Pembinaan Seni Karawitan Klasik Pegongan Pada Sekaa Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung

Pembinaan Seni Karawitan Klasik Pegongan Pada Sekaa Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung

    Kiriman I Gede Yudartha, SS.Kar., M.Si

I Gede Yudartha

I Gede Yudartha

Seni Sekaa Gong Kerthi Budaya adalah salah satu unit organisasi sosial kemasyarakatan yang terdapat pada lingkungan Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung. Sebagai salah satu organisasi sosial kemasyarakatan, sekaa gong ini memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang seni karawitan yaitu melaksanakan fungsi dan kewajiban untuk mengiringi aktivitas ritual keagamaan serta aktivitas sosial lainnya yang terjadi di lingkungan banjar Pengabetan dan di Desa Adat Kuta.

Sekaa gong ini didirikan pada tahun 1978 dan keberadaannya sangat eksis di masyarakat dimana dalam jangka waktu 30 tahun usianya serta dengan dukungan 50 orang anggota, sekaa gong ini telah menunjukkan peran yang sangat penting dan menjadi salah satu sekaa gong yang terkemuka di lingku-ngan Desa Adat Kuta. Salah satu prestasi yang sangat penting dicapai adalah keberhasilan memenangkan seleksi gong kebyar se Kabupaten Badung dan selanjutnya ditunjuk sebagai Duta Kabupaten Badung pada Festival Gong Kebyar tahun 1993. Keberhasilan sekaa gong ini mencapai prestasi tersebut tidak terlepas dari adanya suatu sistem pembinaan yang berkelanjutan dari gene-rasi ke generasi, dan dibina oleh seniman-seniman yang profesional di bidang seni karawitan. Pada awal berdirinya hingga tahun 1980-an sekaa gong ini mendapatkan pembinaan dari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar dengan materi fragmentari Ramayana yang mana dari pembinaan tersebut selanjutnya dipertunjukan kepada para wisatawan. Dari penyelengga-raan aktivitas tersebut, sekaa gong ini mampu meningkatkan perekonomian, yang mana hasil dari pagelaran tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan anggota serta membangun Balai Banjar Pengabetan.

Sebagaimana umumnya kehidupan sosial masyarakat Bali, di lingkungan Desa Adat Kuta khususnya di Banjar Pengabetan, religiusitas masyarakatnya sangat tinggi dimana pelaksanaan upacara serta berbagai aktivitas keagamaan dapat di langsungkan dengan baik. Walaupun sebagaian besar masyarakatnya beraktivitas di sektor kepariwisataan dan hidup dari pelayanan jasa, perdagangan, dan perhotelan, kehidupan dan aktivitas di bidang sosial keagamaan masih berlanjut sebagaimana telah diwariskan oleh para leluhur mereka.

Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut salah satu sarana dan media yang sangat penting adalah gamelan serta repertoar tabuh-tabuh klasik pengiring pelaksanaan upacara khususnya tabuh-tabuh lelambatan klasik pegongan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, keberadaan sekaa Gong Kerthi Budaya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan keagamaan baik di lingkungan banjar maupun di desa adat Kuta. Untuk keperluan tersebut, saat ini banyak repertoar komposisi lelambatan klasik yang telah dikuasai diantaranya: tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, dan tabuh nem. Walaupun demikian, sebagai salah satu sekaa gong terkemuka di kawasan Kuta, sekaa gong ini memiliki motivasi dan keinginan yang tinggi untuk menambah perbendaharaan repertoar tabuh untuk dapat menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik yang berbeda dengan repertoar yang telah dimiliki sebelumnya.

Untuk itu kami dihubungi dan diminta secara pribadi untuk memberikan pembinaan dan menuangkan materi tabuh lelambatan. Adanya permintaan tersebut tentunya merupakan suatu tantangan dan untuk dapat memenuhi apa yang diinginkan kami mencoba memberikan materi yang berbeda dengan apa yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun materi yang kami pilihkan adalah dua buah tabuh dua lelambatan pegongan, serta salah satu komposisi tabuh pat lelambatan.

