Isi Denpasar Tampil Dalam Pembukaan 1st Asian University Bridge Championship

Isi Denpasar Tampil Dalam Pembukaan 1st Asian University Bridge Championship

Tari Legong

Tari Legong

Sanur – Dalam penyelenggaraan 1st Asian University Bridge Championship, ISI Denpasar mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam upacara pembukaan dengan membawakan beberapa tarian dan tabuh. Acara pembukaan berlangsung tanggal 24 November 2009 bertempat di Paradise Hotel, Sanur-Bali. Selain itu ISI Denpasar juga dipercaya untuk mengisi posisi MC dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Dalam acara bertaraf internasional tersebut ISI Denpasar mendapat kehormatan untuk membuka acara lewat tarian Selat Segara, sebagai tari penyambutan tamu. Hadir dalam acara tersebut, Mr. See Tow Cheng, yang mewakili Presiden AUSF (Asia University Sport Federation), James Tangkudung sebagai perwakilan dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Haris Iskandar sebagai perwakilan dari Menteri Pendidikan Nasional, serta perwakilan dari International Contract Bridge Association. 1st Asian University Bridge Championship ini diikuti oleh lima negara, yaitu Cina, Singapura, Thailand, Thaipe serta tuan rumah Indonesia. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 24 hingga 30 November 2009.

Dalam kesempatan tersebut ISI Denpasar juga mengisi acara cultural dinner dengan menampilkan tiga tarian Bali yaitu Tari Legong Kuntul,.Tari Oleg Tambulilingan serta diakhiri dengan tari ciptaan I Nyoman Cerita, Tari Satya Brasta.

Tari Legong Kuntul dibawakan oleh empat mahasiswa dari Jurusan Tari ISI Denpasar. Tarian ini adalah sebuah tarian klasik Bali yang memiliki perbendaharaan gerak yang sangat kompleks yang diikat oleh struktur tabuh pengiring, yaitu Gambuh, sehingga gerak-gerak tari Legong dikombinasikan secara koreografi dengan salah satu taria yang ada pada pegambuhan. Tarian Legong sangat dinamis, indah dan abstrak namun dibalik gerak-gerak itu tersembunyi gerak yang bersifat dramatis. Gamelan yang mengiringi tari legong adalah gamelan semar pagulingan. Lakon yang biasa dibawakan bersumber dari cerita Malat

Sementara tari selanjutnya adalah tari Oleg Tambulilingan. Tarian ini melukiskan dua ekor kumbang madu jantan dan betina yang sedang asik bercumbu rayu di taman bunga. Kata oleg berarti bergerak denga lembut, luwes san indah (menari) dan tambulilingan berarti kumbang madu.oleg tambulilingan adalah tari duet berpasangan. Namun demikian sering pula tari ini dibawakan oleh penari wanita keduanya, meskipun perannya laki-laki. Materi gerakannya banyak bersumber dari gerak-gerak Pegambuhan, Pecalonarangan dan Legong Keraton. Instrument pengiringnya adalah seperangkat Gamelan Gong Kebyar.

Dan diakhiri dengan tarian yang mampu memuaku para penonton, yaitu tari Satya Brasta. Tari yang menggambarkan tentang peperangan antara Gatot Kaca dengan Karna, yang diakhiri dengan gugurnya Gatot Kaca oleh senjata Konta.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A merasa bangga atas kesuksesan acara tersebut. Pihaknya berharap melalui ajang ini, kita dapat lebih mempromosikan keberadaan ISI Denpasar sebagai salah satu Perguruan Tinggi Seni yang ada di Indonesia. Mengingat hadirnya peserta dari berbagai Negara diharapkan mampu mewujudkan cita-cita kita yaitu “merekatkan bangsa baik lewat seni”.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

.

