Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni ’Mudra’ ISI Denpasar

Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni ’Mudra’ ISI Denpasar

Prof. Rai tengah menunjukkan jurnal "Mudra" ISI Denpasar

Prof. Rai tengah menunjukkan jurnal "Mudra" ISI Denpasar

Denpasar – Guna membangun serta menggairahkan semangat dalam bidang tulis menulis dilingkungan dosen ISI Denpasar, UPT. Penerbitan ISI Denpasar menggelar Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni Mudra ISI Denpasar dari tgl 17-18 Nopember 2009, bertempat di Inna Bali Hotel Veteran. Kegiatan pengembangan jurnal bidang seni yang diberikan oleh DP2M-DIKTI kepada Jurnal Makara seri Sosial Humaniora untuk membina Jurnal MUDRA melalui hibah jurnal yang memenuhi Standar Mutu dan Tata Kelola Nasional, dengan ini pengelola jurnal MUDRA ISI Denpasar. Lokakarya diikuti 17 peserta yang terdiri dari penyunting, editor dan redaksi Jurnal Jurusan Tari (Agem), Karawitan (Bheri), Pedalangan (Wayang), Seni Rupa Murni (Rupa) dan Desain (Prabangkara). Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Wasmen Manalu dengan 3 materi naskah tentang, yaitu ”Memburu Naskah Lebih Bermutu Dan Manajemen Naskah”, ”Teknik Penyuntingan” serta ”Organisasi Penerbitan Dan Kiat Menjamin Keterlibatan Aktif Mitra Bestari”, Dr. Yoki Yulizar, MSc. Dengan materi ”Pengalaman Pengelolaan Berkala Dan Pelanggan”, Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A, yang mengevaluasi Jurnal. Selain itu hadir juga pembicara dari ISI Denpasar yaitu Drs. I Ketut Murdana., MSn, dengan materi ”Arah Kebijakan Penerbitan Institut Seni Indonesia Ke Depan”.

Dalam lokakarya terungkap bahwa publikasi dari karya dosen sangat diperlukan untuk bisa dibaca dan diketahui banyak orang tentang temuan, atau ide-ide cemerlang dari seseorang penemu yang kemudian bisa dikembangkan atau dijadikan sumber acuan bagi pelaksanaan program yang lain. Hal ini juga tidak terlepas dengan membangun semangat kembali untuk menggairahkan dalam bidang tulis menulis sebagai kewajiban tridarma seorang dosen dan kemudian mempublikasikannya. Sumber juga diketahui bahwa publikasi peneliti Indonesia di dunia internasional masih sangat kurang. Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya menulis yang belum berkembang di masyarakat pada umumnya, khususnya di perguruan tinggi. Hal ini juga disebabkan karena rendahnya kemauan dan kemampuan menulis hasil-hasil penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat dalam berkala bermutu, sehingga hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat publikasinya melalui berkala ilmiah nasional maupun internasional masih rendah atau kurang. Pengembangan budaya dalam meningkatkan kemampuan atau motivasi menulis, menjadi suatu tantangan dan permasalahan yang harus segera dapat dicarikan solusi pemecahannya. Untuk dapat menampilkan berkala ilmiah yang bermutu juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Kita sadari bahwa di Indonesia masih sedikit sekali berkala ilmiah yang mampu memuat naskah-naskah bermutu, karena ada dua pemasalahan umum yang dihadapi para pengelola berkala ilmiah, yaitu ketersediaan naskah bermutu; dan keberlanjutan pengelolaaan berkala. Naskah bermutu sangat terbatas karena pada kesadaran peneliti untuk mempublikasikan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat melalui berkala ilmiah masih belum termotivasi dengan baik. Tanggungjawab moral terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menyebarluaskannya masih perlu terus dimotivator oleh para pengelola, belum tumbuh dari dalam disri seorang peneliti/dosen. Padahal hasil-hasil penelitiannya tentunya akan yang sangat berguna bagi masyarakat luas baik untuk kepentingan praktis maupun pengembangan teoritis. Di samping itu kemampuan pengelola berkala juga dirasa kadang masih jauh atau kurang, sehingga tidak melakukan penyuntingan dan pengelolaan berkala secara optimal. Hal ini berdampak pada rendahnya mutu artikel yang diloloskan/dimuat. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada, maka diperlukan melakukan peningkatan mutu pengelolaan berkala ilmiah dengan mengadakan penataan dan lokakarya menajemen berkala ilmiah secara sisitematis dan berkelanjutan.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., mengungkapkan, lokakarya ini menjadi salah satu solusi, yang bertujuan meningkatkan kemampuan peserta dalam membuat artikel ilmiah sesuai dengan persyaratan untuk jurnal nasional dan internasional, dan patut kita sambut dengan tangan terbuka. Prof. Rai akan terus memotivasi para dosen untuk terus berkarya lewat tulisan. Sehingga tujuan utama dari kegiatan penataan dan lokakarya ini adalah meningkatkan mutu berkala dan kemampuan pengelola berkala ilmiah termasuk mekanisme serta segi-segi penting dalam meningkatkan mutu berkala dan proses akreditasi dapat terealisasi.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

