Merajut Indonesia Lewat Kesenian Bali

Merajut Indonesia Lewat Kesenian Bali

Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS.Seni Karawitan, ISI Denpasar

Kesenian Bali kini bukan hanya diakrabi oleh orang Bali saja. Di tengah kebhinekaan seni dan budaya Indonesia, gamelan dan tari Bali khususnya, juga dicintai oleh saudara sebangsa. Simaklah penampilan anak-anak dan para remaja Jakarta pada arena Pesta Kesenian Bali (PKB), Minggu (5/7) siang lalu di Wantilan Taman Budaya Bali. Mereka yang bernaung dibawah Lembaga Kebudayaan Bali (LKB) Saraswati yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta itu, membuat tertegun penonton lewat sajian tabuh dan lenggang tarinya.

            Selain menyuguhkan gending “Jaya Semara“, “Gilak Jagul“, dan “Gesuri“ yang dibawakan oleh gabungan penabuh anak-anak dan remaja, LKB Saraswati Jakarta yang berdiri sejak tahun 1968 ini juga menampilkan penabuh pria dewasa. Konser dengan menyajikan dua tabuh kreasi, “Gora Merdawa“ dan “Gelar Sanga“ itu cukup memukau penonton. Mereka, para penabuh itu, semuanya memang berasal dari Bali namun telah puluhan tahun merantau dan menetap di ibu kota negara. Pergulatan mereka menekuni kesenian Bali di Jakarta, kali ini, dipersembahkan untuk masyarakat Bali.

            Gamelan dan tari Bali telah menunjukan geliatnya di Jakarta sejak tahun 1970-an lewat sanggar-sanggar seni. LKB Saraswati adalah salah satu wadah bagi masyarakat Jakarta dan orang-orang urban Bali mengenyimpungi gamelan dan tari Pulau Dewata. Lembaga yang mengusung motto “Kesenian untuk Kedamaian dan Persaudaraan“ yang dipimpin I Gusti Kompiang Raka ini,  telah mengangankan sejak lama untuk bisa tampil di PKB. “Kendatipun berkecimpung di Jakarta, kiblat berkesenian kami tetap pada dinamika perkembangan gamelan dan tari yang terjadi di Bali,“ ujar seniman asal Banjar Kutri, Singapadu, Gianyar, ini, sebelum pementasan.

            Anak-anak dan remaja Jakarta yang menggeluti tari Bali pada LKB Saraswati, juga diajarkan gamelan Bali, baik berupa iringan tari maupun tabuh instrumental. Siang itu, dengan percaya diri mereka menabuh gamelan Gong Kebyar. Uniknya, mereka tak berpakaian penabuh melainkan berkostum tari yang akan dipakai tampil menari setelah menabuh. Beberapa orang berpakaian tari Margapati memainkan instrumen gangsa. Ada yang berbusana tari Manukrawa memukul ugal. Ada lagi, beberapa orang memakai pakaian tari Satya Brasta berpencar memainkan reong, jublag, cengceng, dan kajar. Tiga gending mampu mereka mainkan dengan lancar.

            Seusai menabuh, mereka kemudian menari dengan iringan para penabuh dewasa tadi. Selain menyuguhkan tari angkatan lama seperti Panji Semirang dan  Margapati yang dibawakan secara masal, anak-anak dan remaja Jakarta ini juga mementaskan tari kreasi seperti Manukrawa, Satya Brasta, Saraswati, Rebong Puspamekar, dan Gadung Kasturi. Skil tari yang mereka tunjukkan cukup bagus. Bahkan kemampuan wirasa (ekspresi atau mimik) mereka rata-rata sangat mantap. Tari kreasi Satya Brasta ciptaan Nyoman Cerita yang mengisahkan kepahlawan Gatotkaca dalam perang Bharatayuda, misalnya,  dibawakan cukup apik, yang, seluruh penarinya adalah remaja putri.

            Jagat tari Bali di Jakarta memang umumnya diminati oleh kaum wanita. Mereka berasal dari beragam latar belakang etnis seperti Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Menado, Bugis hingga keturunan Cina. Begitu pula mereka yang berkesenian di LKB Saraswati. Sadar pentingnya kemesraan persaudaraan sebangsa itu, dalam penampilannya di arena PKB, secara khusus mereka menggarap tari “Rampak Nusa“ yang mengekspresikan sebuah rajutan, penghormatan, dan perayaan terhadap kemajemukan budaya Indonesia lewat mosaik tari bernuansa Nusantara.

            “Rampak Nusa“ dibawakan oleh 13 orang penari. Diawali dengan penampilan semacam ritual keagamaan yang diwakili oleh tari Rejang dan Baris. Selanjutnya dalam anyaman musik gamelan dan lenggang tari, penonton seakan dibawakan keliling Nusantara lewat penggalan-penggalan tari disertai lagu yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Tari Giring-giring (Kalimantan), Saman (Aceh), Gending Sriwijaya (Sumatera), Pakarena (Sulawesi) dan sebagainya silih berganti mengayun penonton. Pada klimaksnya, seluruh penari yang berbusana berornamen Bali bersatu perpegangan tangan dibawah kibaran bendera merah putih yang diacungkan penari Baris.

