Penerimaan Naskah Artikel Seni Budaya

Penerimaan Naskah Artikel Seni Budaya

UPT Puskom ISI Denpasar menerima berbagai naskah artikel seni budaya untuk di muat di web ISI Denpasar dengan alamat https://www.isi-dps.ac.id.  Adapun persyaratan naskah artikel terdapat dalam lampiran. Demikianlah surat permohonan ini dimuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

PERSYARATAN  NASKAH  UNTUK  ARTIKEL WEB

1.  Artikel merupakan/diangkat dari hasil penelitian, book review, review seni budaya atau yang setara dengan  hasil penelitian  di bidang seni budaya.

2. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, minimal 2 halaman,  1 spasi, dengan bentuk huruf Times New Roman dan Font 12 pada Program Microsoft Word.

3.  Artikel memuat:

–          Judul

–          Nama Penulis

–          Kata-kata kunci

–          Jika ada kutipan dibuat di Catatan Akhir ( End Note).

4.  Gambar, tabel, grafik, peta, foto, video, audio dan ilustrasi disajikan dengan ketentuan:

–          Foto untuk gambar harus tajam.

–          Ukuran Gambar, tabel, grafik, peta, foto, video, audio dan ilustrasi dan sebagainya maksimal berukuran 600 pixle dan atau dengan besar file maximum 200 Mb (file audio dalam format wav, sedangkan file video dalam format avi)

–          Gambar dan keterangannya diletakkan dalam file terpisah.

5.  Artikel belum pernah dipublikasikan atau dimuat dalam media online. Atau belum pernah dimuat di terbitkan dalam berbagai jurnal di ISI Denpasar.

7.  Artikel diserahkan ke Puskom ISI Denpasar Lt. 2 berupa CD atau dikirim ke alamat email [email protected] dengan judul “Artikel Web”, dengan melengkapi data diri berupa:

–          Nama Lengkap

–          Alamat Email

–          Nomer Rekening

–          Surat Pernyataan Keaslian Artikel , dan belum pernah dimuat di media online serta di berbagai Jurna ISI Denpasar.

8.  Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukan secara tertulis melalui email.  Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa uang.

Surat pernyataan

Tata Rias dan Busana Tari Legong Sambeh Bintang

Tata Rias dan Busana Tari Legong Sambeh Bintang

Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

            Tata rias dan busana dalam seni pertunjukan selain berfungsi memperindah, memperkuat karakter juga menunjang nilai-nilai filosofis, nilai simbolik dari tari tersebut. Dalam buku Ensiklopedi Tari Bali, telah dijelaskan bahwa busana adalah faktor yang sangat penting dalam tari Bali, karena melalui busana penonton akan dapat mengetahui identitas dari suatu tarian atau penonton dapat membedakan tokoh atau karakter yang ditampilkan.

Dalam suatu pementasan seni tari, khususnya seni tari Bali, elemen tata rias kostum sangat diperlukan dan juga sangat penting guna memperindah suatu pertunjukan seni tari. Tata rias dan busana juga bisa digunakan untuk membedakan atau mencirikan jenis tarian tersebut. Misalnya dengan melihat tata rias dan busananya kita bisa menggolongkan apakah tarian tersebut termasuk ke dalam kategori tari putri, tari putra, ataupun tari bebancihan. Melalui tata rias dan kostum juga bisa menentukan sebuah karakter yang dibawakan. Di dalam sebuah pertun-jukan, tata rias dan busana juga bisa membantu untuk merubah karakternya baik menjadi cantik, tampan, jelek, ataupun lucu sesuai keinginan dari si pelakunya. Oleh karena itu elemen kostum memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah pertunjukan.

Dari wawancara dengan I Wayan Jejel, pada tgl 3 Januari 2011 di rumahnya,  salah satu informan tari Legong Sambeh Bintang menjelaskan bahwa :

“…dahulu Tarian ini hanya menggunakan tata rias seadanya hanya menggunakan gecek putih di dahi. Namun sekarang para penari mempergunakan pensil alis, bedak, merah pipi, dan lain-lainnya”.