Komposisi tabuh pat Lokaria ini pada mulanya berbentuk tabuh lelambatan pegongan kreasi yang diciptakan oleh I Wayan Sinti. Dipilihnya tabuh lelambatan ini di samping untuk dapat dipergunakan sebagai tabuh ingingan upacara, juga sebagai salah satu upaya revitalisasi dan merekon-struksi keberadaan komposisi tersebut, mengingat keberadaannya semenjak usai ditampilkan dalam festival tidak pernah dimainkan dan sudah mulai dilupakan oleh sekaa gong tersebut. Untuk dapat ditampilkan sebagai pengiring upacara keagamaan tentunya harus diadakan penyesuaian dengan mengadakan beberapa perubahan terutama aspek musikalitas serta penye-derhanaan teknik permainan instrumen sehingga nantinya mengarah kepada bentuk tabuh lelambatan pegongan klasik.

Dalam upaya merubah bentuk komposisi ini menjadi sebuah komposisi lelambatan klasik, di samping mengadakan penyederhanaan, di sisi yang lain juga dilakukan dengan memberikan ornamentasi pada beberapa bagiannya sehingga penampilannya tidak saja terkesan klasik namun mampu memberi-kan nuansa baru sebagai salah satu bentuk tabuh lelambatan klasik. Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan adalah dengan mempergunakan 2 (dua) periring yang ditempatkan pada bagian awal gending pengawak dan bagian akhir gending pengisep, dengan tujuan untuk memberikan keragaman dinamika sehingga tidak tampil monoton.

Penyajian model 2 (dua) periring umumnya dilakukan pada komposisi tabuh lelambatan kreasi, dimana bentuk periring tersebut ditempatkan pada bagian depan sebelum menginjak bagian pengawak dan pada bagian akhir pengisep yang menghantarkan ke bagian berikutnya, yaitu bebaturan (pengecet). Komposisi dengan model dua periring ini belum pernah dilakukan dalam penyajian tabuh lelambatan klasik gaya Badung, dimana pada umumnya hanya mempergunakan satu periring yang ditempatkan pada bagian awal dari pengawak. Sebagai salah satu karya komposisi yang lahir dari seniman Badung, walaupun terjadi perubahan serta diberikan ornamentasi pada beberapa bagiannya, penampilannya sebagai salah satu bentuk tabuh lelambatan gaya Badung masih tetap dipertahankan sebagaimana bentuk-bentuk tabuh lelambatan yang lainnya sehingga tidak tercabut dari akar tradisi yang melahirkannya.

Tujuan dari kegiatan ini di samping untuk menjawab rumusan masalah di atas, juga sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi dan merekonstruksi salah satu bentuk karya seni yang pernah ada dan dimiliki oleh sekaa gong Kerthi Budaya sehingga memiliki suatu bentuk komposisi tabuh lelambatan klasik dengan nuansa baru serta tetap berpijak pada akar tradisi gaya bebadungan yang nantinya dapat disajikan sebagai tabuh instrumental dalam mengiringi rangkaian upacara keagamaan dan aktivitas sosial lainnya.

Dilaksanakannya kegiatan ini secara umum diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat Banjar Pengabetan serta sekaa Gong Kerthi Budaya sehingga keberadaannya sebagai salah satu sekaa gong terkemuka di desa Adat Kuta masih dapat dipertahankan.

Sedangkan di pihak lain, keterlibatan kami selaku pembina dan bagian dari civitas akademika ISI Denpasar dapat mempererat hubungan secara pribadi serta antara Lembaga ISI Denpasar dengan masyarakat khususnya sekaa gong Kerthi Budaya, Banjar Pengabetan Kuta sebagaimana yang telah terjalin dari tahun 1980-an.

Sebagai salah satu pembinaan yang bersifat kolektif, kegiatan ini tentunya melibatan banyak orang terutama anggota sekaa gong serta berbagai pihak terkait seperti prejuru banjar (Kelian Adat) beserta jajarannya. Namun demikian untuk memperlancar dan mempercepat proses pembinaan, secara khusus ada beberapa orang anggota sekaa yang dianggap mampu, diberikan materi secara intensif sehingga nantinya dapat ditularkan kepada anggota sekaa yang lainnya.

