An Ethnomusicological Study Of The Belia Ceremony In Central Kalimantan

By Haryanto

Siang people, like other Dayak ethnic groups, believe in the presence of life after death. After a person dies, his or her soul begins its travel to a place called rowulio, a kind of purgatory, before finally arriving at heaven. The soul has the same form and face as in its previous life, but cannot be seen by the living ones.

However, the soul can still have a relationship with the living ones, for example through dreams or if called up by a magician or medium named Basi (shaman). There are not only good and helpful souls, but also bad spirits called ontu or ghosts. The ontu usually lives in a big tree, river, grave or mountains. This ghost spirit frequently disturbs humans. When this occurs, the Siang people hold a ceremony, at which they always serve ritual food as an offering to it. The good soul, on the other hand, usually lives around the house before leaving for heaven or batang talla bulan (Siang language).

Despite their logical and critical thought, mythological thought still plays an important role for Dayak ethnic groups in general and Siang people in particular, specifically when facing some unexplainable occurrence whilst working on the farm, making a fence to protect their plants from animal attack, or in formulating traditional medicine to cure a disease and so on. If an undertaking fails, they attribute it to mythology, as they believe failure is a punishment or disturbance from surrounding spirits, and that such spirits must be paid with a worship ceremony, for example the belian ceremony.

The belian ceremony itself is currently under threat due to several issues. The younger generation are generally not interested in learning the music and continuing the tradition. The influence of Christianity is having a negative effect in that the religion forbids use of the ceremony as a means of cure. The associated introduction of Western pharmaceuticals to treat ailments has strongly influenced society, to the extent that many societal members favor their use over traditional medicine. There is a danger that the belian ceremony may become lost, and hence Siang society will also suffer the loss of the music associated with it, an aspect of the culture important to Siang identity.

I thus conducted a study to determine more about the belian ceremony from an ethnomusicological perspective. The purpose of this study was thus to describe the ethnography of the music of Siang society, which until now has remained unknown to outsiders. The goal of the study was based on the question: What do the Siang people think of the belian ceremony?

This research is related to earlier studies conducted on the music of the Dayak peoples, which were undertaken in East Kalimantan (1994-1995 – under the guidance of Prof Takashi Shimeda). The study reported here was undertaken in Central Kalimantan (Tanah Siang district) by myself as a sole researcher. In conducting the research, I obtained data from society members by observation, participation and from institutions of the Tanah Siang sub-district government, in addition to undertaking bibliographic research to supplement the data. Data obtained from the society were collected by interview with basi, the Head of traditional custom, the Head of the Kaharingan religion, kandan singers, a society pioneer, parents and youths. I also documented some photos and cassette recordings.

In mudra special edition 2007, download

Rumah Peninggalan Austronesia 1

Rumah Peninggalan Austronesia 1

Oleh : Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana Fakultas Seni Rupa dan Desain – Jurusan Interior Desain Institut Seni Indonesia Denpasar

Rumah BatakRumah Austronesia biasanya terdiri atas bangunan persegi empat, berdiri atas tiang-tiang, beratap ilalang. Pintu masuk berupa tangga dari batang pohon yang ditarik dan ada perapian dengan rak diatasnya untuk kayu bakar dan penyimpanan. Bentuk dasar ini menjalani pembaharuan di daerah Austronesia. Susunan bentuk dan ukuran yang disempurnakan ditemukan dalam masyarakat Dayak di Kalimantan, Minangkabau dan Batak di Sumatera, serta suku Toraja di Sulawesi. Bahasa yang sama dengan Bahasa Indonesia untuk tempat tinggal (rumah), tempat pertemuan (balai), dan penyimpanan padi (lumbung) terdapat di seluruh Nusantara dan daerah Austronesia umumnya. Bagi orang Austronesia, rumah lebih dari sekedar tempat tinggal, melainkan merupakan bangunan teratur berlambang yang menunjukkan sejumlah ide penting dan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan iklim setempat. Karena itu, rumah Austronesia mungkin dilihat sebagai perwujudan keramat para leluhur, perwujudan fisik jatidiri kelompok, contoh jagad raya, dan ungkapan tingkat dan kedudukan sosial.