Dari pernyataan tersebut tampak bahwa tata rias tari Legong Sambeh Bintang telah mengalami perkembangan sesuai dengan zaman sekarang, yakni menggunakan alat-alat tata rias masa kini, antara lain : memakai bedak warna terang, memasang rouge di pipi, membentuk kedua alis karakter halus, memasang bayangan mata/eye shadow biru, memakai lipstik warna merah.

Melalui busana yang digunakan suatu tarian dapat diketahui karakter tarian yang ditampilkan. Busana yang digunakan dalamTari Legong Sambeh Bintang ini, di antaranya adalah gelungan, gelang tangan, kain kancan (tutup dada), selendang kuning diikat ujungnya di kelingking, sabuk dalam (stagen), selendang warna-warni.

  1. Gelungan atau hiasan kepala tari Legong Sambeh Bintang terbuat dari ron/janur berhiaskan bunga dan daun puring (dedaunan) yang ditata membentuk gelungan yang dihiasi plendo (batang ketela pohon yang dikuliti) dipotong-potong ber-bentuk uang kepeng, diberi warna merah, hijau, putih kemudian dipadukan dengan bunga-bungaan sebagai hiasan kepala penari, sebagaimana tampak dalam foto di bawah ini.

Gambar tersebut di atas adalah hiasan kepala dari tari Legong Sambeh Bintang jika dilihat dari arah depan. Tampak hiasan, kepala yang digunakan tarian ini sangat unik karena selain bahan yang digunakan juga tampak dari cara penyusunan bahan-bahan tersebut yang mengandung nilai filosofis keseimbangan dengan alam lingkungan dari tempat mereka berada. Begitu pula jika hiasan kepala tari Legong Sambeh Bintang ini diamati dari arah belakang. Selain bentuknya unik, juga tampak susunan plendo yang dipasang tersebut sangat indah, sebagaimana tampak dalam foto di bawah ini.

  1.   2.  Kain songket adalah nama jenis kain tenunan tradisional Bali yang ditenun dengan menggunakan benang warna, benang emas, atau benang perak. Kain ini dililitkan di pinggul penari kemudian diikat stagen agar tidak lepas. Berikut di bawah ini adalah foto kain yang digunakan dalam tari Legong Sambeh Bintang.

3. Kain selendang kuning yang digunakan untuk membungkus pinggang penari hingga di atas lutut disebut dengan kain kancan. Kain Kancan adalah sebuah kain tenunan tradisional Bali yang terbuat dari benang warna kuning ditenun seperti songket. Lihat gambar 10 penari menggunakan kain kancan.

4. Selendang warna-warni sebagai hiasan selendang yang dililitkan di pinggang penari yang terbuat dari kain satin berwarna-warni digunakan untuk menari secara bergantian dengan selendang kuning. Pada gambar 11 adalah gambar penari mempergunakan selendang warna-warni.

5. Gelang sebagai hiasan tangan terbuat dari perak bewarna putih dengan bentuk bulat berhiaskan ukiran tradisional Bali dengan berat 25 gram. Gelang ini digunakan sebagai hiasan pada tangan kanan dan kiri penari. Lihat Pada gambar 12 adalah foto gelang yang digunakan oleh tari Legong Sambeh Bintang.

6. Stagen atau penutup pinggang yang digunakan penari dari pinggang  hingga  ke dada adalah sabuk tradisional Bali. Sabuk berwarna merah atau pink ini panjangnya kurang lebih 9 meter. Mereka menggunakan warna pink atau merah agar kelihatan seragam dan indah. Berikut di bawah ini adalah foto stagen tari Legong Sambeh Bintang.

