Pembukaan The 3rd SSEASR Conference  Dihadiri 567 Akdemisi dari 63 Negara

Pembukaan The 3rd SSEASR Conference Dihadiri 567 Akdemisi dari 63 Negara

Pembukaan SSEASR 2009

Pembukaan SSEASR 2009

 

 

Denpasar Konfrensi internasional SSEASR (South and Southeast Asia Association For Study of Culture and Religion) sebagai hasil kerjasama antara ISI Denpasar dan UNHI Denpasar dibuka tadi pagi (3 Juni 2009) bertempat di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar oleh Dirjen Sejarah dan Purbakala, Hari Untoro Drajat yang mewakili Mentri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Sebanyak 567 akademisi multidisiplin dari 63 negara berkumpul guna mengikuti pembukaan konfrensi internasional yang diawali dengan tari garapan baru bertema air yaitu Tari Udakanjali diiringi tabuh wanita Asti Pertiwi ISI Denpasar. Ketua Panitia (OC) Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah mendukung sehingga acara konfrensi ini dapat terlaksana dengan baik. Prof. Rai yang juga Rektor ISI Denpasar mengungkapkan bahwa sebanyak 567 paper dengan tema : Water in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion akan didiskusikan selama 4 hari yang dibagi menjadi 124 diskusi panel. Dari 567 paper tersebut terdapat 100 paper dari peserta Indonesia, sehingga pihaknya berharap melalui ajang bergengsi inilah para akademi lokal dapat menunjukkan jati dirinya dan eksistensinya di kancah internasional, karena peserta yang hadir adalah akademisi dari universitas-universitas besar dan ternama di dunia. Pihaknya juga berharap bahwa lewat konfrensi internasional ini air akan mengalirkan kedamaian di seluruh belahan dunia.

 

Sebagian Peserta SSEASR

Sebagian Peserta SSEASR

Sementara Presiden IAHR (CIPSH, UNESCO) Prof. Ms Rosalind Hackett tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya terhadap keberhasilan dan kerja keras para panitia, terutama atas kerjasama SSEASR dengan ISI Denpasar dan UNHI Denpasar. Rosalind menambahkan konfrensi di Bali adalah kegiatan yang paling mengesankan dari sekian konfrensi yang pernah dia ikuti. Dan satu hal yang dia puji adalah goodie bag yang diberikan kepada seluruh peserta yang benar-benar menggambarkan ciri khas Bali. Hal senada juga diungkapkan Duta Besar India Biren Nanda dan Presiden SSEASR Prof. Amarjiva Lochan. Prof. Amarjiva menyampaikan bahwa selain para pakar dari berbagai Negara ini dapat bertukar pandangan, kegiatan konfrensi ini juga membawa pesan meningkatkan citra positif Bali dan membantu meningkatkan pariwisata Bali.

Pernyataan syukur dan bangga juga disampaikan Dirjen Sejarah dan Purbakala, Hari Untoro Drajat yang mewakili Mentri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Dalam sambutannya Hari Untoro mengungkapkan bahawa masyarakat Bali mengenal folosofi tentang keseimbangan hidup yang disebut dengan Tri Hita Karana yang artinya tiga keseimbangan yang berdampak pada kebahagiaan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Keharmonisan tiga hubungan ini melandasi konsep budaya Bali. Selain itu tema air yang diangkat dalam konfrensi ini adalah gayung bersambut dimana sistem tradisional irigasi Bali yang disebut “subak” sudah ada sejak 9 abad lalu melalui penemuan yang ditinggalkan di kabupaten Gianyar-Bali. Karena keunikan sistem subak inilah saat ini tradisi subak tengah diproses oleh pemerintahan Republik Indonesia untuk diajukan ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia yang patut dilestarikan. Dan inilah sebagai bentuk hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Sementara dalam hubungannya dengan Tuhan sistem subak ini memiliki Pura Subak berlokasi dekat dengan sumber mata air. Sementara dalam hubungan dengan sesamanya, masyarakat Bali mengenal istilah “ngayah”. Tradisi inilah mampu membentuk kedamaian dan sebagai pemersatu. Sehingga memasuki era globalisasi masyarakat Bali tidak punya masalah dalam mengantisipasi moderniasi selama masyarakat Bali memiliki atau mengemban konsep keseimbangan tersebut. Akhirnya dari generasi ke generasi, agama dan budaya sebagai filosofi masyarakat Bali telah mengimplementasikan konsep keharmonisan.

