Simbolisme Air Dalam Teks Tantu Panggelaran Oleh Turita Indah Setyani

Simbolisme Air Dalam Teks Tantu Panggelaran Oleh Turita Indah Setyani[1]

Makalah pada Seminar Internasional:

Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion

3rd SSEASR Conference, Bali Island, Indonesia June 3-6, 2009

Membahas tentang air dapat dilihat dari berbagai aspek dalam kehidupan ini. Kita mengetahui dalam tubuh manusia terdiri atas 70 % air. Itu menyiratkan bahwa air sangat penting bagi tubuh manusia dan di dalam kehidupan ini. Bagi tubuh manusia dan dalam kehidupan sehari-hari air digunakan untuk minum. Selain itu, air juga dibutuhkan untuk kesehatan, sehingga disarankan meminum air 10-12 gelas (2,5-3 liter) per hari untuk bersirkulasinya cairan dalam tubuh supaya tidak terjadi pendendapan-pengendapan. Hal itu juga  dimaksudkan untuk pembersihan dari suatu penyakit. Di beberapa daerah, khususnya Jawa dan sekitarnya, air dianggap suci karena digunakan sebagai sarana ritual-ritual, baik untuk pembersihan atau pensucian diri (mandi air kembang) maupun benda-benda pusaka (jamasan). Bahkan dalam agama air juga sebagai simbol pensucian diri. Misalnya dalam agama Islam, air digunakan untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat; dalam agama Katholik, air digunakan untuk pembaptisan. Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa air digunakan sebagai simbol pensucian atau pembersihan dari kekotoran atau dari segala sesuatu yang bersifat tidak suci. Bagi manusia, pensucian atau pembersihan terhadap diri dari kekotoran fisik atau dari pikiran-pikiran duniawi. Penamaan air pun muncul dengan beberapa istilah yang dibedakan menurut maknanya masing-masing, khususnya dalam kehidupan masyarakat Jawa, air atau banyu, toya, way/wai (bahasa Jawa Kuna) disebut juga tirta (udhaka, Sansekerta). Pepatah Jawa meyebutkan “Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana, agama ageming diri.” Untuk memaknai hal semacam itu tentunya dibutuhkan pengetahuan simbolis berdasarkan latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai simbol pensucian diri.

Air pun banyak dibicarakan dalam karya-karya sastra Jawa, di antaranya menyebutkan juga bahwa air sebagai sumber kehidupan. Salah satu karya sastra tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah teks Tantu Panggelaran (TP). Karena teks TP merupakan karya sastra Jawa, maka untuk mengungkapkan makna simbolik di dalamnya dibutuhkan pengetahuan simbolis yang berkaitan dengan latar belakang budaya Jawa. Sementara itu, teori yang digunakan untuk memaknai simbol-simbol adalah yang dikemukan oleh Charles Sanders Peirce. Ia menyatakan bahwa simbol yaitu tanda yang paling canggih karena sudah berdasarkan persetujuan dalam masyarakat (konvensi). Contoh: bahasa merupakan simbol karena berdasarkan konvensi yang telah ada dalam suatu masyarakat. Selain itu, rambu-rambu lalu-lintas, kode simpul tali kepramukaan, kode S.O.S. juga merupakan simbol. Menurut Peirce dalam hubungan pembentukan


[1]
[1] Staf Pengajar pada Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Program Studi Jawa, FIB UI, gedung 3 lantai 1. Kampus UI, Depok. Tlp./Fax. 021-78880208. Hp 081319570009 atau 021-93846124. Email: [email protected]

Selengkapnya dapat diunduh di sini

Hindu Ritual Of Ngotonin In Bali

Hindu Ritual Of Ngotonin In Bali

(A Discourse Analysis Approach)

By

I Made Rajeg, Luh Putu Laksminy, and Ni Luh Ketut Mas Indrawati

Balinese culture, in the course of its growth, has been passing a long road of history. It is mirrored by the firm bond of Balinese culture and Hindu since the beginning of the Anno Domini age, and by the integration within the skeleton system of national culture and modern era as well. (Mantra, 1993:11; Geria, 1995:91; Pitana, 1998:28-29).

