ISI Denpasar Terbangkan Dosen Ke Kanada

ISI Denpasar Terbangkan Dosen Ke Kanada

Awal Tahun 2012 ini, ISI Denpasar mengirim salah satu dosennya, yakni I Made Kartawan ke Kanada, dalam rangka menuntut ilmu dalam bidang Ethnomusicology di Uneversity of British Colombia (UBC), Vancouver Kanada selama dua tahu

Dosen Karawitan ISI Denpsasar ini dapat tugas belajar berkat beasiswa dari Dirjen Dikti yang telah diraihnya melalui tahapan seleksi cukup ketat dan sangat melelahkan. “Awalnya saya tidak yakin dapat, tetapi begitu dinyatakan lulus seleksi sontak merasa lega dan puas. Meskipun sejatinya perjuangan lebih berat lagi sedang menanti di Kanada, “ungkap Kartawan, saat berpamitan dengan Rektor ISI Prof. Dr. I Wayan Rai S.,M.A. kemarin.

Kartawan mengatakan akan berusaha maksimal untuk mengemban misi dari tugas belajar ke luar negeri ini. Sehingga apa yang menjadi harapan bersama baik pihak kampus maupun Dirjen Dikti nantinya dapat terlaksana dengan baik. “Karena itu, saya mohon doa restunya,”pintanya.

Menurutnya, selama berada di Kanada, belahan Amerika Utara ini akan berusaha mengikuti proses belajar  Ethnomusicology yang menjadi pemebelajaran tentang music etnik dunia dengan sebaik-baiknya dan juga akan berjuang maksimal untuk dapat menciptakan barungan musik baru yang bernilai manfaat bagi masyarakat Bali ke depannya.

Rencananya, seniman yang telah dikarunia dua putra ini akan bertolak menuju Jakarta, Rabu (4/1), dan sehari berikutnya, Kamis (5/1) berlanjut terbang ke Kanada.

Sebelumnya Kartawan juga sempat dapat tugas belajar bidang Tuning System di Kunthaci Music Academy Tokyo, Jepang selama dua bulan di tahun 2010 lalu.

Kreativitas Ngakan Weda Di Atas Cangkang Telur  Bernilai Ekonomi Tinggi

Kreativitas Ngakan Weda Di Atas Cangkang Telur Bernilai Ekonomi Tinggi

Oleh: I Made Sumantra, SSn., MSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar.

            Keahlian Ngakan weda melukis di atas cagkang telor sungguh layak mendapat acungan jempol. Di permukaan telur yang begitu kecil dan tipis, ia bisa menumpahkan kreasinya mengenal tradisi kebudayaan Bali. Dengan potensi yang tak pernah padam, pria yang semula melukis di atas kertas dan kanvas, kini sering tampak asyik “mendandani” cangkang telur.

            Tiga jenis telur yang kerap digunakan sebagai media lukisnya adalah telur bebek, telur burung kaswari, dan telur burung unta. Perbedaannya hanya dalam  hal penggarapannya. Telur bebek dan  telur burung kaswari yang ukurannya tidak terlalu besar, oleh Ngakan akan dilukisnya. Sementara telur burung unta yang ukurannya lebih besar dengan tekstur cangkang yang lebih keras, selain dilukis juga dipahatnya.

            Memahat cangkang telur yang tipis merupakan suatu pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam pengerjaannya, Ngakan harus ekstra hati-hati. “Jika tidak, cangkang bisa retak, bahkan pecah. Antara memahat dan melukis, tingkat kesulitannya sungguh berbeda. Dalam memahat dibutuhkan keahlian khusus. Melukis cangkang telur Ngakan membutuhkan waktu seminggu sampai sepuluh hari, tetapi melukis dan memahat sebutir telur unta memakan waktu satu bulan. Hanya karena bentuknya yang bulat maka saat dipahat, cangkan telur harus bolak balik diputar.

            Cangkan-cangkang telur polos yang dibelinya dari pasar Sukawati dengan harga sekitar Rp 30.000,- untuk telur bebek dan telur kaswari, serta Rp 150,000,- untuk telur burung unta. Cangkang-cangkang itu awalnya dilukis dengan cat acrylic. Setelah mulai pandai melukis ia memahatnya. Meski tidak diberi warna, namun hasil pahatannya itu tidak kalah menarik dengan yang dilukis dengan cat acrylic.

            Bila mengamati hasil karyanya, kita akan berdecak kagum, karena ia “mendandani” cangkang-cangkang telur dengan berbagai teknik. Sebagian cangkang ada yang sengaja dilubangi, sebagian lagi bahkan ada yang dikikis ke dalam. Ada pula bagian yang dipahat tipis. Namun, mata kita akan menangkap nuansa telur lukis itu dengan permukaan yang datar saja.

            Ramayana dan Bharatayuda merupakan kisah-kisah pewayangan yang pernah dipahat Ngakan di permukaan cangkang-cangkang telurnya. Hal yang menarik disetiap guratan kuasnya, baik di kanvas maupun cangkang telur, selalu memilih warna-warna cerah. Dengan warna-warna cerah itu Ngakan “merekam” adat dan kebudayaan masyarakat Bali. Suasana masyarakat yang sedang memanen padi, hiruk-pikuknya suasana di pasar tradisional, dan lenggak-lenggok para penari Bali, kerap menghiasi cangkang telurnya.

