Rombongan ISI Denpasar Akan Tampil Dalam Gelar Karya Anak Bangsa 2009 di Jakarta

Rombongan ISI Denpasar Akan Tampil Dalam Gelar Karya Anak Bangsa 2009 di Jakarta

asti-pertiwi-pembukaan-sseasr-300x199

Asti Pertiwi-Sekeha Gong Kumpulan Ibu-Ibu Dosen, Pegawai, Mahasiswa Asing dan Alumnus ISI Denpasar

(Denpasar-Humasisi)Satu momentum penting digelar oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tanggal 10 – 12 Agustus 2009, dalam rangka peringatan hari pendidikan nasional, Dikti mengadakan event bertajuk ‘Gelar Karya Anak Bangsa’, dengan tema “Membangun Masyarakat Cerdas dan Kreatif Berbasis Sains, Teknologi dan Seni Untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Kegiatan yang rencananya dibuka oleh Menteri Pendidikan  Nasional, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA, bertempat di Halaman & Plaza Gedung A-Departemen Pendidikan. Dalam acara pembukaan Dikti mengundang rombongan ISI Denpasar untuk dapat tampil di Jakarta dalam ajang bergengsi tersebut. Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S. M.A., menyampaikan ungkapan terima kasih yang mendalam serta menyambut baik dan akan menyukseskan kegiatan tersebut. ISI Denpasar diberi kesempatan untuk mengisi beberapa acara diantaranya, mengiringi tamu undangan dengan lagu-lagu tempo dulu yang dinyanyikan oleh para dosen dan mahasiswa ISI Denpasar. Mereka akan menyanyikan lagu Kebyar-Kebyar yang diciptakan oleh Gomloh, Kisah Kasih di Sekolah yang dipopulerkan oleh Obie Meisak, serta lagu dengan judul Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif, yang merupakan ide dari Prof. Rai yang kemudian dikaryakan oleh I Komang Darmayuda, S.Sn., M.Si. bersama Ni Wayan Ardini, S.Sn., M.Si. Dibawah pembinaan I Komang Darmayuda, S.Sn., M.Si. bersama Ni Wayan Ardini, S.Sn., M.Si., juga akan ditampilkan paduan suara yang akan dibawakan oleh Asti Pertiwi dengan membawakan lagu berjudul Janger.

Guna menyambut kedatangan tamu-tamu kehormatan selain tabuh Semarpagulingan persembahan Asti Pertiwi (gabungan para dosen, staf, mahasiswa, alumni ISI Denpasar serta seniman), kedatangan tamu juga disambut dengan alunan nada gender yang dibawakan oleh 4 anak-anak yang tergabung dalam Asti Kumara (kumpulan putra/putrid para dosen, staf ISI Denpasar). Mereka yang berlatih dibawah asuhan Ni Ketut Suryatini, S.SKar., M.Sn., mereka membawakan beberapa tabuh gender. Ketut Suryatini mengungkapkan anak-anak yang berusia kisaran 7 sampai 11 tahun ini sangat apresiasif dan responsive dalam mengikuti berbagai kegiatan seni, hingga selain sering mengikuti event-event baik upacara agama maupun acara nasional, mereka juga pernah menorehkan sejarah dengan seringnya mengikuti lomba-lomba hingga pernah mendapatkan beberapa prestasi.

