Proses daur ulang limbah batu padas sebagai bahan Patung

Proses daur ulang limbah batu padas sebagai bahan Patung

Oleh I Nyoman Parnama Ricor

Data yang kami peroleh setelah melakukan pengumpulan data di tempat perajin Desa Batubulan Kabupaten Gianyar pada bulan Juni 2007 adalah tidak ditemukan lagi proses daur ulang limbah batu padas hasil proses pembuatan patung menjadi bahan yang siap pakai kembali. Saat ini yang ada adalah pemanfaatan batu padas berupa serbuk halus sebagai bahan kerajinan patung dan kerajinan lainnya  dengan cara dicetak, jadi bukan pemanfatan limbah perajin setempat. Perbandingan pencampuran bahan batu padas halus dengan semen 5:1 (5 serbuk padas dan 1 semen halus). Untuk memudahkan dalam proses pencampuran dan pencetakan digunakan air sebagai pengencer. Serbuk batu padas halus ini dibeli dan dibawakan langsung oleh penghasil batu padas di Desa Belayu Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan. Serbuk batu padas ini merupakan olahan perajin ditempat penambangan batu padas. Serpihan-serpihan batu padas sisa hasil penambangan dan pembentukan batu padas berbentuk persegi dihaluskan kembali sehingga menghasilkan serbuk halus yang siap dijual. Maka lebih tepat dikatakan bahwa proses penghalusan limbah batu padas oleh penambang batu padas dan pemanfaatannya oleh perajin dengan teknik cetakan. Batu padas ada juga ditemukan dalam bentuk serbuk halus, sehingga tidak memerlukan proses penghalusan kembali.

Proses pencetakan patung dan jenis kerajinan lainnya diawali dengan pembuatan model benda yang akan dicetak. Model ini bisa dibuat dengan bahan kayu untuk ukuran benda lebih kecil, atau benda yang sudah jadi dari bahan batu padas seperti jenis-jenis patung. Model ini kemudian dibuat cetakan negatifnya. Sebelum dicetak model ini diolesi minyak pelumas bekas untuk memudahkan pemisahan cetakan dan model pada waktu pembukaan. Cetakan negative ini dibuat dari campuran semen dan pasir (PC). Cetakan tersebut ada belah 2, 3 dan 4 tergantung dari kerumitan benda yang akan dicetak. Penggunaan PC sebagai cetakan karena pertimbangan kekuatan dan juga mempunyai daya serap air cukup baik, pembuatannya lebih mudah dan biaya relative lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bahan lainnya. Berikut contoh-contoh cetakan belah dua dan hasil cetakannya :

Campuran/adonan serbuk padas dan semen ditambahkan air secukupnya dan diaduk sampai rata. Campuran ini dibuat agak encer untuk membuat hasil cetakan lebih tajam, karena bahan akan masuk sampai lekukan-lekukan cetakan yang paling rumit. Untuk membuat bahan cetakan lebih rata masuk kedalam lekukan-lekukan cetakan dapat dilakukan dengan mengaduk adonan dalam cetakan dengan sebatang kayu atau alat lainnya secara merata dan perlu diperhatikan jangan sampai alat pengaduk tersebut merusak bagian dalam cetakan. Cetakan yang tajam, pengerjaan finishing akan lebih mudah dan lebih cepat. Cetakan sebelum dipergunakan diolesi oli bekas supaya campuran PC tidak melekat dengan cetakan sehingga lebih mudah dalam proses pembukaan. Campuran kemudian dituangkan pada cetakan yang telah diikat dengan tali, dan didiamkan 1-2 hari sampai bahan tersebut cukup kering dan cukup kuat untuk dibuka. Pada 1 hari pertama tali cetakan tidak boleh lepas. Jika tali pengikat lepas dan tidak kuat cetakan akan bocor dan hasil cetakan dapat menyebabkan tidak penuh dan patah.   Jika hasil cetakan sudah cukup kuat untuk dibuka maka proses pembuakaan dapat

Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan

Oleh: Asmyta Surbakti, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, diterbitkan dalam Jurnal Mudra Edisi Januari 2008

Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia berpenduduk sangat heterogen dengan kehidupan multikulturalnya yang sudah dikenal sejak ibukota Provinsi Sumatera Utara ini berdiri pada pertengahan abad ke-16. Pola kehidupan plural sejak pra-Indonesia seperti itu tercermin juga dalam kebudayaan fisik kotanya melalui ratusan bangunan bersejarah tinggalan kolonial yang sangat menarik, yang saat ini dapat disaksikan terutama dalam berbagai fungsi baru seperti rumah tinggal, kantor, hotel, rumah toko, tempat peribadatan, rumah sakit, dan sekolah. Secara estetika, bangunan tersebut pada umumnya merupakan paduan gaya, desain, dan arsitektur Melayu, Belanda, India, Inggris, dan Cina, sebagai akumulasi dan kristalisasi sejarah Kota Medan sendiri, yang dapat ditelusuri sejak era penanaman tembakau Deli di Sumatera Timur pada tahun 1863.