Rumah Batak , Sumatera

Seni bangunan Batak dikenal dengan penampang atapnya yang luar biasa dan permukaannya yang dihias dengan teliti. Bentuk atap antar subsuku dalam satu kawasan memiliki perbedaan. Meski setiap sub-suku Batak dibedakan oleh tradisi seni bangunan yang menonjol, sejumlah prinsip umum masih tampak. Ragam jenis bangunan yang berbeda tetap ada tergantung daerahnya, meliputi tempat tinggal, rumah pertemuan, lumbung, gubuk penumbukan padi bersama, dan rumah pemakaman. Semua bangunan ini memiliki rencana denah persegi empat dan lantai panggung yang ditopang tiang-tiang dengan atap besar di atasnya. Atap jerami dengan ijuk kelapa, dinding segitiga dan atap mengarah ke luar. Rumah Batak tradisional dibangun seluruhnya dari kayu dan bahan alami lainnya, tanpa menggunakan paku; unsur terpisah disatukan dengan sambungan tanggam dan lumping atau diikat dengan tali serat ijuk. Secara umum tiang rumah bersandar pada pondasi batu dan ruang bawah lantai ditutup untuk dijadikan kandang kerbau. @ Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana – FSRD

Rumah Tongkonan Toraja

Rumah TorajaDengan atap menyapu ke atas menantang gaya tarik bumi dan keselarasan yang kaya hiasan berukir dan berwarna, rumah asli Toraja membuat kesan dramatis dan tak terlupakan. Seperti kebanyakan seni bangunan vernacular Indonesia, tata letak rumah Toraja dipenuhi dengan makna perlambang. Orientasi rumah Toraja mempunyai makna alam semesta, rancangan dan susunan ragam hias ukiran di serambi menunjukkan berbagai pesan susunan sosial dan hubungannya dengan dunia roh. Rumah harus menghadap Utara – arah yang dihubungkan dengan pencipta “diatas”, Puang Matua. Ujung Selatan, sebaliknya, adalah “belakang” rumah (pollo ‘ banua), dihubungkan dengan nenek moyang dan dunia kemudian, Puya. Barat dan Timur menunjukkan tangan kiri dan kanan tubuh. Timur dihubungkan dengan kedewaan (dewata), sementara barat dikenal sebagai nenek moyang dalam bentuk yang didewakan.

Seni Pertunjukan Tradisional Bali Sebagai Warisan Zaman Bali Kuna

Seni Pertunjukan Tradisional Bali Sebagai Warisan Zaman Bali Kuna

Oleh I Gusti Ngurah Seramasara

Ujian TA 2009Pada zaman Bali kuna berdasarkan prasasti yang ditemukan ada sejumlah kesenian yang tercatat pada prasasti tersebut antara: Patapukan (pertunjukan topeng), pamukul (pemukul gambelan), menmen (topeng), abanwal (permainan badut atau bondres), abonjing (musik angklung), bhangsa, masuling (peniup suling), pasangkha (peniup trompet), parbwayang (pertunjukan wayang) perpadaha (permainan kendang), Aringgit (pertunjukan wayang) dan lain-lain. Dengan memperhatikan prasasti ini kita belum bisa memastikan bentuk dan struktur pertunjukanya, hanya saja secara substansial bahwa merujuk pada istilah yang ada, hampir sebagian besar jenis kesenian di atas masih ada sampai sekarang

Dari jumlah kesenian di atas sampai sekarang  yang masih banyak kita warisi adalah seni pertunjukan topeng, seni pertunjukan topeng bondres, seni musik angklung, permainan suling dan seni pertunjukan wayang. Karya-karya seni pertunjukan ini sebagai sebuah tradisi seni  dapat dikaitkan dengan tradisi megalitik di Bali, karena instrument atau alat-alat musiknya dapat diamati pada relief-relief bangunan zaman Bali kuna. Salah satu jenis alat musik yang dapat kita amati langsung adalah Nekara yang disimpan di Pura Penataran Sasih di Pejeng. Disamping alat-alat musik juga terdapat bentuk-bentuk seni pahat yang menggambarkan  boneka wayang dan kalau diamati secara mendalam  mirip dengan bentuk wayang yang ada sekarang.

Nekara Pejeng sebagai sebuah penemuan ahli arkeologi yang dibuat dari prunggu, dan  dapat dianggap sebagai alat musik pada zamannya, karena fungsi nekara itu adalah 1) dipukul dengan alat pemukul, sejenis musik perkusi yang tujuannya adalah untuk memohon hujan, 2) dipukul agar mengeluarkan suara yang keras dan panjang sebagai pertanda adanya bahaya atau tanda kematian. 3) dipuja karena dianggap manifestasi dari Dewi Ratih (Sidemen, 2005:68). Nekara Pejeng itu oleh masyarakat Pejeng dan sekitarnya dimitoskan sebagai bulan Pejeng, karena nekara itu adalah subengnya dewi ratih yang jatuh kemudian memancarkan sinar yang sangat terang benderang. Benda-benda alam yang dianggap mempunyai keanehan-keanehan gaib seperti itu oleh masyarakat Bali kemudian dipuja dan dibuatkan sebuah pelinggih dalam bentuk Tapas (Tepasana).