Dikesempatan lain Dikti memberi peluang kepada Asti Pertiwi untuk tampil di acara pembukaan pameran. Kesempatan tersebut diberikan setelah Asti Pertiwi sukses tampil dalam konfrensi internasional SSEASR beberapa waktu lalu. Asti Pertiwi akan membawakan tabuh-tahuh Semarpegulingan serta mengiringi Tari Pendet yang dibawakan oleh siswi SLB Bali dan Mahasiswi ISI Denpasar serta tari Satya Brasta yang dibawakan oleh para mahasiswa ISI Denpasar. Menurut koordinator Asti Pertiwi Ni Ketut Suryatini, S.SKar., S.Sn., Asti Pertiwi telah berusaha keras untuk latihan selama 1 bulan secara intensif untuk dapat menampilkan hasil terbaik, karena untuk pertama kalinya iringan tari Satya Brasta ciptaan I Nyoman Cerita ini dibawakan dengan tabuh Semar Pegulingan. “Berkat kerja keras dan latihan intensif dibawah bimbingan para dosen dari Jurusan Karawitan, Kami siap akan menampilkan karya terbaik kami” ungkap  Ni Ketut Suryatini, S.SKar., S.Sn.,.

“NGAYAH” ISI DENPASAR DIKAGUMI PAKAR BUDAYA MANCANEGARA

“NGAYAH” ISI DENPASAR DIKAGUMI PAKAR BUDAYA MANCANEGARA

picture-790 (Gianyar-Humasisi) Para mahasiswa dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, pada hari  Minggu (8/6) siang ngayah menyajikan seni pertunjukan tari, karawitan, dan pedalangan dalam  ritual “Dirgayusa Bumi, Mamungkah lan Ngenteg Linggih” di sebuah pura besar Desa Pakraman  Lebih, Kabupaten Gianyar. Persembahan seni yang ditampilkan adalah Rejang Dewa, Baris Gede,  Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, drama tari Gambuh, dan tabuh-tabuh lelambatan klasik. Dalam  suasana yang komunal religius, para mahasiswa dan dosen ISI tampil dengan penuh ketulusan.  Rejang Dewa yang disajikan di areal suci pura dibawakan oleh puluhan penari wanita dengan  balutan busana putih kuning. Tari Baris Gede yang dikomandoi oleh dosen tari I Gede Surya Negara,  SST, M.Si dibawakan oleh para penari pria berbusana hitam putih tampil menghentak dan berseru-  seru. Kedua tari sakral ini menyudahi penampilannya sembari menuju ke halaman utama pura.

Sementara itu dua bentuk seni wali disajikan secara bersamaan di halaman tengah pura. Dibawah arahan dosen pedalangan I Dewa Wicaksana, SSP, M.Hum, Wayang Lemah bertutur tentang makna dari sebuah upacara agama. Tak jauh dari pementasan wayang itu, dosen pedalangan I Nyoman Sukerta, SSP, M.Si bersama dua orang mahasiswa menyuguhkan Topeng Sidakarya dengan sumber cerita babad mengisahkan nilai-nilai kehidupan dan hakikat beragama. Penampilan figur Sidakarya pada akhir pementasan melegitimasi prosesi ritual keagamaan itu. Penampilan Rejang Dewa, Baris Gede, dan Topeng Sidakarya yang mendapat perhatian masyarakat setempat itu diiringi oleh para mahasiswa Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan. Dibawah arahan dosen I Ketut Garwa, S.Sn, M.Sn dan I Pande Gede Mustika, S.SKar.M.Si, selain mengiringi tari, kelompok penabuh itu juga mengumandangkan tabuh-tabuh klasik lelambatan menyertai menit-menit awal prosesi.

Ketika prosesi sedang berlangsung, sekelompok mahasiswa dan dosen ISI menyajikan drama tari Gambuh di halaman luar pura. Tampak dosen I Nyoman Sudiana, SSKar, M.Si dan I Made Kartawan, S.Sn, M.Si memimpin para penabuh mengiringi adegen demi adegan teater total tersebut dengan gamelan yang menonjolkan alunan melodi dari beberapa suling panjang. Selain diperkuat oleh dosen Cokorda Raka Tisnu, SST, M.Si yang berperan sebagai raja, drama tari tua yang bersumber dari cerita Panji ini bawakan oleh penari-penari muda, para mahasiswa Jurusan Tari. Seusai para mahasiswa dan dosen ISI ngayah, para pimpinan Desa Pekraman Lebih menyampaikan terimakasi dan keterharuaannya atas partisipasi tulus dari perguruan tinggi seni yang dulu dikenal dengan nama ASTI/STSI itu. “Kami, masyarakat Lebih akan terus minta bantuan kepada para seniman ISI, baik untuk kepentingan upacara adat dan agama maupun untuk pembinaan seni, “ ujar Ngakan Putu Mandra, bendesa adat Lebih. Rektor ISI, Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA mengatakan selalu siap menerjunkan para mahasiswanya melestarikan dan mengembangkan kesenian di seluruh Bali bahkan hingga ke luar pulau.