Sementara Rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar yang juga selaku steering committee, Prof. IBG Yudha Triguna yang ditemui disela-sela acara mengungkapkan bahwa kegiatan ini juga sepenuhnya mendapat dukungan dari Direktorat Jedral Bidang Masyarakat (Bimas) Hindu apalagi kapasitasnya yang juga sebagai Dirjen menjadikannya merasa terpanggil untuk turut menyukseskan kegiatan baik skala maupun niskala, termasuk dukungan dana. Pihaknya sangat berharap semoga konferensi international yang bertujuan mulia ini berjalan dengan sukses dan dapat merumuskan sesuai dengan yang diharapkan.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Pameran Air Sebagai Eksplorasi Karya Seni Rupa FSRD ISI Denpasar (Konfrensi Ke-3 SSEASR)

Pameran Air Sebagai Eksplorasi Karya Seni Rupa FSRD ISI Denpasar (Konfrensi Ke-3 SSEASR)

Air Kehidupan Karya I Wayan Gunawan

Air Kehidupan Karya I Wayan Gunawan (Seni Rupa Murni)

Denpasar– Air bagi kehidupan manusia, memberikan  manfaat dan makna yang tidak terbatas bagaikan wujud kasihNya. Bagi kehidupan berkesenian air telah banyak memberikan inspirasi, karena  wujud keindahan yang menyenangkan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Akibat vibrasi sentuhan itu para seniman menimbulkan pengalaman estetis dan interfenetrasi mendalam, sehingga melahirkan inspirasi dan proses kreatif. Inspirasi dan proses kreatif sepanjang perjalana sejarah kesenian diekspresikan menjadi wujud-wujud gaya yang sangat beragam, itu artinya bahwa air bagaikan “ibu” sebagai “sumber pemberkat” keindahan bagi seniman. Oleh karena demikian menjaga, kelestarian dan kesucian air menjadi kewajiban yang sangat melekat bagi kita semua ” kata Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., selaku Rektor ISI Denpasar dan Ketua panitia (OC) ke-3 SSEASR.

Berkaitan dengan itu para dosen dan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar berupaya memamerkan karya-karyanya bertemakan air sebagai wujud kerjasama antara Institut Seni Indonesia Denpasar dengan Universitas Hindu Indonesia dengan SSEASR (South and Southeast Asian Association For the Study Culture and Religion) sebagai ajang kritik dan apresiasi dalam upaya mengenal air sebagai sumber kehidupan dan meningkatkan kualitas proses kreatif. Kegiatan pameran seperti yang sudah sepantasnya didukung oleh berbagai pihak terutama pemerhati seni.

Karena kegiatan berkesenian seperti ini, disamping mengapresiasim kualitas kesyahduan nilai estetik sebagai prestasi kreatif senimannya, tetapi juga rekaman berbagai peristiwa yang mencerminkan berbagai makna yang diekspresikan lewat air. Aktualisasi nilai-nilai universalitas yang selalu dikemas dengan kualitas inovasi kreatif ikon-ikon budaya dunia’ kata Dra. I Made Rinu, M.Si., selaku dekan FSRD dan penanggungjawab pameran dengan tema air di Gedung pameran FSRD ISI Denpasar.

Perfect day karya Bina Isyawan (Fotografi)

Perfect day karya Bina Isyawan (Fotografi)

Pameran yang diikuti oleh mahasiswa dan dosen dari seluruh jurusan di FSRD ini menampilkan karya fotografi seni, lukis, patung dan kriya. Sebanyak 26 dosen dan mahasiswa berpartisipasi dalam pameran bertaraf internasional ini. Persiapan pameran terutama di Program Studi Fotografi sebelumnya melakukan eksplorasi danau Batur Kintamani, Danau Buyan, danau Beratan dan dari berbagai sumber mata air di Bali yang seharusnya kita selamatkan dan wariskan kepada anak cucu kita, yang diolah dengan berbagai teknik fotografi sehingga menghasilkan karya imaging digital seni fotografi yang estetis, kata I Komang Arba Wirawan, S.Sn., M.Si., dosen, fotografer yang hobi hunting dengan mahasiswanya.