Garapan Ekperimental Tari Baris Dan Lawung “KEBO IWA”

Garapan Ekperimental Tari Baris Dan Lawung “KEBO IWA”

IMG_1727Denpasar- Sebagai implementasi atas keberhasilan ISI Denpasar dalam memenangkan Program Hibah Kompetisi (PHK) –B-Seni Bacht IV 2009, Jurusan Tari akan mementaskan garapan Eksperimental Tari Baris dan Lawung bertajuk “Kebo Iwa”. Garapan tersebut akan dipentaskan pada 1 Desember 2009 nanti. Guna memantapkan garapan tersebut para penari, penabuh serta pendukung acara sudah memulai kegiatan latihan sejak 21 November 2009. Latihan awal adalah latihan sektoral yang terbagi menjadi  3 sektor latihan, yaitu latihan tabuh, tari pria dan tari wanita.

Menurut konseptor garapan, Prof. Dibya, dalam garapan ini dicoba untuk mempertemukan dua tradisi tari klasik dari dua budaya yang berbeda yaitu Bali dan Jawa. Tari Bali diwakili dengan Baris sedangkan tari Jawa dengan tari Lawung. Keduanya merupakan tari kepahlawanan yang menggunakan senjata tombak. Garapan ini merupakan sebuah eksperimen untuk mempertemukan tari Baris dengan tari Lawung. Dalam dance and drama disebutkan bahwa eksperimen menunjukkan kedekatan antara tari Baris dengan tari Lawung.

Garapan ini dilatar belakangi dengan dua wilayah budaya yang berbeda (Jawa dan Bali), namun sejak berabad-abad yang lalu, telah memiliki interaksi kultural yang sangat akrab. Oleh sebab itu banyak perwujudan ekspresi budaya yang datang dari kedua daerah ini memiliki kedekatan walaupun secara fisik Nampak berbeda. Baris dan Lawung adalah dua jenis tari klasik/ tradisional dengan latar belakang budaya yang berbeda; Baris dari Bali, Lawung dari Jawa Tengah. Dibalik perbedaan wujud fisik dari keduanya, terdapat beberapa kedekatan rasa estetis yang kiranya dapat dipertemukan untuk menghasilkan suatu garapan tari yang bernafaskan Jawa-Bali sebagai satu strategi untuk melahirkan tari-tarian yang bernafaskan Nusantara.

IMG_1706Ekperimen tari “Baris Lawung” pada dasarnya sebuah upaya kreatif untuk mempertemukan unsur-unsur dua budaya Indonesia yang berbeda. Garapan ini lebih mengutamakan olah tari, dengan mengedepankan bahasa gerak, dari pada bahasa verbal. Oleh sebab, kisah Kebo Iwa hanya dijadikan “tali” untuk menjalin rangkaian tari yang dihasilkan dari pengolahan kembali terhadap untus-unsur tari Baris dan Lawung.

Pembabakan

Babak I – Arus Selat Bali

Gambaran tarik menarik arus air laut di Selat Bali yang digambarkan dengan munculnya Baris dan Lawung (dalam jumlah masing-masing 4 orang)

  • Baris
  • Lawung
  • Interaksi kedua kelompok

Babak II – Di Kerajaan Bedahulu

Patih Kebo Iwa menghadap Raja Bedahulu untuk memohon restu dari Sang Raja menjelang keberangkatannya ke tanah Jawa guna memenuhi undangan Maha Patih Gajah Mada.

  • Pasukan Baris
  • Patih Kebo Iwa
  • Raja Bedahulu (diiringi dayang-dayang)
  • Kebo Iwa meninggalkan Bedahulu

Babak III – Di Kerajaan Majapahit

Mahapatih Gajah Mada senantiasa mengawasi pasukan kerajaan. Tiba-tiba dating laporan akan tibanya pasukan Kebo Iwa dari Bali. Dalam suasana tegang, Gajah Mada menjelaskan bahwa yang dating bukan musuh melainkan Patih Kebo Iwa dari Bali atas undangan dirinya. Pasukan Majapahit kemudian bergerak menjemput pasukan bali.

  • Patih Gajah Mada
  • Pasukan Lawung
  • Utusan Jawa
  • Gajah Mada dan pasukan bergerak menjemput Kebo Iwa

Babak IV- Pertemuan Pasukan Bedahulu dan Majapahit

Dalam mengiringi Kebo Iwa dan Gajah Mada ke istana Majapahit, pasukan Bali dan Jawa bergabung dalam suasana yang penuh persaudaraan.