Makalah Nyoman Dantes Disampaikan dalam Lokakarya Kurikulum Di FSRD

Konstruksi masyarakat masa depan ditandai dengan semakin menguatnya semangat Bhineka Tunggal Ika, sistim sosial yang mengakar pada masyarakat, ekonomi yang berorientasi pasar dengan perspektif global, akulturasi multikultur dalam berbagai hal, serta moralitas hukum. Hal tersebut mengindikasikan orientasi pembangunan yang mengedepankan kepentingan mayoritas yang berimplikasi pada perlunya upaya peningkatan mutu sember daya manusia, peningkatan aktivitas sektor ekonomi riil, pengembangan kreativitas dan produktivitas kelembagaan, model akomodasi multikultur masyarakat dalam bidang pendidikan, dan pengembangan hati nurani kemanusiaan melalui sektor pendidikan.

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar  sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi, juga dituntut untuk mengantisipasi berbagai dinamika pembangunan pendidikan yang sering tidak terprediksi dengan akurat oleh para pelaku pendidikan itu sendiri, dan untuk itu dituntut mampu menyesuaikan berbagai program dan aktivitas akademiknya sejalan dengan paradigma baru pendidikan kita, demi menyambut pendidikan berwawasan masa depan, yang diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi.

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan  learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know mahasiswa belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do mahasiswa mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan mahasiswa memecahkan masalah dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, mahasiswa belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, mahasiswa dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan mahasiswa tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal hidupnya.

Fasli Jalal dan Supriadi (2001) menyebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan di Indonesia dalam era reformasi untuk menjawab tantangan global, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis.

KURIKULUM URIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DI PERGURUAN TINGGI, Selengkapnya

RAJUTAN GAMELAN BALI YANG MENGGODA

RAJUTAN GAMELAN BALI YANG MENGGODA

DSC00617 (1)Jakarta- Sebuah konser yang mempertemukan gamelan Bali, Jawa, dan Sunda ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (6/10) malam lalu. Pentas seni dari tiga wilayah musik tradisional gamelan terpenting Indonesia itu disuguhkan sebagai pembuka Festival Kesenian Indonesia (FKI)  perguruan tinggi seni se-Indonesia. Dalam FKI ke-6 tahun 2009 yang bertema Exploring Root of Identity yang berlangsung tanggal 5-24 Oktober tersebut, tampaknya gamelan diusung sebagai maskot festival. Penonton yang memenuhi gedung tertutup Graha Bakti Budaya  menyimak konser gamelan yang jarang terjadi itu dengan tekun hampir selama dua jam.