7. Kain penutup dada yang berhiaskan prada digunakan untuk  menutup bagian dada penari. Kain ini berukuran 2 meter x 0,5 meter. Berikut di bawah ini adalah foto kain penutup dada yang digunakan oleh tari Legong Sambeh Bintang.

Tata Rias dan Busana Tari Legong Sambeh Bintang selengkapnya

CYMBRAN SHOW

CYMBRAN SHOW

Penata

Nama                     : I Wayan Sudana

Nim                       : 2007 02 005

Program Studi       : Seni Karawitam

Sinopsis       :

Damai, aman dan sejahtera, merupakan suatu hal yang sulit dicapai pada saat ini. Hal itu tak lepas dari sifat manusia yang kurang berpikir panjang dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga hanya pertikainlah yang selalu menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan.

Dari realita itulah karya seni music Cymbran Show ini tercipta. Dengan mempergunakan media music cymbal dan membrane, penata mencoba untuk mengolah berbagai instrumen seperti kendang, bedug, drum dan cymbal sebagai ungkapan dari realita di atas. Karya ini juga sarat akan makna perdamain dan memberi pesan untuk selalu menjunjung tinggi rasa perdaamain agar semua elemen masyarakat  dapat merasakan kehidupan yang damai, aman dan sejahtera.

Pendukung Karawitan : ST. Dwi Tunggal Ubung.

Tari Bali Tempo Dulu Dalam Pentas Masa Kini

Tari Bali Tempo Dulu Dalam Pentas Masa Kini

Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan

Sebuah buku tua tentang seni pertunjukan Bali, Dance and Drama in Bali (1938), menggugah seorang penari dari Negeri Sakura. Pada halaman 65, Ami Hasegawa (32 tahun), wanita Jepang yang pernah belajar tari Bali di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu, tertegun dengan sebuah potret yang menggambarkan sebuah tari ritual Baris Kekoepoe. Karena penasaran, ia terbang ke Bali menemui salah satu gurunya di Denpasar, menanyakan tentang tari itu. Gurunya, Ni Ketut Arini (66 tahun), menjelaskan bahwa tari Baris Kekoepoe itu sudah lama punah. Mendengar penuturan gurunya, Ami sedih. Ia kemudian membujuk Ketut Arini untuk merekonstruksinya.

            Hasil rekonstruksi tari Baris Kekoepoe itu, disuguhkan kepada masyarakat Bali dalam arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu, di Taman Budaya Bali. Dalam konteks ritual keagamaan, konon dulu tari Baris Kekoepoe dibawakan oleh sepasukan penari pria. Namun dalam presentasi artistik tata penggarapan Ketut Arini, tari ini dibawakan oleh empat penari wanita. Masyarakat Bali yang menyaksikan penampilan Kekoepoe tampak heran dengan gerak-gerik polos dan aneh dari tari yang mengenakan busana berumbai-rumbai ini. Penonton kian tersipu kagum karena yang membawakannya adalah para penari dari Jepang.

            Malam itu, grup tari Bali Basundhari Jepang pimpinan Ami Hasegawa tak hanya menyodorkan Baris Kekoepoe. Pagelaran tari yang diberi tajuk “Tari-tarian Bali Tempo Doeloe“ itu juga menyajikan tari Bali yang hampir punah, langka, dan tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali sendiri. Salah satunya adalah tari selamat datang, Pengaksama.  Tak ada penonton masa kini yang pernah menyaksikan tari yang segenre dengan tari Pendet ini. Tari karya I Nyoman Kaler ini telah muncul pada tahun 1935, mendahului kehadiran tari Pendet garapan I Wayan Rindi pada tahun 1950. Tari Pengaksama yang malam itu dibawakan oleh Ami Hasegawa dan Megumi Wakabayashi juga hasil rekonstruksi Ni Ketut Arini berdasarkan referensi yang dipergoki Ami dalam buku Dance and Drama in Bali karangan Beryl de Zoete dan Walter Spies itu.