            Dari sekian banyak karyanya, melukiskan barong merupakan yang paling tinggi tingkat kesulitannya. Melukis bulu barong yang amat lebat dan halus, membutuhkan kejelian tersendiri pada saat ia mengguratkan kuasnya. Dan dapat dipastikan pengerjaannya pun memakan waktu lama.

            Bakat Ngakan sudah terlihat, semenjak ia duduk di bangku SD. Kendati ia baru bisa melukis di atas media kertas, namun hasil lukisannya sudah memukau banyak orang. Bahkan pada tahun-tahun berikutnya ia sudah berani menawarkan lukisannya itu di beberapa art shop maupun gallery  yang banyak bertebaran di Desa Ubud-Bali.

            Baranjak remaja, bakat melukisnya semakin hari semakin terasah. Tahun 1994 ketika duduk di bangku SMA, ia sudah berani menumpahkan imajinasinya ke atas kanvas. Pelajaran melukis didapatnya dari para tetangganya yang berpropesi sebagai pelukis. Kreativitasnya terus berkelana, sampai suatu hari ia tertantang melukis cangkang telur yang unik dan cantik.

            Seluruh hasil karyanya tidak bisa dikatagorikan sebagai barang yang mahal. Harga jualnya beragam, terutama  lukisan telurnya. Selain pengerjaannya sangat rumit, modalnya pun lumayan besar. Cukup beralasan kalau ia melepas cangkang telur bebek yang sudah dilukis flora dan fauna yang indah harganya Rp 100. 000,-. Sementara telur burung kaswari yang sudah dilukis dijual dengan harga RP 400.000,-. Cangkang telur burung unta yang sudah “didandai” jauh lebih mahal harganya. Selain karena harga cangkang polosnya yang sudah mahal, pekerjaannya pun “nyelimet”.

            Ngakan Weda adalah satu dari sekian banyak pengrajin kita yang mempunyai potensi yang luar biasa. Penguasaan teknik yang handal didukung oleh kekayaan sumber bahan baku dan kekayaan budaya semakin memperkuat kemampuan bangsa Indonesia dalam seni kriya. Namun semua yang dimiliki tidak cukup untuk menjawab kebutuhan dunia dalam tatanan masyarakat dengan pasar global.

            Sebagian besar pengrajin Indonesia masih belum dapat menikmati hasil jerih payahnya secara ekonomi. Panjangnya rantai ekonomi dalam perdagangan kriya yang dimulai dari pengrajin, pengepul, pedagang basar sampai dengan eksportir dan tidak berlakunya azas “fair trade” menjadi penyebab dari kesenjangan pembagian keuntungan. Selain itu masih banyak permasalahan lain yang terkait dengan seni kriya Indonesia.

            Melihat potensi kekayaan seni kriya Indonesia yang begitu tinggi menjadi sangat penting untuk dikembangkan menjadi kontributor utama dalam era ekonomi kreatif ini. Karena dari semua nomenklatur ekonomi kreatif yang ada seni kriya tidak tergantung pada teknologi tinggi baik perangkat keras maupun perangkat lunak yang mahal harganya. Seni kriya sangat sesuai dengan kondisi sosial-budaya Indonesia dan dapat mendorong penigkatan ekonomi kerakyatan. Industri kriya dapat dikembangkan secara padat karya sehingga dapat memberikan pekerjaan kepada masyarakat.

            Dari sisi craftsmanship para pengrajin Indonesia sangat unggul, namun tanpa didukung dengan kemampuan membaca pasar, dan trend disain keahlian tersebut menjadi sia-sia. Seperti yang terjadi saat ini banyak orang asing yang memanfaatkan keahlian para pengrajin Indonesia untuk menciptakan produk-produk barkualitas berharga mahal. Orang-orang asing ini datang kesuatu daerah yang mempunyai keahlian khusus dan kemudian memesan produk kriya dengan disain tertentu. Mereka diminta membuat sebagian dari disain produk itu dan bagian lain dikerjakan di tempat lain. Sehingga para pengrajin tidak pernah tahu hasil akhir dari disain yang mereka kerjakan secara utuh. Dengan dalih mencegah pencurian disain hal tersebut dilakukan oleh orang-orang asing tersebut. Di sisi lain para pengrajin Indonesia yang paling  berkeringat hanya menjadi buruh dan paling sedikit mendapat keuntungan ekonomi maupun alih teknologi baik di bidang disain maupun pemasaran. Sementara orang-orang asing dengan jaringan dan modal yang mereka punyai mengeruk banyak keuntungan.