Gamelan Jawa disuguhkan oleh Istitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, gamelan Sunda digelar oleh Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan gamelan Bali dipentaskan oleh ISI Denpasar. Barungan gamelan Jawa, Sunda, dan Bali itu ditampilkan seluruhnya di atas panggung yang dimainkan secara bergilir. ISI Surakarta menyodorkan tajuk “Nyugata” dengan media musikal gamelan Carabalen dan Sekaten. STSI Bandung menampilkan gamelan langka Goong Renteng. Terakhir, ISI Denpasar menyuguhkan garapan berjudul “Ngalor-Ngidul Kangin-Kauh“ yang dituangkan dengan empat set gamelan yakni Slonding, Gamelan Gambuh, Semarapagulingan dan Gong Gede.

Kendati suasana yang dihadirkan dari konser gamelan ini tentu tidak gegap gempita seperti konser musik dangdut atau pop, namun denyut eksplorasi estetik dan makna kulturalnya mengharukan. Para seniman ISI Surakarta dengan bangga menggelar komposisi terbarunya yang berangkat dari karawitan tradisi. Begitu pula para pengerawit dari STSI Bandung dengan percaya diri menyajikan garapannya di hadapan penonton yang apresiatif. Respek penonton terhadap konser gamelan tersebut terasa membuncah ketika menyaksikan sajian yang ekspresif dari ISI Denpasar. Tak kurang dari setengah jam menonton menyimak dengan antusias aksi 30 orang mahasiswa dari Bali tersebut.

Dibandingkan dengan gamelan Jawa dan Sunda, bentuk-bentuk ekspresi ensambel gamelan Bali lebih variatif. Mungkin karena itu, dalam konser gamelan FKI tersebut ISI Denpasar memboyong empat barung gamelan dari 20-an jenis barung gamelan yang diwarisi dan bertumbuh di seluruh Bali. Tiga komposer muda ISI Denpasar, I Ketut Garwa, Gede Mawan, dan I Made Kartawan menuangkan gagasan kreatifnya lewat empat media gamelan itu menjadi sebuah tontonan musik yang memamerkan keterampilan menabuh dan penampilan yang menawan.

Berbeda juga dengan eksistensi gamelan di Jawa dan Sunda yang cenderung termarginalisasi oleh dinamika zaman, gamelan Bali  masih diposisikan secara hormat oleh masyarakatnya. Syahdan, keseharian Bali tak pernah sepi dari kumandang gamelan. Di tengah riuh dan khusuknya upacara keagamaan, bunyi gamelan mengalun seiring sejalan dengan denting genta pendeta dan liukan kidung suci. Di tengah sanggaan alam yang ramah dan kehidupan yang dinamis, tatabuhan gamelan memberi hiburan dan sekaligus sebagai media ekspresi keindahan. Puspa ragam gamelan senantiasa menyertai sajian seni tari dan pementasan teater.

Masyarakat Bali telah mengakrabi gamelan setidaknya sejak abad ke-10. Beberapa prasasti yang ditemukan telah menyebutkan adanya pamukul (penabuh), papadaha (pemain kendang), dan pabangsi (penggesek rebab). Gambelan sebagai sebuah ansambel juga telah disinggung dalam Aji Gurnita–lontar tua tentang gamelan Bali–diantaranya, Meladprana (gamelan Gambuh), Selonding, Semara Haturu (Semara Pagulingan) dan Semara Pendirian (gamelan Palegongan). Kini, gamelan yang berasal dari zaman Bali kuno hingga era Bali modern tetap eksis dan menggeliat dinamis berinteraksi dengan perkembangan masyarakatnya.