Metode yang diterapkan dengan cara meguru kuping dan meguru panggul. Walaupun terkesan tradisional, metode ini memiliki keunggulan, efektif dan efisien serta secara turun menurun di terapkan oleh para seniman-seniman karawitan Bali dalam aktivitas pembinaan yang dilakukannya. Meguru kuping dan meguru panggul adalah metode tradisional yang biasanya diterapkan secara bersamaan pada saat dilaksanakan pelatihan. Metode ini sangat berbeda dengan sistem pembelajaran musik sebagaimana umumnya yang sangat tergantung pada partitur. Suatu kebiasaan dalam memainkan komposisi karawitan Bali adalah dengan menghandalkan hapalan tanpa pernah dibantu dengan partitur. Sebagaimapun tingkat kesulitan, kerumitan dan panjang pendeknya sebuah komposisi adalah merupakan hal yang sangat biasa dilakukan oleh para seniman-seniman karawitan Bali. Dengan kemampuannya tersebut para seniman penyaji di Bali dikenal memiliki tingkat hafalan yang sangat baik.

Meguru kuping adalah metode yang dilakukan memberikan contoh-contoh melodi yang diperdengarkan secara langsung dihadapan orang-orang yang diberikan pelatihan. Sedangkan meguru panggul adalah dengan memberikan contoh-contoh teknik permainan instrumen secara langsung yang nantinya diikuti oleh para peserta pelatihan. Penerapan metode ini biasanya berulang-ulang hingga para peserta pelatihan dapat memahami dan mengikuti apa yang telah dicontohkan.

DAFTAR PUSTAKA

Astita, I Komang.1993. Gamelan Gong Gede: Sebuah Analisis Bentuk. Mudra, Jurnal Seni Budaya, Edisi Khusus Februari 1993. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar: STSI Press.

Rembang, I Nyoman.1984/1985. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan Kesenian Bali.

Sukerta, Pande Made.1998. Ensiklopedi Mini Karawitan Bali. Sastrataya-Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Bandung-Indonesia.

Yudarta, I Gede. 2007. “Tabuh Lelambatan Pegongan Gaya Badung: Kontinuitas dan Perubahannya”. Laporan Penelitian Due-Like Batch IV Sekolah Tinggi Seni Indonesia/ ISI Denpasar.

Discografi Rekaman Audio.

  1. Festival Gong Kebyar se Bali 1993, Kabupaten Badung. Bali Stereo No. B 585

  2. Festival Gong Kebyar se Bali 1994. Kabupaten Badung. Bali Stereo No. B 895

  3. Festival Gong Kebyar se Bali 2006. Kota Denpasar. Bali Stereo No. B 1185

Gamelan Gambang Dalam Upacara Dewa Yadnya

Gamelan Gambang Dalam Upacara Dewa Yadnya

Kiriman I Gede Yudartha, SSKar., MSi

Dosen Program Study Seni Karawitan

Gamelan Gambang

Gamelan Gambang

Dewa Yadnya berarti persembahan suci kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa dengan berbagai manifestasinya. Pelaksanaan upacara Dewa Yadnya biasanya dilakukan di tempat-tempat pemujaan seperti sanggah¸tempat pemujaan keluarga dan pura yang merupakan tempat persembahyangan bagi masyarakat umum atau klen dari keluarga tertentu. Dalam ritual upacara yang dilakukan di pura-pura atau tempat sanggah, dalam suatu tingkatan tertentu biasanya diiringi dengan seperangkat atau lebih gamelan Bali. Adapun gamelan yang biasanya dipergunakan adalah gamelan Gong Gede, Gong Kebyar, Smar Pagulingan, dan berberapa jenis gamelan lainnya termasuk salah satu diantaranya adalah gamelan Gambang.

Dalam pelaksanaan ritual upacara salah satu kesenian yang menonjol penggunaannya adalah seni karawitan. Bunyi gamelan yang digunakan untuk mengiringi ritual keagamaan adalah untuk membimbing pikiran agar terkosentrasi pada kesucian, sehingga pada saat persembahyangan pikiran dapat diarahkan atau dipusatkan kepada Tuhan. Pandangan ini relevan dengan realita kesakralan, karena bunyi gamelan secara psikologis dipandang mampu menciptakan suasana relegius secara sakral. Selain dari pada itu, keterpaduan antara tabuh yang dimainkan dengan pelaksanaan upacara dapat menciptakan suatu keharmonisan atau keseimbangan dalam hidup. Terciptanya keseimbangan ini, dapat dilihat bagaimana penganut agama Hindu menggunakan nilai-nilai estetika untuk menciptakan suatu keharmonisan dan keseimbangan hidup guna mencapai sesuatu yang bersifat religius.