            Modus lain yang terjadi yaitu dengan mengekspor para pengrajin keluar negeri seperti para pembatik halus dari Solo dan para pengukir dari Bali dengan alasan memberikan lapangan kerja kepada mereka. Tidak disadari bahwa para pengrajin tersebut merupakan aset yang sangat penting bagi pengembagan ekonomi kreatif di Indonesia. Memberikan mereka pekerjaan adalah sesuatu yang sangat baik, tetapi perlu dipikir “nilai” dan “keahlian” mereka. Ketika mereka dianggap sebagai alat produksi dengan kata lain sebagai buruh yang sekedar mencari makan di negeri lain permasalahannya menjadi lain. Bukankah lebih baik kemampuan mereka dimanfaatkan untuk mengembangkan produk-produk kriya Indonesia yang berdaya saing, bukan sebaliknya menciptakan produk-produk asing yang akan menjadi saingan produk Indonesia. Beberapa cerita di atas merupakan bukti bahwa kemampuan para pengrajin Indonesia yang telah mendapat pengakuan. Kemampuan tersebut menjadi lebih berarti jika dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta taraf hidup para pengrajin Indonesia sesuai dengan azas “fair trade”.

            Dengan melakukan kolaborasi antara pengrajin dengan disainer merupakan suatu langkah yang berbasis produk-produk kriya yang berdaya saing. Dengan pelibatan disainer ini, para pengrajin dapat lebih berkonsentrasi kepada masalah produksi sehingga kualitas produk lebih terjaga. Di sisi lain pelibatan disainer untuk mendampingi pengrajin akan memberikan penghasilan kepada industri disain sehingga roda perekonomian dapat berputar. Sebagai contoh Cina, Usaha Kecil dan Menengah hanya dapat mencairkan bantuan jika didampingi dengan disainer sebagai jaminan akan dapat menghasilkan produk-produk inovatif berdaya saing. Kolaborasi antara para pengrajin dengan disainer Indonesia akan mampu menghasilkan produk-produk kriya Indonesia berdaya saing tinggi.

            Akibat keengganan dari para pengrajin mengembangkan disain sendiri dan lebih memilih menyontek produk kriya yang sudah laku dipasaran menyebabkan nilainya menjadi rendah baik dari sisi harga maupun kualitas yang tidak terjaga. Ketidakpahaman para pengrajin mengenai UU Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menyebabkan apresiasi yang redah terhadap disain. Padahal dengan pemahaman yang baik para pengrajin dan disainer dapat berkolaborasi dalam memproteksi produk yang dihasilkan dan mengeksploitasinya sehingga memberikan keuntungan secara ekonomi. Kita belajar dari Thailand melalui proyek OTOPnya, One Tamon One Product (satu kampung satu produk). Di setiap daerah akan mempunyai satu produk yang spesifik, tidak diproduksi di daerah lain. Dengan demikian keunikan dan kualitas produk dapat dijaga sehingga nilai ekonomi dari produk juga tinggi.

            Setelah kita mempunyai produk kriya yang berdaya saing dan tentunya dalam penciptaannya sudah berorientasi kepada pasar tidaklah sulit dalam masalah pemasaran. Karena produk kriya yang dilepas ke pasar telah sesuai dengan target marketnya produk-produk kriya yang dihasilkan akan dengan mudah diserap oleh pasar bahkan dicari oleh para pembeli.

            Salah satu cara yang sering ditempuh pemerintah Indonesia yaitu dengan mengikuti pameran-pameran di luar negeri. Mengikuti pameran di luar negeri menjadi medium yang efektif jika dilakukan dengan perencanaan yang baik, pemilihan jenis pameran yang selektif sesuai dengan produk yang akan dipamerkan dan tentunya pemilihan produk yang dipamerkan melalui proses seleksi yang ketat. Seleksi ini diharapkan akan memacu para produsen Indonesia untuk menghasilkan produk-produk yang kompetitif.

            Pameran diluar negeri merupakan suatu cara untuk mempromosikan dan memasarkan produk kriya Indonesia di pasar global. Meskipun demikian ada hal-hal yang lain perlu dilakukan untuk mensukseskan keikutsertaan Indonesia dalam pameran yaitu melakukan kompanye pubic relations secara terpadu sehingga efektivitasnya dapat dicapai. Pemasaran bukanlah hal yang sulit jika produk-produk kriya Indonesia inovatif dan berdaya saing tinggi.

            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disain merupakan solusi yang tepat dalam usaha untuk memberdayakan produk-produk kriya Indonesia di era pasar global. Dengan disain yang baik keahlian para pengrajin Indonesia dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap mutu produk yang dihasilkan. Hubungan kerja yang sehat antara disain sebagai kreator dan pengrajin sebagi produsen dalam koridor UU Hak Kekayaan Intelektual akan membawa kearah produktivitas yang saling menguntungkan. Dengan pembinaan dan strategi yang baik, seni kriya Indonesia merupakan sumber kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di era ekonomi kreatif.

Kreativitas Ngakan Weda Di Atas Cangkang Telur  Bernilai Ekonomi Tinggi selengkapnya

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali, Setujukah?

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali, Setujukah?

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar

Di Bali sendiri, PKB digelar setiap tahunnya. Sejak diadakan pertama kali pada tahun 1978, event kesenian terbesar dan paling bergengsi di Bali ini selalu berhasil membius berbagai kalangan mulai dari para pakar seni, pelaku seni, hingga masyarakat awam untuk datang ke tempat digelarnya acara sepanjang satu bulan ini yaitu di Art Center Denpasar. Para seniman dari berbagai sanggar atau kelompok-kelompok seni di seantero Bali pun berdatangan dan saling unjuk gigi mempertontonkan kelihaiannya dalam berolah kreativitas.

