Hindu Ritual Of Ngotonin In Bali

Hindu Ritual Of Ngotonin In Bali

(A Discourse Analysis Approach)

By

I Made Rajeg, Luh Putu Laksminy, and Ni Luh Ketut Mas Indrawati

Balinese culture, in the course of its growth, has been passing a long road of history. It is mirrored by the firm bond of Balinese culture and Hindu since the beginning of the Anno Domini age, and by the integration within the skeleton system of national culture and modern era as well. (Mantra, 1993:11; Geria, 1995:91; Pitana, 1998:28-29).

Hindu, as one element of Balinese cultures, provides paths for Hindus to get closer to their Maker, their God; one of them is through Yadnya. The teachings related to yadnya is named Panca Yadnya, i.e. five kinds of yadnya ceremonies or sacrificing ceremonies. One of the ceremonies is  Manusa Yadnya (sacrifice ceremony to humankinds). Ngotonin ritual, one kind of Manusa Yadnya, is carried out to humans in their age of six months, and is regularly held in the interval of the next six months during their lives. Ngotonin has a deeply religious emotion – not only a form of human effort to protect an individual and rinse the darkness of their thoughts out, but also to clean up the way humans think since it is believed only from the holly and purified humans’ thoughts are the positive ideas, which are beneficial for themselves and others, born they mark, with sometimes elaborate purifica­tion ceremonies. (Wenten, 1999:1-12, Upadesa (1978:63; Koentjaraningrat, 1985: 40-46; Eiseman, 1988: 84). The prayer produced orally in the process of ngotonin ritual is a language in use, whatever the form it takes and indicates the relationship between language, culture and structure, considering the social structure as one part of the social system. The spoken prayer can be recoded in written text and becomes the reflection of Balinese culture and give the identity symbol of ethnic groups if it is seen from its context of situation in which it is used.

It is very important that a text is characterized by coherence, it hangs together and an important contribution to coherence comes from cohesion as these sets of linguistic resources that every language has (as part of textual meta-function) for linking one part of the text to another. (Halliday and Hasan, 1976: 1). The text consists of some features of the context of situation. It is important for us to know the context of situation of a text. By knowing the context of situation of a text we will be able to predict what are other people going to say and by doing so we understand what he or she does say (Koentjaraningrat, 1985: 40-46, Halliday (1985). This study will concern with the function of spoken prayer that is recoded in written text by relates it to context of situation.

Download click here

Notions of Evil Today: Perspectives of Sixth Graders in Manila by Dr. Rito V. Baring

The challenge of finding out the relevance of traditional religious notions remains a fresh concern for the local church in the Philippines, a predominantly Christian nation in the heart of Asia. Enriched by its diverse religious traditions, the Philippines no doubt stand as a witness to the constant quest to find meaning about one’s faith. In general, there is the quest to find the relevance of faith practices within the daily grind of life. Within this picture, there is the search for religious meaning which is given life through inquiries that ask about the truths proposed in the Christian faith.  The search for religious meaning is captured in the specific inquiry to make sense out of the growing demands and difficulties of life. Today questions about God and evil are raised to address the difficulties between the spiritual and the material. Traditionally, the question of God and evil are raised in the level of adults who raise the cry of pain or protest. Nothing much is heard, from a religious angle, about children’s notions for the simple reason that their mindset is too simple to handle such a delicate subject. How has the question of evil reverberated in the consciousness of the young pupils today? Hence, this paper seeks to address that issue by finding out how sixth graders interpret “evil” today. In particular, this paper wants to know how the sixth graders from selected public schools in Manila appropriate notions of evil today by evaluating their contemporary concepts of evil. This paper shall therefore describe the essential aspects of their notion of evil as gleaned from survey data from the students and shall analyze how emergent themes that are taken from their notions reflect particular popular mindsets.

