Wamendiknas: Tak Perlu Paksakan Penuhi Kuota Bidik Misi

Wamendiknas: Tak Perlu Paksakan Penuhi Kuota Bidik Misi

Jakarta – Beasiswa Bidik Misi yang diberikan Kementerian Pendidikan Nasional diduga banyak yang salah sasaran.  Bea siswa yang mestinya untuk anak orang tidak mampu, ternyata justru diterima oleh calon mahasiswa dari keluarga mampu.

Karena itu, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal meminta kepada setiap perguruan tinggi untuk mengevaluasi kembali apakah beasiswa tersebut benar-benar diberikan kepada yang membutuhkan. Dia mewanti-wanti agar jangan sampai anak-anak miskin tidak mendapat kesempatan kuliah, karena Bidik Misi yang salah sasaran.

“Kalau memang tidak pantas ya (beasiswa Bidik Misi) jangan diberikan, perguruan tinggi harus mencari lagi yang berhak menerima,” ujar Wamendiknas seusai menghadiri dialog dengan pakar pendidikan tinggi Bank Dunia, di Gedung D Kemdiknas, Rabu (8/06).

Penerima beasiswa Bidik Misi diutamakan dari jalur undangan. Kalau dari jalur undangan belum mencukupi kuota, baru akan dicari lewat jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi (SNMPTN). Jika semua jalur telah ditempuh, namun jumlah penerima masih belum mencukupi kuota, Fasli meminta agar perguruan tinggi tidak memaksakan diri.

“Kalau memang yang berhak menerima sudah didapatkan semua, tapi kuotanya masih berlebih, ya biarkan saja. Uangnya akan dikembalikan ke kas negara, daripada dipaksa untuk diberikan kepada yang kaya,”  ujarnya.

Sumber: kemdiknas.go.id

Karya Seniman Indonesia Kurang Dikenal Publik Internasional

Karya Seniman Indonesia Kurang Dikenal Publik Internasional

NEW YORK.- Agus Suwage, Masriadi, Arahmaiani, dan Heri Dono adalah sejumlah perupa muda Indonesia yang bermunculan dalam sepuluh tahun belakangan. Karya-karya mereka tidak sebatas pada lukisan, tetapi juga memanfaatkan elemen video, kain, atau benda-benda lain yang ditata secara artistik, sehingga lahirlah istilah seni rupa kontemporer.

Mereka inilah generasi baru seni rupa Indonesia, yang sebelumnya didominasi karya-karya Affandi, Basuki Abdullah, Joko Pekik, Hardi dan lain-lain.

Sayangnya, hasil karya kontemporer Indonesia ini tidak banyak dikenal oleh publik internasional. Kesempatan mereka untuk mengadakan pameran di pusat-pusat seni Eropa atau Amerika Serikat, juga tidak sebesar para seniman Cina dan India.

Topik ini diangkat dalam obrolan seni bersama Melissa Chiu, Direktur Asia Society Museum New York, Amerika Serikat Kepada “VOA”, Melissa Chiu mengatakan, pengaruh kemajuan ekonomi dan geopolitik pada kedua negara tersebut tidak dapat diabaikan.

Kurator seni yang bermukim di New York ini menilai Indonesia perlu mengundang kurator internasional, agar karya-karya para perupa muda dapat dikenal luas oleh publik internasional. Peranan kurator yang melakukan seleksi atas setiap karya seni yang dianggap layak dipasarkan secara global, sangat penting untuk membuat calon kolektor memahami makna dari setiap karya.

“Saya kira ini lebih kepada dukungan agar Indonesia lebih banyak lagi mengadakan pameran karya-karya kontemporer, apakah itu pameran tunggal atau pameran bersama. Boleh juga dalam bentuk pameran online lewat internet, karena kami ingin lebih banyak lagi melihat ragam seni kontemporer Indonesia melalui website,” kata Melissa Chiu.