            Esensi damai jagat seni dipercaya memiliki spirit menumbuhkan kasih persaudaraan antar sesama. Bagi Indonesia yang bersemboyan bhineka tunggal ika, seni adalah salah satu perekat bangsa yang ampuh. Untuk itulah rupanya, anak-anak dan para remaja Jakarta yang mereguk keindahan gamelan dan tari Bali di LKB Saraswati Jakarta, kali ini diterjunkan langsung agar mengenal dan menghayati lebih dekat lingkungan budaya Bali. Selain tampil dalam PKB, anak-anak dan remaja Jakarta ini juga berkesempatan pentas ngayah  di Pura Desa, Kutri, Singapadu, Gianyar, pada Jumat (3/7) malam lalu.

            Di tengah suasana odalan nan komunal, penampilan penabuh dan penari LKB Saraswati Jakarta itu, disaksikan dengan antusias penonton setempat. Tampaknya terjadi komunikasi dari hati ke hati lewat media pentas gamelan dan seni tari tersebut. Para penonton tampak menunjukkan respek yang tinggi terhadap kemampuan menabuh dan menari yang disajikan oleh tim kesenian dari Jakarta itu. Sebaliknya para penabuh dan penari itu pun menampakkan rona berbinar suka cita.

Merajut Indonesia Lewat Kesenian Bali selengkapnya

Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

 Budaya masyarakat Bali yang sarat aktivitas keagamaan, adat, dan seni dengan  konsep dasar sistem simbol yang menyatu dan berhubungan erat dengan keyakinan dan kepercayaan pada dewa-dewa maupun totemisme. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku kebudayaan diwujudkan secara  yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud “kelakuan” maupun  material culture “hasil karya kelakuan.

Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup hanya diberi perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita bersama khususnya PHDI (Parisada Hindu dharma Indonesia) yang wajib dan berkepentingan dibidang tersebut. Generasi kini tanpa diharapkan telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbul-umbul sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Padahal umbul-umbul terkait erat dengan sarana ritual keagamaam.  Perubahan yang kerap terjadi pada jenis  umbul-umbul berdasarkan pengamatan yang dilakukan terletak pada penempatan dan struktur yang ada. Kesamaan struktur umbul-umbul yang dijadikan sarana upacara keagamaan dengan yang dijadikan dekorasi dibeberapa tempat umum hampir tidak ada perbedaan. Menurut ketua Parisada Hindu dharma Indonesia umbul-umbul yang disakralkan hendaknya diisi gantungan. Gantungan yang dimaksud mungkin bentuk jantung/hati yang ada pada ujung umbul-umbul. Sedangkan menurut Ida Pedanda Gde Pasuruan dari Griya Sibetan Karangasem, yang terpenting dalam umbul-umbul selain ada gambar naga taksaka sebagai penguasa alam atas, harus ada sigi tiga pada ujungnya. Dan ujungnya itulah sebenarnya yang disebut umbul-umbul. Adapun makna dari umbul-umbul tersebut adalah  nada atau aksara nada. Makna dari naga itu sendiri adalah sebagai penuntun atau tali penuntun yang menghubungkan umat dengan tuhannya dalam upaya mendapatkan  merta atau kesejahteraan. Sedangkan menurut Ida Bagus Sudarsana seorang agamawan, hiasan umbul-umbul adalah naga gombang sebagai simbol air dan kekuatan wisnu dengan aksara Ungkara.

Untuk mendapatkan ukuran umbul-umbul yang ideal atau paling tidak yang telah tersebar dikalangan masyarakat Hindu Bali,  perlu kiranya ada suatu acuan yang dapat dijadikan  standard yang  keberlanjutan. Dilihat dari data lapangan yang ada, variasi warna, bentuk, dan ukuran  masih sangat beragam. Sifat adaptif dan  pleksibel masyarakat Bali tidak saja dalam menyerap budaya luar, juga digunakan ketika membuat sarana ritual keagamaan khususnya umbul-umbul. Serapan yang diinginkan adalah mencari bandingan guna  mendapatkan ukuran umbul-umbul yang tepat untuk sarana ritual keagamaan. Secara  tradisional Bali, umbul-umbul dibuat dengan menggunakan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh. Adapun hitungan tersebut biasanya terkait dengan fungsi seperti: hitungan Candi sangat baik untuk membuat bangunan suci, hitungan Rebah tidak baik untuk digunakan, hitungan Gunung sangat baik untuk membuat umbul-umbul, dan hitungan  Rubuh  juga tidak baik untuk dipergunakan. Untuk mendapatkan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh, menggunakan hitungan hasta yaitu mulai dari siku sampai dengan ujung jari tangan. Seperti yang telah diingatkan sebelumnya, mengukur apapun tetap pengguna atau pemiliklah yang  diukur.

Dilihat dari fisik dan rupa, umbul-umbul terbuat dari lembaran kain berbentuk segi tiga memanjang/meninggi yang semakin ke atas semakin mengecil/mengrucut dan pada ujungnya dihiasi dengan segi tiga. Ukuran lebar  kain umbul-umbul dihitung dengan lengkat dan tetap menggunakan perhitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh. (lihat Anak Agung Gde Rai Sudadnya).