The problem of Evil

The challenge of writing about evil rests on these framed limitations: (a) that it had always been defined as a negative reality in Christian sources, (b) that most discourses if not all takes evil in terms of its relationship to God and the good, (c) that by these characteristics, evil do not enjoy an epistemological distinction as a reality. The first two difficulties reflect traditional theological and Christian discourses on evil. Of late, current attempts have tilted towards rational discourses. In particular, philosophical and ethical discussions have proliferated in academic circles and literature. Indicative of this are the recent works of some scholars in the ethical practice such as that of Susan Neiman and Claudia Card. From the theological field, theological discussions remain anchored in traditional categories such as creation, God and spirituality.

Download click here

Salah Satu Dosen ISI Denpasar Sukses Melakukan Presentasi Internasional di RUFA Phnom Penh-Kamboja

Salah Satu Dosen ISI Denpasar Sukses Melakukan Presentasi Internasional di RUFA Phnom Penh-Kamboja

orebo

Tampak Seorang Dosen ISI Denpasar I Gst. Ayu Srinatih, SST, MSi berfoto Dengan Rektor ISI Dps, Pejabat Kedutaan RI-Kamboja dan Pejabat RUFA Kamboja

(Denpasar-Humasisi)Mengimplementasikan cita-cita ISI Denpasar untuk ‘go internasional’ diwujudkan dengan pengiriman para dosen ISI Denpasar untuk melakukan presentasi internasional. Salah satu dosen Jurusan Tari ISI Denpasar, I Gusti Ayu Srinatih, S.ST., M.Si., telah sukses melakukan presentasi lewat seminar di Royal University of Fine Arts (RUFA) Phnom Penh, Kamboja, pada tanggal 3 Agustus 2009. I Gusti Ayu Srinatih, S.ST., M.Si., diundang oleh Rektor RUFA, Bong Sovath, Ph.D., sebagai pembicara dalam seminar internasional yang diadakan oleh universitas tersebut. Seminar ini adalah bagian dari salah satu kegiatan B- Art yang dimenangkan oleh Jurusan Tari, dimana payungnya adalah Promoting the Roles of Balinese Performing Arts in Strengthening National Integration and Increasing the Nation’s Competitiveness in the Globalization Era. Mengacu pada tema diatas, maka I Gusti Ayu Srinatih, S.ST., M.Si., menyampaikan makalah dengan judul The Tri Hita Karana Conception and Its Implementation into Balinese Arts. Pada seminar tersebut disampaikan apa itu Tri Hita Karana dan bagaimana seniman Bali mengaplikasikannya ke dalam seni pertunjukan dan seni rupa. Srinatih menambahkan bahwa pihaknya mencoba mengangkat kearifan local Bali yaitu Tri Hita Karana, dimana konsep ini dapat memberikan inspirasi secara global dan dirinya berharap kearifan local ini dapat dikenal secara luas di dunia internasional. Yang lebih menarik perhatian audience pada presentasi tersebut diberikan contoh-contoh melalui video maupun praktek secara langsung. Sehingga diskusi berjalan sangat hangat bahkan sampai menarik benang merah hubungan antara Kamboja dengan Indonesia, khususnya Bali. Seminar yang berlangsung dua setengah jam tersebut mendapat respon positif dari para audience yang berjumlah sekitar 60 orang, yang terdiri dari semua pembantu rector, para dekan, dosen dan mahasiswa dari Royal University of Fine Arts. Selain itu secara khusus seminar dihadiri oleh R. Eko Indiarto R (Counselor) dan Rahendro Witomo (Second Secretary pada KBRI Phnom Penh).

oklek

Tampak I Gst. Ayu Srinatih, SST, MSi Sedang Mempresentasikan Makalahnya di Depan Pejabat RUFA University-Kamboja

Sementara Rektor RUFA menyambut sangat baik kerjasama ini dan berharap hubungan ini dapat terus berlangsung dan ditingkatkan, sebagai realisasinya pada tahun 2010 paper dari para dosen RUFA akan dapat diterbitkan di Jurnal Internaional ‘Mudra’ milik ISI Denpasar. Kolaborasi paper baik dari ISI Denpasar maupun dari RUFA akan mampu memberikan kontribusi akademik baik untuk ISI Denpasar maupun RUFA. Srinatih yang sudah sering melakukan kegiatan presentasi di tingkat nasional dan mengajar di luar negeri ini berharap agar kegiatan semacam ini dapat ditingkatkan apalagi dalam era persaingan global untuk memperkenalkan seni budaya bali, serta mampu membuka wawasan para dosen ISI Denpasar untuk siap bersaing di era global ini.

