ditampilkan dengan campuran ungkapan-ungkapan dan ekspresi-ekspresi yang khas milik orang Bali, bukan milik budaya-budaya lain. Kartun Sompret memanfaatkan cara bercerita satu panel. Dengan bentuk panel segiempat, salah satu kartun dalam buku Celoteh Anjing Sompret menghadirkan tiga ilustrasi manusia dan satu ilustrasi anjing. Secara denotatif kartun ini bercerita tentang satu keluarga di Bali yang telah selesai mengikuti upacara adat. Sadha menggambarkan keluarga atau masyarakat Bali setelah selesai mengikuti upacara keagamaan membeli makanan tidak lagi di warung orang Bali dengan masakan khas Bali, tetapi dengan pakaian adat setelah selesai sembahyang membeli makanan di tempat dengan merek “Barat”. Penggambaran ini ditunjukan dengan adanya pilihan menu fried celeng, fried kakul, fried dongkang. Secara konotatif kartun ini dapat dibaca sebagai perkembangan arus global di Bali. Masyarakat Bali tidak bisa tertutup terhadap perkembangan arus global atau arus modern Barat. Masyarakat Bali dipandang sebagai masyarakat konsumsi.
Kata Kunci: kartun, masyarakat konsumsi, semiotika, desain komunikasi visual
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Jul 1, 2021 | 2021, Artikel
Kiriman : I Wayan Budiarsa (Program Pascasarjana Program Studi Seni, Program Doktor ISI Denpasar)
Abstrak
Epos Mahabharata yang berkembang di Nusantara khususnya di Jawa dan Bali merupakan pengaruh dari India dan menjadi sumber cerita beberapa tari, drama tradisonal maupun tarian kreasi garapan baru. Mahabharata yang terbagi menjadi Asta Dasa Parwa (18 parwa) termasuk kesusastraan kuna hasil dari tulisan Rsi Byasa. Terlepas dari alur cerita peperangan antara Pandawa dan Korawa di Kuruksetra, secara teologi epos ini mengandung filosofi tuntunan kehidupan dalam bermasyarakat, sebagai pemimpin, beragama, jalan menuju dharma, moksa, dan meyakini esensi keberadaan Tuhan yang tertuang dalam Bhagawad Gita. Di Bali, keterkaitan seni pertunjukan dengan ritual agama sangatlah kental sehingga dalam penyampaian tuntunan rohani selalu diselipkan dalam tontonan kesenian. Melalui pengolahan imajinasi estetis senimannya, sumber itihasa Mahabharata diwujudkan ke dalam seni pertunjukan seperti wayang wong parwa, tari kreasi legong keraton Supraba Duta, tari kreasi Satya Brasta, tari Wiranjaya adalah diantara dari sekian tarian yang bersumber dari wiracarita Mahabharata.
Kata Kunci: epos, Mahabharata, sumber lakon, tari, dramatari.
Abstract
The Mahabharata epic that developed in the archipelago, especially in Java and Bali, is an influence from India and has become the source of stories for several dances, traditional dramas and new dance creations. Mahabharata which is divided into Asta Dasa Parwa (18 parwa) is an ancient literary result of Rsi Byasa’s writings. Apart from the story line of the war between Pandavas and Kauravas in Kuruksetra, theologically this epic contains the philosophy of guiding life in society, as a leader, as a religion, the path to dharma, moksa, and believing in the essence of God’s existence as contained in the Bhagawad Gita. In Bali, the connection between performing arts and religious rituals is so strong that the delivery of spiritual guidance will inserted into the performance of art. Through the processing of the artist’s aesthetic imagination, the sources of the Mahabharata itihasa which are embodied in the performing arts such as wayang wong parwa, Supraba Duta legong keraton dance creations, Satya Brasta dance creations, Wiranjaya dances are among the dances that originate from the epic Mahabharata.
Keywords: epic, Mahabharata, source of the story, dance, dance and drama.
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Jun 23, 2021 | 2021, Artikel
Kiriman : I Komang Arba Wirawan (Program Studi Produksi Film dan Televisi FSRD ISI Denpasar)
Abstrak
Bali sebagai pusat pariwisata dunia membutuhkan peran pendukung seni dan budaya. Seni kriya sebagai produk souvenir tourist dibutuhkan selain berkualitas juga memiliki brand/merek. Tujuan penelitian ini adalah mempetakan produk kriya yang memiliki brand/merek sehingga dapat menjadi brand image bagi tourist dan memenangkan persaingan destinasi global. Model penta helix (Hendriyana) sesungguh dapat diterapkan untuk mencapai produk kriya yang berkualitas. Penerapan teori brand (Kotler), memiliki fungsi tambahan yang kuat dan dapat memberi nilai tambah pada produk kriya tersebut sehingga dapat menjadi brand image bagi tourist. Diperlukan usaha-secara berkelanjutan pengembangan produk yang memenuhi faktor untuk mengevaluasi kualitas produk: Kinerja, Inti Produk, Keistimewaan, Kendala, Spesifikasi, Daya Tahan, Kecepatan, Daya Tarik, dan Persepsi. Kontribusi diperlukan usaha-secara berkelanjutan pengembangan produk yang memenuhi faktor untuk mengevaluasi kualitas produk: Kinerja, Inti Produk, Keistimewaan, Kendala, Spesifikasi, Daya Tahan, Kecepatan, Daya Tarik, dan Persepsi. Hasil menunjukkan diperlukan pelibatan berbagai pihak yang berkolaborasi yaitu kalangan akademik, business, government, mass media/media sosial, tourist dan community untuk menciptakan brand yang mendunia memenangkan persaingan global.