Wawancara dengan PHDI Pusat di IHDN Denpasar diperoleh data antara lain bahwa tidak ada kejelasan standard tentang eksistensi pengawin sakral dan tidak sakral. Ukuran sakral dan tidak sakral ditentukan oleh upacara penyucian sebelum pengawin tersebut digunakan. Adanya berbagai bentuk, ukuran, dekorasi dan pemanfaatannya sangat ditentukan oleh kreatifitas perajin dan penggunanya. Sumber lain dari Ida Pedanda Gde Pasuruan juga menyebutkan bahwa tidak ada pedoman yang jelas pengawin sakral dan tidak sakral dilihat dari bentuk, ukuran, warna dan penempatannya.

Berdasarkan penelusuran bentuk dan warna visual pengawin sejak tahun 1910 yang diperoleh dari berbagai foto Tropen Museum Leiden sampai sekarang, bahwa sejak dahulu tidak ada perbedaan yang nyata tentang eksistensi pengawin sakral dan tidak sakral. Namun  sumber dari beberapa pendeta (Siwa dan Buda) menyebutkan bahwa sakralisasi sebuah umbul-umbul dapat ditentukan oleh adanya bentuk nada pada ujung kain umbul-umbul.   Sakral juga ditentukan oleh sikap masyarakat mengamankan  alat-alat tersebut semestinya dirahasiakan (pingit) dan dikeluarkan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan. Misalnya Tari Baris China di Renon Denpasar, hanya bisa dipentaskan pada saat upacara piodalan di pura tersebut. Gambelan gong gede di Desa Sidatapa Singaraja hanya bisa ditabuh pada saat odalan di pura setempat.

Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali, selengkapnya

Konsep Estetika Dan Teknis Dalam Bingkai Ergonomi Total Pada Desain Interior

Konsep Estetika Dan Teknis Dalam Bingkai Ergonomi Total Pada Desain Interior

ORASI ILMIAH

Pada Acara

PENGUKUHAN DAN PENGENALAN GURU BESAR

Prof. Dr.Drs. I Nyoman Artayasa., M.Kes

Guru Besar Bidang Desain Interior

Program Studi Desain Interior

Jurusan Desain

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

OM SWASTYASTU,

Yang saya hormati:

  1. Ketua, Sekretaris dan seluruh anggota Senat Institut Seni Indonesia Denpasar
  2. Rektor dan Pembantu Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar
  3. Direktur Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Denpasar
  4. Para Dekan dan Pembantu Dekan dari kedua Fakultas di Institut Seni Indonesia Denpasar
  5. Ketua, Sekretaris, Ketua Lab, Ketua Program Studi dari kedua Fakultas di Institut Seni Indonesia Denpasar
  6. Rekan-rekan staff pengajar dan administrasi di Institut Seni Indonesia Denpasar
  7. Pengurus Dharma Wanita Institut Seni Indonesia Denpasar
  8. Pimpinan Organisasi Kemahasiswaan dan seluruh mahasiswa di lingkungan Institut Seni Indonesia Denpasar
  9. Para pejabat dari berbagai PTN, PTS, Lembaga Pemerintahan maupun Lembaga Swasta yang hadir
  10. Para orang tua/keluarga wisudawan
  11. Adik-adik para wisudawan dan
  12. Para undangan lainnya yang hadir pada kesempatan ini.

 Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas anugerah Beliau peristiwa hari ini dapat terjadi. Pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan perkembangan pemikiran dan kajian saya dengan judul ”KONSEP, ESTETIKA DAN TEKNIS DALAM BINGKAI ERGONOMI TOTAL PADA DESAIN INTERIOR”

Hadirin yang saya muliakan

Pendahuluan

Desain interior diwujudkan untuk memecahkan masalah manusia berkaitan dengan pewadahan aktivitas dalam ruang, guna tercapainya kenyamanan keamanan, efektifitas dan peningkatan produktivitas yang sesuai dengan karakter manusia dan budayanya.

Konsep dalam desain interior adalah dasar pemikiran desainer dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan pemilik, pendataan dan lingkungan.

Unsur estetika dibangun dalam desain interior berdasarkan pada unsur dasar pembentuk estetika dan mengolahnya ke dalam prinsip-prinsip estetika yang terdiri dari proporsi, keseimbangan, kesatuan, irama, komposisi, vocal point dan lainnya.

Sedangkan unsur teknis yang menjadi garapan  dalam desain interior adalah civitas;  elemen pembentuk ruang; elemen pelengkap pembentuk ruang; fasilitas ruang;  utilitas ruang;  dekorasi dan aksesori ruang; main entrance; maintenance.

Ergonomi dipastikan harus membingkai  ke tiga unsur besar dalam desain interior tersebut, sebab bagaimanapun desain interior yang diwujudkan akan digunkanan oleh manusia, oleh karena itu, harus mampu memberikan kenyamanan dan keamanan.

Hadirin yang saya muliakan

Konsep

Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep merupakan abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Konsep dalam desain interior adalah dasar pemikiran desainer dalam memecahkan permasalahan atau problem desain (Prabu, 2005). Pemecahan masalah dalam desain interior berkaitan dengan pendataan manusia, ruang dan lingkungan. Dalam desain interior konsep memegang peranan yang sangat penting, dengan konsep seluruh permasalahan yang dipecahkan dalam desain diformulasikan ke dalam satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis (Santosa, 2005). Konsep kemudian merasuk keseluruh elemen estetika dalam desain mulai dari titik sampai dengan bidang yang dibentuk, mulai dari keseimbangan sampai titik pusat perhatian dan lain sebagainya. Demikian pula pengaruhnya sampai pada bagian dalam desain interior yang mengolah unsur organisasi ruang, sirkulasi, lantai, dinding, plafon, mebel dekorasi dan lainnya.