“Perlindungan dan Pengelolaan Air” Dideklarasikan Pada Penutupan The 3rd SSEASR Conference

“Perlindungan dan Pengelolaan Air” Dideklarasikan Pada Penutupan The 3rd SSEASR Conference

 

SSEASR

SSEASR

Denpasar- Setelah 567 paper didiskusikan dalam Konfrensi Internasional yang diselenggarakan oleh South and Southeast Asia Association For Study of Culture and Religion (Satu organisasi ditingkat Asia dan Asia Tenggara untuk studi agama dan budaya) bekerjasama dengan ISI Denpasar dan UNHI Denpasar, tema : Water in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion, maka pada penutupan konfrensi dideklarasikan untuk konservasi dan pengelolaan air. Selama konfrensi beberapa issu dan masalah terkuak yaitu (1) air memiliki peranan penting untuk bumi dan kehidupan manusia, flora, fauna dan ketahanan eksisitensi bumi, (2) Evolusi umat manusia telah melalui tiga tingkatan, yaitu a. Peradaban air, b. Peradaban industri serta C. Peradaban jasa/ layanan, (3) Dinamika peradaban manusia mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan dan berkurangnya sumber mata air, (4) Kondisi penggunaan air berlebih dan berkurangnya sumber mata air telah mengakibatkan berkurangnya kualitas kehidupan di bumi, dengan pertumbuhan dari kebiasaan manusia dan komunitasnya menunjukkan bahwa tanda-tanda konservasi dan pengelolaan air menjadi tuntutan, hasil dalam peningkatan jumlah air dapat digunakan oleh manusia dan mahkluk hidup lainnya di bumi ini.
Sehingga dari issu dan permasalahan tersebut dapat diberikan solusi bahwa: (1) Solusi secara umum adalah untuk mengembalikan semangat guna melakukan strategi dan kegiatan nyata secara bersama-sama untuk konservasi dan langkah-langkah pengelolaan air yang tepat adalah untuk melindungi dan memperbaiki kegiatan melalui Gerakan Penghijauan Bumi (Green Earth Movement). (2) Mempertahankan basis budaya, seperti berbagai kearifan local di wilayah Asia dan Asia Tenggara. Khususnya dari Bali, konservasi air sebagai asset suci dan pengelolaan air melalui organnisasi pertanian “subak”. Protensi air melalui kesrifan local, mitologi masyarakat Bali terhadap air (Dewa Wisnu), eksisitensi dari upacara Sad Kerthi dan juga konsep dari Tri Hita Karana sebagai budaya yang penting serta pondasi spiritual.
Selain itu deklarasi juga menghasilkan percepatan dari pertukaran kerjasama antar bangsa, yang menyatakan bahwa: (1) Pertumbuhan budaya spiritual dan gerakan social dalam sebuah jalan networking dan juga gerakan social untuk melakukan kegiatan nyata untuk pelestarian air, pengelolaan air dan juga memelihara kualitas air. (2) Semua Negara sudah seharusnya memberikan contoh untuk pengelolaan secara berlanjut dan pertukaran komunikasi antar bangsa.
Dalam pendeklarasian hadir ketua panitia Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., Profesor Amarjiva Lochan Presiden SSEASR, Kepengurusan SSEASR dan Presiden IAHR (CIPSH, UNESCO) Prof. Ms Rosalind Hackett, Prof. Rosalind sangat kagum dan bangga dengan kesuksesan acara konfrensi internasional ke-3 SSEASR yang digelar di Bali. Kekagumannya dia ungkapkan saat penyampaian sekapur sirih tentang konfrensi yang merupakan buah hasil kerjasama antara SSEASR dengan ISI Denpasar dan UNHI Denpasar. Dia menyampaikan bahwa konfrensi di Bali ini adalah paling mengesankan. Selain keramah-tamahan yang dia dapatkan selama mengikuti konfrensi, nuansa alam kampus yang lestari juga mengantarkan kesan tersendiri yang tak terlupakan bagi para akademisi untuk dapat bertukar pandangan sesuai tema yang diangkat yaitu Water in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion. Apalagi suguhan pementasan tari, tabuh dan pameran mampu menghipnotisnya untuk terus akan mengenang Bali.