Hindu, as one element of Balinese cultures, provides paths for Hindus to get closer to their Maker, their God; one of them is through Yadnya. The teachings related to yadnya is named Panca Yadnya, i.e. five kinds of yadnya ceremonies or sacrificing ceremonies. One of the ceremonies is  Manusa Yadnya (sacrifice ceremony to humankinds). Ngotonin ritual, one kind of Manusa Yadnya, is carried out to humans in their age of six months, and is regularly held in the interval of the next six months during their lives. Ngotonin has a deeply religious emotion – not only a form of human effort to protect an individual and rinse the darkness of their thoughts out, but also to clean up the way humans think since it is believed only from the holly and purified humans’ thoughts are the positive ideas, which are beneficial for themselves and others, born they mark, with sometimes elaborate purifica­tion ceremonies. (Wenten, 1999:1-12, Upadesa (1978:63; Koentjaraningrat, 1985: 40-46; Eiseman, 1988: 84). The prayer produced orally in the process of ngotonin ritual is a language in use, whatever the form it takes and indicates the relationship between language, culture and structure, considering the social structure as one part of the social system. The spoken prayer can be recoded in written text and becomes the reflection of Balinese culture and give the identity symbol of ethnic groups if it is seen from its context of situation in which it is used.

It is very important that a text is characterized by coherence, it hangs together and an important contribution to coherence comes from cohesion as these sets of linguistic resources that every language has (as part of textual meta-function) for linking one part of the text to another. (Halliday and Hasan, 1976: 1). The text consists of some features of the context of situation. It is important for us to know the context of situation of a text. By knowing the context of situation of a text we will be able to predict what are other people going to say and by doing so we understand what he or she does say (Koentjaraningrat, 1985: 40-46, Halliday (1985). This study will concern with the function of spoken prayer that is recoded in written text by relates it to context of situation.

Download click here

Pembukaan Pengenalan Kegiatan Akademik dan Kemahasiswaan (PKAK) ISI Denpasar 2009

Pembukaan Pengenalan Kegiatan Akademik dan Kemahasiswaan (PKAK) ISI Denpasar 2009

IMG_67101-copy Denpasar-Setelah rentetan acara Pendaftaran mahasiswa baru ISI Denpasar, Testing  Masuk dan Pengumuman Penerimaan Mahasiswa Baru ISI Denpasar yang telah berlalu,  Maka pada hari Rabu(26/8) dilaksanakan Acara Pembukaan Pengenalan Kegiatan  Akademik dan Kemahasiswaan ISI Denpasar Tahun 2009 yang dilangsungkan di gedung  Natya Mandala ISI Denpasar, yang tampak hadir Rektor ISI Denpasar, Para Pembantu  Rektor, Dekan kedua Fakultas, Jajaran Struktual, Kepala Biro Akademik dan  Kemahasiswaan, Dosen, Pegawai, Panitia dan Calon Mahasiswa baru. Acara ini  rencananya akan berlangsung dari tanggal 25-31 2009 dan rencananya dilanjutka dengan  Kegiatan Kersos (Kerja Sosial) dimana untuk FSRD akan dilaksanakan di Baturiti dan  untuk FSP dilaksanakan di Klungkung.