Pameran yang berlangsung dari tanggal 3-6 Juni di Gedung Pameran FSRD ISI Denpasar merupakan turut mengsukseskan konfrensi ke-3 SSEASR di ISI Denpasar dan UNHI Denpasar, sebagai tuan rumah. Mahasiswa umum diundang untuk memberikan aspirasi terhadap karya dosen dan mahasiswa, terhadap kepedulian dan eksplorasi air menjadi karya seni rupa.

Tim Pameran FSRD ISI Denpasar

Tari Udhakanjali Diiringi Asti Pertiwi Akan Tampil Dalam Pembukaan The 3rd SSEASR Conference

Tari Udhakanjali Diiringi Asti Pertiwi Akan Tampil Dalam Pembukaan The 3rd SSEASR Conference

Audiensi Acara dengan Bali TV

Audiensi Acara dengan Bali TV

DenpasarSouth and Southeast Asia Association For Study of Culture and Religion (Satu organisasi ditingkat Asia dan Asia Tenggara untuk studi agama dan budaya) akan melangsungkan konfrensi internasional SSEASR ke-3 pada tanggal 3-6 Juni 2009 di ISI Denpasar dan UNHI. Dalam pembukaan konfrensi internasional tersebut yang berlangsung di ISI Denpasar akan ditampilkan karya tari garapan baru dengan judul “Udhakanjali”. Menurut pencipta tarian Ida Ayu Wimba Ruspawati, S.ST., M.Sn., Udhakanjali berarti air suci sebagai persembahan. Dipilihnya judul tersebut karena sesuai dengan tema konfrensi yaitu Water in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion, dimana perspektif air dari Selatan dan Tenggara Asia sebagai interaksi budaya dan agama akan dibahas dalam konfrensi yang berlangsung 4 hari. Ida Ayu Wimba yang juga dosen ISI Denpasar menambahkan air adalah segala-galanya di dunia ini, dan semua makhluk didunia ini akan berakhir sebagai air. Air adalah nikmat dan karunia Tuhan yang luar biasa bagi umat manusia, air menjadi sumber kehidupan yang paling penting. Hakikatnya lembut, namun kekuatan yang dikandungnya sangat luar biasa. Air bisa menjadikan faktor kunci untuk setiap kehidupan di alam ini bahkan air juga sangat berperan penting bagi benda mati, seperti umpama air menyatukan berbagai bahan bangunan dari unsur keras sehingga membentuk dinding yang kokoh. Namun di sisi lain air bisa mendatangkan bencana yang super dahsyat seperti tsunami yang pernah terjadi di Aceh. Air sungguh dahsyat dan luar biasa. Ternyata dibalik semua hikmah dan kejadian yang ditimbulkan oleh air adalah sebagai akibat perlakuan kita terhadap air. Begitu juga dengan air yang ada di alam, sudah sepatutnya kita harus memperlakukannya dengan baik, seperti tidak membuang sampah dan limbah kimia ke air sehingga diharapkan air dapat memberikan kehidupan yang bagus, bukan sebaliknya mendatangkan bencana, seperti banjir dan bencana lainnya. Inilah sesungguhnya tentang air, belakangan ini bahkan sampai dengan saat ini air masih belum mendapatkan perhatian sebagai benda yang penting, air masih banyak diberikan perlakuan yang kurang bagus, mungkin sampai dengan sekarang ini kita masih banyak mendapatkan bencana alam yang disebabkan oleh karena kurangnya perhatian kita terhadap air. Untuk itu lewat garapan tari yang berdurasi sekitar 8 menit ini diharapkan mampu membuka cakrawala kita untuk turut menjaga keberadaan air di bumi ini. Layaknya fitur air, garapan tari ini memiliki gerakan yang statis, dinamis dan murka. Tarian ini dibawakan oleh Sembilan (9) penari dari mahasiswa semester VI jurusan Tari ISI Denpasar. Menurut pencipta dipilihnya Sembilan penari karena angka Sembilan adalah nilai tertinggi dan sebagai simbul Dewata Nawasanga (pengider buana).