  • Pasukan kebo Iwa bertemu pasukan Gajah Mada
  • Gajah Mada menyambut Kebo Iwa dan mengantarnya ketempat peristirahatan
  • Kedua pasukan (Baris dan Lawung) bergerak bersama-sama mengiringi Gajah Mada dan Kebo Iwa.
RAJUTAN GAMELAN BALI YANG MENGGODA

RAJUTAN GAMELAN BALI YANG MENGGODA

DSC00617 (1)Jakarta- Sebuah konser yang mempertemukan gamelan Bali, Jawa, dan Sunda ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (6/10) malam lalu. Pentas seni dari tiga wilayah musik tradisional gamelan terpenting Indonesia itu disuguhkan sebagai pembuka Festival Kesenian Indonesia (FKI)  perguruan tinggi seni se-Indonesia. Dalam FKI ke-6 tahun 2009 yang bertema Exploring Root of Identity yang berlangsung tanggal 5-24 Oktober tersebut, tampaknya gamelan diusung sebagai maskot festival. Penonton yang memenuhi gedung tertutup Graha Bakti Budaya  menyimak konser gamelan yang jarang terjadi itu dengan tekun hampir selama dua jam.

Gamelan Jawa disuguhkan oleh Istitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, gamelan Sunda digelar oleh Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan gamelan Bali dipentaskan oleh ISI Denpasar. Barungan gamelan Jawa, Sunda, dan Bali itu ditampilkan seluruhnya di atas panggung yang dimainkan secara bergilir. ISI Surakarta menyodorkan tajuk “Nyugata” dengan media musikal gamelan Carabalen dan Sekaten. STSI Bandung menampilkan gamelan langka Goong Renteng. Terakhir, ISI Denpasar menyuguhkan garapan berjudul “Ngalor-Ngidul Kangin-Kauh“ yang dituangkan dengan empat set gamelan yakni Slonding, Gamelan Gambuh, Semarapagulingan dan Gong Gede.

Kendati suasana yang dihadirkan dari konser gamelan ini tentu tidak gegap gempita seperti konser musik dangdut atau pop, namun denyut eksplorasi estetik dan makna kulturalnya mengharukan. Para seniman ISI Surakarta dengan bangga menggelar komposisi terbarunya yang berangkat dari karawitan tradisi. Begitu pula para pengerawit dari STSI Bandung dengan percaya diri menyajikan garapannya di hadapan penonton yang apresiatif. Respek penonton terhadap konser gamelan tersebut terasa membuncah ketika menyaksikan sajian yang ekspresif dari ISI Denpasar. Tak kurang dari setengah jam menonton menyimak dengan antusias aksi 30 orang mahasiswa dari Bali tersebut.

Dibandingkan dengan gamelan Jawa dan Sunda, bentuk-bentuk ekspresi ensambel gamelan Bali lebih variatif. Mungkin karena itu, dalam konser gamelan FKI tersebut ISI Denpasar memboyong empat barung gamelan dari 20-an jenis barung gamelan yang diwarisi dan bertumbuh di seluruh Bali. Tiga komposer muda ISI Denpasar, I Ketut Garwa, Gede Mawan, dan I Made Kartawan menuangkan gagasan kreatifnya lewat empat media gamelan itu menjadi sebuah tontonan musik yang memamerkan keterampilan menabuh dan penampilan yang menawan.

Berbeda juga dengan eksistensi gamelan di Jawa dan Sunda yang cenderung termarginalisasi oleh dinamika zaman, gamelan Bali  masih diposisikan secara hormat oleh masyarakatnya. Syahdan, keseharian Bali tak pernah sepi dari kumandang gamelan. Di tengah riuh dan khusuknya upacara keagamaan, bunyi gamelan mengalun seiring sejalan dengan denting genta pendeta dan liukan kidung suci. Di tengah sanggaan alam yang ramah dan kehidupan yang dinamis, tatabuhan gamelan memberi hiburan dan sekaligus sebagai media ekspresi keindahan. Puspa ragam gamelan senantiasa menyertai sajian seni tari dan pementasan teater.