Estetika

            Estetika adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang, dan akan dirasakan apabila terjalin perpaduan yang harmonis dari elemen-elemen keindahan yang terkandung pada suatu objek (Artini, 2000). Dalam hal memahami desain sebagai seni, maka selalu mengolah unsur-unsur pembentuk seni: titik, garis, bidang, bentuk, tekstur, pola, warna, cahaya, bahan  dalam suatu keseimbangan, harmoni, irama, kesatuan, komposisi, nada titik pusat perhatian serta proporsi dan lain sebagainya. Keseluruhan unsur-unsur tersebut bersinergi dalam sebuah ruang membentuk desain interior yang indah yang mampu mewujudkan nilai simbolik dan budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Santosa (2005) sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos dan lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda kongkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan suatu nilai budaya tertentu.

Hadirin yang saya muliakan

Teknis

Untuk memecahkan masalah teknis, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsi, yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dari fungsi-fungsi tersebut sehari-hari. Dalam hal ini desain dipandang sebagai suatu ilmu teknik yang pemecahan masalahnya secara objektif dan hasil temuannya dapat digeneralisir. Dalam hal ini unsur teknis yang menjadi pertimbangan dalam perancangan interior adalah: civitas;  situasi site;  elemen ruang yang terdiri dari: pengorganisasian ruang, pendaerahan, sirkulasi; elemen pembentuk ruang; elemen pelengkap pembentuk ruang; fasilitas ruang;  utilitas ruang;  dekorasi dan aksesori ruang; main entrance; maintenance.

Ergonomi

Ergonomi berasal dari dua kata Yunani yaitu ”Ergon” dan ”nomos” yang berarti kerja dan aturan. Ergonomi adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari interaksi antara manusia dan objek yang digunakan serta kondisi lingkungan. Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan alat-alat, cara kerja dan lingkungan, pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia, sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya  (Manuaba, 1998a).

Manuaba (1998b), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan ergonomi antara lain pekerjaan lebih cepat selesai, risiko penyakit akibat kerja kecil, kelelahan berkurang, dan rasa sakit berkurang atau tidak ada. Ergonomi juga diperlukan karena  adanya berbagai dampak pembangunan seperti adanya kecelakaan, adanya penyakit akibat kerja, adanya polusi, adanya ketidak puasan kerja, dan banjir serta bencana lainnya.

Ergonomi juga dikatakan sebagai manajemen, karena keberhasilan ergonomi, yang dimanfaatkan sejak perencanaan dan memperhatikan bagaimana memilih dan mengalihkan teknologi serta menyusun organisasi kerja yang tepat, dapat meningkatkan hubungan dan kepuasan kerja. Lebih jauh Manuaba (2001) mengungkapkan dari aspek definisi, ergonomi dan Total Quality Management  (TQM) punya tujuan yang sama yaitu berorientasi kepada dipenuhinya keinginan atau kebutuhan para pelanggan.

Konsep Estetika Dan Teknis Dalam Bingkai Ergonomi Total Pada Desain Interior, selengkapnya

Drama Tari Kunti Sraya

Drama Tari Kunti Sraya

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, S.Sn., MSn., Alumni ISI Denpasar

 Seni Tari yang merupakan salah satu manifestasi dari kesenian Bali dalam realitasnya sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Kearifan yang dimiliki oleh agama Hindu membuat kehidupan seni tari menjadi eksis. Kalau diamati, peranan tari dalam kehidupan masyarakat Bali memiliki tiga fungsi utama yaitu: sebagai wali, bebali, dan balih-balihan.

         Seni dramatari tradisional dalam seni pertunjukan di Bali memang tidak pernah habis untuk dikupas dan dibahas. Hal ini terjadi karena saking banyaknya sumber cerita ataupun topik yang diangkat dan ditransformasikan ke dalam bentuk seni pertunjukan yang tentu saja dibalut dengan nilai-nilai estetika dan filsafat yang utuh. Sumber-sumber cerita tersebut dapat berasal dari babad, epos Ramayana maupun Mahabrata, mitologi maupun sumber sastra lainnya. Sebagai salah satu bentuk pertunjukan balih-balihan, dramatari sangat mengedepankan unsur keindahan, struktur dramatik yang jelas dan dibawakan dengan ekspresi jiwa yang kental. Di Bali sendiri, sudah terdapat banyak jenis dramatari seperti drama tari Arja, dramatari Topeng, dramatari Gambuh, dramatari Calonarang dan banyak pula berkembang dramatari kreasi baru yang diciptakan seniman-seniman muda. Namun, ada satu jenis dramatari yang cukup menarik minat penulis untuk menelitinya lebih jauh, yaitu dramatari Kuntisraya.