Representasi geliat dinamis evolusi gamelan Bali itulah yang tampak ditampilkan ISI Denpasar dalam konser bertitel “Ngalor-Ngidul Kangin-Kauh“ itu. Di tengah masyarakat Jawa,  makna konotatif dari istilah ngalor-ngidul adalah obrolan tak tentu arah. Begitu juga ungkapan kangin-kauh di tengah masyarakat Bali juga dimaknai omongan ngawur. Tetapi jika dicermati dari aspek estetik musikal yang ditampilkan, ternyata sebuah letupan dari ramuan penjelajahan melodi, permainan ritme, kompleksitas jalinan nada-nada yang menggoda. Ngalor-ngidul kangin-kauh kiranya menjadi ungkapn simbolik dari rajutan gagasan musik dari segala arah zaman, budaya, dan selera dengan semangat pengayaan dan perayaan terhadap kebhinekaan seni.

Tepuk tangan panjang penonton mengiringi bagian akhir dari garapan musik ISI Denpasar tersebut. Bahkan ketika konser sedang bergulir pun  beberapa kali tepuk tangan mengemuka merespon ungkapan musik yang menggelitik atau menggugah relung-relung estetik penonton. Para penabuh bermain secara dinamis, tak hanya memainkan satu instrumen dan tak hanya memainkan satu ensambel gamelan. Diawali dengan denting ritmis jalinan Slonding lalu tersambung oleh liukan suling dan tingkah kendang gamelan Gambuh. Sementara gamelan Gambuh masih mengalun, Semarapagulingan bergemerincing renyah yang kemudian dimeriahkan nada-nada berat gamelan Gong Gede. Pada klimaksnya, seluruh gamelan dimainkan dengan tempo naik turun dan dinamika yang lincah, sigap, dan lugas. Sebuah pendakian berkesenian (seni karawitan) sedang melaju.

Kadek Suartaya

SENI KONTEMPORER DIKEBIRI SENI TRADISI BALI?

SENI KONTEMPORER DIKEBIRI SENI TRADISI BALI?

DSC00644

Denpasar – Seniman bertubuh tambun, Slamet Gundono, yang dikenal sebagai dalang Wayang Suket, tampil menggugah dan menggelitik dalam sarasehan seni pertunjukan kontemporer, Kamis (5/11) siang di ISI Denpasar. Di tengah perbincangan yang sarat gairah itu, Gundono didaulat untuk menunjukkan aksi pentasnya. Sembari memetik sebuah gitar kecil, celoteh dan alunan vokalnya yang improvisatoris membuat penonton terpana.

Aksi dadakan alumnus STSI Surakarta tersebut direnspon oleh koreografer Miroto dan komposer Agus Santosa. Sementara Miroto bergerak ekspresif di sisi-sisi tubuh Gundono yang duduk di tengah, Agus berjinjit-jinjit di bagian belakang sembari mengeksplorasi bunyi sebuah gong. Kolaborasi dalang, penari, pemusik yang sudah cukup dikenal secara nasional itu seakan menunjukkan bahwa seni komporer adalah ruang berkesenian yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari kebudayaan kontemporer masyarakat kita.

Kendati bergulir hanya sekitar tujuh menit, ketiga seniman itu tampak berhasil menggedor apresiasi dan hasrat-hasrat sukmawi  para peserta sarasehan terhadap nilai estetik dan kandungan pesan dari ekspresi seni kontemporer tersebut. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa yang dalam sarasehan itu diundang sebagai nara sumber, tak hanya berungkap secara verbal menuturkan eksistensi seni kontemporer di luar dan di dalam negeri namun juga menawarkan gagasan-gagasan sarat inspirasi dengan presentasi estetis eksploratif yang berdaya gugah.

Selain sebagai pembicara seminar, ketiga seniman Indonesia yang telah merambah forum seni internasional itu juga diusung sebagai juri Lomba Cipta Seni Kontemporer (LCSK) yang digelar oleh Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Rabu (4/11) malam. Hasil pengamatan mereka itulah, diantaranya, diperbincangkan dalam sarasehan yang dihadiri oleh para peserta lomba dan peminat seni pertunjukan. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa tampak bersemangat mengisahkan dan membagi pengalamannya dalam kancah seni kontemporer.