Berbagai jenis kesenian baik yang bersifaat konservasi seni klasik, rekonstruksi seni-seni langka, hingga kesenian pengembangan dan partisipasi kelompok seni luar negeri tak pernah absen menghiasi indahnya PKB. Setiap tahun, selalu saja para penggemar seni dari seluruh kabupaten di Bali menyempatkan diri untuk menyaksikan primadona pertunjukan seperti Parade Gong Kebyar Pria Dewasa (yang dahulu selalu dilombakan), parade Topeng, Seni Klasik seperti Arja dan Gambuh serta Palegongan. Tidak lupa juga, kesenian pengembangan seperti tari-tari kontemporer pun menjadi warna baru yang sanggup membuka wawasan penonton akan perkembangan kesenian di Bali.

Kini, setelah memasuki usianya yang ke-33, PKB ternyata memiliki berbagai sisi lemah yang belum sepenuhnya mendapat solusi dari berbagai pihak. Seperti misalnya, kualitas penyajian kesenian yang cenderung monoton, miskin kreativitas, menghabiskan dana yang banyak dan sebagainya. Di sisi lain, faktor ketersediaan lahan parkir dan lokasi penyelenggaraan yang terlalu sentralistik pun tak luput menjadi sorotan. Tak ayal, kritik pun terlontar dari berbagai komponen masyarakat untuk penyelenggara PKB ini.

Pembenahan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran cerdas harus segera dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kritik yang diutarakan oleh Tjok. Raka Kerthyasa atau yang akrab dipanggil Cok. Ibah. Belau adalah seorang anggota DPRD Bali dari Puri Ubud, Gianyar. Pria yang bertugas di Komisi IV ini, kepada sebuah media ternama nasional mengungkapkan bahwa PKB idealnya diselenggarakan tiga tahun sekali. Pemikiran ini didasarkan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, adalah waktu yang terlalu singkat bagi para kreator seni untuk melahirkan sebuah mahakarya yang benar-benar mampu memberi rasa takjub bagi para penikmat seni. Ia juga berpendapat bahwa penyelenggaraan PKB yang setahun sekali merupakan salah satu penyebab monotonnya kualitas seni yang disajikan. Jikalau pun ada pengembangan, paling-paling hanya sedikit dan itupun masih ada kemiripan dengan tahun sebelumnya.

Pemikiran ini bila dianalisis memiliki beberapa nilai plus dan minus. Pertama, untuk penyelenggaraan yang berjangka waktu tiga tahun, sisi baiknya adalah para seniman khususnya para pengkarya atau kreator seni memiliki waktu yang lebih panjang untuk berpikir, mencari ide-ide baru, kreativitas yang segar dan tentu saja original. Hal ini akan berdampak pada sisi kualitas karya yang dimaksud Cok. Ibah di mana oleh beliau dituturkan bersifat monoton alias itu-itu saja. Namun, di sisi yang berlawanan menurut beberapa pelaku dan penggiat seni yang sering terlibat dalam setiap kesempatan di PKB, waktu tiga tahun untuk memproduksi sebuah karya baru, dinilai terlalu lama. Wacana penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali ini pun dinilai rentan terhadap serangan pengaruh budaya asing yang tidak pernah berhenti mengincar Bali. Sebagaimana kita ketahui, agama, kebudayaan dan kesenian merupakan benteng pertahanan budaya Bali yang harus diperkokoh oleh masyarakat pendukungnya dari dalam. Demikian pula, PKB sebagai sebuah event kebudayaan dan kesenian di Bali secara tidak langsung merupakan sebuah filter yang sangat baik demi mempertahankan keluhuran budaya Bali dari pengaruh global yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal. Dengan diadakannya PKB setiap tiga tahun sekali, dikhawatirkan kesenian bahkan kebudayaan Bali akan mudah disusupi pengaruh negatif globalisasi.

Selain alasan tersebut, waktu satu tahun bagi seorang atau kelompok seni untuk memproduksi sebuah karya tidaklah terlalu mepet. Justru, mereka akan merasakan tantangan dan semakin terpacu untuk menemukan gagasan segar untuk dituangkan dalam karya seninya. Tetapi, apakah faktanya memang demikian? Tidak salah, namun belum sepenuhnya benar. Kesenian yang tertampil di PKB memang beragam dan masih menghormati keberadaan kesenian Bali yang sakral, klasik dan bahkan langka. Namun, dari sisi kualitas, nampaknya masih perlu dilakukan pembenahan, misalnya menyangkut masalah teknis, artistik dan tentu saja yang paling esensial adalah inovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang dianggap merusak tatanan seni tradisi yang sudah mapan, namun justru menempatkan seni tradisi sebagai sumber penciptaan dan inspirasi karya yang tidak akan habis untuk diolah dan setidaknya menjadi sebuah tawaran baru untuk mengatasi tudingan monotonitas PKB dari tahun ke tahun akibat miskin inovasi.