Menurut Ketua Panitia sekaligus Pembantu Rektor III ISI Denpasar Drs. I Made Subrata, MSi jumlah calon mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan adalah 209 orang, dengan Perincian Fakultas Seni Pertunjukan 70 (Tari 34, Karawitan 28 dan Pedalangan 8 orang), sedangkan Fakultas Seni Rupa dan Desain berjumlah 139 orang(Seni Rupa Murni 36, Desain Interior 25, DKV 75 dan Kriya Seni 5 orang). Acara penerimaan mahasiswa baru di ISI Denpasar disesuaikan dengan aturan yang diamanatkan oleh DIKTI Depdiknas yang menganjurkan untuk menghindari tindakan keras dan berbau “balas dendam”. Acara akan diarahkan lebih ke akademis berupa ceramah, pengenalan kampus, tata cara perkuliahan, kewirausahaan, kelembagaan mahasiswa dan lainnya. Semoga dengan pengarahan ini calon mahasiswa lebih mengembangkan sikap dan pola akademis dalam mengasah kemampuan intelektual seni dan desain sesuai dengan bidang ilmunya. Uniknya acara ini akan ditutup dengan “Pawintenan Saraswati” pada Hari Senin (31/8).

Senada dengan yang disampaikan oleh Subrata, Rektor ISI Denpasar Prof. Dr.  I Wayan Rai S., MA menyambut gembira dan mengucapkan selamat datang bagi calon-calon mahasiswa Baru.  Memang untuk acara pengenalan akademik dan kemahasiswaan tahun ini dititik beratkan kepada apa yang telah digariskan oleh DIKTI yaitu Pengembangan Pendidikan Nasional lewat Renstra Pendidikan Nasional yang bertemakan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”. Implementasi dari semua ini dapat dilihat dalam acara pengenalan akademik ini dimana unsur-unsurnya dapat dilihat dari Olah Kalbu (Ketuhanan), Olah Pikir(kecerdasan intelektual), Olah Rasa(pergaulan & etika) dan Olah Raga (kesegaran Jasmani). Yang paling penting dalam kegiatan ini juga memberikan ceramah tentang kewirausahaan, dimana pada saat sekarang ini industri kreatif sangat berkembang, diharapkan lulusan ISI Denpasar tidak hanya mencari kerja, tapi dapat membuka lapangan kerja baru sesuai dengan bidang ilmunya. Juga terdapat pengarahan pengembangan Soft Skill atau keahlian tambahan diluar bidang ilmunya yang didapat di kampus. Semua ini bermuara kepada komitmen ISI Denpasar untuk meluluskan lulusan yang mumpuni di bidang seni dan desain tapi juga bermoral, profesional, mempunyai wawasan entrepreneur, networking, sehat jasmani-rohani dan berjiwa sosial. Setelah pembukaan Prof. Rai juga memberikan ceramah dengan judul “Paradigma Pendidikan Tinggi Seni Indonesia” yang diikuti oleh seluruh mahasiswa baru dengan semangat.

Acara tersebut berlangsung dengan khidmat, tampak wajah-wajah mahasiswa baru dengan “dandanan” khasnya. Semoga ini merupakan modal bagi ISI Denpasar untuk mewujudkan visi dan misinya.

Notions of Evil Today: Perspectives of Sixth Graders in Manila by Dr. Rito V. Baring

The challenge of finding out the relevance of traditional religious notions remains a fresh concern for the local church in the Philippines, a predominantly Christian nation in the heart of Asia. Enriched by its diverse religious traditions, the Philippines no doubt stand as a witness to the constant quest to find meaning about one’s faith. In general, there is the quest to find the relevance of faith practices within the daily grind of life. Within this picture, there is the search for religious meaning which is given life through inquiries that ask about the truths proposed in the Christian faith.  The search for religious meaning is captured in the specific inquiry to make sense out of the growing demands and difficulties of life. Today questions about God and evil are raised to address the difficulties between the spiritual and the material. Traditionally, the question of God and evil are raised in the level of adults who raise the cry of pain or protest. Nothing much is heard, from a religious angle, about children’s notions for the simple reason that their mindset is too simple to handle such a delicate subject. How has the question of evil reverberated in the consciousness of the young pupils today? Hence, this paper seeks to address that issue by finding out how sixth graders interpret “evil” today. In particular, this paper wants to know how the sixth graders from selected public schools in Manila appropriate notions of evil today by evaluating their contemporary concepts of evil. This paper shall therefore describe the essential aspects of their notion of evil as gleaned from survey data from the students and shall analyze how emergent themes that are taken from their notions reflect particular popular mindsets.

