Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Drama tari Gambuh adalah mata air seni pertunjukan Bali. Para peneliti dari Barat seperti Walter Spies dan R. Goris dalam karangannya yang berjudul “Overzicht van Dans en Tooneel in Bali” (1937) menyebut drama tari ini oertype van alle tooneel on alle muziek (asal atau sumber dari drama dan gamelan yang ada di Bali). Tetapi kini semakin sulit menjumpai pementasan seni pertunjukan kebesaran zaman kejayaan keraton Bali tersebut. Ternyata, jika diteliksik, agaknya drama tari ini telah lama tersungkur. Para seniman pegiatnya kian langka. Masyarakat Bali masa kini seperti tak memiliki relasi kultural dan subyektifitas estetik lagi dengan teater sepuh Gambuh.
Namun, Minggu (19/12) siang lalu, sebuah ritual keagamaan di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, berhasil menghadirkan pementasan drama tari Gambuh. Menariknya, teater Gambuh yang disimak asyik penonton dalam suasana religius-komunal itu, dibawakan oleh para seniman muda, baik para penari maupun penabuhnya. Adalah para mahasiswa dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang ngayah dengan penuh kesungguhan mementaskan kesenian langka tersebut. Berorientasi dari sebuah episode cerita Panji yang memang lazim diangkat dalam Gambuh, penonton dapat menyaksikan keagungan seni pentas bergengsi era feodalisme Bali itu yang kini berteduh dalam payung ritual keagamaan.
Pada era keemasan raja-raja Bali, khususnya pada masa Dalem Waturenggong (1416-1550), tari Gambuh adalah seni pertunjukan prestisius kesayangan seisi istana. Hampir setiap puri di Bali memiliki panggung khusus untuk pagelaran Gambuh yang disebut bale pegambuhan. Para seniman Gambuh yang menonjol direkrut menjadi seniman istana dan diberi status sosial yang terhormat. Namun ketika kolonialisme kemudian menggedor Bali yang menggerogoti kekuasaan kaum bangsawan, Gambuh limbung tanpa ampun. Sekarang, seni pertunjukan yang diduga berasal dari Majapahit dan jejak-jejaknya sudah muncul di Bali saat pemerintahan Udayana pada abad ke-11 ini, hanya dapat dipergoki bila ada upacara keagamaan yang dianggap penting, seperti yang diselenggarakan masyarakat Desa Bona tersebut.
Beruntung, di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, kini teater Gambuh masih diusung oleh masyarakatnya. Dalam bingkai sosial adat dan ritual keagamaan, seni pertunjukan ini cukup bernafas normal. Pun Gambuh gaya Pedungan yang telah kehilangan maestronya, I Gede Geruh, kini dengan segala daya berusaha dikawal oleh seniman setempat. Dua gaya drama tari Gambuh ini, Gambuh Pedungan (Denpasar) dan Gambuh Batuan (Gianyar), masih mencoba eksis di tengah ketakpedulian masyarakat Bali. Baik Gambuh gaya Pedungan maupun Gambuh gaya Batuan dianggap memiliki ciri dan identitas yang masih dianut oleh pendukungnya masing-masing. Di ISI Denpasar, kedua gaya ini wajib dipelajari oleh mahasiswa yang menerjuni seni tari.
Sebagai warisan kesenian kraton, pada dasarnya drama tari Gambuh adalah ungkapan seni yang serius dan rumit. Polanya ketat dan penyajiannya protokoler. Bobot artistiknya mencuat dari kompleksitasnya, baik koreografinya maupun komposisi musiknya. Elemen musik dan tari dalam gambuh sangat terikat. Setiap tokoh, di samping masing-masing memiliki tatanan tari tersendiri, harus mempergunakan bahasa Jawa Kuno dengan alunan retorika yang telah terpola juga. Setiap tokoh memiliki iringan musik tersendiri yang jelimet berliku-liku, rata-rata berukuran panjang. Beberapa suling panjang adalah instrumen utama dari ansambel gamelan Gambuh. Alat musik bambu ini bertugas membawakan seluruh melodi gending, baik tabuh instrumental maupun gending iringan tari. Untuk memainkan suling-suling panjang ini cukup sulit, diperlukan tehnik permainan nafas dan keterampilan bermain suling selain juga kepekaan musikalitas yang tinggi.