Dari data balai lelang Christie’s Hongkong, sepanjang Mei 2011 terdapat 223 seniman Cina yang berhasil menjual lebih dari 700 karya mereka. Sementara, hanya ada 41 seniman Indonesia, dengan jumlah karya 65 buah.

Dari jumlah tersebut, hanya 8 perupa Indonesia yang karyanya dihargai di atas 100.000 dolar Amerika. Sedangkan 52 seniman Cina berhasil menjual 220 karyanya, dengan harga yang sama.

Tapi, Melissa Chiu percaya, seni kontemporer Indonesia bisa lebih maju. Ia mencontohkan karya-karya Heri Dono, yang bahkan menurutnya cukup layak dipamerkan di The Museum of Modern Art (MoMA), New York.

Sementara itu, pelukis Astari Rasjid mengatakan seni di Indonesia berjalan sendiri-sendiri, tanpa dukungan pemerintah. Situasi ini, menurutnya, jauh berbeda dengan Tiongkok dan India.

“Di Indonesia, tanpa dukungan pemerintah saja kita sudah bila berjalan sendiri, meskipun tidak maksimal. Kalau Cina itu negara besar dengan ekonomi yang mulai maju, dan ini termasuk dalam seninya. India dan Thailand juga. Kita tidak bisa mengemis-ngemis negara lain untuk mempromosikan, karena itu semua harus dari kita sendiri,” katanya.

Sumber: pikiran-rakyat.com

Pemenang Lomba Karya Jurnalistik dan Artikel Pendidikan

Pemenang Lomba Karya Jurnalistik dan Artikel Pendidikan

Jakarta – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2011 diramaikan dengan Lomba Karya Jurnalistik Berita dan Penilaian Artikel di Bidang Pendidikan. Ada enam pemenang yang mendapat penghargaan dalam kegiatan yang diadakan Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat  Kemdiknas ini.

Tiga juara untuk penilaian artikel (nonlomba), dan tiga juara untuk lomba karya jurnalistik berita. Tema untuk penilaian artikel maupun lomba karya jurnalistik berita bertajuk “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Pengumuman pemenang berlangsung di Hotel Orchardz, Jakarta, (20/5), bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, yang juga dipilih sebagai puncak dari rangkaian peringatan Hardiknas 2011.

Untuk pemenang penilaian artikel, juara pertama diperoleh Paul Suparno, dengan judul artikel “Character Development and Nation Building”, dimuat di The Jakarta Post pada 23 Oktober 2010. Juara kedua diraih Sansrisna Ichan, dengan artikel berjudul “Sekolah, Belajar, dan Perubahan Karakter”, dimuat di Media Indonesia pada 25 Oktober 2010. Kemudian juara ketiga diperoleh Doni Koesoema A, dengan judul artikel “Kucing Hitam Pendidikan Karakter”, dimuat di Kompas pada 19 Juli 2010.

Sedangkan untuk pemenang lomba karya jurnalistik berita, juara pertama merupakan berita karya Edwardi, berjudul “Pendidikan Karakter: Memperbaiki Kain Salah Sulam”, yang diterbitkan Singgalang, pada 23 Maret 2011. Juara kedua diterima Junianto Budi S, untuk karyanya yang berjudul “Membentuk Siswa Berpikir Solutif”, dimuat di Koran Merapi Pembaruan pada 28 Maret 2011. Kemudian juara ketiga diraih Burhanuddin Bella untuk artikelnya yang berjudul “Pendidikan Karakter Dimulai dari Usia Dini”.

Dalam acara ramah-tamah dengan para pemenang, Sekretaris Jenderal Kemdiknas, Dody Nandika, yang diwakili Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat, Ibnu Hamad mengatakan, peran media sangat penting bagi dunia pendidikan pada umumnya, dan bagi Kemdiknas pada khususnya.

Sebagai instansi pendidikan tertinggi, Kemdiknas memerlukan komunikasi dengan masyarakat, dan media adalah fasilitatornya. “Pers bisa menjadi pemancar dan penyambung informasi dari kami ke masyarakat.” Media juga bisa menjadi saluran dalam mengembangkan dan menguatkan pendidikan karakter, seperti tema Hardiknas 2011.