Masyarakat Bali telah mengakrabi gamelan setidaknya sejak abad ke-10. Beberapa prasasti yang ditemukan telah menyebutkan adanya pamukul (penabuh), papadaha (pemain kendang), dan pabangsi (penggesek rebab). Gambelan sebagai sebuah ansambel juga telah disinggung dalam Aji Gurnita–lontar tua tentang gamelan Bali–diantaranya, Meladprana (gamelan Gambuh), Selonding, Semara Haturu (Semara Pagulingan) dan Semara Pendirian (gamelan Palegongan). Kini, gamelan yang berasal dari zaman Bali kuno hingga era Bali modern tetap eksis dan menggeliat dinamis berinteraksi dengan perkembangan masyarakatnya.

Representasi geliat dinamis evolusi gamelan Bali itulah yang tampak ditampilkan ISI Denpasar dalam konser bertitel “Ngalor-Ngidul Kangin-Kauh“ itu. Di tengah masyarakat Jawa,  makna konotatif dari istilah ngalor-ngidul adalah obrolan tak tentu arah. Begitu juga ungkapan kangin-kauh di tengah masyarakat Bali juga dimaknai omongan ngawur. Tetapi jika dicermati dari aspek estetik musikal yang ditampilkan, ternyata sebuah letupan dari ramuan penjelajahan melodi, permainan ritme, kompleksitas jalinan nada-nada yang menggoda. Ngalor-ngidul kangin-kauh kiranya menjadi ungkapn simbolik dari rajutan gagasan musik dari segala arah zaman, budaya, dan selera dengan semangat pengayaan dan perayaan terhadap kebhinekaan seni.

Tepuk tangan panjang penonton mengiringi bagian akhir dari garapan musik ISI Denpasar tersebut. Bahkan ketika konser sedang bergulir pun  beberapa kali tepuk tangan mengemuka merespon ungkapan musik yang menggelitik atau menggugah relung-relung estetik penonton. Para penabuh bermain secara dinamis, tak hanya memainkan satu instrumen dan tak hanya memainkan satu ensambel gamelan. Diawali dengan denting ritmis jalinan Slonding lalu tersambung oleh liukan suling dan tingkah kendang gamelan Gambuh. Sementara gamelan Gambuh masih mengalun, Semarapagulingan bergemerincing renyah yang kemudian dimeriahkan nada-nada berat gamelan Gong Gede. Pada klimaksnya, seluruh gamelan dimainkan dengan tempo naik turun dan dinamika yang lincah, sigap, dan lugas. Sebuah pendakian berkesenian (seni karawitan) sedang melaju.

Kadek Suartaya

SENI KONTEMPORER DIKEBIRI SENI TRADISI BALI?

SENI KONTEMPORER DIKEBIRI SENI TRADISI BALI?

DSC00644

Denpasar – Seniman bertubuh tambun, Slamet Gundono, yang dikenal sebagai dalang Wayang Suket, tampil menggugah dan menggelitik dalam sarasehan seni pertunjukan kontemporer, Kamis (5/11) siang di ISI Denpasar. Di tengah perbincangan yang sarat gairah itu, Gundono didaulat untuk menunjukkan aksi pentasnya. Sembari memetik sebuah gitar kecil, celoteh dan alunan vokalnya yang improvisatoris membuat penonton terpana.

Aksi dadakan alumnus STSI Surakarta tersebut direnspon oleh koreografer Miroto dan komposer Agus Santosa. Sementara Miroto bergerak ekspresif di sisi-sisi tubuh Gundono yang duduk di tengah, Agus berjinjit-jinjit di bagian belakang sembari mengeksplorasi bunyi sebuah gong. Kolaborasi dalang, penari, pemusik yang sudah cukup dikenal secara nasional itu seakan menunjukkan bahwa seni komporer adalah ruang berkesenian yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari kebudayaan kontemporer masyarakat kita.

