Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Belakangan, gamelan tidak tabu lagi dimainkan kaum wanita Bali. Tengoklah betapa maraknya pemunculan grup-grup gamelan ibu-ibu yang marak akhir-akhir ini. Panggul (alat pemukul gamelan) yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh kaum pria itu, kini kian lincah diayun oleh para wanita Bali, saat mereka meniti nada-nada gamelan. Simaklah pada Sabtu (19/2) malam di Wantilan Pura Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Sekelompok penabuh wanita memukau perhatian masyarakat setempat yang sedang menggelar piodalan.
Sungguh mengundang takjub, sekumpulan penabuh wanita berbusana kebaya pink itu, dengan penuh percaya diri, tampil secara mebarung alias pentas bersanding dengan para penabuh pria. Para penabuh wanita itu seakan tak mau kalah keterampilan dan penampilan saling unjuk tabuh-tabuh petegak (konser). Bukan hanya itu. Pada pementasan inti, berhadapan dengan para penabuh pria yang lainnya, grup penabuh wanita tersebut saling berbalas mengiringi aneka tari klasik dan kreasi. Penonton berdecak dan berkali-kali memberi aplous terhadap sajian 25 orang penabuh wanita itu.
Kelompok penabuh wanita yang pentas pada malam itu terdiri dari para dosen, pegawai, mahasiswi dan alumni ISI Denpasar yang berkibar dengan nama Asti Pertiwi. Selain sudah hadir ke pelosok Bali, sekaa gong wanita ini juga telah unjuk kebolehan di pulau Jawa seperti Solo dan Jakarta. Pentas ngayah (pagelaran seni non-profit) dalam konteks ritual keagamaan menjadi arena yang paling sering dihadiri Asti Pertiwi untuk mengibur masyarakat dan sekaligus sebagai persembahan pada Hyang Widhi. Seperti saat tampil di Desa Sukawati itu, mereka ngayah melantunkan tatabuhan yang memberi suasana hikmat piodalan dan kemudian tampil dalam pagelaran balih-balihan yaitu sajian presentasi artistik alias suguhan keindahan seni.
Binar keindahan yang dilantunkan oleh Asti Pertiwi adalah melalui gamelan cinta, Semarapagulingan. Untuk diketahui, grup-grup penabuh wanita yang kini bermunculan pada umumnya memainkan gamelan Gong Kebyar, sebuah ansembel gamelan Bali yang paling luas sebarannya, hampir dimiliki oleh setiap desa atau banjar. Asti Pertiwi menyuntuki Semarapagulingan, salah satu barungan gamelan yang di masa lalu eksis di lingkungan istana. Seperti namanya, samara pagulingan, gamelan yang bersuara manis nan merdu ini ditabuh untuk mengiringi raja dan permaisurinya saat memadu cinta kasih di peraduan. Kini, gamelan Semarapagulingan semakin terdesak oleh popularitas Gong Kebyar.
Ada dua bentuk gamelan Semarapagulingan yakni yang bernada lima (saih lima) dan yang bernada tujuh (saih pitu). Grup Asti Pertiwi ISI Denpasar mengekspresikan gairah berkeseniannya mempergunakan Semarapagulingan bernada tujuh. Untuk memainkan gamelan Semarapagulingan tujuh nada ini memerlukan keterampilan khusus, relatif lebih sulit dibandingkan memakai media Gong Kebyar. Untuk memberikan pemahaman konsep musikal gamelan saih pitu, malam itu, di sela-sela pertunjukan, Rektor ISI, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,MA, menunjukkan kepada para penonton tentang beberapa tangga nada yang dimiliki oleh gamelan Semaparapagulingan.
Melalui media Semarapagulingan saih pitu–setelah ngayah bersanding dengan penabuh pria Gong Kebyar Banjar Tebuana Sukawati– pada pertunjukan inti yang disesaki penonton, Asti Pertiwi mebarung dengan kelompok penabuh pria para mahasiswa dan dosen ISI. Asti Pertiwi tampil apik mengiringi tari Selat Segara, Topeng Arsawijaya, dan tari Margapati. Sepasang pemain kendang mengendalikan gending dengan sigap. Tukang ugal yang bertugas menuntun melodi meniti nada-nada instrumen gangsa dengan penuh sugesti. Para penabuh jublag dan jegog yang memainkan pokok-pokok lagu mengayun panggul-nya dengan lentur dan awas. Semuanya bermain dengan tertib, semangat, dan dengan senyum tersungging.
Sebelum mengiringi tiga tarian itu, sebuah konser gamelan dengan judul “Cita Pertiwi“ berhasil menggugah penonton. Tabuh karya dosen ISI Ni Ketut Suryatini, SSKar, M.Sn ini bertutur tentang harapan dan hasrat kaum wanita Bali untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang kesenian atau seni budaya Bali pada umumnya. Penonton terkesima karena tabuh berdurasi sekitar 10 menit ini memadukan gamelan, olah vokal dan tarian. Lewat media Semarapagulingan tujuh nada, Suryatini mengeksplorasi sekian modulasi yang dimungkinkan oleh fleksibelitas gamelan ini, baik tampak pada garapan musik gamelannya maupun pada ungkapan vokal oleh seluruh pemain. Selingan tarian para pemain gamelan saat-saat menanjak pada klimaks tabuh, membuat “Cita Pertiwi” tampak begitu asyik disajikan.