Namun, di tengah semangat upaya pelestarian budaya dan industrialisasi pariwisata, fenomena paradoksal tak terhindarkan terjadi karena, dalam kenyataannya, satu persatu bangunan bersejarah di Kota Medan dirubuhkan dan diganti dengan bangunan modern. Perubuhan relatif begitu mudahnya terjadi di tangan pemilik baru bangunan bersejarah, yaitu para pengusaha, yang sangat dekat dengan kekuasaan, sehingga bangunan modern yang menggantikan hampir selalu terkait dengan kepentingan bisnis, seperti supermarket, mall, plaza, dan sebagainya. Tidak mengherankan, meskipun telah dikeluarkan Perda No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah di Kota Medan yang mencakup 42 bangunan dan dua kawasan yang harus dilestarikan, penghancuran bangunan bersejarah  tetap saja berlangsung. LSM Badan Warisan Sumatera (BWS) melaporkan, di wilayah Pemkot Medan, sudah ada puluhan bangunan tua yang dihancurkan padahal sekitar 400 bangunan lagi belum dimasukkan dalam Perda (detik.com, 26 Oktober 2004).

Dalam catatan Kompas (27 Oktober 2004), sejak adanya Perda tersebut, puluhan bangunan bersejarah yang dihancurkan di antaranya mencakup tempat pengadilan kerajaan Kerapatan Adat Deli, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan (1999) di Jalan Cut Mutia yang kemudian menjelma menjadi tiga pintu rumah tinggal (1989), Mega Eltra (2002) di Jalan Brigjen Katamso, sembilan rumah panggung di Jalan Timur, dan puluhan bangunan bersejarah di Jalan Kesuma. Terakhir, pada tahun 2004, Eks Bank Modern di Jalan Ahmad Yani (dibangun 1929) dihancurkan dan kemudian menjadi lima ruko berlantai 5 dan Kompleks perkantoran Perusahaan Perkebunan Sipef (PT Tolan Tiga) di persimpangan antara Jalan S. Parman dan Jalan Zainul Arifin (dibangun 1920) mengalami nasib yang sama yang akhirnya menjadi Cambridge Condominium.

Dengan itu, Kota Medan nanti diasumsikan akan kehilangan karakter utama dan identitas historisnya yang terkait dengan aesthetics of a city. Dominasi konstruksi peninggalan Belanda yang menjadi ciri bangunan bersejarah hanya akan menjadi cerita dan kenangan yang indah dan tidak akan bisa disaksikan lagi oleh generasi-generasi yang akan datang padahal “bangunan bersejarah sebagai estetika kota itulah Kota Medan!” Sejalan dengan itu, perubuhan bangunan bersejarah bertentangan dengan pelestarian budaya dan upaya industrialisasi pariwisata berbasis bangunan bersejarah yang akhir-akhir ini mulai digalakkan, yang berarti secara sistematis mematikan semangat kewirausahaan sektor-sektor kecil-informal terkait pariwisata dan, sebaliknya, mendukung kapitalisme kota melalui pembangunan supermarket dan sejenisnya yang berskala besar dan hanya menguntungkan pemodalnya secara sepihak tetapi bukan masyarakat kebanyakan.

Berdasarkan paparan di atas, tugas ini mengambil judul “Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan”. Sebagai sebuah kajian budaya (cultural studies), tulisan ini tidak mengabaikan sisi-sisi kontekstual atau apa yang tengah terjadi atau berlangsung (dalam hal ini: penghancuran) di sekitar teks yang dibahas, yaitu estetika kota berupa tampilan bangunan bersejarah di Kota Medan.

Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan, selengkapnya

ISI Denpasar Gelar Calonarang, Sampaikan Pesan Waspada Demam Berdarah

ISI Denpasar Gelar Calonarang, Sampaikan Pesan Waspada Demam Berdarah

Calon Arang Puri Ubud (foto by GC)Rangkaian piodalan di Pura Padma Nariswara ISI Denpasar, yang jatuh pada Hari Raya Tumpek Wayang (Saniscara Kliwon Wayang), pada 6 Februari 2010, akan digelar pementasan Calonarang pada keesokan harinya (7 Februari 2010 yang  bertempat di Kampus ISI Denpasar. Suguhan yang terkesan magis tersebut akan dibawakan oleh mahasiswa Jurusan Tari dan Pedalangan semester VII ISI Denpasar serta didukung oleh penabuh dari mahasiswa semester V Jurusan Karawitan. Bentuk ngayah yang disuguhkan para mahasiswa ini terbilang unik, dimana ditengah musim hujan ini, mereka mengambil konsep cerita berjudul “Wimba Pralaya”, yaitu rusaknya Sanur oleh ulah manusia. Hampir semua konsep cerita lahir dari Ide kreatif mahasiswa ISI Denpasar diantaranya Putu Adi Sujana dan Anom Ranuara yang sebentar lagi akan menamatkan studinya di ISI Denpasar. Menurut Anom Ranuara, mahasiswa Pedalangan, selain menampilkan hiburan dan ngayah di Pura, konsep cerita ini juga memberikan sentilan sosial kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Apalagi dalam kondisi musim hujan ini, jika tidak peduli, maka lingkungan ini dapat menjadi musuh kita lewat musibah yang ditimbulkan, diantaranya banjir dan penyakit yang sekarang tengah merajalela yaitu demam berdarah. Dirinya berharap semoga suguhan yang akan ditampilkannya mampu memberi pesan kepada penonton untuk waspada terhadap demam berdarah.

Tumpek Wayang adalah hari bagi umat Hindu di Bali untuk menghaturkan upacara menuju keutamaan tuah pratima-pratima dan wayang, juga kepada semua macam benda seni dan kesenian, tetabuhan, seperti: gong, gender, angklung, kentongan dan lain-lain. Upakara dihaturkan ke hadapan Sanghyang Iswara, dipuja di depan segala benda seni dan kesenian agar selamat dan beruntung dalam melakukan pertunjukan-pertunjukan, menarik dan menawan hati tiap-tiap penonton. Untuk pecinta dan pelaku seni, upacara selamatan berupa persembahan bebanten: sesayut tumpeng guru, prayascita, penyeneng dan asap dupa harum, sambil memohon agar supaya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam menciptakan majunya kesenian dan kesusastraan.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Pengetahuan Lokal Dalam Epistemologi Relasional: Kajian Filsafat Kebudayaan

Oleh I Gede Mudana, diterbitkan dalam Jurnal Mudra edisi September 2007

Membicarakan secara epistemologis eksistensi kearifan lokal dalam era globalisasi masa kini setidaknya, dalam pemahaman penulis, adalah membicarakan pengetahuan lokal dalam konteks kajian budaya di samping dalam konteks epistemologi relasional yang ingin dibahas dalam tulisan ini. Dikatakan demikian karena membicarakan (ke)ilmu(an) masa kini, salah satu yang paling populer dan menjadi kecenderungan, di antaranya, adalah membicarakan kajian budaya (cultural studies) betapapun pokok masalah yang dibicarakan adalah diskursus-diskursus yang lekat dengan nuansa kemasalaluan, seperti kearifan lokal  (local wisdom) di sini penulis lebih suka menggunakan istilah “pengetahuan lokal” (local knowledge).

Kajian budaya memang “disiplin ilmu” yang senantiasa menyambungkan (suturing, istilah yang kerap dikemukakan oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (almarhum) kemasalaluan dengan kepentingannya di masa kini untuk emansipasi manusia si pencipta/pemilik/pelaksana/pemakai disiplin ilmu tersebut. Itulah sebabnya mengapa eksistensi kearifan lokal dalam era globalisasi serta merta di sini dicoba di-suturing dengan pengetahuan lokal dalam konteks kajian budaya. Karenanya, dengan segala kerendahan hati, tulisan ini terutama menelisik secara agak filsafati khususnya filsafat kebudayaan   pengetahuan lokal dalam epistemologi relasional sebagaimana yang dikemukakan dalam judul tulisan.

Dari keberadaan kearifan lokal dalam era globalisasi, kesan luar yang pertama-tama muncul adalah semacam “contradictio in terminis”, yakni sebuah pertentangan yang dibawa oleh tema itu sendiri. Kearifan/pengetahuan lokal, yang nota bene sebuah proses pemberdayaan lokalitas-lokalitas “dilawankan” dengan gerakan-gerakan maha dasyat dan serba besar bernama globalisasi.