Sisi baik yang kedua adalah, bilamana PKB diadakan tiga tahun sekali, akan memberikan peluang untuk membina bibit-bibit penari unggulan di setiap kabupaten di Bali. Sebagaimana kita ketahui, Bali sangat kaya dengan potensi seniman mulai usia belia hingga uzur. Sangat mudah menemukan seorang yang bisa berkesenian di Bali. Namun, tak semua orang yang bisa berkesenian itu dapat disebut seniman. Inilah yang harus dicari oleh para pembina-pembina seni di tiap kabupaten untuk mendapat kualitas individu seniman yang menonjol yang tentu saja berpengaruh terhadap kualitas pertunjukan secara menyeluruh.

Faktor pembinaan mungkin menjadi hal yang menjadi pokok pikiran politisi adik kandung Bupati Gianyar Cok Ace ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum pentas di panggung utama Art Center Denpasar, para seniman yang merupakan andalan tiap-tiap kabuaten di Bali ini harus melalui tahapan seleksi yang digelar oleh kabupaten masing-masing. Namun rupanya, tudingan monotonitas yang dialamatkan beberapa komponen masyarakat dan pemerhati budaya di Bali tidak hanya berhenti pada aspek inovasi semata. Menurut penulis, monotonitas pun berlaku pada aspek pelaku dan bahkan kreator seni di masing-asing kabupaten. Hal ini bisa dilihat dari lambannya proses regenasi seniman pengkarya di masing-masing kabupaten yang mengirim dutanya sehingga kita tidak bisa menyalahkan adanya tudingan miskin seniman di kabuaten tertentu. Belum lagi masalah “ISI-nisasi” (terlalu berkiblat ke ISI Denpasar) sehingga kearifan lokal yang terdapat di daerah tertentu menjadi tersisihkan begitu saja, proses seleksi yang terkesan like and dislike, hingga dominasi kelompok seniman tertentu di suatu kabupaten yang seolah tak tergantikan posisinya sebagai pengkarya.

Kembali menurut opini penulis, usulan penyelenggaraan PKB yang tiga tahun sekali memang ada benarnya, namun mungkin akan lebih bijak bila justru setiap tiga tahun sekali diadakan regenerasi para kreator atau seniman pencipta khususnya untuk seni-seni yang bersifat tradisi. Sedangkan untuk kesenian yang bersifat rekonstruksi, diupayakan agar tiap-tiap daerah menampilkan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga jauh dari kesan ISI sentris karena PKB bukan ajang untuk homogenisasi atau bahkan ISI-nisasi tiap-tia kabupaten, tapi justru membuat event tersebut semakin beragam warna. Seni-seni yang langka di Bali masih banyak yang belum terekspos melalui event ini. Seperti misalnya ragam tari Sanghyang, tari Baris-baris yang kuno, permainan tradisonal yang kini semakin ditinggalkan masyarakat khususnya anak-anak, dan sebagainya. Proses penggalian dan rekontruksi ini saja jika diberikan waktu setahun, sudah dirasa cukup. Belum lagi penciptaan karya pengembangan atau seni kontemporer yang tidak memiliki batasan-batasan baku, yang setiap saat dapat merangsang imajinasi kreativitas yang unik.

            Dari sisi akomodasi, Cok. Ibah juga memberi saran bahwa PKB jangan terlalu sentralistik. Artinya, setiap kegiatan di PKB sebaiknya jangan terpusat di satu tempat tertentu, namun agar disebar ke tempat-tempat tertentu di sekitarnya. Misalnya pameran lukisan bisa diadakan di Monumen Bajra Sandhi, Parade Topeng bisa ditempatkan di lapangan Puputan Badung, dan begitu juga dengan acara lainnya. Menurut saya, ini usulan yang cukup baik dan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh paenyelenggara PKB, meski belum sepenuhnya terealisasi. Seperti yang terjadi pada event PKB yang baru berakhir beberapa wakktu lalu, di mana materi parade Baleganjur dan Angklung Kebyar dilaksanakan di lingkungan kampus ISI Denpasar. Mungkin untuk ke depannya, penyelenggara dalam hal ini harus berpikir dan mengkaji berbagai kemungkinan, agar kesan semrawut dan sentralistik di PKB ini bisa dikurangi.

            Kesimpulannya, PKB merupakan event kesenian terbesar di Bali yang masih perlu pembenahan. Hal ini wajar, karena pada esensinya perkembangan merupakan sesuatu yang abadi terjadi khususnya pada perjalanan kesenian. Kesan monoton yang menjadi tudingan utama dari penyelenggara PKB, mau tidak mau harus dicari pangkal permasalahannya.pokok-pikiran yang muncul ke permukaan harus dicermati dari berbagai sisi agar dapat disaring nilai-nilai yang dapat memperbaiki penyelenggaraan ke depannya.