Dipergunakannya gamelan sebagai sarana pengiring upacara karena esensinya adalah untuk membimbing pikiran umat ketika sedang mengikuti prosesi agar terkonsentrasi pada kesucian sehingga pada saat persembahyangan pikiran terfokus kepada keberadaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Jadi jelas bahwa dalam konteks tersebut gamelan memiliki nilai religius dimana keberadaan gamelan sebagai pengiring upacara keagamaan di suatu wilayah suci hal tersebut dapat menambah religiusitas sebuah prosesi keagamaan. Nilai religius yang dimaksud adalah bahwa gamelan khususnya repertoar-repertoar yang dimainkan memiliki nilai yang sangat penting dalam pelaksanaan aktivitas keagamaan. Hampir tidak ada satupun pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan tanpa diiringi oleh bunyi-bunyi gamelan.

Lebih lanjut sebagaimana dikatakan Donder (2004:122), hakikat bunyi gamelan pada prosesi ritual Dewa Yadnya antara lain sebagai:

  1. Sebagai persembahan untuk menyenangkan hati para Dewa/Ista Dewata (roh suci)

  2. Sebagai sarana magis untuk mengundang kekuatan spiritual.

  3. Sebagai sarana untuk menetralisir pengaruh negatif.

  4. Untuk mengurangi ketegangan atau emosi

Gamelan Gambang

Gamelan Gambang sedang di tabuh

Dimanfaatkannya Gamelan Gambang sebagai musik pengiring upacara Dewa Yadnya secara umum dapat dimaknai bahwa, gamelan Gambang memiliki makna religius.Terkait dengan fungsi gamelan Gambang dalam konteks upacara Dewa Yadnya, di wilayah Kota Denpasar, pada kenyataannya berbeda dengan pandangan-pandangan serta pemahaman masyarakat selama ini. Sebagaimana diuraikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, di Bali bagian tengah Gambang dipergunakan sebagai musik pengabenan yang dimainkan selama tiga hari berturut-turut (Dibia, 1978/1979). Pernyataan ini sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi di lapangan dimana gamelan Gambang di wilayah Kota Denpasar yang merupakan daerah yang terdapat pada wilayah Bali bagian tengah, Gambang juga dipergunakan sebagai musik pengiring upacara Dewa Yadnya. Sesuai dengan informasi dari I Nyoman Sukra, selaku klian Gambang Pura Kelaci, Banjar Sebudi Desa Sumerta Klod, sebagai salah satu aset atau duwe (milik) Pura Kelaci, gamelan Gambang yang tersimpan di pura biasanya dipergunakan untuk mengiringi piodalan atau upacara keagamaan yang dilangsungkan bertepatan dengan Hari Raya Saraswati yaitu Saniscara Umanis Watugunung. Bahkan gamelan ini dimainkan berturut-turut selama tiga hari selama Ida Betara di Pura tersebut Nyejer.

Demikian pula halnya gamelan Gambang yang terdapat di Pura Dalem Bengkel, Banjar Binoh. Menurut penuturan I Wayan Sinthi dan I Nyoman Jesna Winada (wawancara tanggal 12 Desember 2009) selaku sesepuh di pura tersebut, keberadaan gamelan Gambang di pura tersebut lebih banyak difungsikan sebagai sarana pengiring upacara yadnya yang dilangsungkan di pura tersebut. Bahkan keberadaannya sangat disakralkan sehingga tidak pernah dipergunakan untuk mengiringi upacara pitra yadnya (ngaben) karena pelaksanaan upacara tersebut dianggap sebel dan dapat mengurangi kesucian dari gamelan tersebut.

Sama halnya dengan keberadaan gamelan Gambang di Pura Dalem Bengkel, di Banjar Bekul Penatih. Gamelan Gambang yang dimiliki oleh masyarakat setempat juga sempat difungsikan sebagai sarana pengiring upacara Dewa Yadnya yang dilaksanakan di sekitar wilayah Desa Penatih dan Desa Kesiman. Sebagaimana penuturan I Nyoman Warka (wawancara tanggal 18 Desember 2009) selaku klian Gambang Banjar Bekul, pada masa yang lampau pada saat piodalan di pura Dalem Kesiman dan di Pura Pengrebongan yang merupakan sebuah pura yang disungsung oleh masyarakat Desa Kesiman, atas permintaan raja yang berkuasa di Puri Kesiman, sekaa Gambang Banjar Bekul diminta untuk berpartisipasi dengan sukarela (ngayah). Namun seiring dengan perjalanan waktu dan situasi kondisi yang ada, sekaa Gambang tersebut tidak pernah lagi berpartisipasi secara aktif pada event tersebut. Saat ini sekaa Gambang di Banjar Bekul hanya berpartisipasi pada saat dilaksanakannya upacara pitra yadnya dalam tingkatan utama (ngewangun) baik di Gria Bajing Kesiman maupun di Puri Kesiman hal ini dikarenakan Gamelan Gambang yang mereka miliki merupakan pica (pemberian), dimana sebagai imbalan atas pemberian tersebut, sekaa gambang memiliki kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif.

