Fenomena dan Dampak Arus Globalisasi Terhadap Perkembangan Kesenian Joged Bumbung

Kiriman :  I Nyoman Mariyana ( Mahasiswa Pascasarjana (S2) ISI Denpasar )

Joged Bumbung

Gamelan joged bumbung adalah sebuah barungan gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi tarian joged bumbung, sebuah tari pergaulan yang ada di Bali. Dalam tarian ini,  seorang penari wanita berhiaskan sejenis legong menjawat (memilih) seorang penonton untuk di ajak menari. Gamelan joged bumbung disebut juga gamelan grantangan, karena pokok-pokok instrumennya adalah grantang yaitu gender yang terbuat dari bambu, berbentuk bumbung dan memakai laras selendro lima nada. Larasnya serupa dengan gamelan gender wayang. Dalam buku Evolusi Tari Bali, gamelan joded bumbung disebutkan “bumbung” berarti tabung (bamboo), sebuah istilah untuk memberikan nama kepada seperangkat gamelan joged. Dalam hal ini ialah gamelan joged bumbung (proyek panggilan/pembinaan seni budaya klasik/tradisional dan baru). Bila dilihat dari instrumentasinya, gamelan Joged Bumbung terdiri dari berbagai instrumen diantaranya ;

Selengkapnya dapat unduh disini

Reportase : Lenggang Maco, Sebuah Kepedulian Terhadap Musik Keroncong Di Denpasar

Kiriman : Tri Haryanto ( Dosen Jurusan Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan )

Abstrak

Musik keroncong di Denpasar menggeliat lagi melalui acara Lenggaang Maco RRI Denpasar. Lenggang Maco adalah singkatan dari nama acara Berlenggang Bersama Irama Keroncong. Diawali dengan acara Pilihan Pendengar Musik Keroncong RRI Denpasar pada 2000 – 2004, akhirnya berlanjut dengan acara pilihan pendengar musik keroncong dengan iringan karaoke dan organ tunggal. Grup musik keroncong dan sekitarnya pun antusias dengan acara ini dan ikut meramaikan acara tersebut. Pada awal 2006 acara Pilihan Pendengar Musik Keroncong berubah namanya menjadi “Lenggang Maco” (Berlenggang Bersama Irama Keroncong) dengan iringan musik keroncong lengkap hingga sekarang. Melalui acara Lenggang Maco, pendengar bisa terpuaskan  menikmati dan ber-interaktif ikut bernyanyi, sesuai dengan lagu keroncong yang disukainya. Di tengah perkembangan musik modern seperti saat ini, grup keroncong di Denpasar hampir selalu mementaskan lagu-lagu hits zaman sekarang. Jenis musiknya lagu-lagu pop Indonesia, lagu-lagu daerah Bali, sampai lagu dangdut dibawakan dengan musikal khas keroncong. Penyajian hanya untuk hiburan dan kebutuhan layanan kepada masyarakat agar tidak bosan dengan keroncong asli. Melalui acara Lenggang Maco, merupakan sebuah bentuk kepedulian pemerintah melalui RRI Denpasar terhadap perkembangan musik keroncong di Bali, khususnya di Kota Denpasar

Kata kunci: Pilihan Pendengar, Interaktif, Kepedulian, RRI Denpasar

Selengkapnya dapat unduh disini

Pelacakan Alumni/Tracer Study 2018

Pusat Penjaminan Mutu (PPM) Institut Seni Indonesia Denpasar melaksanakan Pelacakan Alumni/Tracer Study 2018. Untuk itu dimohonkan kepada segenap alumni ISI Denpasar lulusan tahun 2016, agar berpartisipasi dalam pengisian data tersebut. Atas keikutsertaannya dalam pengisian formulir Tracer Study ini, PPM ISI Denpasar mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

Form Tracer Study Tahun 2018

Tahun Saka Dalam Kebudayaan Bali

Kiriman : I Gede Mugi Raharja ( Dosen FSRD Institut Seni Indonesia Denpasar )

