Oleh: Pande Artadi, Dosen PS Desain Interior ISI Denpasar
Kolonisasi yang terjadi di Indonesia oleh Belanda kurang lebih tiga setengah abad, meninggalkan jejak-jejak sejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia. Salah satu terwujud dalam bentuk karya-karya arsitektur sebagai bangunan penunjang pemerintahan kolonial. Masa penjajahan di Bali khususnya di Buleleng mulai dari tahun 1849 dan berakhir 1945, ini berarti lama penjajahan mendekati satu abad, namun waktu satu abad adalah rentang masa yang relatif singkat bila di bandingkan dengan masa penjajahan daerah lain di Indonesia yang berlangsung tiga setengah abad. Oleh karena itu peninggalan arsitektur kolonial di daerah Buleleng tidak sebanyak daerah lain seperti: di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya dan beberapa kota di Pulau Sumatra. Arsitektur kolonial di kabupaten Buleleng tersebar di beberapa kawasan bersejarah di kota Singaraja, seperti: bangunan sarana perkantoran dan perumahan di Jalan Vetran, Jalan Gajah Mada, dan Jalan Ngurah Rai, serta beberapa bangunan kantor dan pabrik di sekitar waterfront /pelabuhan Pabean.
Berdasarakan periodisasi perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia yang diungkapkan oleh Hellen Jessup, tahun 1849 (awal Belanda menundukan Bali) merupakan masa periode kedua perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia (tahun 1800-an sampai tahun 1902). Dalam periode ini kekuasaan VOC di Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Periode ini juga menjelaskan tentang kemampuan bangsa Belanda dalam setiap karya arsitekturnya untuk beradaptasi dengan keadaan iklim tropis di Indonesia. Ungkapan ini juga ditegaskan oleh Sumintardja dalam ‘Kompendium Sejarah Arsitektur’ yang mengatakan bahwa pada periode ini banyak arsitektur kolonial Belanda mencoba untuk mengadopsi pola ruang rumah tinggal tradisional di daerah pesisir pantai utara Sumatra dan Jawa. Hadirnya bentuk arsitektur rumah tinggal seperti ini merupakan bagian dari sikap orang Belanda untuk menyesuaikan arsitekturnya dengan kebutuhan dan kondisi iklim tropis basah di Indonesia.
Salah satu karya arsitektur kolonial yang mampu beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia adalah arsitektur Ladhuis. Jeni Arsitektur ini tersebar di sepanjang Jalan Gajah Mada di Singaraja, Buleleng Bali. Beberapa bangunan yang ada di jalan Gajah Mada adalah rumah dinas yang dibangun pada tahun 1914-an untuk para pegawai Belanda yang ditugaskan di Bali, namun tidak diketahui siapa yang menjadi arsiteknya. Ini disebabkan karena bangunan yang didirikan adalah bangunan sederhana jenis rumah tinggal sebagai program pemerintah kolonial, sehingga tidak harus dirancang oleh seorang arsitek. Proses perancangannya hanya dilakukan oleh pegawai dari Departemen Pekerjaan Umum Pemerintah Belanda BOW (Bugerlijke Openbare Werken) melalui gambar atau model yang telah disediakan.
Konsep Interior Tropis Pada Arsitektur Landhuis Di Kota Singaraja Selengkapnya