Ibnu Hamad menambahkan, penilaian artikel bukan merupakan lomba, melainkan bersifat apresiasi. Bidang Pencitraan di Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemdiknas memiliki kliping berupa kumpulan artikel dari berbagai media massa cetak. Artikel-artikel itu merupakan artikel yang dimuat di media antara Juni 2010 hingga Maret 2011. Sebanyak 435 artikel diseleksi, dan terdapat 43 artikel yang dinilai lebih lanjut ke tahap berikutnya, berdasarkan tema dan kesesuaian.

Sedangkan untuk lomba karya jurnalistik berita, ada 70 berita yang masuk ke panitia untuk didaftarkan dalam lomba. Berita-berita itu merupakan berita yang terbit dari Januari 2011, hingga Maret 2011. Dari 70 berita, kemudian diseleksi lagi menjadi 32 untuk dinilai lebih lanjut ke tahap berikutnya.

Ada empat juri yang melakukan penilaian. Mereka adalah Ahmed Kurnia dan Illa Kartila sebagai praktisi, Mahdiansyah dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas, dan Dad Murnia dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdiknas, yang menilai artikel dan berita dari segi bahasa.

Mendiknas Mohammad Nuh kemudian memutuskan nama ke-enam pemenang pada 13 Mei 2010, untuk diumumkan tepat di Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Dalam sambutannya, Sekjen Kemdiknas Dody Nandika berharap, prestasi ini bisa menjadi pemicu dan motivasi para pemenang untuk terus berperan dalam dunia pendidikan

Sumber: kemdiknas.go.id

RRI Denpasar Ikut Kompetisi ABU

RRI Denpasar Ikut Kompetisi ABU

Denpasar  – “Guk-guk”, sebuah garapan infotainment Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Denpasar lolos pra seleksi dewan juri RRI pusat Jakarta, untuk selanjutnya diikutsertakan dalam kompetisi tahunan Organisasi Lembaga Penyiaran se-Asia Pasifik.

“Garapan karya seni itu selanjutnya akan dinilai dalam Kompetisi Kompetisi Asia Pasific Broadcasting Union (ABU)
Prizes 2011 bersama produksi katagori lainnya,” kata Kepala Bidang Programa Siaran RRI Stasiun Denpasar Bagus Ngurah Rai, S.H, M.M di Denpasar, Kamis.
Bagus Ngurah Rai yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali itu menjelaskan, garapan Guk-Guk juga dinilai bersama naskah drama anak dan remaja serta berita.
Garapan infotaiment itu ditulis oleh Ir Made Suartini yang disiarkan pada acara Dagang Gantal RRI Stasiun Denpasar yang menceritakan tentang Rabies.
Ariadi Putra, S.H selaku Supervisi garapan tersebut menjelaskan, gagasan cerita `Guk-guk` dalam Katagori Infotainment ini terinspirasi saat PWI Bali menggelar Sarasehan Penanggulangan Rabies di Bali pada peringatan Hari Pers 2011, pertengahan Maret lalu.
Bahaya penyakit rabies yang ditampilkan dalam acara Dagang Gantal merupakan acara unggulan RRI Denpasar yang digelar sejak 1992 atau 19 tahun yang silam.
Siaran Dagang Gantal menurut Bagus Ngurah Rai mendapat respon positif dari para pendengar di Pulau Dewata, terbukti melalui saluran telepon (phone in programe) ikut berperanserta menyemarakkan acara siaran Dagang Gantal tersebut.
“Masyarakat tidak hanya ingin tahu, namun juga sebagai upaya antisipasi penanggulangani penyakit rabies yang semakin meluas di Bali,” tutur Bagus Ngurah Rai.
Ia menambahkan, untuk pra seleksi kompetisi ABU Prizes 2011, RRI Denpasar Bidang Programa Siaran mengirimkan katagori drama, anak & remaja serta Infotainment.
Sementara bidang pemberitaan mengirimkan katagori “news dan documentary.” kata Bagus Ngurah Rai yang juga Plh Kepala Stasiun RRI Denpasar.
Kegiatan tersebut merupakan kompetisi tahunan dari Organisasi Lembaga Penyiaran se Asia Pasifik. RRI Stasiun Denpasar 2010 berhasil meraih juara I untuk Katagori The Best Musical Show Promoting The Musical Heritage dalam AIBD Prizes (Asia – Pasific Instute For Broadcasting Development ).
Karya yang berhasil meraih prestasi gemilang tingkat internasional itu berjudul `Jes Eksotik` hasil garapan kerja sama RRI Denpasar, PWI Bali dengan A.A Ngurah Kusuma Wardana dari Sanggar tari Penggak Men Mersi Puri Kesiman Denpasar.
Berkat prestasi tersebut RRI Stasiun meraih tropi yang diserahkan di Macau China 26 Juli 2010, tutur Bagus Ngurah Rai yang berharap prestasi tersebut bisa diraih kembali dalam tahun 2011.