Abstrak

Pemberlakukan tahun Saka di Indonesia merupakan peristiwa sejarah tentang kedatangan Pendeta Aji Saka dari India ke Pulau Jawa. Peristiwa sejarah ini kemudian diberi cerita tambahan, sehingga menjadi sebuah legenda. Legenda inipun bercampur lagi dengan tambahan pendewaan tokoh, sehingga ia menjadi mitos. Pendeta Aji Saka adalah keturunan bangsa Saka dari Kshtrapa Gujarat (India). Tiba di Pulau Jawa dan mendarat di Desa Waru, Rembang (Jawa Tengah) pada 456 Masehi. Sejak kedatangan Pendeta Aji Saka di tanah Jawa, diberlakukanlah Tahun Saka di Nusantara. Pemberlakuan tahun Saka telah dimulai sejak Raja Kanishka I naik tahta pada 78 Masehi. Raja Kanishka I adalah raja dari dinasti Kushana (Kuei-shuang), keturunan dari bangsa Yueh-chi di Turkestan. Setelah mengalahkan bangsa Saka di Baktria, bangsa Kushana menetap di Baktria dan memberlakukan tahun Saka sebagai penanggalan resmi kerajaannya. Pemberlakuan tahun Saka oleh Raja Kanishka I, merupakan sikap hormat dan simpati kepada suku bangsa Saka yang telah memiliki tradisi penanggalan sejak 58 SM. Pelaksanaan Tahun Baru Saka di Indonesia, khususnya di Bali, dilakukan setelah  pelaksanaan upacara kurban suci pada tilem sasih kesanga (bulan mati pada Maret). Upacara ini adalah untuk mengharmoniskan unsur-unsur alam (bhuta). Oleh karena itu, perayaan Tahun Baru Saka dimulai dengan aktivitas “menyepi” tanpa aktivitas setelah alam di-nol-kan melalui upacara tawur tilem sasih kesanga. Perayaan tahun Baru Saka inilah yang disebut Hari Raya Nyepi. Tahun Saka juga dicantumkan pada saat pembuatan karya seni atau bangunan pada masa Bali kuno sampai era Bali madya (sebelum era kolonial), yang disebut pasasangkalan.

Kata Kunci: Aji Saka, Kanishka, Tawur, Nyepi, Pasasangkalan.

Selengkapnya dapat unduh disini

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Kiriman : Dyah Kustiyanti ( Mahasiswa ISI Denpasar )

ABSTRAK 

Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian, upacara, dari generasi ke generasi, dari leluhur ke anak cucu, secara lisan (Poerwadarminta, 1985: 1088). Tradisi yang diterima akan menjadi unsur yang hidup dalam kehidupan pendukungnya. Tradisi ini akan tetap dilakukan dan diteruskan selama para pendukungnya masih melihat manfaat dan menyukainya. Suka atau tidak generasi penerima akan hidup di tengah-tengah tradisi, masyarakat, pola pikir, maupun karya seni masa lalu. Rendra (dalam Murgiyanto 2004: 2) mengungkapkan, bahwa tanpa tradisi pergaulan bersama akan kacau, dan hidup manusia akan bersifat biadab…, namun demikian nilainya sebagai pembimbing akan merosot apabila tradisi mulai bersifat absolut. Dalam keadaan serupa ia tidak lagi menjadi pembimbing, melainkan menjadi penghalang bagi pertumbuhan pribadi dan pergaulan bersama yang kreatif.

Seni tradisi menyediakan bahan baku yang luar biasa banyak, meliputi aspek “spiritual” (semangat, nilai, simbol) dan aspek “material” (fisik: struktur, alur, gerak, penokohan), yang setiap saat siap untuk diciptakan kembali. Seni tradisi tidak akan pernah habis untuk dikupas sebagai sumber acuan penciptaan di masa mendatang, karena di dalamnya tidak saja mengandung beragam cabang seni, seperti seni drama, tari, karawitan, lukis, sastra, tata cahaya, tata suara, akan tetapi juga memuat nilai-nilai filsafat yang dalam, sekaligus sebagai tuntunan budi pekerti yang luhur dan ajaran hidup yang lebih baik lagi. Sebagai wujud kreativitas seni, sudah pasti seni tradisi memiliki nilai-nilai yang adiluhung.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah nilai-nilai dalam seni tradisi masih relevan dan bermanfaat untuk menyikapi kehidupan dunia modern masa kini? Dalam hal ini diperlukan kecerdasan dan kearifan dalam mengelola, menyikapi, serta memahami seni tradisi dalam rangka mengisi dunia global. Oleh karena menyangkut masalah nilai-nilai yang esensial, maka sudah menjadi tugas dan kewajiban seniman untuk terus berusaha mencari bentuk kreativitas, alternatif garapan dengan kedalaman nilai yang sekiranya mampu  bertahan menjangkau masa depan.

Memasuki era global, era yang penuh tantangan dan persaingan, setiap seniman perlu meningkatkan keahliannya, agar tetap eksis di tengah-tengah persaingan tersebut. Untuk menjadi seorang seniman tari, karawitan, maupun pedalangan yang baik, tuntutan kreativitas, wawasan luas, kecerdasan, dan pengetahuan menjadi sangat krusial, agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Sebagai seni tradisi yang memiliki kemungkinan untuk diciptakan kembali, bentuk sastra tradisi dan tari tradisi mempunyai peluang dan kemungkinan yang luas sebagai sumber inspirasi/ ide penciptaan seni lainnya. 

Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...