Kendati bergulir hanya sekitar tujuh menit, ketiga seniman itu tampak berhasil menggedor apresiasi dan hasrat-hasrat sukmawi  para peserta sarasehan terhadap nilai estetik dan kandungan pesan dari ekspresi seni kontemporer tersebut. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa yang dalam sarasehan itu diundang sebagai nara sumber, tak hanya berungkap secara verbal menuturkan eksistensi seni kontemporer di luar dan di dalam negeri namun juga menawarkan gagasan-gagasan sarat inspirasi dengan presentasi estetis eksploratif yang berdaya gugah.

Selain sebagai pembicara seminar, ketiga seniman Indonesia yang telah merambah forum seni internasional itu juga diusung sebagai juri Lomba Cipta Seni Kontemporer (LCSK) yang digelar oleh Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Rabu (4/11) malam. Hasil pengamatan mereka itulah, diantaranya, diperbincangkan dalam sarasehan yang dihadiri oleh para peserta lomba dan peminat seni pertunjukan. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa tampak bersemangat mengisahkan dan membagi pengalamannya dalam kancah seni kontemporer.

Slamet Gundono menuturkan pergulatannya dengan seni kontemporer lebih banyak ditimbanya langsung di tengah masyarakat komunal pedesaan. “Seorang seniman harus mau bermandi lumpur untuk mengasah dan merangsang kepekaannya menemukan gagasan dan penuangan karya seninya,“ ujar Gundono. Menurutnya, di tengah masyarakat tradisional Indonesia, seorang seniman seni kontemporer akan banyak bisa menyerap kearifan lokal untuk dipresentasikan menjadi ungkapan artistik. “Pementasan wayang atau teater saya banyak mendapat inspirasi dan disangga oleh pergulatan saya di tengah lingkungan kultur alamiah pedesaan,“ ungkapnya polos.

Miroto yang seorang penari Jawa tangguh dan sebagai seorang koreografer tari kontemporer berharap seni pertunjukan kontemporer digairahkan di tengah masyarakat. Menurutnya esensi kebebasan kreatif yang menjadi roh seni kontemporer sangat memungkinkan bertumbuh di Bali dengan karakteristik seniman Bali yang kreatif, lebih-lebih didukung masyarakat penyayang seni. Agus Santosa memberikan masukan kepada para seniman yang mengenyimpungi seni pertunjukan kontemporer untuk memiliki landasan jelas dalam mepersiapkan konsep karyanya. “Konsep matang akan memungkinkan untuk mewujudkan seni pentas kontemporer yang komunikatif,“ paparnya.

Tetapi, Gundono, Miroto, dan Agus Santosa mengaku sangat bangga dengan sajian empat karya seni pertunjukan kontemporer yang ditampilkan dalam LCSK itu. Keempat karya mahasiswa ISI tersebut, “Kara Perkara“, “Di Atas Waktu“, “Kursi-kursi“, dan “Karenamu“ ditimbang dan ditimang dalam sarasehan itu sebelum diumumkan peringkatnya. Dilandasi oleh agumentasi yang analitis-konpresensif, ditetapkan sebagai juara I adalah seni pertunjukan kontemporer “Karenamu“, karya mahasiswa semester VII gabungan jurusan tari, karawitan, dan pedalangan.

Secara konsepsi artistik, keempat karya seni yang disodorkan dalam lomba itu menghargai keseteraan tiga disiplin seni (tari, musik, teater) tanpa sekat. Pun secara tematis, keempatnya mengguratkan arah pesan moralistik yang lazim menjadi muatan seni kontemporer. “Kursi-kursi“ (juara II) misalnya secara simbolik satiristik menyajikan makna kursi dalam perspektif masyarakat kekinian. Jika saja makna kursi sebagai sebuah kekuasaan diberi aksentuasi estetik yang lebih menukik, karya seni ini akan lebih menghentak dan menggetarkan hati nurani penonton.

Seperti etimologi namanya, “co“ bersama dan “tempo“ waktu, seni kontemporer adalah seni masa kini yang di dalam ekspresi instrisik dan ekstrinsiknya mencerminkan wajah kekinian, bebas dari orientasi dan referensi seni yang telah mempola. Dalam perjalanan di Indonesia, di Bali khususnya, seni kontemporer belum menunjukkan eksistensi yang melegakan. Tahun 1970-an adalah periode penting bagaimana masyarakat Bali menanggapi kehadiran seni pertunjukan kontemporer. Sardono W. Kusomo yang menawarkan elemen-elemen seni kontemporer pada seni pentas Cak di Banjar Teges Kanginan, Ubud, pada tahun 1972, tak diperkenan oleh unsur pemerintah Bali untuk pentas di Jakarta.