Usulan penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali yang dilontarkan oleh Tjok. Raka Kerthyasa tersebut di atas patut kita apresiasi, sebab secara tersirat ada pemikiran untuk membenahi dan meningkatkan kualitas PKB dan menjauhkannya dari kesan monoton. Namun, mengingat usulan tersebut baru dalam tahap opini pribadi, dirasa terlalu dini dan perlu adanya analisis berikut perbandingan sudut pandang sehingga solusi yang dihasilkan dapat mengayomi berbagai pihak (win-win solution). Solusi yang sebaiknya kita laksanakan adalah dengan mengoptimalkan konsep penyelenggaraan yang telah disiapkan. Penyelenggaran PKB tiga tahun sekali mungkin belum saatnya diterapkan. Namun, bilamana situasi sudah begitu medesak, bukan tidak mungkin usulan ini akan menjadi kenyataan di masa mendatang. Tentu, dengan catatan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait yang juga terlibat dalam event PKB ini. Bagaimana menurut pendapat anda?

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali , Setujukah? selengkapnya

Placement Iklan Pada Film Alangkah Lucunya Negeri Ini

Placement Iklan Pada Film Alangkah Lucunya Negeri Ini

Kiriman: Nyoman Lia Susanthi, Dosen PS Seni Pedalangan ISI Denpasar.

Film memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai barang tontonan dan barang dagangan. Kesuksesan film sangat ditentukan oleh penontonnya, sehingga idealnya setiap produser bisa membaca keadaan penonton yang hendak disuguhi tontonan mereka. Selain itu kesuksesan film juga dintentukan oleh mutu film, yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu film dengan mengutamakan mutu dagang (commercial Quality) serta mutu seni (Artistic Quality). Kedua unsur tersebut bisa berjalan sejajar atau berlawanan. Contohnya film ‘Biola Tak Berdawai’ memiliki mutu yang bagus namun tidak terlalu laku, sementara film ‘Menculik Miyabi’ mutu filmnya tidak sebaik garapan ‘Biola Tak Berdawai’ namun sangat laku dipasaran. Adapula film yang menjalankan keduamutunya yaitu film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ memiliki mutu seni yang baik, terbukti sound track film digarap sangat baik sehingga tidak hanya filmnya yang laris dipasaran tapi juga mutu seni dalam filmya digemari penonton. Euphoria film di Indoensia pasang surut. Pernah menghasilkan kuantitas yang beragam, serta mampu merefleksikan bagian wajah sosial hingga politik Indonesia. namun dari segi kualitas masih sedikit yang bisa diseleksi untuk kompetisi global. Pada aspek film komersial, sinema Indonesia masih belum memiliki keterampilan yang tinggi dan tidak konsisten dalam standarisasi.

Film merupakan dunia yang materialistis, karena uang memegang peranan utama dalam memproduksi film. Sebaik apapun penulis skenario, sutradara, dan tim pembuat film, tidak mungkin dapat melahirkan film tanpa dukungan uang. Majikan dari pembuatan film adalah produser. Dia bertanggung jawab atas modal yang dibutuhkan untuk membuat film. Sehingga bagi produser, film merupakan barang dagangan yang digunakan untuk mencari keuntungan. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan, diantaranya menyelipkan produk iklan dalam beberapa adegan film. Film adalah salah satu media massa yang menjual dan mampu merayu massa. Dengan dalih ini maka banyak produsen film menjadikan media ini sebagai salah barang dagangan yang ampuh menjual produk.

Iklan yang berfungsi untuk mempublikasikan produk barang ataupun jasanya memerlukan media yang tergolong massa, diantaranya media cetak, elektronik (tv dan radio) serta film.  Iklan sering muncul dalam media cetak, tv dan radio, namun placement iklan dalam film memang jarang ditemui. Dari sekian banyak film yang direlease Hollywood, kemunculan iklan bisa dihitung dengan jari. Diantaranya film ‘God Must Be Crazy” yang secara tidak langsung memperomosikan Coca-Cola sebagai produk minuman penghilang dahaga. Dalam film tergambar bahwa seorang pilot yang menerbangkan pesawat di negeri yang sangat kering yaitu di Kalahari, Afrika. Ditengah suasana panas dan gerah, sang pilot menghabiskan minuman Coca-Cola dengan nikmatnya. Dari pesawat dia kemudian melempar botol minuman yang jelas berlabel ‘Coca-Cola’. Botol tersebut menjadi bagian dari cerita yang berdurasi 2 jam, dan selalu menampilkan label ‘Coca-Cola’ dengan jelas. Placement iklan dalam film memang tidak semudah menampatkan iklan dalam program acara di televisi, yang tinggal memotong programnya untuk memasukkan iklan dalam sajian program. Memasukkan iklan dalam film memerlukan kecerdasan sang sutradara, agar penempatan produk iklan tidak melepas benang merah dalam cerita film tersebut.

Jika dikaitkan di Indonesia, maka strategi ini adalah upaya untuk mempertahankan film Indonesia yang dijajah Hollywood. Salah satu film yang menjadi kajian penulis untuk placement iklan adalah film berjudul ‘Alahkah Lucunya Negeri Ini’. Penulis memilih film ini karena film ini tergolong film yang baik diantara film Indonesia yang menjadikan tema horror dan wanitanya sebagai komodifikasi. Film “Alangkah Lucunya (negeri ini)” yang disutradarai oleh Deddy Mizwar menggambarkan potret kehidupan masyarakat sehari-hari dan berisikan kritikan sosial pada negeri yang bernama Indonesia. Refleksi realita sosial ditampilkan dalam kehidupan para pencopet yang tidak memiliki pilihan selain mencopet untuk bertahan hidup. Datanglah seorang sarjana ekonomi bernama Muluk yang pengangguran untuk mengelola hasil dari mencopet. Muluk mengelola uang hasil copetan dengan menyicilkan sebuah sepeda motor, membayar guru untuk mengajar dan sisanya ditabungkan. Selain banyak konflik dan sindiran yang terungkap, film ini juga menggambarkan rasa kecintaan terhadap tanah air, tanpa memandang siapa pemimpinnya.