Perayaan Tumpek Krulut di ISI Denpasar,  Pemujaan Seni Menuju Harmonisasi Alam

Perayaan Tumpek Krulut di ISI Denpasar, Pemujaan Seni Menuju Harmonisasi Alam

Tumpek klurut

Tumpek klurut

Denpasar- Sebagai sujud syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa,  dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara atas terciptanya suara-suara suci/tabuh dalam keindahan dan seni, maka pada hari Sabtu, kliwon, wuku Krulut (28 November 2009), ISI Denpasar mengadakan upacara persembahyangan bersama yang berlangsung setiap 6 bulan sekali. Dalam masyarakat, ‘tetabuhan’ sangat identik dengan “Gong”, bukan dengan istilah ‘gamelan’. Oleh karena itu pada hari ini juga sering disebut dengan Odalan Gong. Tujuannya adalah agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki suara yang indah dan “taksu”. Dari alunan nada tersebut akan melahirkan gerak-gerak nan indah sebagai unsur seni. Dari keindahan itu, seni menjadi hiburan yang bertujuan untuk menyeimbangkan hidup.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., yang hadir disela-sela upacara mengungkapkan bahwa upacara Tumpek Krulut ini penting dilaksanakan, selain sebagai bentuk syukur juga untuk menyatukan hati dengan keindahan, sehingga kedamaian dunia lewat seni dapat terwujud. Perayaan ini sebagai revitalisasi spirit Tumpek Krulut.Pemahaman Tumpek Krulut adalah mendalapi spirit tetabuhan sehingga melahirkan kekuatan dan keteduhan. Nada dan bunyi memiliki kekuatan spiritual, dan alunan nada-nada merupakan proses menuju harmonisasi alam. Guna mewujudkan hal tersebut diperlukan perenungan dan menghaturkan syukur kepada Tuhan dalam menifestasinya sebagai Siwa.

Dengan menyatunya gamelan/ tari dan seniman itu sendiri, maka sebuah hasil karya seni yang luar biasa diharapkan terus lahir di kampus ISI Denpasar, sebagai kampus pencetak seniman akademik.

Humas ISI Denpasar Melaporkan

BAMBU, POHON MUSIKAL PENEDUH SUKMAWI

BAMBU, POHON MUSIKAL PENEDUH SUKMAWI

Salah satu gamelan Bali yang terbuat dari bamboo adalah Jegog. Gamelan ini umumnya dapat dijumpai belahan Bali Barat

Salah satu gamelan Bali yang terbuat dari bamboo adalah Jegog. Gamelan ini umumnya dapat dijumpai belahan Bali Barat

Bambu adalah tumbuh-tumbuhan purba yang paling musikal. Flora jenis rumput raksasa (gramineae) yang telah ada sejak 200.000 tahun SM ini banyak dijadikan alat musik di berbagai belahan dunia. Keindahan tiupan seruling dan puspa warna nada-nada yang dilantunkan si buluh perindu ini telah mengisi kehidupan dan kebudayaan masyarakat, sejak zaman primitif hingga sekarang. Beragam alat musik dari bambu telah tercipta dan diwarisi, termasuk di Bali. Beberapa bentuk alat musik bambu yang ada di Bali, 4-6 Nopember lalu ditampilkan dalam  sebuah Festival Bambu di Bentara Budaya Bali, Sukawati, Gianyar.

Di tanah air kita, bambu sebagai media musikal setidaknya telah dicatat keberadaanya pada abad ke-12. Sastra kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu Panuluh (1130 – 1160) dalam salah satu baitnya menulis: pering bungbang muni kanginan manguluwang yeaken tudungan nyangiring yang terjemahan bebasnya adalah bambu berlubang tertiup angin suaranya merdu meraung-raung bagaikan suara suling. Musik bambu yang dimaksud dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno itu adalah sunari yang hingga kini masih ditemukan di Bali, mengalun sendu di tengah persawahan atau berdesah magis dalam ritual keagamaan besar di pura.