         Dramatari Kuntisraya adalah suatu jenis dramatari yang berkiblat ke dalam jenis Penyalonarangan. Sebagai salah satu contoh seni dramatari tradisional Bali, dramatari ini merupakan jenis pertunjukan yang cukup menarik untuk dikupas dan dicari nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Dari segi konsep penciptaan, terdapat beragam unsur seni pertunjukan yang disajikan dalam dramatari ini mulai unsur Pearjaan, Patopengan, Pegambuhan, Bebarongan dan Palegongan. Unsur-unsur tersebut dirangkai dan dipadukan dengan sangat cermat sehingga menghasilkan nuansa baru yang sangat fleksibel untuk dinikmati. Unsur cerita yang digunakan berasal dari epos Mahabrata yang sedari dulu tidak pernah habis unuk dijadikan sumber lakon. Tentu saja didalamnya pula terkandung beragam nilai dan perlu untuk dikupas lebih jauh.Ulasan kali ini ditujukan sebagai pengayaan ilmu pengetahuan di bidang seni pertunjukan, serta membuka wawasan tentang eksistensi dramatari tradsional di Bali pada umumnya.

      Cerita dramatari Kuntisraya berawal dari kisah dikutuknya Dewi Durgha Oleh Dewa Siwa. Pada saat ditugaskan mencari susu lembu, Dewi Durgha yang dahulunya adalah Dewi Uma yang amat cantik rupanya tidak jujur menyampaikan usahanya dala mencari susu lembu tersebut di dunia. Dewa Siwa yang sebenarnya tengah menguji kesetiaan Dewi Uma pun murka dan mengutuk istrinya tersebut menjadi Durgha dan kemudian turun ke dunia sebagai penguasa kematian. Dewa Siwa pun menyampaikan titah bila suatu saat dimana masa hukumannya telah berakhir, Dewi Durgha akan disucikan oleh seorang Ksatria sakti sehingga bisa kembali ke sorga mendampingi Dewa Siwa.

          Tersebutlah ketika perang Bharatayudha akan berlangsung, Sang Kalantaka dan Sang Kalanjaya yang merupakan prajurit Dewi Durgha bepihak kepada Duryodana dan akan membuat kekacauan di Indraprasta, kediaman Dewi Kunti beserta Panca Pandawa. Hal ini diketahui oleh Bhagawan Naradha, pendeta di Sorga dan keudian memberitahukannya kepada Dewi Kunti. Kunti sangat ketakutan dan mohon petunjuk pada Bhagawan Naradha. Beliau akhirnya menganugrahkan Dewi Kunti sebuah mantra untuk memanggil Dewi Durgha.

         Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah Dewi Kunti ke kuburan untuk memuja Dewi Durgha. Setelah mantra tersebut beliau ucapkan, datanglah Dewi Durgha. Dewi Durgha yang sudah mengetahui maksud dan tujuan kedatangan Dewi Kunti lalu meminta kurban seekor kambing merah ( dalam pementasan diubah menjadi babi ) ditambah dengan seorang putra Pandawa yang bernama sang Sahadewa. Dewi Kunti setelah mendengar permintaan Dewi Durgha merasa sangat keberatan namun tidak berani mengungkapkannya. Akhirnya ia mohon diri dari hadapan Dewi Durgha untuk pulang ke Indraprasta. Dewi Durgha mengetahui kegalauan hati Kunti. Maka dari itu, beliau menitahkan Kalika untuk merasuki pikiran Kunti agar ia mau menyerahkan anaknya sebagai tumbal. Kalika berhasil menjalankan misi itu dan melaoprkan keberhasilannya kepada Dewi Durgha.

         Diceritakan kemudian setelah sampai di Indraprasta, Dewi Kunti menyampaikan pesan ini kepada Sahadewa. Sahadewa tidak menolak dan menyanggupi permintaan Dewi Durgha. Berangkatlah Dewi Kunti beserta Sahadewa lengkap dengan hewan kurban lainnya. Sesampainya di kuburan, Dewi Durgha muncul dan memerintahkan Dewi Kunti untuk pulang. Sahadewa diikat pada Pohon Rangdu dan digoda oleh Kalika. Begitu Dewi Durgha hadir, beliau menyampaikan pemintaannya untuk disucikan menjadi Dewi Uma agar bisa kembali ke sorga. Permintaan tersebut ditolak oleh Sahadewa karena ia merasa pantang untuk menyucikan seorang dewa. Dewi Durgha marah dan menghunus pedang ingin membunuh Sahadewa.

      Kejadian ini diketahui oleh Bhagawan Cakru serta Bhagawan Naradha. Segeralah mereka melaporkan kejadian ini kepada Dewa Siwa. Dewa Siwa lalu merasuki tubuh Sahadewa dan berkata bahwa beliau bersedia menyucikan Dewi Durgha. Dewi Durgha mengurungkan niatnya dan berlutut menyerahkan diri pada Sahadewa. Akhirnya Dewi Durgha pun dapat kembali ke sorga sebagai Dewi Uma.       Dalam pementasan dramatari Kuntisraya ini terdapat beberapa elemen pertunjukan yang dapat dibahas antara lain :

  • Penari

         Adapun nama-nama penari yang mendukung pementasan ini antara lain :