Kiprah para mahasiswa dan dosen ISI ngayah di desa Lebih itu diamati secara seksama oleh puluhan pakar agama dan budaya dari mancanegara yang baru saja berkonferensi di Bali. Mereka tergabung dalam South and Southeast Asia Association for Study of Culture and Religion (SSEASR) yang bernaung dibawah International Associotion for the History of Religions (IAHR) Unesco. Ketua IAHR, Prof. Rosalind mengatakan keterlibatan seniman akademis yang begitu erat dengan lingkungan masyarakatnya hanya ditemukannya di Bali. “Keharmonisan seni dan agama di Bali sangat unik dan mengesankan,” ujar wanita asal Amerika tersebut.

Tari Udakanjali Pukau Peserta Konfrensi SSEASR

Tari Udakanjali Pukau Peserta Konfrensi SSEASR

Tari Udakanjali

Tari Udakanjali

Denpasar–  Tari garapan baru dengan judul “Udhakanjali” ciptaan Ida Ayu Wimba Ruspawati, S.ST., M.Sn., mampu memukau para peserta konfrensi internasional tadi pagi (3/6/09) dalam acara pembukaan konfrensi ke-3 SSEASR. Tari tradisi yang dikembangkan ini diawali dengan kedatangan “pemangku” yang membawa “pejati” atau perangkat upacara untuk memuja Tuhan sebagai ungkapan terima kasih dan sujud syukur kehadapan Tuhan. Orang suci bagi umat Hindu di Bali ini menghantarkan para penari menuju ke panggung untuk membawakan tarian yang bermakna “ai suci sebagai persembahan”. Tarian ini memang diciptakan pencipta khusus untuk kegiatan konfrensi yang sesuai dengan tema konfrensi yaitu Water in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion, dimana perspektif air dari Selatan dan Tenggara Asia sebagai interaksi budaya dan agama akan dibahas dalam konfrensi yang berlangsung 4 hari. Ida Ayu Wimba yang juga dosen ISI Denpasar menambahkan air adalah segala-galanya di dunia ini, dan semua makhluk didunia ini akan berakhir sebagai air. Air adalah nikmat dan karunia Tuhan yang luar biasa bagi umat manusia, air menjadi sumber kehidupan yang paling penting. Untuk itu lewat garapan tari yang berdurasi sekitar 8 menit ini diharapkan mampu membuka cakrawala kita untuk turut menjaga keberadaan air di bumi ini. Layaknya fitur air, garapan tari ini memiliki gerakan yang statis, dinamis dan murka serta desain kostum berkarakter air dengan pilihan warna biru dan putih. Tarian ini dibawakan oleh Sembilan (9) penari dari mahasiswa semester VI jurusan Tari ISI Denpasar. Menurut pencipta dipilihnya Sembilan penari karena angka Sembilan adalah nilai tertinggi dan sebagai simbul Dewata Nawasanga (pengider buana).