Slamet Gundono menuturkan pergulatannya dengan seni kontemporer lebih banyak ditimbanya langsung di tengah masyarakat komunal pedesaan. “Seorang seniman harus mau bermandi lumpur untuk mengasah dan merangsang kepekaannya menemukan gagasan dan penuangan karya seninya,“ ujar Gundono. Menurutnya, di tengah masyarakat tradisional Indonesia, seorang seniman seni kontemporer akan banyak bisa menyerap kearifan lokal untuk dipresentasikan menjadi ungkapan artistik. “Pementasan wayang atau teater saya banyak mendapat inspirasi dan disangga oleh pergulatan saya di tengah lingkungan kultur alamiah pedesaan,“ ungkapnya polos.

Miroto yang seorang penari Jawa tangguh dan sebagai seorang koreografer tari kontemporer berharap seni pertunjukan kontemporer digairahkan di tengah masyarakat. Menurutnya esensi kebebasan kreatif yang menjadi roh seni kontemporer sangat memungkinkan bertumbuh di Bali dengan karakteristik seniman Bali yang kreatif, lebih-lebih didukung masyarakat penyayang seni. Agus Santosa memberikan masukan kepada para seniman yang mengenyimpungi seni pertunjukan kontemporer untuk memiliki landasan jelas dalam mepersiapkan konsep karyanya. “Konsep matang akan memungkinkan untuk mewujudkan seni pentas kontemporer yang komunikatif,“ paparnya.

Tetapi, Gundono, Miroto, dan Agus Santosa mengaku sangat bangga dengan sajian empat karya seni pertunjukan kontemporer yang ditampilkan dalam LCSK itu. Keempat karya mahasiswa ISI tersebut, “Kara Perkara“, “Di Atas Waktu“, “Kursi-kursi“, dan “Karenamu“ ditimbang dan ditimang dalam sarasehan itu sebelum diumumkan peringkatnya. Dilandasi oleh agumentasi yang analitis-konpresensif, ditetapkan sebagai juara I adalah seni pertunjukan kontemporer “Karenamu“, karya mahasiswa semester VII gabungan jurusan tari, karawitan, dan pedalangan.

Secara konsepsi artistik, keempat karya seni yang disodorkan dalam lomba itu menghargai keseteraan tiga disiplin seni (tari, musik, teater) tanpa sekat. Pun secara tematis, keempatnya mengguratkan arah pesan moralistik yang lazim menjadi muatan seni kontemporer. “Kursi-kursi“ (juara II) misalnya secara simbolik satiristik menyajikan makna kursi dalam perspektif masyarakat kekinian. Jika saja makna kursi sebagai sebuah kekuasaan diberi aksentuasi estetik yang lebih menukik, karya seni ini akan lebih menghentak dan menggetarkan hati nurani penonton.

Seperti etimologi namanya, “co“ bersama dan “tempo“ waktu, seni kontemporer adalah seni masa kini yang di dalam ekspresi instrisik dan ekstrinsiknya mencerminkan wajah kekinian, bebas dari orientasi dan referensi seni yang telah mempola. Dalam perjalanan di Indonesia, di Bali khususnya, seni kontemporer belum menunjukkan eksistensi yang melegakan. Tahun 1970-an adalah periode penting bagaimana masyarakat Bali menanggapi kehadiran seni pertunjukan kontemporer. Sardono W. Kusomo yang menawarkan elemen-elemen seni kontemporer pada seni pentas Cak di Banjar Teges Kanginan, Ubud, pada tahun 1972, tak diperkenan oleh unsur pemerintah Bali untuk pentas di Jakarta.