Gambang sebagai salah satu gamelan bambu tua Bali juga telah dilukiskan dalam Candi Penataran di Jawa Timur (abad ke-14 Masehi). Prasasti yang dibuat pada zaman pemerintahan  Anak Wungsu di Bali (1045 Masehi) menyinggung pula tentang  anuling (peniup seruling), yang kemungkinan besar serulingnya terbuat dari bambu. Dua lontar tua tentang gamelan Bali, Aji Gurnita dan Prakempa memposisikan gamelan Gambang  dan Petangyan (gamelan Joged Pingitan) sebagai barungan (set gamelan) bambu yang menjadi representasi budaya dan presentasi estetik masyarakat Bali zaman kerajaan tempo dulu.

Selain memiliki martabat sebagai media ekspresi musikal, bambu di tengah masyarakat Bali, sejak dulu hingga sekarang, menempati posisi sakral-simbolik disamping tentu juga praktis multi fungsi. Dalam konteks sakral religius, ketika hari raya Galungan, sebatang bambu yang dihias janur ditancapkan di depan rumah setiap penduduk sebagai ungkapan syukur kemenangan dharma (kebajikan) atas adharma (kezaliman).  Tiying gading (bambu kuning) secara khusus dipakai properti benda-benda suci keagamaan, dari upacara persembahan kepada Tuhan hingga upacara pembakaran mayat. Karena pentingnya fungsi dan makna bambu tersebut maka masyarakat Bali mengenal dewasa ayu (hari baik) menebang bambu dan mengupacarai segala tanaman pada Tumpek Bubuh, bersiklus 210 hari. Bambu dalam wujudnya sebagai gamelan juga dipersembahnkan sesajen setiap enam bulan sekali pada hari Tumpek Krulut.

Kendati diupacarai begitu takzim, di tengah dinamika kehidupan yang dahsyat dalam era kesejagatan ini, kini seni tradisi pada umumnya mengalami guncangan hebat. Termasuk, beberapa bentuk gamelan bambu seperti Gambang dan Tingklik (gamelan Joged Pingitan) yang semakin langka. Bahkan Terompong Beruk, gamelan yang dulu menjadi bagian dari budaya agraris tradisional itu kini hampir punah. Namun demikian, di sisi lain, hak hidup tumbuhan bambu dan kesanggupannya sebagai wadah berkesenian masih tampak menunjukkan geliatnya. Gamelan Joged Bumbung masih bergairah mengiringi gelinjang para penarinya. Gamelan Gong Suling menguak di tengah gemerincing pariwisata Bali. Gamelan Jegog mendongak hingga ke luar negeri.

Masyarakat Bali memiliki tak kurang dari 25 barung gamelan, delapan hingga 10 ansembel adalah gambelan bambu. Gamelan berbahan logam Gong Kebyar adalah salah satu gamelan Bali yang berkembang sejak tahun 1915 yang kini hampir dapat dijumpai di setiap banjar atau desa di Bali. Namun walaupun eksistensi gamelan bambu kalah jauh dari gebyar-gebyar Gong Kebyar, sejatinya salah satu instrumen yang terbuat dari bambu, seruling atau suling, justru masuk dalam hampir setiap barungan gamelan Bali, sebagai pembawa melodi dan mempermanis lagu. Bahkan salah satu ansambel gamelan Bali, gamelan Gambuh, yang memiliki pengaruh luas terhadap gamelan lainnya, menempatkan beberapa instrumen suling sebagai alat musik terpentingya.

Beberapa bentuk gamelan bambu yang kini masih diwarisi dan diteruskan oleh masing-masing komunitasnya, secara tradisional diklasifikasikan fungsinya sebagai gamelan yang berkaitan dengan ritual adat atau keagamaan dan gamelan bambu yang berfungi sebagai ungkapan seni murni dan hiburan. Gambang misalnya adalah gamelan yang biasanya disajikan saat prosesi upacara agama. Ansembel xylophone bambu yang dimainkan dengan panggul (pemukul gamelan) yang bercabang dua ini kini hanya mampu dimainkan oleh segelintir seniman tua. Penampilannya di tengah upacara keagamaan juga kurang mampu mengusik perhatian hadirin.