Humas ISI Denpasar melaporkan

’Waters’ Pameran Seni Rupa Air  Bagi Kehidupan Manusia

’Waters’ Pameran Seni Rupa Air Bagi Kehidupan Manusia

Pembukaan Pameran

Pembukaan Pameran

Air– bagi kehidupan manusia, memberikan manfaat dan makna yang tidak terbatas bagaikan wujud kasihNya. Bagi kehidupan berkesenian air telah banyak memberikan inspirasi, karena wujud keindahan yang menyenangkan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Akibat vibrasi sentuhan itu para seniman menimbulkan pengalaman estetis dan interfenetrasi mendalam, sehingga melahirkan inspirasi dan proses kreatif. Inspirasi dan proses kreatif sepanjang perjalanan sejarah kesenian diekspresikan menjadi wujud-wujud gaya yang sangat beragam, itu artinya bahwa air bagaikan “ibu” sebagai “sumber pemberkat” keindahan bagi seniman. Oleh karena demikian menjaga, kelestarian dan kesucian air menjadi kewajiban yang sangat melekat bagi kita semua.

Pameran yang mengambil tema “WATERS” dalam rangkaian The 3rd SSEASR CONFERENCE OF SOUTH AND SOUTHEST ASIAN FOR THE STUDY OF CULTURE AND RELIGION ON Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion, yang berlangsung dari tanggal 3 s/d 6 Juni 2009, di gedung kryasana pameran tetap FSRD Institut Seni Indonesia Denpasar.

 

Demontrasi seni rupa Juni 2009
Demontrasi seni rupa Juni 2009

Berkaitan dengan itu para dosen dan mahasiswa Fakultas seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar berupaya memamerkan karya-karyanya bertemakan air sebagai wujud ajang kritik dan apresiasi dalam upaya mengenal air sebagai sumber kehidupan dan meningkatkan kualitas proses kreatif. Kegiatan pameran seperti yang sudah sepantasnya didukung oleh berbagai pihak terutama pemerhati seni.

Pameran ini menampilkan 80 karya seni rupa, dengan 40 seniman akademik yang menvisualisasi air dengan berbagai gaya, yang sangat estetis dan variatif. Penampilan Ps. Fotografi dengan dengan 12 fotografer menampilkan 15 karya tampil dengan berbagai proses kreatif fotografi digital imaging, yang mampu menyedot pengunjung pameran. Seperti tema budaya yang ditampilkan I Komang Arba Wirawan, dosen fotografi ISI Denpasar, dengan judul menuju air suci, karya ini hasil hunting dengan mahasiswanya pada rangkaian upakara melasti panca Bali krama beberapa bulan yang lalu di pantai watu klotok klungkung. Begitu juga penampilan karya Anis Raharjo dosen Ps. Fotografi yang sedang menempuh S2 penciptaan di ISI Yogyakarta, menampilkan karya dengan judul “waters” seorang bayi yang masih dalam kandungan ibunya yang masih dibungkus oleh air ketuban. Karya I Made Saryana dengan Judul Hobies, tampil dengan fotografi hitam putih dengan komposisi yang mempesona.

Seniman lukis semester VI Ps. Lukis dengan karya instalasinya mampu memberi warna dan penuangan ide yang sangat cerdas dalam penyampaian pesan kepedulian kita terhadap air. Instalasi yang diberi judul “safe water” karya I Gede Jaya Putra dapat sanjungan presiden UNESCO ‘ ini merupakan ide cerdas dari seorang seniman akademis muda” katanya sambil memberi ucapan selamat. Dari seluruh karya lukis, krya, patung dan demonstrasi mahasiswa lukis mendapat sambutan yang antosias dari seluruh peserta konferensi.

Arba wirawan melaporkan untuk ISI Denpasar

Loading...