Dari pengamatan penulis, dalam film ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’ terdapat banyak sisipan produk iklan yang tampil. Diantaranya Yamaha, Sosis So Nice, Hydro, Promag dan Bank Muamalat. Berikut analisis penulis mengenai pelecement iklan pada film ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’:

  1. Sosis So Nice

Sosis So Nice merupakan jenis produk makanan yang kemunculan iklannya paling pertama dalam film ini. Muncul pada menit ke 10.52, menggambarkan tentang anak dari Abah bernama Pipit yang sarjana tapi belum bekerja, hobinya mengikuti kuis di televisi. Dan kuis yang diikuti adalah program kuis So Nice, dengan mengumpulkan bungkus So Nice agar mendapatkan hadiah. Pada menit ke 33.09, 34.39 dan menit 46.51 Muluk, sang pemeran utama membeli oleh-oleh So Nice, sebagai hasil karja pertamanya yang diberikan kepada ayahnya dan calon mertuanya serta Pak Haji. Dalam adegannya, semua menunjukkan ekspresi menyukai oleh-oleh Muluk, sebagai penanda bahwa makanan So Nice itu enak.

  1. Yamaha

Iklan motor Yamaha menjadi bagian dari cerita dan kemunculannya paling banyak diantara produk iklan yang lain. “Motor Yamaha” disebutkan pertama kali pada menit ke 11.08, saat Pipit menyampaikan kepada Abahnya bahwa dia ikut kuis dan hadiahnya adalah “Motor Yamaha”. Selanjutnya di menit ke 16.17 kembali Pipit menonton kuis di tv dengan program kuis interaktif Yamaha. Pada menit ke 35.24 baru tampak produk motor Yamaha ditampilkan dalam film, karena Muluk membelikan motor Yamaha sebagai hasil tabungan dari para pencopet. Di menit ke 41.09 Muluk menunjukkan ke teman-temannya bahwa dia memiliki motor baru Yamaha, dan ekspresi temannya menyatakan bahwa motor yang dibelinya sangat bagus. Gambar motor Yamaha juga jelas ditampilkan pada menit ke 47.30 saat Muluk berkunjung ke rumah calon mertuanya. Terdapat kalimat yang sarat dengan promosi disampaikan oleh calon bapak mertuanya yang menyatakan bahwa “Harga laptopnya 15 juta, lebih mahal dari motor lu donk”. Dari kalimat itu menunjukkan bahwa motor Yamaha itu murah, yaitu kurang dari 15 juta.

Placement Iklan Pada Film Alangkah Lucunya Negeri Ini selengkapnya

Garapan Abimanyu Wigna

Garapan Abimanyu Wigna

Kiriman: Kadek Sidik Aryawan, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

1. Deskripsi Garapan

            Abimanyu Wigna merupakan tari kreasi baru yang ditarikan oleh 5 orang penari putra, bertemakan kepahlawanan, yang ceritanya diangkat dari Epos Mahabharata.

Garapan ini pada prinsipnya tetap berpola pada tradisi, akan tetapi telah dikembangkan atau diinovasikan baik dari segi perbendaharaan gerak dengan memadukan esensi gerak tari Baris, Jauk, Topeng dan Pegambuhan, maupun pola lantai, kostum dan properti yang digunakan.

Garapan ini ditata sedemikian rupa agar kelihatan indah dan dinamis, sehingga mudah dimengerti oleh penikmatnya. Durasi waktu garapan ± 12 menit dengan diiringi seperangkat gamelan Gong Kebyar.

2. Analisis Pola Struktur

            Struktur atau susunan suatu karya seni menyangkut keseluruhan karya seni tersebut, meliputi peranan masing-masing bagian dari dalam keseluruhan. Sehingga terdapat hubungan antara bagian-bagian dalam suatu karya seni (Djelantik, 1999 : 41). Garapan  ini memiliki struktur yakni :

Pengawit :

            Kelima penari on stage. Pada pengawit ini menggambarkan Abimanyu yang tampan dan gagah berani serta memiliki semangat jiwa muda yang bergelora. Suasana : tenang.

Pepeson :

            Menggambarkan tokoh Abimanyu yang gagah berani. Suasana : gembira.

Pengawak :

Pada bagian ini mengisahkan kesiapan ataupun keberanian Abimanyu untuk masuk ke dalam Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan Korawa untuk melindungi Pandawa. Suasana : tegang.

Pengecet :

            Pada bagian ini mengisahkan Abimanyu yang sedang latihan berperang.

Pesiat :

            Pada bagian ini mengisahkan malapetaka yang menimpa Abimanyu yakni Abimanyu terbunuh akibat dari kelicikan dan kecurangan yang dilakukan oleh guru besar pihak Korawa. Suasana : tegang lalu berubah menjadi sedih.