            Rekonstruksi kedua tari itu, Baris Kekoepoe dan Pengaksama, berlangsung di dua negara yaitu Jepang dan Indonesia (Bali). Kira-kira, dua bulan sebelum gempa dan tsunami mengguncang Jepang, Ketut Arini diundang ke Kanagawa, Jepang, untuk merekonstruksi dan mengajarkan Kekoepeo dan Pengaksama pada penari sanggar Basundhari. Untuk merekonstruksi tari Baris Kekoepoe, Arini tak menemui kesulitan yang berarti, sebab pada tahun 1961 dia sendiri pernah membawakannya dalam sebuah ritual keagamaan di desanya. Kesulitan mengganjal adalah untuk tari Pengaksama. Namun berdasarkan sekelebat ingatan dan kesaksiannya, akhirnya Pengaksama  dapat dirajutnya kembali. Saat proses rekonstruksi di Jepang, iringan gamelannya belum ada,  perlu direkonstruksi juga.

            Sepulang dari Negeri Matahari Terbit, dibantu seniman karawitan I Ketut Suanda, Ketut Arini kemudian menggarap iringan gamelannya, juga berdasarkan rangkuman potongan-potongan ingatannya. Setelah terwujud, rekaman audio iringan kedua tari itu kemudian dikirim ke Jepang, dipadukan dengan tariannya yang telah diajarkan Arini. Masalahnya, para penari sanggar Basundhari itu tinggal di beberapa kota berjauhan yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Solusinya, berdasarkan rekaman video saat Arini merekonstruksi kedua tari itu dan ditambah dengan rekaman kaset iringan gamelan yang dikirim dari Bali, mereka belajar sendiri-sendiri. Baru ketika semuanya berkumpul di Bali beberapa hari menjelang pentas, mereka latihan gabungan lengkap dengan iringan penabuh grup gamelan Cendana di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar.

            Tari Pengaksama ditampilkan pada awal pementasan. Pengaksama dalam bahasa Bali artinya sambutan selamat datang. Struktur tari ini terdiri dari bagian awal, tengah, dan akhir, mirip dengan tari Pendet. Koreografinya juga sederhana yang merupakan stilisasi dari gerak-gerak persembahan tulus bakti pada dewa-dewa. Namun jika tari Pendet membawa semangkuk kembang, tari Pengaksama memakai properti kipas. Kipas ini diragatarikan sebagai absraksi persembahan pada Tuhan. Sedangkan tari Baris Kekoepoe hadir dengan kesederhanannya namun terasa menggetarkan nuansa magis. Jika Baris Kekoepoe yang dimuat dalam bukunya Zeote dan Spies memakai senjata tombak dengan gelungan (hiasan kepala) sederhana, Kekoepoe yang direkonstruksi Arini penarinya memakai sayap bak kupu-kupu dan berbinar dengan gelungan rangkaian bunga kamboja. Sejatinya, Kekoepoe (dalam bahasa Bali artinya kupu-kupu) adalah salah satu dari sekian barisan tari Baris yang tempo dulu ditampilkan sebagai persembaham tari sakral di pura.

            Jika Pengaksama dan Kekoepoe kental dengan nuansa ritualnya, tari Wiranjaya yang dibawakan oleh Mayumi Inouye dan Mariko Inui termasuk jenis tari kreasi yang tak begitu dikenal masyarakat Bali. Tari bergaya Bali Utara ciptaan I Ketut Merdana tahun 1950-an ini seangkatan dan sekarakter dengan tari Tarunajaya karya I Gde Manik. Namun jika Tarunajaya hingga kini masih berkibar, Wiranjaya tenggelam. ISI Denpasar, tahun 2010 lalu,  mencoba merevitalisasi dan mensosialisasikan ke tengah masyarakat Bali bahkan pernah menampilkannya dalam sebuah festival gamelan di ISI Surakarta pada tahun itu juga. Kini, di pesta seni Bali, para pegiat tari dari Jepang juga terketuk oleh nilai artistik tari yang berkisah tentang pelatihan perang ksatria Pandawa, Nakula dan Sahadewa tersebut.