  • I Wyn. Lauh sebagai                              : Patih
  • I Kt. Sandiyasa                                      :  Bapang Barong
  • Ni Komang Sulastri                               :  Sahadewa
  • I Kt. Sudha                                            :  Babi
  • I Wyn. Cetig                                          :  Onying
  • Desak Raka Kartini                                : Kalika
  • Ni Kd. Wilasmini                                   :  Sahadewa ( serep )
  • I Made Nadi                                          :  Bondres
  • Ni Wyn. Nuriatni                                   : Sisya
  • Ni Wyn. Joniasih                                    :  Kunti
  • I Wyn. Doglogan                                   : Rangda
  • I Wyn. Jagru                                          :  Butha kala
  • I Md. Rara                                             : Macan & Onying
  • I Nym. Nateng                                       :  Onying
  • I Md. Widia                                           :  Wijil
  • I Nym. Rauh                                          :  Bhuta kala
  • I Nym. Kisid                                          :  Garuda
  • Pande Nym. Sunarta                              : Patih
  • Ni Kd. Suandewi                                   :  Sisya
  • I Wyn. Nurjana                                      :  Wijil
  • Ni Kd. Juniari                                        :  Sisya
  • I Wyn. Nano                                          :  Kera
  • Kt. Sutapa                                              :  Bondres
  • Pande Kt. Sudana                                  : Bondres
  • I Wyn. Kenrawan                                  :  Onying

         Adapun tempat dipentaskannya dramatari ini adalah di stage Sahadewa beralamat di jalan SMKN 3 Sukawati Gianyar. Stage ini berbentuk proscenium menghadap ke timur dengan ukuran kurang lebih 8 x 6 meter. Tempat bagi para penabuh berada di sisi utara panggung menghadap ke selatan. Untuk kepentingan wisatawan, daya tampung stage ini dirasa sudah mencukupi dengan lahan parkir yang sangat luas.

 Iringan

         Dramatari ini diiringi oleh gamelan gong kebyar dengan perangkat yang utuh dan lengkap. Pada saat bapang barong dan adegan onying, menggunakan kendang cedugan, sedangkan pada bagian sisia, menggunakan kendang krumpungan dan pada bagian penyarita menggunakan kendang gupekan.

 Upakara

         Upakara merupakan bagian kecil namun sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya pementasan. Masyarakat Bali sangat meyakini bahwa sebuah pertunjukan kesenian akan kurang memiliki taksu atau charisma bila belu memohon keselamatan kepada Tuhan. Melalui upakara inilah seorang pelaku seni akan memohon turunnya taksu kepada-Nya sehingga pertunjukan bisa berlangsung dengan memuaskan.

         Dalam pementasan Dramatari Kuntisraya ini, terdapat jenis upakara yang disebut Banten Kalangan. Banten ini terdiri dari Daksina Linggih, Peras, Buah-buahan, Penyeneng, Sampiyan, Canang, tumpeng, tipat kelanan, telur, kacang saur dan segehan. Segehan yang digunakan adalah segehan putih kuning.

         Menurut wawancara dengan pemangku setempat yang bernama Dewa Nyoman Rai, 85 th, dahulu setiap sebelum pentas dimulai, selalu ada orang yang ditugaskan untuk membawa banten tersebut ke atas panggung. Naun, kini tidak ada orang yang dapat ditugaskan oleh pemangku untuk membawa banten tersebu ke atas panggung. Maka dari itu, banten kalangan dihaturkan di parahyangan yang terdapat di belakang panggung. Sementara untuk di padmasana yang terdapat di luar panggung, hanya dihaturkan canang saja.

Drama Tari Kunti Sraya selengkapnya

Maria, Dalang Wayang Bali Dari Negeri Obama

Maria, Dalang Wayang Bali Dari Negeri Obama

Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.

Seorang wanita Amerika, sebulan terakhir ini tampak suntuk menimba seni pewayangan di Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar. Kepada I Wayan Nartha (69 tahun)–dalang sepuh setempat–wanita yang berasal dari Los Angeles, California, ini belajar berbagai aspek pedalangan, dari olah vokal, teknik bercerita hingga memainkan wayang pipih dua dimensi itu. Untuk melengkapi keterampilannya, wanita ceria dan energik ini juga tampak tekun belajar gender–gamelan pengiring wayang kulit–pada penabuh gender I Wayan Sarga (59 tahun). Seorang dalang muda, Bagus Bhratanatya (22 tahun) juga sering tampak bersamanya berasyik-asyik menjelajahi nada-nada gamelan yang memiliki teknik musikal nan kompleks tersebut.

Maria (58 tahun), panggilan akrab wanita yang bernama lengkap Maria Elena Bodmann ini, bukan baru kali ini belajar seni pedalangan. Kehadirannya di Bali sejak pertengahan Juni lalu adalah mengasah pengetahuan dan keterampilannya dalam seni pertunjukan wayang kulit. Ia sudah belajar salah satu teater total Bali ini sejak tahun 1986. Setelah selama dua tahun dengan penuh kesungguhan mempelajari kesenian ini, ia kemudian mementaskannya dalam berbagai kesempatan di tengah-tengah masyarakat di negerinya. “Tapi di sini (Bali) saya belum pernah pentas, malu,” ujarnya sembari tertawa. Dalang  wayang kulit Bali dari negerinya Barack Obama ini mengaku ingin terus menempa diri dalam bidang seni yang digelutinya.