Sumber: antaranews.com

Persepsi Perupa Tentang Mode

Persepsi Perupa Tentang Mode

Jakarta – Bangunan berbentuk kubus itu tersusun dari lempengan-lempengan logam berwarna perak. Masing-masing sisinya memiliki sebuah lubang besar. Dari lubang yang bentuknya berbeda-beda itu kita bisa melongok ruang di dalamnya, menyaksikan tayangan video pada layar televisi yang terpasang di sana. Semacam passion room yang mempresentasikan fantasi, kreativitas, dan hasrat melalui tekstur, visual, dan suara audio untuk memberikan suasana bagi fantasi orang-orang yang melihatnya.

Inilah kreasi eksperimental seniman multitalenta Jay Subyakto dan perancang busana Stella Ressa. Karya instalasi bertajuk Bosex itu dipajang di ruang pamer Galeri Nasional mulai 8-15 Mei 2011 . Kotak perak itu menunjukkan bahwa fashion itu sebuah pilihan yang sangat bebas. “Setiap sisinya mewakili masing-masing pilihan, feminin, maskulin, androgini, dan animal,” jelas Jay.

Jay dan Stella terpilih mewakili seniman-seniman muda tanah air untuk menunjukkan kreativitasnya. Selain mereka, terpilih pula Kiki Rizki yang berkolaborasi dengan Erika Ernawan, Oscar Lawalata, Davy Linggar, Deden Hendan D., Dita Gambiro, dan Ruang Rupa. Mereka bergabung dengan Hussein Chalayan, Antonio Marras, Gaspard Yurkievich, Raf Simons, dan Michael Sontag yang dikenal sebagai seniman besar seni kontemporer Eropa dalam pameran bertajuk Dysfashional #6.

Luca Marchetti, salah seorang kurator pameran ini menjelaskan Dysfashional dirancang sebagai sebuah situs di mana pameran menjadi ruang eksperimen, sebuah tanah eksplorasi baik untuk seniman maupun pengunjung. Dysfahional menurut pria berkebangsaan Italia itu, tidak menyuguhkan fashion dalam wujud pakaian dan sebagainya, tetapi menunjukkan bahwa fashion melampaui obyek yang menjadikannya materi. “Fashion adalah suatu sensibilitas yang tidak stabil,” jelasnya. Fashion dalam pameran ini diinterpretasikan dalam arti seluas-luasnya.

Jakarta sendiri terpilih sebagai kota pertama di luar Eropa yang menyelenggarakan pameran ini. Sebelumnya, Dysfahional yang menampilkan berbagai karya yang diseleksi dua kurator Italia, Luca Marchetti dan Emanuele Quinz, itu digelar di Luxembourg (2007), Lausanne (2008), Paris (2009), Berlin dan Moskow (2010).