            Perhatian dan keperihatinan terhadap karya-karya tari Bali yang terlupakan dan yang jelang punah, juga diekspresikan oleh para pegiat seni tradisi dari dalam negeri, Solo. Saat tampil dalam pagelaran Parade Gong Kebyar Nusantara, juga dalam arena PKB, tim ISI Surakarta menyuguhkan tari Cendrawasih (1954) karya maestro tari I Gde Manik. Berbeda dengan tari Cendrawasih (1988) karya Swasthi Widjaja Bandem yang natural-realistik, tari Cendrawasih-nya Manik stilistik-simbolik. Tata visual busananya tak ada menampakkan properti burung maskot Papua itu. Namun kalau dicermati tata geraknya, karakteristik burung nan lincah itu tampak diberi aksentuasi sehingga gagasan artistiknya cukup komunikatif.

            Dibawakan oleh enam orang penari non etnik Bali, mahasiswi ISI Surakarta. Dilihat dari segi karakter tarinya, tari Cendawasih tempo dulu ini termasuk katagori bebancihan yaitu tari yang memakai busana pria dan dibawakan oleh penari wanita. Tari ini direkonstruksi di Solo oleh Pande Made Sukerta pada tahun 1996. Sebuah grup gamelan di Desa Tejakula, Buleleng, pernah mengiringi tari ini pada tahun 1964, namun setelah itu menghilang bak ditelan bumi. Beruntung Sukerta berhasil mendapatkan rekaman vieonya yang kemudian beranjak merekonstruksinya, dibantu nara sumber penari sepuh Luh Menek yang dulu pernah membawakannya.

            Seni tari, adalah pengejawantahan estetik yang membuncah dinamis di Bali, dulu dan kini. Liukan jagat tari itu, tak semuanya mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Ada yang tegar dan awet hingga di era globalisasi ini. Tak jarang pula ada yang hanya sekedarnya menyapa zaman. Meski demikian, kesenian sebagai representasi kebudayaan adalah lumbung tersimpannya makna-makna yang patut disimak, dipelajari, dan diapresiasi. Oleh karena itu, rekonstruksi seni masa lampau seperti yang dipertunjukkan di pesta seni Bali itu, adalah sebuah kearifan budaya yang berkeadaban.

Tari Bali Tempo Dulu Dalam Pentas Masa Kini, selengkapnya

Struktur Nilai Simbolisme dan Mistikisme Pertunjukan Wayang Calonarang

Struktur Nilai Simbolisme dan Mistikisme Pertunjukan Wayang Calonarang

Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan

Pengertian Simbol

            Peursen, C.A Van ornentasi di dalam filsafat mengatakan, bahwa semiotik adalah ilmu tanda yang mempelajari tentang fenomena sosial. Zamzamah menjelaskan, bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari fenomena sosial budaya, dalam kontek semiotik mempunyai dua aspek, yakni aspek penanda dan aspek petanda. Penanda adalah bentuk format itu, sedangkan petanda adalah arti/acuannya. Berdasarkan hubungan antara penanda dengan petanda, maka tanda dapat dipilih ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah penanda dengan petandanya, hubungan ini adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda (penanda), menandai kuda (petanda); indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal atau sebab akibat antara penanda dengan petandanya, asap menandai api; simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara pananda dengan petandanya, misalnya “ibu” adalah simbol yang ditentukan oleh konvensi masyarakat Indonesia, orang Inggris “mother”, orang Prancis “la mere” dan sebagainya. Dari ke dua pendapat filsuf di atas mengindikasikan, bahwa simbolisme itu merupakan lambang-lambang yang dijadikan alat atau sarana pada suatu aktifitas tertentu, yang merupakan miniatur dari alam semesta, seperti kayonan lambang gunung, blencong akan mengindikasikan siang dan malam sesuai dengan cahaya yang dimunculkan, pihak kiri dan kanan simbol kejahatan dan kebajikan, dan lain sebagainya.