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Jun 16, 2021 | 2021, Artikel
Kiriman : I Wayan Budiarsa (Program Pascasarjana Program Studi Seni, Program Doktor ISI Denpasar)
Abstrak
Pertunjukan dramatari di Bali dalam penyajiannya menggunakan bahasa Kawi dan bahasa Bali. Tokoh-tokoh utamanya mengunakan bahasa Kawi, sedangkan tokoh-tokoh abdi/punakawan menggunakan bahasa Bali. Kini, sejalan dengan perkembangan jaman seni pertunjukan di Bali beberapa tokoh utama cendrung meninggalkan pakem-pakem dialog tradisi dan lebih mengutamakan adegan yang bersifat hiburan. Adegan dialog yang semestinya serius (saklek) berubah menjadi dialog hiburan yang intinya untuk mengundang tertawa penonton. Berbagai persoalan tersebut setidaknya membuat pudarnya sor singgih basa/ anggah ungguhing basa seni pertunjukan dramatari. Tidak hanya dapat kita tonton secara langsung, namun telah viral di beberapa media sosial dan menjadi daya tarik tersendiri bagi sang penanggap/ masyarakat. Rekaman audio visual yang dapat diakses secara berulang-ulang menjadi suatu tontonan hiburan bagi pengguna media sosial tersebut seperti yang di tayangkan oleh media youtube. Dapat kita simak beberapa adegan dialog bahasa Kawi dan bahasa Bali tidak ditempatkannya dengan semestinya sehingga suasananya menjadi pudar (campah).
Kata kunci: Pudar, Anggah Ungguhing basa, Kawi, Dramatari, Bali.
Abstract
The dramatic performance in Bali in its presentation uses Kawi and Balinese languages. The main characters use the Kawi language, while the servants / Punakawan use Balinese. Now, in line with the development of the performing arts era in Bali, some of the main figures tend to leave the standards of traditional dialogue and prioritize scenes of an entertainment nature. The dialogue scenes that should have been serious (saklek) turned into entertainment dialogues whose main point was to invite the audience to laugh. These various problems at least make the sor singgih basa / anggah ungguhing basa of the performing arts drama fade away. Not only can we watch it live, but it has been viral on several social media and has become the main attraction for the responders/ public. Audio-visual recordings that can be accessed repeatedly are an entertainment spectacle for social media users as broadcast by the youtube media. We can see that some of the dialogue scenes in Kawi and Balinese are not placed properly so that the atmosphere is faded (campah).
Keywords: Pudar, Anggah Ungguhing Basa, Kawi, Dramatari, Bali.
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Jun 15, 2021 | 2021, Artikel
Kiriman : Nyoman Lia Susanthi, S.S., M.A (Prodi Produksi Film dan Televisi, ISI Denpasar)
Abstrak
Representasi merupakan proses sebuah objek yang bisa ditangkap oleh panca indra untuk dapat diungkapkan kembali hasilnya berupa konsep/ ide. Dalam film panca indra yang dapat menangkap adalah mata dan telinga yaitu melihat visual dan mendengar suara dari film. Sehingga dalam mengamati representasi film, menonton adalah metode utama untuk mendapatkan konsep atau ide. Pengamatan representasi film yaitu “Doea Tanda Cinta,” difokuskan pada nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung didalamnya. Untuk mengamati nilai kepahlawanan yang terkandung di dalam film ini penulis menggunakan teori semiotika. Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis data menggunakan semiotika maka pada film “Doea Tanda Cinta” mengandung nilai-nilai kepahlawanan. Hal tersebut tercermin dari simbol-simbol sosial yang ditampilkan melalui peran tokoh dalam film. Nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung dalam film antara lain keberanian, pantang menyerah, rela berkorban dan kesabaran.
Kata Kunci: Film, nilai kepahlawanan, representasi
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Jun 11, 2021 | 2021, Artikel
Kiriman : I Putu Udiyana Wasista (Jurusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar)
ABSTRAK
Di masa pandemi, masyarakat mengalami depresi dan stres. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan pendekatan desain biofilik. Manusia memiliki ikatan yang kuat dengan alam. Ikatan ini bersifat emosional, spiritual, dan intelektual. Adanya hubungan ini, mampu memberikan mood positif bagi manusia. Adanya mood positif akan membuat manusia lebih tenang menghadapi situasi yang ada. Hal ini sangat sesuai untuk mengatasi masalah stres dan depresi selama pandemi. Pendekatan studi literatur digunakan untuk membahas penerapan desain biofilik di masa pandemi. Hasilnya, penerapan biofilik dapat dilakukan di rumah tinggal dan lingkungan pemukiman. Di rumah tinggal, penerapan desain biofilik dilakukan dengan memaksimalkan sirkulasi udara alami, menempatkan pot berisi tanaman, dan menggunakan benda-benda berbahan alami. Di lingkungan pemukiman, pendekatan desain biofilik dilakukan dengan membuat fasad hijau dan ruang terbuka hijau. Dalam jangka panjang, pendekatan biofilik dapat membantu ketahanan mental masyarakat. Kondisi ini, secara luas juga akan membantu ketahanan suatu negara di masa pandemi.
Kata kunci : desain biofilik, COVID-19, desain berkelanjutan, desain hijau.
Selengkapnya dapat unduh disini