Atas sponsor dari Fulbright dan beasiswa Dharmasiswa RI, pada tahun 1986 Maria datang ke Indonesia dan mendalami kesenian Bali di ASTI/STSI (kini ISI) Denpasar. Selama dua tahun (1986-1988) di Bali, selain di ASTI/STSI, ia belajar seni pedalangan hingga ke desa-desa. Wanita yang tampak awet muda ini pernah belajar bermain gender pada Wayan Konolan (almarhum) di Kayumas Kaja, Denpasar. Namun Desa Sukawati yang dikenal sebagai lumbung seni pewayangan Bali kemudian menambat hatinya. Di sini ia belajar seni pedalangan pada dalang senior Wayan Nartha dan menabuh gender wayang pada  I Wayan Loceng (alrmarhum).

Pada tanggal 19 Juli ini, ia akan kembali ke negerinya, Amerika. “Saya selalu sedih setiap akan meninggalkan guru-guru dan teman-teman saya di Bali,” ujar Maria dengan tercenung. Menurutnya, kecintaannya pada Bali, khususnya Sukawati, membuatnya selalu rindu untuk pulang. Pulang kemana? “Pulang ke Bali,” katanya serius. Bagi Maria, Bali dianggap rumahnya yang sesungguhnya. Karena itulah, dengan terencana, ia selalu berusaha datang ke Bali. Ia mengaku sangat betah tinggal di kampung seniman pedalangan Bali, Sukawati.

Di Amerika, sebagai dalang wayang kulit Bali ia sering diundang menggelar work shop atau pentas di sekolah-sekolah atau universitas. Murid-murid atau mahasiswa di negerinya sangat tertarik dengan seni teater boneka dari Bali ini. Terbukti ketika ia didaulat pentas di UCLA pada 5 Pebruari tahun 2010 lalu, penonton dibuatnya terpukau. Tampil dalam puncak malam pentas budaya, Indonesian Cultural Night 2010 yang diselenggarakan Permias University of California, Los Angeles, dalang Maria berhasil membuat terkagum-kagum penonton–termasuk Konsul Jenderal RI Subijaksono Sujono beserta para konsul dari staf KJRI Los Angeles—dengan menggunakan bahasa Inggris, Indonesia, Bali, dan Kawi (bahasa Jawa Kuno).

Jika tampil pentas di negerinya, menurut wanita yang masternya (MFA) diraih tahun 1988 dari California Institute of Arts ini, protokolernya agak berdeda dengan pertunjukan wayang di Bali. Secara bertahap diawalinya dengan perkenalan permainan gamelan. Setelah introduksi dengan permainan kayonan, penonton dipersilahkan datang ke balik layar untuk menyaksikan lebih dekat dengan wayang-wayang yang akan dimainkan. Setelah itu, lakon baru digulirkannya kurang lebih selama dua jam. Ia mementaskan wayang seperti lazimnya, mempergunakan bahasa Kawi. Komunikasi verbal dijalin oleh tokoh-tokoh punakawan Malen, Merdah, Delem, dan Sangut dengan mempergunakan bahasa Inggris. “Kalau ada penonton orang Indonesia, saya selipkan sedikit bahasa Indonesia,” kata dalang yang mengagumi tokoh Bima ini.

Kini sudah lebih dari 18 tahun Maria memperkenalkan atau mementaskan wayang kulit Bali di negerinya, khususnya di negara bagian California. Dari 12 lakon yang dikuasainya ia selalu berusaha mengkontekstualisikannya  dengan latar penontonnya. Maria yang juga terampil mengukir wayang ini juga melakukan pengembangan dan inovasi seni teater wayang. Selain mementaskan wayang kulit klasik Bali, bersama grupnya, ia juga menggulirkan kreativitas wayang inovasi dengan memanfaatkan tata lampu dan tata visualitas modern.”Inovasi perlu tapi yang klasik-tradisional harus terus diperkuat,” ujar Maria. Selama wayang kulit Bali masih berkaitan dengan ritual keagamaan, ia yakin wayang tetap eksis. Maria Elena Bodmann berharap fungsi ideal wayang sebagai media penuntun moralitas masyarakat seperti pada masa lalu dapat bersemi mesra kembali.

Maria, Dalang Wayang Bali Dari Negeri Obama, selengkapnya

Ketika Orang Amerika Berwisata Budaya Di Bali

Ketika Orang Amerika Berwisata Budaya Di Bali

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Sekelompok orang Amerika datang ke Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar untuk mempelajari kesenian Bali. Tujuh orang wanita dari Negeri Paman Sam itu berlenggang seni tari, meniti nada-nada gamelan, dan juga berkenalan dengan beberapa aspek estetika dan artistik teater wayang kulit Bali. Selama dua minggu di Bali, mereka tak tinggal di hotel melainkan di rumah penduduk desa Sukawati. Sebab mereka bukan turis biasa melainkan terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan guru yang memiliki minat khusus terhadap seni pertunjukan. Antara tanggal 10-25 Juni, mereka belajar seni tari, gamelan, dan wayang kulit dari para seniman alam  di desa setempat.