Nama, Simbol, dan Fungsi Sarana Pementasan

Nama-nama dari simbol pada pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung adalah:

1). Gedebong merupakan  simbol dari  tanah (pertiwi) fungsinya untuk menancap kan tangkai wayang sesuai keinginan dalang.

2). Kelir  merupakan simbol dari  langit (embang) fungsinya  untuk  menampilkan bayangan wayang.

3). Jelujuh (posisinya  vertikal  di  pinggir  kelir), gegilig  (posisinya  horisontal diatas dan di bawah kelir) simbol dari tapak dara fungsinya untuk mengkencangkan kelir.

4). Reracik  simbol dari jari  tangan  dan  jari  kaki  sang  dalang  fungsinya  untuk    menguatkan posisi kelir.

5). Blencong merupakan  simbol dari  Sanghyang Triodasa Saksi (matahari, bulan, dan bintang) fungsinya untuk penerangan saat pertunjukan wayang.

6). Kropak  merupakan simbol  dari  Tri Bhuana (bhuh loka, bwah loka, dan swah loka) fungsinya untuk tempat menyimpan wayang.

7). Wayang merupakan  simbol dari  penghuni Tri Bhuana atau isi  alam  semesta,yangterdiri dari berbagai  karakter (tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, buta  kala, raksasa, dewa) fungsinya untuk memerankan cerita  sesuai dengan  karakternya masing-masing.

8). Gamelan merupakan simbol dari saudara sang dalang (nyama catur) fungsinya  untuk pengiring mengiringi pertunjukan wayang.

9). Katengkong merupakan  kedua  orang  tua sang dalang (di sebelah kanan ayah, di  sebelah  kiri  ibu)  fungsinya   untuk   membantu    kelancaran   pertunjukan wayang.

10). Upakara  merupakan  suguhan   sebagai  ucapan  terima   kasih  sang   dalang  kepada  Tuhan,  segehan  diperuntukkan   kepada   para  buta kala  fungsinya    nyomya agar  ikut mendukung pertunjukan wayang.

11. Wayang Calonarang merupakan simbol dari Rwa-Bhineda (siang-malam, kiri- kanan, fositif-negatif, dan  lain sebagainya) fungsinya  untuk  mengungkapkan di dalam  buana  agung  dan  buana  alit  tidak  pernah luput dari hal dua yang  berbeda, maka dari itu ilmu hitam dan ilmu putih selalu  muncul di jagad  raya   ini.

12. Dalang  merupakan  simbol   dari   Sanghyang  Kawiswara   fungsinya   untuk   mengerakkan  Rwa-Bhineda  (siang-malam,   baik-buruk,   kiri-kanan,   fositif-negatif dan lain sebagainya) yang akhirnya menjadi suatu keseimbangan. 

Mistikisme Pertunjukan Wayang Calonarang

1. Pengertian Mistik

Pembahasan unsur-unsur mistik pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa, terlebih dahulu kita ungkap pengertian mistik dari sumber tertulis sebagai berikut:

a). Perbedaan Ilmu Filsafat dengan Mistik adalah: ilmu filsafat sifatnya terbuka dan dapat berkomunikasi, sedangkan mistik sering bersifat rahasia ”sinengker” atau esoteris. Kesadaran yang didapat dari filsafat adalah ”kesadaran intelek”, dan “ratio”, sedangkan kesadaran yang didapat dari mistik adalah ”kesadaran rasa (mistik)” dan berada di luar atau di atas lingkup ”ratio”.