Sementara iringan tari akan dibawakan oleh penabuh wanita ISI Denpasar “Asti Pertiwi”. Sesuai dengan kiprahnya “Asti Pertiwi” kian terdengar dikancah seni Bali. Tak heran karena keaktivan para penabuh yang terdiri dari para dosen, staf, mahasiswa, serta seniman untuk turut mengikuti berbagai kegiatan yang berlandaskan “ngayah”. Diawali dengan kegiatan “ngayah” dikampus ISI Denpasar, kumpulan ibu-ibu ini mampu menembus kancah local, nasional hingga internasional. Aktivitas Asti Pertiwi mengemban misi Tridharma Perguruan tinggi yang salah satunya pengabdian kepada masyarakat dimulai dari ngayah berkaitan dengan uparana odalan di Pura Padma Nareswara ISI Denpasat. Awal dari itulah akhirnya Penabuh wanita ISI Denpasar “Asti Pertiwi” ini, hingga kini sudah melakukan  kegiatan ngayah di beberapa yang ada di Bali diantaranya Pura Besakih saat Odalah Bhatara Turun kabeh, Pura Batur, dan 36 pura lainnya sudah pernah dijajah untuk kegiatan “ngayah”. Selain pura-pura di Bali, Asti Pertiwi juga pernah merambah ke luar Bali yaitu Lombok, dengan “ngayah” di Pura Dalem Karangjangkong, Cakranegara, Lombok-Nusa Tenggara Barat pada tilem kedasa, tanggal 24 April 2009. Selain itu Asti Pertiwi juga pernah menorehkan sejarah dengan tampil pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke 29, tampil dihadapan Menteri Pendidikan Malaysia saat kegiatan SEAMEO Conference tahun 2007, serta tampil dalam berbagai ajang penting lainnya.

 

Asti Pertiwi dalam Pembukaan SSEASR 2009
Asti Pertiwi dalam Pembukaan SSEASR 2009

Menurut Koordinator Asti Pertiwi, Ni Ketut Suryatini, S.Kar., M.Sn., Asti Pertiwi yang didukung penuh oleh Rektor ISI Denpasar merasa bangga diberi kesempatan untuk tampil mengiringi tarian Udhakanjali dalam pembukaan Konfrensi Internasional ke-3 SSEASR. Asti pertiwi menampilkan sebuah komposisi bertema air dengan penyampaian dari bentuk syair kolaborasi antara tabuh dan gending ciptaan Ni Ketut Suryatini, S.Kar., M.Sn., beserta I Gede Mawan S.Sn. Dalam garapan tabuh ini Ni Ketut Suryatini mengungkapkan bahwa selama ini kita terlalu terlena dengan keduniawian sehingga mengabaikan pentingnya manfaat air. Jika air dalam tubuh kita diberikan perlakuan yang positif, maka air akan sangat berguna sebagai penyembuh yang sangat ampuh dan dahsyat. Demikian halnya air yang ada di alam semesta ini, kalau diberikan perlakuan yang positif maka air yang ada di alam semesta ini akan sangat memberikan manfaat yang sangat luar biasa, memberikan sumber penghidupan bagi setiap benda yang ada di alam ini. Air ciptaan Tuhan yang sangat dahsyat dan luar biasa ini merupakan jembatan dan keterkaitan antara kehidupan alam dan kehidupan manusia. Sehingga garapan tari dan tabuh ini mampu menyadarkan manusia untuk menjaga air untuk kepentingan bersama.