Jika Gambang hanya merupakan gamelan bersifat instrumental, gamelan Tingklik dipakai sebagai iringan Joged Pingitan atau Gandrung. Seni pentas yang dulu khusus ditampilkan di kalangan kaum bangsawan pada era feodalisme itu, setelah datangnya para penjajah, membiak melahirkan bentuk-bentuk seni pergaulan seperti  Leko,  Adar, Gudegan, Tongkohan dan lain-lainnya. Kini dua kelompok grup Joged Pingitan atau Gandrung masih mencoba bertahan dengan sanggaan religiusitas masyarakat adat, satu di Ketapian, Denpasar, dan satu lagi di desa Sukawati Gianyar.

Joged Bumbung adalah bentuk tari pergaulan yang merupakan cucu dari Joged Pingitan. Jika Leko, Adar, Gudegan, Tongkohan kini tak jelas keberadaannya, Joged Bumbung berkembang di seluruh Bali dengan kekhasannya masing-masing. Gamelan Joged Bumbung yang juga disebut Rindik selain berfungsi untuk mengiringi tari joged juga dapat berdiri sendiri sebagai sajian musik instrumental. Seperti halnya Gong Suling, gamelan Joged Bumbung terlihat sering dihadirkan memberikan suasana nyaman di hotel atau menemani para wisatawan makan-minum di restauran.

Gamelan bambu yang disebut Jegog dapat dijumpai di kawasan Bali Barat, khususnya di Kabupaten Jembrana. Secara fisik, dibandingkan dengan gamelan Bali lainnya, Jegog tampak megah dan gagah. Tongkrongannya yang mendongak dan kemeriahan cat ukirannya, memunculkan kesan penuh percaya diri. Batangan-batangan bambu besar yang menjadi media utama sumber bunyinya mencuatkan identitas yang agung. Selain menyajikan musik instrumental, belakangan gamelan ini juga dipakai sebagai iringan tari kreasi dan sendratari.

Adalah I Nyoman Rembang, empu karawitan Bali yang berinovasi mengeksplorasi batangan-batangan bambu menjadi media musikal baru pada tahun 1985. Melalui Bumbang, demikian ansembal bambu ciptaannya disebut, Rembang bukan hanya menambah khasanah gamelan bambu  namun juga menggugah para seniman dan masyarakat akan potensi dan riwayat bambu sebagai mediator keindahan seni. Kehadiran Bumbang yang menjelajahi laras pelog dan slendro, bahkan nada-nada pentatonik, juga mempertegas bahwa bambu memang pohon musikal yang meneduhkan sukmawi manusia.

Kadek Suartaya

RAJUTAN GAMELAN BALI YANG MENGGODA

RAJUTAN GAMELAN BALI YANG MENGGODA

DSC00617 (1)Jakarta- Sebuah konser yang mempertemukan gamelan Bali, Jawa, dan Sunda ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (6/10) malam lalu. Pentas seni dari tiga wilayah musik tradisional gamelan terpenting Indonesia itu disuguhkan sebagai pembuka Festival Kesenian Indonesia (FKI)  perguruan tinggi seni se-Indonesia. Dalam FKI ke-6 tahun 2009 yang bertema Exploring Root of Identity yang berlangsung tanggal 5-24 Oktober tersebut, tampaknya gamelan diusung sebagai maskot festival. Penonton yang memenuhi gedung tertutup Graha Bakti Budaya  menyimak konser gamelan yang jarang terjadi itu dengan tekun hampir selama dua jam.

Gamelan Jawa disuguhkan oleh Istitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, gamelan Sunda digelar oleh Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan gamelan Bali dipentaskan oleh ISI Denpasar. Barungan gamelan Jawa, Sunda, dan Bali itu ditampilkan seluruhnya di atas panggung yang dimainkan secara bergilir. ISI Surakarta menyodorkan tajuk “Nyugata” dengan media musikal gamelan Carabalen dan Sekaten. STSI Bandung menampilkan gamelan langka Goong Renteng. Terakhir, ISI Denpasar menyuguhkan garapan berjudul “Ngalor-Ngidul Kangin-Kauh“ yang dituangkan dengan empat set gamelan yakni Slonding, Gamelan Gambuh, Semarapagulingan dan Gong Gede.