b). Adiputra mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Dunia Gaib orang Bali bahwa, nilai magis suatu tempat selalu berhubungan dengan makna niskala tempat itu, bukan tergantung pada penampakan fisiknya. Suatu lokasi yang dinilai angker dalam dunia sekala selalu dipercaya ada penghuninya berupa makhluk halus dunia niskala.

            c). Mircea Elliade mengutip pendahuluan Rudolf Otto mengatakan, mengenai batasan sakral adalah Otto melukiskan semua pengalaman ini berasal dari Tuhan karena dibangkitkan dari energi ke-Tuhanan. Pengalaman Illahi ini menghadirkan dirinya sesuatu yang sepenuhnya berbeda, sesuatu yang secara total berbeda. Dia menemukan perasaan terteror oleh alam sakral, alam misterius, dan terharu terhadap energi yang superior. Ia menemukan ketakutan religius dalam misteri yang menakjubkan hati, dimana kesempurnaan penuh kehidupan itu berkembang. Manusia dihadapkan oleh pengalaman ini merasakan dirinya dalam ketiadaan, seolah-olah hanya seekor makhluk kecil, tak ubahnya sebagai debu dan arang.

d). Perbedaan dua tempat yaitu Kaja dan Kelod, Kaja adalah gunung sebagai simbolis kesucian yaitu kesenian yang bersifat sakral, Kelod adalah simbolis laut yang merupakan simbolis profan atau sekuler. Dalam buku tersebut juga menyinggung tentang katagori kesenian Bali yaitu : seni wali, bebali dan balih-balihan. Dua tempat yang berbeda tentunya ada suatu pembatas yang menyebabkan kondisi menjadi berbeda pula, seperti kaja (utama mandala) merupakan tempat yang sakral sebagai tempat wali, tengah (madya mandala) merupakan tempat biasa, sebagai tempat pementasan bebali, dan kelod (nista mandala) merupakan tempat luar biasa atau bebas, biasanya tempat balih-balihan atau hiburan.

Ke-empat pendapat di atas, sudah sangat paten untuk penulis jadikan pedoman membahas unsur-unsur mistik yang terkandung di dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kaurus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa. Adapun unsur-unsur mistik tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

2). Unsur Mistik Pada Upakara Pengaradan

Upakara (bebantenan) kalau dilihat dari bentuk sudah jelas merupakan lambang, akan tetapi kalau ditinjau dari segi fungsinya adalah mistik, karena upakara merupakan sarana untuk memanggil (pengaradan), maka berbeda dari bentuk upakara, berbeda pula fungsinya. Unsur mistik yang terkandung pada upakara (bebantenan) pada pementasan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, merupakan sarana untuk memanggil (ngarad) guna diberikan suguhan atau upah. Upakara atau bebantenan yang diperlukan sudah jelas jauh lebih besar dari pementasan wayang biasa (selain Wayang Calonarang). Seperti halnya dalam rangka kegiatan upacara agama, kemudian mengundang beberapa pemuka beserta jajarannya, maka patut dipersiapka segala sesuatu untuk menyambut para undangan. Bukan hanya pemuka tertentu saja yang disuguhkan hidangan, melainkan jajarannyapun mesti ikut serta dapat menikmati menu (hidangan yang perlu dipersiapkan) oleh tuan rumah. Begitu pula halnya dengan pertunjukan Wayang Calonarang sajian ida Bagus Sudiksa, karena begitu banyaknya para undangan merupakan rencang-rencang (pengikut) Betari Dalem yang diundang oleh sang dalang, untuk ikut serta menyaksikan pertunjukan, bahkan ikut ambil bagian di dalam pertunjukan tersebut, maka dari itu harus disediakan makanan, minuman kesukaan para undangan. Adapun upakara yang disajikan sebagai berikut.

Struktur Nilai Simbolisme dan Mistikisme Pertunjukan Wayang Calonarang, selengkapnya

Loading...