3. Analisis Estetika

            Dalam penggarapan sebuah tari, seorang seniman selalu memperhatikan nilai keindahan dalam garapannya. Pada umumnya apa yang kita sebut “indah” dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman, dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali. Hal ini dilakukan agar penonton, yang menyaksikan pertunjukan tersebut mampu menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat di dalamnya. Menurut A.A.M Djelantik dalam bukunya yang berjudul Estetika Sebuah Pengantar, dinyatakan bahwa dalam setiap peristiwa kesenian dalam hal ini ialah garapan tari terdapat 3 (tiga) aspek yang mendasari keindahan, yakni wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian.

Wujud atau Rupa

            Wujud garapan tari Abimanyu Wigna terdiri dari bentuk dan struktur garapan. Garapan ini berbentuk tari kreasi yang ditarikan berkelompok. Struktur garapan ini memiliki unsur estetis yang berperan penting, yaitu keutuhan (unity), penonjolan (dominance), dan keseimbangan (balance). Keutuhan dari garapan Abimanyu Wigna dapat dilihat dari struktur garapan yang terdiri dari lima bagian, dan masing-masing bagian mempunyai hubungan yang relevan.  Bagian pepeson menggambarkan tokoh Abimanyu yang gagah berani. Bagian pengawak mengisahkan kesiapan ataupun keberanian Abimanyu untuk masuk ke dalam Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan Korawa.  Bagian pengecet mengisahkan Abimanyu yang sedang latihan berperang. Kemudian dilanjutkan pada bagian pesiat mengisahkan malapetaka yang menimpa Abimanyu yakni Abimanyu terbunuh akibat dari kelicikan dan kecurangan yang dilakukan oleh guru besar pihak Korawa.

Bobot

            Unsur yang sangat penting dalam menilai bobot kesenian dapat dilihat dari cara penyampaiannya atau “komunikasi”, karena maksud atau makna dari suatu karya seni itu tidak akan sampai pada si penikmat bila komunikasinya kurang. Isi dari suatu garapan tari bukan hanya apa yang semata-mata dilihat di dalamnya, akan tetapi meliputi apa yang dirasakan dan apa yang dihayati dari isi itu. Aspek utama dari bobot yakni suasana, gagasan dan pesan.

            Suasana yang ditampilkan dalam garapan ini terdapat di setiap bagian dari struktur garapan. Pada saat Abimanyu memasuki lingkaran Cakrawyuha ditekankan suasana tegang. Suasana gembira  dan agung  pada bagian pepeson yakni pada saat menggambarkan keagungan Abimanyu. Suasana panik dan tegang ditekankan pada saat kepanikan Yudhistira akan Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan korawa dan pada saat Abimanyu menyatakan siap untuk turun ke medan perang. Suasana tegang ditekankan pada saat perang yakni pada saat Abimanyu dicurangi oleh petinggi Korawa yang dipertegas dengan tata cahaya.

            Ide atau gagasan garapan ini bersumber dari epos Mahabharata dengan tema kepahlawanan yang menenkankan sifat berani dan rela berkorban yang dimiliki oleh Abimanyu. Adapun pesan yang ingin disampaikan oleh penggarap dalam garapan tari kreasi baru Abimanyu Wigna ini adalah agar kita sebagai generasi muda memiliki sifat yang berbakti kepada orang tua serta sikap rela berkorban demi bangsa dan negara.

Penampilan

            Penampilan yang dimaksud di sini adalah penyajian. Bagaimana karya seni itu disajikan kepada sang pengamat, penonton atau khalayak lainnya. Di dalam penampilan ada 3 (tiga) unsur yang berperan, yakni bakat, ketrampilan dan sarana. Bakat dan ketrampilan merupakan hal yang terpenting dalam suksesnya suatu garapan dengan tema pola kelompok, bakat dan ketrampilan penari harus setara. Untuk itu harus dilakukan seleksi dan latihan secara berulang-ulang untuk mencapai hasil yang maksimal. Mengenai sarana yang digunakan adalah lighting, layar, dan properti berupa pedang dan panah. Secara utuh garapan ini akan dilaksanakan pada ujian akhir yang bertempat di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar pada tanggal 25 Mei 2011.

4. Analisis Simbol

            Supaya penonton lebih mudah memahami maksud atau pesan yang akan diungkapkan dalam garapan ini, maka akan disampaikan beberapa simbol-simbol, seperti gerak, kostum, tata rias dan pola lantai.

Gerak

            Garapan Abimanyu Wigna menggunakan  beberapa gerak yang memiliki makna tertentu yang dapat dijadikan simbol gerak. Untuk menunjukan keenerjikan serta keberanian Abimanyu ditandai dengan gerak-gerak yang tegas dan bergetar didukung dengan irama musik yang banyak mengandung aksen. Teknik angkat (lifting) yang dilakukan seorang penari yang menyimbolkan keagungan Abimanyu. Selanjutnya gerakan yang berpindah-pindah menyimbolkan kelincahan dan keenerjikan Abimanyu.

Garapan Abimanyu Wigna selengkapnya

Loading...