Oleh: I Wayan Setem, Dosen PS Seni Rupa Murni
Ciri khas seni menurut Plato maupun Aristoteles ialah mengupas alam dari hakekat yang sebenarnya, ia merupakan imitasi yang membawa pada kebaikan dari kenyataanya sehingga menjadi keindahan yang luar biasa. Keduanya menginginkan tauladan seni didalam keindahan universal, pasti, mutlak dan ideal.
Tapi titik persamaan Plato dan Aristoteles hanya sampai disitu. Plato memandang idea keindahan mutlak sebagai prinsip transedental diatas subyek dan diatas alam: sebagai tauladan asli yang abadi, idea murni yang berada diluar akal. Aristoteles memandangnya hanya sebagai tauladan batin yang terdapat di dalam akal manusia, tidak mempunyai obyek yang dapat kita temukan diluar diri kita, dan ideal itu ada didalam diri manusia. “Kita tidak menginginkan keagungan dan kepastian kecuali demi keindahan”, “ Seni ialah tidak lain kecuali kemampuan produktif yang dipimpin oleh akal yang sebenarnya”, kata Aristoteles, tetapi keindahan itu bersatu padu dengan akal manusia (bercorak inspirasi daripada kasyaf ilahi).
Tulisan ini akan membatasi diri pada dunia, varian, dan problematika dari teori yang berlandas teori Plato dan Aristoteles pada konsep ontologis yang melahirkan konsep atau cara kerja seni lukis ars simia naturae.
Alam memang memikat sebagai ilham pelukis, alam juga baginya ialah gambaran jiwa, kegirangan, kedamaian dan sebagainya yang bersangkutan dengan alam dirasakan pula bagi jiwanya.
Pelukis bersahabat dengan alam, alam pun akan memberikan kedamaian hidup dan kedamaian jiwa. Karya-karyanya memaknai hubungan dengan alam, juga dengan alam dengan dirinya sendiri. Apakah artinya diri kita di tengah alam dan apakah arti alam yang kelihatan diam dan memberikan rasa damai?
Jadi alam yang ditampilkannya ialah alam yang direduksi pada unsur-unsur paling esensial untuk memperoleh keindahan dan merupakan salah satu dasar utama yang mewarnai kehidupan spiritual pelukisnya. Dengan terjun ke tengah alam vegetal kerap terlihat spiritualisme menyatu dan manunggal dengan alam. Jadi spiritualisme terkait erat dengan tradisi dialog antar manusia dan alam tersebut. Betapa alam memang sebuah realitas yang maha sempurna yang selalu menggoda dijadikan subject matter-nya.
Pelukis kerap kali berada di tengah pemandangan alam, hutan, lembah, dan yang lainya sebagai upaya untuk menjadikan “jiwa” dalam karya-karyanya. Dalam karya-karyanya yang ia sampaikan secara total di atas berbagai material rupa merupakan perwujudan dari menangkap karakter cahaya. Di alam kita menyadari sifat dan kualitas cahaya, dan ketika itu pula bisa ditangkap realita semua kenyataan yang berhubungan dengan cahaya. Sehingga bisa dikenal dengan mata fisik dan mata hati perbedaan intensitas antara batu, awan, air, dedaunan, tanah dan lain sebagainya.
Point yang terpenting adalah cahaya membubuhi segala warna dalam alam ini. Kecendrungan yang timbul kemudian adalah karya-karya lebih banyak memainkan warna-warna sudut yang terang sebagai center point. Manifestasi cahaya alam memberikan warna hidup yang menerangi setiap saat sebagai hukum alam.