Tahun 1977, tari kontemporer karya I Wayan Dibia, “Setan Bercanda“ juga mengundang polemik seru di surat kabar lokal. Namun ketika  menguak garapan gamelan kontemporer “Gema Eka Dasa Ludra“ karya  I Nyoman Astita, 1979, tak ada sikap kontra yang menyongsongnya. Sejak itu dan hingga kini, toleransi masyarkat Bali terhadap ekspresi seni pertunjukan kontemporer tetap kondusif. Hanya, sayang, seni tradisi yang relatif kuat eksistensinya di tengah masyarakat Bali yang mungkin mengebiri dan memarginalkan aliran kesenian ini seperti tampak di arena PKB. Kiranya, diperlukan strategi dan pembacaan yang lebih tajam dalam memposisikan seni pertunjukan kontemporer  di tengah dinamika budaya kekinian Bali.

Kadek Suartaya

Lokakarya Kurikulum Berbasis Kompetensi FSRD  ISI Denpasar

Lokakarya Kurikulum Berbasis Kompetensi FSRD ISI Denpasar

lokarya-FSRD-Denpasar-Untuk lebih memantapkan pemahaman tentang kurikulum yang berbasis kompetensi yang nantinya akan diterapkan dalam semua pembelajaran, maka Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar pada hari Rabu ini (18/11) kembali mengadakan Lokakarya kurikulum berbasis kompetensi. Kegiatan ini bertempat di Gedung Lata Mahosadhi (PUSDOK) ISI Denpasar . Sebagai pembicara atau narasumber pada kegiatan ini adalah Prof. Dr. I Nyoman Dantes dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha)-Singaraja.  Acara ini merupakan acara lanjutan dimana sebelumnya pada tanggal (10/11) telah diadakan semiloka dengan tema yang sama namun pada waktu itu yang menjadi pembicara adalah Prof. Drs. I Dewa Komang Tantra, MSc, PHD dari Undiksha pula.

Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA dalam sambutannya mengemukakan bahwa lulusan institusi pendidikan dengan kurikulum yang berbasis kompetisi akan gampang diserap oleh pasar kerja, karena pola pembelajarannya telah match dengan permintaan stakeholders. Jadi kegiatan pemuktahiran kurikulum ini sangat diperlukan untuk mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi  dalam pembelajaran khususnya di bidang seni dan desain di ISI Denpasar. Sehingga  kedepannya kualitas lulusan ISI Denpasar  dapat bersaing baik secara nasional maupun internasional.Prof, Dantes dengan sangat gamblang menjelaskan bagaimana merumuskan kurikulum berbasis kompetisi dalam kaitannya dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ini sesuai dengan renstra Depdiknas tentang pendidikan tinggi harus mengedepankan : keotonomian, kesehatan organisasi, akuntabilitas dan kemampuan daya saing. Jadi untuk mewujudkan itu semua semua komponen universitas harus berubah dari sisi konstruk berpikir maupun performansi kerja. Khusus dalam kurikulum harus mengacu kepada renstra ini dalam konteks untuk meningkatkan daya saing bangsa khususnya dalam pengembangan industri kreatif di Indonesia.

Menurut Dekan FSRD ISI Denpasar Dra. Ni Made Rinu lokakarya ini akan dilanjutkan dengan perumusan kurikulum berbasis kompetensi yang akan diterapkan dalam pembelajaran. Tentu diawali dengan evaluasi diri untuk mengevaluasi kelemahan kita, dan pola pikir untuk menentukan arah pengembangan masing-masing prodi sesuai dengan kebutuhan dunia industri kreatif sekarang. Perumusan kurikulum ini akan dilaksanakan oleh tim perumus yang merupakan pejabat struktural di FSRD ISI Denpasar dan secara periodik kurikulum akan selalu evaluasi dan dianalisis untuk menyiasati perkembangan keilmuan seni dan desain yang terus berkembang. Acara ini dimoderatori oleh PD I FSRD Drs. Olih Sulihat Karso, MSn dan dihadiri oleh seluruh pejabat struktural dan seluruh dosen di lingkungan FSRD ISI Denpasar.

Loading...