            Adalah seorang seniman teater Amerika, Maria Elena Bodmann, yang menawarkan kepada para peminat seni pertunjukan di negerinya untuk menimba pengalaman belajar kesenian Bali dengan datang ke Bali. Pemilik dan pimpinan sanggar seni “Bali & Beyond“ yang bermarkas di Los Angeles, California,  mengaku programnya ini baru sebuah rintisan. “Telah lama saya punya angan-angan ingin mengajak rombongan yang berminat pada bidang seni untuk belajar seni pertunjukan Bali langsung pada para seniman alam di Bali,“ ujar wanita yang telah mendalami pertunjukan wayang kulit Bali sejak tahun 1986. Keinginannya itu baru tercapai tahun ini.

            Diungkapkan oleh Maria bahwa untuk merealisasikan program ”wisata budaya“-nya itu tidak mudah. Lewat web-nya ia memaparkan secara berkesinambungan tentang pulau Bali, keunikan budayanya dan keindahan keseniannya serta keramahtamahan masyarakatnya. “Selain melalui internet, program ini juga saya tawarkan ketika saya diundang work shop wayang kulit Bali di sekolah dan kampus, “ ujar Maria yang sering mendalang di negerinya—terakhir ia tampil dalam acara budaya Indonesian Cultural Night 2010 di Universty of California. Enam orang peminat seni yang berhasil dibawanya kali ini, menurutnya sudah memadai, sebab dengan peserta yang mini pembelajaran seni akan lebih berhasil.

            Maria bersama enam rekannya menimba seni pertunjukan Bali pada keluarga I Wayan Nartha (68 tahun), seniman sepuh di Banjar Babakan, Sukawati. Anak pertama Nartha, Ni Made Sudiasih, dan cucunya, Ayu Larasari, mengajarkan seni tari. Anak keduanya, Nyoman Sudiarsa, mengajar cara membuat wayang kulit, dari mengukir  hingga mengecat. Anak ketiganya, I Ketut Sudiana, dan juga cucunya Bagus Natya, mengajarkan pementasan wayang kulit. Dan I Wayan Sarga, penabuh gender Dalang Nartha, mengajarkan menabuh gamelan. Selama sepuluh hari, Maria dan rekan-rekannya memperoleh pengalaman dan menghayati nilai-nilai keindahan kesenian Bali.

            Pengalaman menjelajahi kesenian tersebut, menurut Julia Ohm, seorang guru teater di Massachusset, sangat mengesankan dan membuatnya penasaran. “Saya akan anjurkan pada murid-murid saya untuk mempelajari kesenian Bali,” ujarnya serius. Namun, tari Bali menurut Betty Carr, paling sulit dipelajari tapi begitu dapat dirasakan keindahannya. Kesan tersebut juga serentak dikatakan oleh Gemma Young, Becky Carr, Alexandra Cummings, Claire Mullen, empat remaja yang tampak begitu semangat belajar tari Pendet yang diarahkan oleh Sudiasih dan Larasari. “Tari Bali sangat sulit, tapi pengalaman ini tak akan saya lupakan,” ujar Alexandra Cummings. Gemma yang tahun ini baru mulai masuk SMA juga memberikan komentar senada. “Suatu saat saya akan khusus datang ke Bali menekuni tari Bali, “ ujarnya ceria.

            Kegembiraan dan keceriaan selalu hadir saat orang-orang Amerika itu berinteraksi dengan para pelatih seninya saat belajar menari, menabuh gamelan dan memainkan wayang kulit. Kegembiraan yang menyembul di wajah mereka kian merekah ketika disela-sela belajar seni, juga diajak melihat dan menyimak beragam ritual keagamaan di desa Sukawati dan sekitarnya yang selalu disertai dengan aneka ragam pentas seni pertunjukan. Mereka sempat menonton pertunjukan drama tari Gambuh dalam sebuah odalan di Desa Batuan. Mereka juga datang menonton saat Wayan Nartha pentas wayang kulit di sebuah wihara di Sukawati. Selain menyelami budaya Bali yang berkaitan dengan seni pertunjukan, tentu saja mereka juga tak lupa mengunjungi objek-objek wisata dan menikmati alam Bali.

            Meski hanya berjumlah sehitungan jari, delapan orang Amerika yang dibawa ke Bali oleh Maria tersebut dapat disebut sebagai sebuah wisata budaya yang sesungguhnya. Betapa tidak. Sebab tujuan utama kedatangan mereka ke Bali adalah untuk berkenalan dengan salah satu budaya menonjol Bali yaitu seni pertunjukan. Selain itu, kesenian sebagai ekspresi budaya juga mereka selami lewat pergaulan langsung dengan masyarakat pemiliknya dengan cara belajar kepada para seniman alam di desa. Bagaimana kesenian Bali lestari dan berkembang juga dapat mereka hayati dalam ritual-ritual keagamaan. Selain dalam upacara keagamaan, pameran atau pementasan seni dalam ruang sekuler juga mereka dapat simak dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011.

            Setiba kembali di negerinya, tentu mereka akan bercerita kepada teman dan handai taulannya bagaimana menyatunya keindahan seni, ritual agama, dan masyarakat di Bali. Kehadiran mereka, kendati singkat, akan berkontribusi positif, sekecil apa pun, pada Bali (Indonesia). Sebab melalui penyelaman seni dan budaya yang mereka jelajahi di Bali akan membuka ruang pemahaman lebih menyentuh sanubari dan berpenghargaan terhadap kemanusiaan. Wisata budaya semacam ini perlu digalakkan.

Ketika Orang Amerika Berwisata Budaya Di Bali, selengkapnya

Loading...