Logo Visit2009

Logo Visit2009

Sementara iringan tari akan dibawakan oleh penabuh wanita ISI Denpasar “Asti Pertiwi”. Sesuai dengan kiprahnya “Asti Pertiwi” kian terdengar dikancah seni Bali. Tak heran karena keaktivan para penabuh yang terdiri dari para dosen, staf, mahasiswa, serta seniman untuk turut mengikuti berbagai kegiatan yang berlandaskan “ngayah”. Diawali dengan kegiatan “ngayah” dikampus ISI Denpasar, kumpulan ibu-ibu ini mampu menembus kancah local, nasional hingga internasional. Aktivitas Asti Pertiwi mengemban misi Tridharma Perguruan tinggi yang salah satunya pengabdian kepada masyarakat dimulai dari ngayah berkaitan dengan uparana odalan di Pura Padma Nareswara ISI Denpasat. Awal dari itulah akhirnya Penabuh wanita ISI Denpasar “Asti Pertiwi” ini, hingga kini sudah melakukan  kegiatan ngayah di beberapa yang ada di Bali diantaranya Pura Besakih saat Odalah Bhatara Turun kabeh, Pura Batur, dan 36 pura lainnya sudah pernah dijajah untuk kegiatan “ngayah”. Selain pura-pura di Bali, Asti Pertiwi juga pernah merambah ke luar Bali yaitu Lombok, dengan “ngayah” di Pura Dalem Karangjangkong, Cakranegara, Lombok-Nusa Tenggara Barat pada tilem kedasa, tanggal 24 April 2009. Dengan ciri khas membawakan tabuh Semar Pegulingan, rombongan ini mampu menjadi pusat perhatian para pemedek yang tangkil ke Pura Dalem Karangjangkong. Selain itu Asti Pertiwi juga pernah menorehkan sejarah dengan tampil pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke 29, tampil dihadapan Menteri Pendidikan Malaysia saat kegiatan SEAMEO Conference tahun 2007, serta tambil dalam berbagai ajang penting lainnya.

Menurut Koordinator Asti Pertiwi, Ni Ketut Suryatini, S.Kar., M.Sn., Asti Pertiwi yang didukung penuh oleh Rektor ISI Denpasar merasa bangga diberi kesempatan untuk tampil mengiringi tarian Udhakanjali dalam pembukaan Konfrensi Internasional ke-3 SSEASR. Asti pertiwi akan menampilkan sebuah komposisi bertema air dengan penyampaian dari bentuk syair kolaborasi antara tabuh dan gending ciptaan Ni Ketut Suryatini, S.Kar., M.Sn., beserta I Gede Mawan S.Sn. Dalam garapan tabuh ini Ni Ketut Suryatini mengungkapkan bahwa selama ini kita terlalu terlena dengan keduniawian sehingga mengabaikan pentingnya manfaat air. Jika air dalam tubuh kita diberikan perlakuan yang positif, maka air akan sangat berguna sebagai penyembuh yang sangat ampuh dan dahsyat. Demikian halnya air yang ada di alam semesta ini, kalau diberikan perlakuan yang positif maka air yang ada di alam semesta ini akan sangat memberikan manfaat yang sangat luar biasa, memberikan sumber penghidupan bagi setiap benda yang ada di alam ini. Air ciptaan Tuhan yang sangat dahsyat dan luar biasa ini merupakan jembatan dan keterkaitan antara kehidupan alam dan kehidupan manusia. Sehingga garapan tari dan tabuh ini mampu menyadarkan manusia untuk menjaga air untuk kepentingan bersama.

Humas ISI Denpasar melaporkan

“Foto Seni” Konsep Estetika Dalam Fotografi

“Foto Seni” Konsep Estetika Dalam Fotografi

Sebuah karya atau foto kita katakan sebagai benda seni, ia harus bukan sekedar hasil upaya proses reproduksi belaka. Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan/idea tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan, dan bahkan serangkaian mimpi-mimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep dan visi/misi yang transparan serta “baru”. Dengan begitu sebuah foto seni tidak hanya sebentuk “seni instan” belaka.            Foto Seni, merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda

Lebih satu abad yang lalu fotografi ditemukan sebagai suatu teknologi baru di bidang perekaman visual yang cukup revolusioner. Walaupun prinsip dasar fotografi telah dikenal orang sejak lama (melalui cara kerja kamera Obscura) akan tetapi sebagai alat yang dapat mengabadikan objek ke atas permukaaan lempengan tembaga dan kertas. Mereka yang melakukan hal tersebut kemudian dikenal sebagai tokoh pionir fotografi seperti, Josep Necepphore, Louis Jacques Mande Daguerre (keduanya dari Perancis) dan Henry Fox Talbot (Inggris).