The problem of Evil

The challenge of writing about evil rests on these framed limitations: (a) that it had always been defined as a negative reality in Christian sources, (b) that most discourses if not all takes evil in terms of its relationship to God and the good, (c) that by these characteristics, evil do not enjoy an epistemological distinction as a reality. The first two difficulties reflect traditional theological and Christian discourses on evil. Of late, current attempts have tilted towards rational discourses. In particular, philosophical and ethical discussions have proliferated in academic circles and literature. Indicative of this are the recent works of some scholars in the ethical practice such as that of Susan Neiman and Claudia Card. From the theological field, theological discussions remain anchored in traditional categories such as creation, God and spirituality.

Download click here

Puluhan Dosen ISI Denpasar Mengikuti Penataran Terapan AA

Puluhan Dosen ISI Denpasar Mengikuti Penataran Terapan AA

Foto-Bersama-Rektor-ISI-dng-Ketua-BPM-UnudDenpasar– Sebanyak 25 dosen yang terdiri dari 12 dosen dari Fakultas Seni Pertunjukan dan 13 dosen dari Fakultas Seni Rupa dan Desain), mengikuti penataran program pendekatan terapan (Applied Approach) atau biasa dikenal dengan AA. Menurut ketua Badan Penjaminan Mutu (BPM) ISI Denpasar, Drs. I Wayan Gulendra,  M.Sn., pelatihan Program Pelatihan Ketrampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) dan AA adalah salah satu usaha lembaga untuk meningkatkan mutu dosen yang profesional dalam melakukan proses pembelajaran, selain melalui peningkatan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pelatihan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi dosen dalam memahami berbagai teori pembelajaran yang seharusnya dipahami dan dilaksanakan secara baik dan benar dalam pembelajaran. Paradigma pendidikan telah mengalami perubahan yang sangat pesat, dengan adanya rekonstruksi kurikulum yang berbasis kompetensi. Cara pembelajaran yang terencana baik metode maupun pemilihan media pembelajaran dengan penggunaan teknologi informasi. Pemahaman metode dan media pembelajaran sangat penting bagi para dosen, karena pembelajaran merupakan satu proses interaksi yang sistematis untuk mencapai proses perubahan peningkatan intelektual dan pola tindak bagi peserta didik.

Sementara Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A saat membuka acara Pelatihan AA menyampaikan, pengertian kompetensi sebagaimana dijabarkan dalam Kepmendiknas adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu. Elemen-elemen kompetensi itu sendiri meliputi: (1) kompetensi dalam artian memiliki kepribadian yang terpuji; (2) kompetensi dalam penguasaan ilmu dan ketrampilan; (3) kompetensi dalam arti kemampuan berkarya atau bekerja jika kelak setelah mereka menamatkan perkuliahan; (4) kemampuan untuk bersikap dan berprilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; dan, (5) kemampuan untuk memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Kompetensi juga berarti kecakapan hidup (life skill) yaitu kompetensi riil yang diharapkan oleh mahasiswa kelak kalau mereka menjadi sarjana, baik dalam pola kompetensi dasar maupun instrumental.

Program Pendekatan Terapan (Applied Approach) berlangsung dari tanggal 25 – 27 Agustus 2009 yang bekerjasama dengan Badan Penjaminan Mutu (BPM) Universitas Udayana, diantaranya Prof. Dr. Windia, Prof. Aron Mbete, Prof. Nyoman Norken, Dr. Nyoman Rai, Dr. Gd. Wijana, Prof. Ketut Sudibya, Dr. M. Alit Karyawan, Prof. Sayang Yupardi, Dr. W. Simpen serta Dr. I Nengah Sujaya.

Loading...