Guna menyambut kedatangan tamu-tamu kehormatan selain tabuh Semarpagulingan persembahan Asti Pertiwi (gabungan para dosen, staf, mahasiswa ISI Denpasar serta seniman), kedatangan tamu juga disambut dengan alunan nada gender yang dibawakan oleh 10 anak-anak yang tergabung dalam Asti Kumara (kumpulan anak-anak dosen, staf ISI Denpasar serta para seniman). Mereka adalah Made Putra Darma Yadya, I Gede Putra Darma Jaya, Gung Surya, Gung Indra, Gung Dian, Gung Angga, Gosa, Lanang, Wahyu dan Yogi. Mereka yang berlatih dibawah asuhan Ni Ketut Suryatini, S.SKar., M.Sn., mereka membawakan beberapa tabuh gender. Ketut Suryatini mengungkapkan anak-anak yang berusia kisaran 7 sampai 11 tahun ini sangat apresiasif dan responsive dalam mengikuti berbagai kegiatan seni, hingga selain sering mengikuti event-event baik upacara agama maupun acara nasional, mereka juga pernah menorehkan sejarah dengan seringnya mengikuti lomba-lomba hingga pernah mendapatkan juara 1 lomba PSR tk SD. Ketut Suryatini menambahkan sanggar yang dibinanya adalah berlandaskan “ngayah”. Berangkat dari situlah diharapkan akan mampu melahirkan generasi penerus yang memiliki moral dan mental yang baik. Sehingga guna dapat menampilkan karya terbaiknya nanti dalam pembukaan The 3rd SSEASR Conference mereka latihan secara intensif (setiap hari) dari biasanya 2 kali sehari.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Topeng Sumber Inspirasi Garapan Tari Panji Lana

Topeng Sumber Inspirasi Garapan Tari Panji Lana

Gus Surya

Gus Surya

Ida Bagus Gede Surya Peradantha, lahir di Denpasar, pada tanggal 19 Oktober 1987, tinggal di Jl. Sulatri Gg. XVII A no. 1 Kesiman, Denpasar Timur. Setelah lulus dari SMAN 1 Denpasar yang meneruskan ilmu di Jurusan Tari, Fak. Seni Pertunjukan ISI Denpasar. Dia mulai belajar menari pada umur 5 tahun, dibawah bimbingan Alm. IB Made Raka    (kakek) dan I.A.Wimba Ruspawati (Ibu). Aktif sebagai penari pada kegiatan Pesta Kesenian Bali ( PKB ) mulai tahun 1998, duta Kab. Badung. Pernah keluar sebagai juara 2 tari Baris Tunggal pada PKB tahun 1998. Pernah keluar sebagai juara 1 Tari Topeng Arsawijaya pada Pekan Seni Remaja se-Kota Denpasar tahun 2005. Belajar tari topeng pada Bpk. I Gede Oka Surya Negara, menekuni tari Topeng Arsawijaya. Belajar Tari Topeng Keras Pada Alm. IB. Made Raka (Geria Bongkasa, Abiansemal, Kab. Badung)

Dalam menempuh akhir Studi, Gus Surya, menggarap Karya tari yang akan diberi judul Panji Lana ini ditampilkan oleh lima orang penari putra dengan konsep kreasi baru. Lakon yang ingin ditampilkan adalah bersumber dari Babad Dalem Tungkub yang isi singkatnya menceritakan tentang tewasnya Arya Panji Singaraja yang kala itu merupakan Raja Bali terakhir, putra dari Raja Dalem Bedahulu. Setelah tewasnya Arya Panji Singaraja, Bali telah dinyatakan sebagai wilayah kekuasaan Majapahit. Oleh karena anak dari Arya Panji Singaraja masih remaja, dibuatkanlah sebuah topeng yang tujuannya adalah untuk mengenang wajah ayahnya yang telah wafat.  Di dalam garapan ini pula, ingin dipadukan unsur tari putra halus yang bersumber dari tari Topeng Dalem Arsawijaya, unsur tari putra keras dari Tari Topeng Keras dan memasukkan sedikit unsur-unsur gerak tari Jawa putra gagah. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan terhadap karakter yang ingin ditampilkan. Arya Panji Singaraja misalnya, digambarkan sebagai raja yang berwatak keras manis. Itulah mengapa unsur gerak dari kedua tari topeng tersebut dipadukan.

Garapan tari ini menggunakan kostum sesaputan dan menggunakan topeng sebagai properti sekaligus kostum. Topeng yang digunakan menggunakan karakter keras manis yang bersumber dari rupa Topeng Keras yang dikembangkan. Perlu disampaikan pula bahwa topeng yang digunakan memakai sistem canggem, yang pada bagian dalam topeng terdapat sekeping spons yang didesain untuk digigit oleh penarinya. Dengan demikian, maka akan memudahkan untuk melepas dan menarikan topeng tersebut terpisah dari wajah penari.