Selanjutnya secara bertahap fotografi berkembang ke arah penyempurnaan teknik dan kualitas gambarnya sampai pada akhir abad ke-19 saat George Eastmen mempopulerkan produk kamera KODAK-nya ke pasaran Amerika, fotografi telah mencapai kualitas hasil yang mendekati seperti yang kita kenal sekarang sampai teknologi digital yang paling mutakhir dengan hasil akhir sama seperti fotografi analog.

Foto Seni Indonesia

Tapi sebenarnya  perkembangan foto seni di Indonesia sendiri telah berkembang diakhir abad delapan belas, ada orang Indonesia yang telah membuat foto-foto indah menawan baik di dalam studio maupun di alam bebas, foto-foto itu jelas sekali bernafaskan seni seperti yang kita kenal sekarang ini. Objek, lighting dan komposisinya jelas sekali diperhitungkan dengan matang saat pemotretan. Pencetakan fotonyapun juga sangat brelian, sehingga hasil fotopun menjadi indah menawan bagaikan lukisan-foto piktorial. Perbedaan yang dapat kita lihat dengan jelas adalah sebagian besar, bahkan hampir semua foto terekam beku. Jika memotret manusia, maka simodel diwajibkan untuk diam beberapa saat. Hal ini dapat dimaklumi karena teknologi fotografi saat itu masih sederhana, body kamera berukuran besar sedangkan filmnya masih dalam bentuk lembaran (bukan rol), bahkan bahan dasarnya kaca atau seloloid, dengan kepekaan (ASA) yang masih rendah. Mekanis pada lensa juga sangat sederhana, bahkan banyak lensa yang mempunyai satu bukaan diafragma dan tidak disertai lembaran daun diafragma, sehingga pemotretan dilakukan dengan cara membuka dan menutup lensa/lenscap.

Foto Seni

Pengertian “foto seni” adalah suatu karya foto yang memiliki nilai seni, suatu nilai estetik, baik yang bersifat universal maupun lokal atau terbatas. Karya-karya foto dalam kategori ini mempunyai suatu sifat yang secara minimal memiliki daya simpan dalam waktu yang relatif lama dan tetap dihargai nilai seninya.

Sebuah karya atau foto kita katakan sebagai benda seni, ia harus bukan sekedar hasil upaya proses reproduksi belaka. Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan/idea tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan, dan bahkan serangkaian mimpi-mimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep dan visi/misi yang transparan serta “baru”. Dengan begitu sebuah foto seni tidak hanya sebentuk “seni instan” belaka.

Foto Seni, merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda. Walau tidak bisa dipungkiri, secara teknikal foto seni memberikan kontribusi kepada cabang fotografi lainnya, semisal foto jurnalistik.

Berbagai kalangan fotografi mengakui, perkembangan dunia fotografi di Indonesia memang belum sepenuhnya menggembirakan,walaupun sejak “reformasi” foto baik dari foto jurnalistik, foto studio, komersial ataupun yang bernuansa salonis, foto seni, dunia fotografi Indonesia memang tengah memasuki era baru.

Fotografer Seni

Kassian Cephas orang jawa, lahir di Yogyakarta tanggal 15 Januari 1845, oleh banyak pihak diakui sebagai fotografer pertama Indonesia. Fotografer lainnya yang ada di Indonesia sebagian besar adalah keturunan Belanda.

Kassian Chepas yang tinggal dan mempunyai studio di Yogyakarta juga merupakan “pemotret resmi” Kraton Yogyakarta. Selain memotret kalangan elit, Kassian Chepas juga banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya terutama yang ada disekitar Yogya.

Selain karya Chepas, foto-foto kuno yang dibuat pada akhir dan awal tahun 1900-an sayangnya banyak yang tidak diketahui siapa pemotretnya, banyak juga yang menampilkan sisi keindahan dengan objek panorama maupun human interest.

