Kesenian Ching Pho Ling Di Daerah Purworejo Jawa Tengah Cerminan Budaya Pisowanan

Jan 22, 2010 | Artikel, Berita

Oleh: Nanik Sri Prihatini (Dosen Jurusan Tari dan pada Program Pascasarjana ISI Surakarta)

Purworejo secara administrasi merupakan salah satu daerah kabupaten di Propinsi Jawa Tengah bagian selatan. Kabupaten Purworejo menurut Koen-tjaraningrat termasuk ke dalam wilayah  budaya Bagelen yang kaya dengan seni pertunjukan rakyat. Bagelen pada abad XVIII menjadi wilayah Mata-ram yang disebut wilayah Negaragung, daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat kerajaan (Djuliati, 2000:12). Kekayaan seni pertujukan rakyat di daerah Bagelen ditandai dengan adanya berbagai bentuk seni per-tunjukan yang masih hidup dan berkembang di daerah tersebut. Setidaknya ada kurang lebih 30 bentuk seni pertunjukan rakyat yang berupa tari, musik dan teater.

Dilihat dari bentuk pertunjukannya, seni pertunjukan rakyat di dae-rah Purworejo nampaknya dilatarbelakangi oleh kondisi dan fenomena se-tempat yang pernah terjadi pada masa lalu. Dengan kata lain bahwa keseni-an rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Purworejo merupakan re-presentasi atau pengungkapan peristiwa masa lalu ke dalam suatu wujud ke-senian. Peristiwa masa lalu yang pernah terjadi di daerah Purworejo di antaranya pada masa terjadinya perang Dipanegara melawan kolonial pada tahun 1825-1830, pengaruh kekuasaan kerajaan Mataram Baru dan masuk-nya agama Islam. Realitas tersebut digarisbawahi oleh Sedyawati (1995: 1), di antaranya bahwa bentuk seni pertunjukan yang membawa pesan ke-Islam an telah berlangsung turun-menurun dan mempunyai masyarakat pendu-kung di tiap-tiap daerahnya. Nuansa ke-Islam-an tercermin dengan diguna-kannya instrumen terbang (rebana), jidur atau bedug kecil dan lagu-lagu yang disajikan dengan bahasa Arab. Pengaruh perang Dipanegara tercermin pada tema keprajuritan serta bentuk sajian dengan pola lantai berbaris, ge-rak, busana, dan peralatan tari yang digunakan. Seni pertunjukan rakyat yang berkembang di daerah ini pada umumnya disajikan secara kelompok dan hampir semuanya menggunakan pola lantai berbaris.

Ada sembilan bentuk seni pertunjukan rakyat yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang di daerah Purworejo, adalah: Dolalak, Ching Pho Ling, Kobrosiswa, Kuda Kepang, Kuntulan, Madya Pitutur, Samanan, Kemprang, dan Slawatan. Dari bentuk-bentuk yang telah disebutkan, Dola-lak merupakan salah satunya yang paling berkembang, kondisi ini ditandai dengan jumlah kelompok atau perkumpulan Dolalak yang ada. Eksistensi saat ini, kesenian Dolalak disajikan oleh penari-penari perempuan yang sebelumnya selalu disajikan oleh penari laki-laki. Saat ini tercatat kurang lebih 120 kelompok Dolalak wanita tersebar di seluruh wilayah Purworejo. Untuk itu Dolalak di Kabupaten Purworejo dijadikan sebagai kesenian ung-gulan.

Keberadaan Dolalak yang menjamur sangat berbeda apabila diban-dingkan dengan seni pertunjukan Ching Pho Ling yang keberadaannya sa-ngat memprihatinkan. Kesenian Ching Pho Ling yang pernah hidup di bebe rapa tempat di wilayah Purworejo seperti di Kecamatan Kaligesing, Keca-matan Bagelen, saat ini hampir punah dan satu-satunya yang masih hidup terdapat di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.

Mataram Baru merupakan sebuah kekuasaan politik yang berpusat di daerah Yogyakarta, dan sejak awal abad XVII mulai menguasai Pulau Jawa. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran-lingkaran konsen-tris yang berpusat di keraton, tempat kediaman raja dan tempat ibukota kera-jaan. Konsentris pertama disebut kutagara, ibukota kerajaan, adalah tempat pengaruh raja yang paling kuat. Konsentris kedua adalah negaragung, wi-layah yang disediakan bagi lungguh (tanah yang disediakan atau dipinjam kan sebagai sarana nafkah) para kerabat dan pejabat kerajaan. Adapun konsentris ketiga disebut daerah mancanagari, jabarangkah dan pasisiran yang diperintah oleh seorang bupati kepala daerah

Konsentris kedua yang disebut daerah nagaragung biasanya di bawah wewenang seorang wadana yang disebut wadana jaba. Bagelen merupakan salah satu daerah negaragung yang tidak dipimpin oleh seorang wadana jaba tetapi oleh Demang Adipati. Untuk itu wewenang daerah Bagelen dikuasai oleh beberapa orang demang. Para demang ini bertugas mengurus masalah pajak serta masalah-masalah umum yang berada di kawasan wila-yahnya. Para demang biasanya bertanggung-jawab kepada para Patuh, yaitu pejabat dan kerabat kerajaan yang menguasai lungguh. Para patuh sebagai golongan priyayi atau sentana merupakan orang yang menerima lungguh pada umumnya tinggal di ibukota kerajaan dan tidak mengelola sendiri tanah mereka. Mereka menyerahkan pengelolaan lungguhnya kepada para demang setempat.

Dalam suatu sistem feodal seperti Mataram yang pada masa itu be-lum banyak mengembangkan ekonomi uang, untuk menggaji pegawai atau-pun memberi tunjangan kepada keluarga raja pada umumnya diberikan tunjangan dalam bentuk tanah, yang kemudian tanah garapan untuk nafkah tersebut disebut dengan nama tanah lungguh. Para penerima lungguh oleh para raja selanjutnya juga diberikan wewenang untuk menarik pajak atau hasil atas tanah lungguh. Tanah lungguh bagi para priyayi (pejabat keraja-an) dapat bersifat sementara, artinya hak untuk memungut pajak hanya da-pat dilakukan selama si penerima lungguh menjabat. Ada pula tanah lung-guh yang bersifat permanen, biasanya diberikan kepada keluarga raja, dan para sentana yang dikasihi oleh raja. Tanah lungguh yang kedua disebut tanah ganjaran atau tanah pusaka yang dapat dimiliki secara turun-temurun (Djuliati, 2000:51).

Kesenian  Ching  Pho  Ling  Di  Daerah  Purworejo Jawa Tengah  Cerminan Budaya Pisowanan, selengkapnya.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...