Globalisasi bukanlah “gombalisasi”. Ia merupakan fenomena yang benar-benar ada: bukan citra, bukan sekadar rekaan, apalagi guyonan iseng. Banyak yang mencoba mendefinisikan dan mengidentifikasinya tetapi, secara umum, ia tetap fenomena  pergerakan bebas kehidupan manusia dan kebudayaannya. Dengan dibantu oleh teknologi, termasuk dan terutama teknologi informasi dan transportasi, manusia bisa bergerak dan pergi ke mana saja tanpa batas (borderless). Bahkan lebih dari itu, Arjun Appadurai (1990:295-310.) menandainya sebagai suatu hubungan di antara lima dimensi: a) ethnoscape, b) mediascape, c) technoscape, d) finanscape, dan e)  ideoscape.

Tentang hubungan antara globalisasi dan lokalisasi, ia sebenarnya bukan sekadar sebuah pertentangan biasa, tetapi yang terjadi adalah sebuah proses dialektik. Dalam pendekatan dialektika, yang secara umum dapat dikatakan diwarisi dari Karl Marx dan bahkan dari Hegel, sebuah tesis akan dihadapi oleh sebuah antitesis yang kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Dengan itu, globalisasi adalah tesis, lokalisasi adalah antitesis, maka sintesis keduanya adalah apa yang dapat disebut “glokalisasi”  dari kata globalisasi dan lokalisasi. Istilah glocal (globalism dan localism) diperkenalkan oleh Mike Featherstone dalam karyanya Undoing Culture, Globalization, Postmodernism, and Identity (1995) yang tampak jelas dalam contoh budaya populer musik pop Bali (lihat: Darma Putra, 2004:89-108.).

Ini berarti, yang sesungguhnya terjadi tidak saja globalisasi secara linear tetapi juga glokalisasi. Pada saat dunia berubah menjadi “the global village”, sebuah konsep Marshall McLuhan yang ditulis dalam sejumlah bukunya, di antaranya War and Peace in the Global Village (1968), atau menjadi satu dunia (yang “sama”), ia juga pergi menuju fragmentasi, keterpecah-pecahan, sebuah proses lokalisasi. Di Bali misalnya, dalam contoh besarnya, globalisasi diselang-selingi oleh bergerak majunya lokalitas-lokalitas, termasuk di antaranya dengan mengemukanya ideologi “ajeg Bali” di sejumlah media massa lokal yang sangat membius dan memabukkan begitu banyak manusia Bali kontemporer.

Fenomena gaya hidup mengglobal, misalnya budaya massa sepakbola atau potongan rambut mendunia gaya Demi More, boleh ke mana-mana dan ke sini tetapi, pada saat yang sama, senantiasa terdapat gerakan-gerakan sosial, adat, dan agama yang sebaliknya, di antaranya di sini membentuk semangat mencari lelintihan, leluhur, soroh, kewangsan, dan simbol-simbol primordial lainnya. Anak-anak muda yang pergi bersembahyang ke pura pun melakukannya sembari memanjakan nafsu fetisisme citarasa terkini: berdandan funky layaknya bule-bule di tempat wisata Kuta, bercengkerama begitu gaul dengan “lu-lu-gue-gue”, atau ber-HP-ria sambil ditemani: …Coca Cola (tentu!).

Namun demikian, penulis tidak berpretensi bisa menjawab keseluruhan permasalahan yang luas dan kompleks dari persambungan pengetahuan lokal dan globalisasi ke dalam epistemologi kajian budaya, yakni suatu wilayah yang sampai saat ini sesungguhnya belum sangat banyak dikenal secara benar di negeri ini dan bahkan sering disalahpahami kalau bukan “dizalimi”. Di samping itu, membedah kepentingan pengetahuan lokal di masa kini adalah mengurai “teka-teki” posmodernisme, sesuatu yang juga, seperti kajian budaya, sering kurang dimengerti secara memadai (Lebih ekstrem lagi, posmodernisme sering dianggap aneh, sok, suka meng-ada-ada, dan nihilisme, sehingga tidak jarang dirasakan perlu dienyahkan dari kancah lalu lintas intelektualitas). Padahal, perbincangan glokalisasi (= globalisasi + lokalisasi) tidak lain adalah perbincangan posmodernisme.

Pengetahuan Lokal Dalam Epistemologi Relasional: Kajian Filsafat Kebudayaan, selengkapnya

Loading...