Selain itu Ansel Adam seorang “fine art photographer” Amerika terbesar dari abad ke-20. Ansel Adam tidak hanya dihargai dari karya foto-fotonya saja tapi juga dari dedikasinya dalam dunia pendidikan fotografi. Ansel bersama Fred Archer pada awal tahun 1940-an memperkenalkan suatu metode yang dikenal dengan nama Zone System (ZS).

Metode temuan Ansel ini secara umum adalah proses terencana dalam pembuatan foto mulai dari pra-visualisasi kemudian mengkalkulasi pencahayaan secara tepat sampai menproses film secara akurat. Hasil akhirnya adalah negatif foto yang prima sebagai pondasi utama membuat cetakan foto yang berkualitas juga maksimal. Metode ZS ini bila dipahami secara benar akan sangat membantu fotografer untuk menghasilkan foto yang semaksimal mungkin sehingga tidak lagi mengharapkan suatu keberuntungan semata dalam menentukan perhitungan pencahayaan. Segalanya telah diprediksi dan direncanakan dengan baik.

Kategori Foto Seni (fine art)

Foto seni (fine art) adalah foto-foto piktorialisme, yakni jenis foto yang menonjolkan estetika yang meniru pencitraan gambar (picture) atau lukisan (painting). Jenis foto ini lebih menyerukan keindahan atau nilai artistik instriknya ketimbang kandungan makna foto itu sendiri. Elemen -elemen yang diekploitasi oleh fotografer foto seni ialah komposisi, penyinaran yang dramastis ( chiroscuro) dan nada warna(Paul I. Zacharia)

Foto seni (fine art) bisa disimpulkan sebagai foto yang dalam proses yang berkesinambungan. Ada hal yang yang tidak bisa dipisahkan mulai dari konsep perencanaan, pembuatan, penerapan teknis secara akurat termasuk didalamnya pemrosesan film ataupun pembuatan file digital. Menyikapi kontroversi tentang digital, menarik mengutip pendapat seorang jurnalis kawakan bahwa hanya foto jurnalis yang tidak boleh dimanipulasi. Foto-foto jurnalistik harus menyampaikan suatu kebenaran apa adanya sedangkan dalam foto (fine art), proses digital hanya merupakan alat pembantu dalam berkarya.

Dalam mencipta suatu karya seni, konsep utama yang harus kita persiapkan adalah idealisme pribadi. Pengembangan konsep tersebut, lalu penyesuaian dengan sarana yang ada, pengaruh lingkungannya, kesulitan yang mungkin terjadi, dan tentu saja harus didukung dengan peralatan yang memadai sebagi faktor teknis penciptaan.

Sebagai ilustrasi untuk hal ini adalah foto-foto karya Do Qong Hai yang mirip dengan lukisan bergaya China. Karya-karya ini dibuat dengan melakukan sandwich dari beberapa negative yang dalam pembuatannya telah direncanakan dengan matang.

Estetika dalam Foto Seni

Estetika di dalam foto seni didapatkan apabila telah ditemukan titik estetika yaitu momentum pengalaman kesadaran roh manusia seniman maupun pengapresiasi seni yang persis berada di tengah-tengah antara yang rohani dan yang jasmani, di mana titik ini di alami sekejap namun bernuansa mendalam di dalam yang “tragis” (manakala:roh”dikalahkan”jasmani”), yang sublim (manakala roh menang atas kebaikan), dan yang asri (gracious:manakala kebaikan menang atas kebenaran) (lihat Mudji Sutrisno dan Chris Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius,1993).

Dalam estetika di kenal dua pendekatan: yang pertama ingin langsung meneliti keindahan itu dalam benda-benda / alam indah serta seni itu sendiri atau mau lebih; yang kedua menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami (pengalaman keindahan dalam diri orangnya). Pengalaman estetika berkait erat dengan soal perasaan, dimana bila foto seni dikatakan memiliki estetika dengan ciri foto tersebut tidak hanya mampu  mengeploitasi keindahan tersebut melainkan foto seni menyumbangkan nilai-nilai humanisme universal kepada umat manusia. Fotografi tidak hanya sebagai ekses kemudahan alat rekam, namun di sana tercermin sebuah proses pencitraan gagasan dan estetika yang lebih transenden.