Tahun 1977, tari kontemporer karya I Wayan Dibia, “Setan Bercanda“ juga mengundang polemik seru di surat kabar lokal. Namun ketika  menguak garapan gamelan kontemporer “Gema Eka Dasa Ludra“ karya  I Nyoman Astita, 1979, tak ada sikap kontra yang menyongsongnya. Sejak itu dan hingga kini, toleransi masyarkat Bali terhadap ekspresi seni pertunjukan kontemporer tetap kondusif. Hanya, sayang, seni tradisi yang relatif kuat eksistensinya di tengah masyarakat Bali yang mungkin mengebiri dan memarginalkan aliran kesenian ini seperti tampak di arena PKB. Kiranya, diperlukan strategi dan pembacaan yang lebih tajam dalam memposisikan seni pertunjukan kontemporer  di tengah dinamika budaya kekinian Bali.

Kadek Suartaya

Sinopsis Lomba Cipta Seni Pertunjukan Kontemporer

Semester VII: Karena Mu: Konsep boneka tari / marionette. Kehidupan manusia ibarat wayang yang dikendalikan oleh dalang/ dalam hal ini Tuhan. Berusaha mengangkat kejadian yang ada dikehidupan manusia, property menggunakan tali karena ada keterkaitan dalang yang didepan. Penari 7 orang, 2 dalang. Konsep ilustrasi musik yang mendukung suasana. Garapan music menggunakan alat2 musik kekinian dan bercampur tradisi. Konsep boneka karena prilaku kita sangat beragam dan menarik untuk ditampilkan, ada perkelahian, romantisme.

Semester V: Kursi-Kursi : konsep music, mengiringi tari, music tidak hanya pendukung suasana saja. Music dalam gagasan. Alat music berpencon yang diilham dari sifat penguasa. Mencari sesuatu yang baru menggunakan konterpoint, yang menjadikan rasa special. Instrument bermencon tidak memiliki nada yang pasti. Pedalangan: memasukkan 2 tokoh dalang dengan 2 penari (bayangan), waktu terus berputar, terdapat bayangan di balik itu memakai sarana uang untuk mencapai tujuan. Terakhir dimasukkan narasi selain bahasa Indonesia tapi juga kekawin yang terikat lagu dengan kekawin yang bebas. Tujuannya agar pementasan itu lebih tertuju, maksudnya penolakan jaman kaliyuga. Suasana kekinian bagaimana kursi itu diperebutkan.

Sementer 3: tema: membentuk insan cerdas dan kompetetif melalui seni kontemporer, dengan judul’ di atas waktu’. Semester 3 berusaha mengangkat konsep, dengan menggali konsep buruk manusia (malas). Tugas menjadi beban, sering menunda2 pekerjaan, ketika rasa malas tersebut menguasai diri, menjadi mahasiswa stress. Pedalangan menampilkan kostum property wayang kayonan, bima, topeng jongos, karakter mahasiswa yang malas. Ada kekhasan masa lalu dan masa sekarang., narasi ada filsafat. Tarinya penarinya 9 orang. Wayang diatur oleh seseorang dengan 6 penari sebagai bayangan, yang menggambarkan apabila sifat malas yang mendominasi. Pesan yang diingin disampaikan: tanpa kita sadari rasa malas lebih mendominasi, sehingga jangannya menunda2 pekerjaan.  Music gong gede yang sifatnya agung dan mengegelegar. Yang didalamnya memakai instrument .

Semester I: garapan ini berkonsep: “Kara-perkara” alam ketika keseimbangan alam terganggu maka terganggulah kehidupan kita. Kita percaya di alam ini ada makhluk lain yang hidup dan lahir. Keseimbangan alam harus dijaga untuk kenyaman kita dalam kehidupan.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

Loading...