Dramatari Topeng, salah satu jenis kesenian yang inspirasi ceritanya bersumber dari Babad, merupakan kekayaan yang dimiliki oleh daerah Bali dalam bidang seni pertunjukan yang ber-genre bebali, yaitu sebagai penunjang jalannya upacara. Secara harafiah, kata topeng berarti suatu benda yang digunakan untuk menutupi muka asli pemakainya (I Made Bandem & I Nyoman Rembang, Perkembangan Topeng Bali sebagai Seni Pertunjukan. Denpasar : Percetakan Bali (Offset), 1976. hal.1). Dramatari topeng adalah pertunjukan tari berlakon yang keseluruhan penarinya menggunakan topeng sesuai dengan karakter yang  diperankan. Di Bali sendiri, kata topeng telah identik dengan istilah tapel yang juga berarti tutup muka. Eksistensi dramatari topeng dalam khasanah kebudayaan Bali merupakan sesuatu yang senantiasa harus kita banggakan dan dilestarikan. Hal ini disebabkan karena di dalam setiap pementasan dramatari topeng, selalu terkandung pesan-pesan moral, tuntunan hidup hingga mengantarkan kita mengenal kisah-kisah sejarah masa lampau yang wajib kita ketahui. Sumber lakon yang banyak digunakan dalam pementasan dramatari topeng antara lain bersumber dari Babad atau prasasti, sehingga ia pun mendapat sebutan sebaga dramatari “chronicle play“(seni pertunjukan Babad). Oleh karena ia bersentuhan langsung dengan cerita-cerita Babad, maka dramatari topeng pun dapat dikatakan sebagai media ungkap sejarah, di samping juga merupakan media pendidikan, mengungkap isi prasasti dan sebagainya. Bila diteliti lebih lanjut, di dalam setiap pementasan dramatari topeng terdapat tokoh Patih, tokoh orang tua  (dukuh, peranda ataupun patih wredha), tokoh rakyat jelata (bebondresan) dan yang terakhir tokoh Raja (Dalem). Semua tokoh ini memiliki karakter, peranan dan arti yang sangat penting dalam pementasan dramatari topeng, sesuai dengan lakon yang diambil.

Panji Lana

Panji Lana

Penggarapan karya tari jenis patopengan ini karena ketertarikan terhadap karakter gerak tari Topeng Keras yang gagah dan tegas, tari topeng Dalem Arsawijaya yang mengalun, agung dan berwibawa. Tidak lupa pula menilik pada potensi yang dimiliki, khususnya di bidang tari patopengan, menjadikan penata merasa tergugah dan tertarik untuk melahirkan sebuah karya tari kreasi baru jenis patopengan yang masih bernafaskan tradisi. Ketertarikan ini muncul dengan sendirinya manakala penata mulai terjun ke dalam pementasan Dramatari Topeng beberapa tahun belakangan ini. Di samping itu pula, lakon garapan yang ingin dilahirkan merupakan cerita Babad yang belum begitu awam terpublikasikan. Cerita Babad yang dimaksudkan ialah Babad Dalem Tungkub yang menceritakan tentang terciptanya sebuah topeng Sidakarya yang sekarang masih tersimpan di Br. Buruwan, Desa Sanur, akibat dari penaklukan penguasa Bali pada jaman dahulu yaitu Arya Panji Singaraja oleh Patih Gajah Mada. Cerita Babad ini bila dikaji untuk kepentingan seni tari, dirasa memiliki alur yang akan mampu memberi rangsangan estetis dalam berkarya dan akan menarik bila dikemas ke dalam bentuk karya tari, karena nuansa yang terkandung di dalamnya seperti keagungan, ketegangan, konflik dan penyelesaiannya mempunyai benang merah yang jelas.

Loading...