Perkembangan Foto Seni

Banyak yang tidak menyangka bahwa perkembangan foto seni di Indonesia sangat pesat termasuk Bali di era digital ini tumbuh dan mewarnai pefotografian di Indonesia. Dari segi ekonomi sekarang ini sebuah foto bisa dihargai puluhan juta rupiah selembarnya. Namun bukan sekedar dari segi ekonomi saja, dari segi seni rupa lainnya perkembangan foto seni semakin dapat mensejajarkan diri dengan seni lainnya. Mereka yang tidak percaya tentang hal ini menganggap bahwa sebuah cetakan foto seni hanyalah sebuah replika dari negatif pembentuknya. Foto mudah dibuat berapa lembarpun asalkan negatif fotonya masih ada sehingga tidak bisa disamakan dengan karya seni lain.

Hal ini lebih membangkitkan fotografer menekuni bidang foto seni ini, karena sekarang tumbuh sekelompok orang yang mengoleksi foto dan menganggapnya sama dengan benda seni lain. Walaupun dapat dikatakan perkembangan foto seni di Indonesia masih belum maksimal, karena belum banyak yang menekuni foto seni itu sendiri. Foto seni tidak selalu apa yang menjadi obyek, melainkan lebih pada proses ketika memotret dan memroses hasil cetakannya. Ketika kita memotret kita harus sudah tahu akan seperti apa hasilnya hingga sedetail mungkin. Perkembangan foto seni yang begitu pesat dapat kita nikmati setelah bergulirnya era reformasi 1998 dan memasuki era fotografi digital yang sangat pesat dan juga menjadi tonggak perkembangan bidang lain.

Penutup

Membuat foto seni yang merupakan bagian fotografi, yang memiliki konsep estetika yang memperhitungkan terlebih dahulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari pencahayaan sampai proses pencetakannya. Semua direncanakan dengan matang dan terencana, karena kini foto seni telah sama rumitnya dengan seni lain. Apalagi jika kita membincangkan posisi fotografi dalam konteks kesenirupaan (fine art). Bisakah dan mampukah fotografi disandingkan dalam keluarga seni rupa (High Art). Koeksistensinya ini tidaklah berpretensi saling menegasikan. Justru sebaliknya, dan siapa tahu, dunia High Art makin diperkaya dengan hadirnya fotografi di komunitasnya. Sejalan Dengan perkembangan teknologi sekarang ini fotografer yang mau menekuni foto seni akan lebih mudah dengan hadirnya fotografi digital. Apalagi mau bekerja keras mencoba dan mau belajar terus-menerus. Sebuah foto akan dapat menjadi representasi fotografer yang menciptakannya. Sehingga lahir maestro-maestro fotografi punya ciri khas masing-masing, sehingga mengenalkan diri ke publik yang lebih luas.

I Komang Arba Wirawan,SSn._ Dosen  Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain_ Institut Seni Indonesia Denpasar_ (arba’s photography)_ Jl. Astasura I Gang Amerta 10 Denpasar Utara._mobile phone: 081338738806_E-mail: [email protected]

3rd SSEASR Conference, Bali, Indonesia INAUGURAL EVENT

Wednesday June 03, 2009

Inaugural Session 8:30-09:30

Dignitaries take their position at the Stage 08:20- 08:30

Inaugural Prayer/Music 08:30 -08:35

Organising Chair, Prof  Dr.  I Wayan Rai welcome speech        08:35 -08:40

Chair, Steering Committee Prof IBG Yudha Triguna invitation speech 08:40 -08:45

IAHR( CIPSH, UNESCO) President  Prof Ms Rosalind Hackett  addresses 08:45 -08:50

SSEASR President Prof   Amarjiva Lochan speaks       08:50 -09:00

Hon’ble  Governor, Bali H.E. Mr I Mangu Pastika’s address 09:00 -09:05

Hon’ble Indian Ambassador H. E. Mr Biren Nanda’s address 09:05 -09:15

Hon’ble Culture Minister, RI, Ir. Jero Wacik inaugural speech 09:15 -09:25

Vote of Thanks and the VIP Group Photo on Stage 09:25 -09:30

Keynote Session 09:30 -10:30

Introduction of the Keynote Speaker

Prof. Wang Gungwu, Chairman, the East Asian Institute, National University of Singapore

Cultural Diffusion and Inter-Ocean Exchange: Past and Present (Chaired by Amarjiva Lochan, President, SSEASR)

Full Schedule Download in here

Loading...