Dysfashional #6 digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta, bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien, Galeri Nasional ,serta Majalah Dewi, dalam rangka pembukaan Festival Seni Prancis 2011. “Acara ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi seniman-seniman Indonesia menampilkan karya-karya kreatif mereka,” jelas Direktur CCF Jakarta David Tursz.

Inda C. Noerhadi, kurator dari Galeri Nasional Indonesia menjelaskan proyek pameran seni ini disiapkan dalam waktu cukup singkat. Rapat pertama antara CCF Jakarta, Goethe-Institut, dan Galeri Nasional digelar pada awal Februari 2011 . Kemudian, pada pertengahan Februari, dua kurator Luca Marchetti dan Emanuele Quinz datang dari Paris untuk bertemu beberapa perancang busana dan seniman Indonesia yang diundang dari berbagai tradisi, generasi, tujuan artistik, dan wilayah kerja yang berbeda, namun memiliki semangat yang sama untuk mendukung Dysfashional.

Rangkaian rapat dan diskusi dilakukan untuk menguatkan tujuan proyek seni ini, yakni bukan untuk mendefinisikan mode, tetapi untuk menekankan fenomena mode yang amat penting dalam evolusi aliran-aliran kreatif baru.

Proses menyamakan ide itu, jelas Inda, bukanlah persoalan mudah. “Ada beberapa kesalahpahaman mengenai topik, bahwa pameran ini sama sekali bukan menampilkan pakaian atau garmen,” jelasnya. Setelah melewati proses diskusi dan dialog, terpilihlah tujuh artis Indonesia (dua perancang busana dan dua seniman) dari latar belakang yang beragam. Mereka diberi kesempatan untuk mengekspresikan visi-visi , dunia, dan imajinasi mereka tentang fashion.

Dua seniman, yakni Dita Gambiro dan Deden Hendan Durahman menyajikan dua karya lama mereka. Duta memamerkan dua karya instalasinya, Mbak Yu dan Savety First yang dibuat pada 2007. Mbak Yu merupakan sebuah rangkaian tujuh sapu yang digantung di dinding dengan ukuran berbeda. “Sapu mewakili peran domestik perempuan,” katanya. Sementara, Safety First adalah lima rangkaian helm yang terbuat dari rambut sintetis, sanggul, aksesoris rambut, helm, dan rotan yang dipajang d atas meja putih. “Helm lebih sebagai lambang perlindungan,” kata Gita.

Lain lagi dengan Deden. Dalam pameran ini, dia memajang dua karya fotografi yang dibuatnya pada 2008. Karya fotografi berukuran 120 x 250 sentimeter berjudul Corpus: Perspective I & II itu dianggap sebagai cerminan pemikiran fundamental yang mengatakan bahwa mode dimulai dari titik nol. Manusia dilahirkan tanpa pakaian dan kemudian ditutupi oleh mode dan menggunakan banyak elemen atau aksesoris untuk memperkuat identitas mereka.

Emanuele Quinz menjelaskan Dysfashional yang berasal dari budaya Eropa telah melahirkan mode kontemporer yang menngandung konsep yang selalu membentuk perkembangan artistik. “Konsepnya sangat sederhana, tapi rumit untuk dipahami,” jelas Emanuele. Setiap seniman diberi kesematan mengeksplorasikan fashion dari sudut pandangnya, baik dalam bentuk karya instalasi, fotografi, dan berbagai medium lainnya.

Kiki Rizky dan Erika Ernawan, misalnya, menyuguhkan perspektif mereka tentang fashion lewat video performance berjudul “Let’s Talk About”. Di video itu, terlihat Kiki dan Erika terus mengoceh soal fashion, tapi satu sama lain “tidak nyambung”. Erika bicara soal sejarah fashion, sedangkan Kiki membaca majalah fashion secara tidak berurutan. “Kami berusaha memahami fashion dengan cara banal. Seperti menjebak diri dalam kenihilan, berawal dari ketiadaan, berakhir pada ketiadaan pula,” jelas Kiki.
NUNUY NURHAYATI

Sumber: tempointeraktif.com

Loading...