Kendati suasana yang dihadirkan dari konser gamelan ini tentu tidak gegap gempita seperti konser musik dangdut atau pop, namun denyut eksplorasi estetik dan makna kulturalnya mengharukan. Para seniman ISI Surakarta dengan bangga menggelar komposisi terbarunya yang berangkat dari karawitan tradisi. Begitu pula para pengerawit dari STSI Bandung dengan percaya diri menyajikan garapannya di hadapan penonton yang apresiatif. Respek penonton terhadap konser gamelan tersebut terasa membuncah ketika menyaksikan sajian yang ekspresif dari ISI Denpasar. Tak kurang dari setengah jam menonton menyimak dengan antusias aksi 30 orang mahasiswa dari Bali tersebut.

Dibandingkan dengan gamelan Jawa dan Sunda, bentuk-bentuk ekspresi ensambel gamelan Bali lebih variatif. Mungkin karena itu, dalam konser gamelan FKI tersebut ISI Denpasar memboyong empat barung gamelan dari 20-an jenis barung gamelan yang diwarisi dan bertumbuh di seluruh Bali. Tiga komposer muda ISI Denpasar, I Ketut Garwa, Gede Mawan, dan I Made Kartawan menuangkan gagasan kreatifnya lewat empat media gamelan itu menjadi sebuah tontonan musik yang memamerkan keterampilan menabuh dan penampilan yang menawan.

Berbeda juga dengan eksistensi gamelan di Jawa dan Sunda yang cenderung termarginalisasi oleh dinamika zaman, gamelan Bali  masih diposisikan secara hormat oleh masyarakatnya. Syahdan, keseharian Bali tak pernah sepi dari kumandang gamelan. Di tengah riuh dan khusuknya upacara keagamaan, bunyi gamelan mengalun seiring sejalan dengan denting genta pendeta dan liukan kidung suci. Di tengah sanggaan alam yang ramah dan kehidupan yang dinamis, tatabuhan gamelan memberi hiburan dan sekaligus sebagai media ekspresi keindahan. Puspa ragam gamelan senantiasa menyertai sajian seni tari dan pementasan teater.

Masyarakat Bali telah mengakrabi gamelan setidaknya sejak abad ke-10. Beberapa prasasti yang ditemukan telah menyebutkan adanya pamukul (penabuh), papadaha (pemain kendang), dan pabangsi (penggesek rebab). Gambelan sebagai sebuah ansambel juga telah disinggung dalam Aji Gurnita–lontar tua tentang gamelan Bali–diantaranya, Meladprana (gamelan Gambuh), Selonding, Semara Haturu (Semara Pagulingan) dan Semara Pendirian (gamelan Palegongan). Kini, gamelan yang berasal dari zaman Bali kuno hingga era Bali modern tetap eksis dan menggeliat dinamis berinteraksi dengan perkembangan masyarakatnya.

Representasi geliat dinamis evolusi gamelan Bali itulah yang tampak ditampilkan ISI Denpasar dalam konser bertitel “Ngalor-Ngidul Kangin-Kauh“ itu. Di tengah masyarakat Jawa,  makna konotatif dari istilah ngalor-ngidul adalah obrolan tak tentu arah. Begitu juga ungkapan kangin-kauh di tengah masyarakat Bali juga dimaknai omongan ngawur. Tetapi jika dicermati dari aspek estetik musikal yang ditampilkan, ternyata sebuah letupan dari ramuan penjelajahan melodi, permainan ritme, kompleksitas jalinan nada-nada yang menggoda. Ngalor-ngidul kangin-kauh kiranya menjadi ungkapn simbolik dari rajutan gagasan musik dari segala arah zaman, budaya, dan selera dengan semangat pengayaan dan perayaan terhadap kebhinekaan seni.

Tepuk tangan panjang penonton mengiringi bagian akhir dari garapan musik ISI Denpasar tersebut. Bahkan ketika konser sedang bergulir pun  beberapa kali tepuk tangan mengemuka merespon ungkapan musik yang menggelitik atau menggugah relung-relung estetik penonton. Para penabuh bermain secara dinamis, tak hanya memainkan satu instrumen dan tak hanya memainkan satu ensambel gamelan. Diawali dengan denting ritmis jalinan Slonding lalu tersambung oleh liukan suling dan tingkah kendang gamelan Gambuh. Sementara gamelan Gambuh masih mengalun, Semarapagulingan bergemerincing renyah yang kemudian dimeriahkan nada-nada berat gamelan Gong Gede. Pada klimaksnya, seluruh gamelan dimainkan dengan tempo naik turun dan dinamika yang lincah, sigap, dan lugas. Sebuah pendakian berkesenian (seni karawitan) sedang melaju.

Kadek Suartaya

Loading...