Pura Yeh Pulu sebagai bangunan suci jaman Bali kuna, sudah ada relief yang memahatkan bentuk-bentuk wayang seperti wayang yang kita amati sekarang, sehingga pengarah cerita Mahabarata dan Ramayana kemungkinan sudah ada pada saat itu. Dengan demikian akan dapat diduga bahwa sebelum Bali berhubungan dengan Majapahit, Bali telah berhubungan langsung dengan India. Berdasarkan pertimbangan di atas maka pertunjukan wayang yang ada di Bali tidak sepenuhnya merupakan pengaruh Majapahit. Kalau sebagain besar penulis menganggap bahwa perkembangan kesenian Bali sangat   pesat pada jaman Waturenggong, akan dapat dibenar-kan karena kehidupan masyarkat pada waktu itu sangat sejahtera dan damai.  Pembrontakan-pembrontakan hampir tidak ada, serta  munculnya tokoh Dang Hyang Nirartha dapat dianggap telah memperluas dan mengembangkan ajaran agama Hindu secara lebih mendalam dan memanfaatkan hasil karya seni sebagai persembahan pada Tuhan. Hal ini juga sangat sesuai dengan pendapatnya Alfin Toffler, yang dikutif oleh Prof Soedarsono, bahwa kesejahtraan dan tersedianya waktu luang yang cukup akan menyebabkan terjadinya ledakan budaya (cultural explosion) (Soedarsono, 2003:8).

Kondisi seperti ini akan memberikan peluang kepada terakumulasinya aliran kebudayaan central yaitu kebudayaan Majapahit ke veri-veri yaitu Bali, karena Bali pada saat itu merupakan kerajaan vasalnya Majalahit. Ada hubungan yang sangat integrated, antara kebudayaan Bali dengan kebudayaan Majapahit saat itu, sehingga hampir setiap produk budaya yang ada di Bali dianggap sebagai pelestari budaya Majapahit, karena ruang untuk kebudayaan Majaphit di Bali sangat besar. Berkembangnya kepercayaan baru yaitu agama Islam di Jawa juga merupakan sebuah kondisi yang menyebabkan  ruang bagi kebudayaan Maja-pahit untuk berkembang di Jawa sangat kecil.

Untuk melihat ada tarian maka patung (arca) Bairawa yang ada di pura Kebon Edan, menunjukan gerak tari. Begitu juga patung (arca) Mahendradata menunjukan gerak tari Ciwa pada saat melebur dunia. Sikap-sikap tari yang digambarkan pada relief candi dan pada Patung (arca) Bairawa maupun pada Patung (arca) Mahendradata dapat diasumsikan bersumber pada Kitab Natyasastra.  Hal ini menunjukan bahwa Siwaisme yang sangat berpengaruh di Bali dapat diduga akan membawa serta seluruh perangkat ajaranya termasuk seni.

Menurut  para ahli sejarah Bali Kuna, Pura Kebo Edan dianggap sebagai kompleks pemujaan raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang kemudian dianggap sebagai Raja terakhir dari dinasti  raja-raja Bali Kuna. Dengan demikian Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten dianggap sebagai raja yang menganut ajaran Tantrayana aliran kiri (Niwreti) seperti yangt dianut oleh Kerta Negara dari kerajaan Singosari. Anggapan ini didasarkan atas peninggalan raja yang dikenal dengan nama Patung (arca) Bairawa di kompleks Pura Kebo Edan desa Bedahulu-Gianyar. Patung (arca) Bairawa ini dilengkapi dengan alat-alat minum-minuman keras, tengkorak manusia, serta digambarkan arca itu sedang menari-nari diatas tengkorak manusia dan palusnya bergoyang kekiri. Kelengkapan patung itu memberikan suasana demonis (keraksasa-an) yang sedang memuaskan hawa nafsu. Pura Kebo Edan ini dianggap sebagai tempat untuk melakukan upacara kepercayaan Tantrayana aliran kiri (niwreti) untuk memuaskan hawa nafsu duniwi.

Dalam kepercayaan Tantarayana ada yang disebut dengan aliran kanan (prawreti) dan ada pula yang disebut dengan aliran kiri (niwreti). Perbedaanya adalah terletak pada cara untuk mencapai nirwana (sorga kemoksaan). Prawreti menganggap Sorga kemoksaan akan dapat dicapai dengan cara melakukan tapa brata dan semadi, serta mengendalikan hawa nafsu duniawi. Niwreti menganggap bahwa sorga kemoksaan dapat tercapai dengan cara melakukan segala perbuatan untuk memenuhi hawa nafsu duniawi. Hal inilah yang dijadikan alasan oleh Raja Majapahit untuk menyerang Bali, yang dianggap telah mengembangkan ajaran sesat yaitu ajaran yang tidak mempercayai Tuhan dan memaksakan kepada rakyat bahwa Raja adalah Tuhan. Sejak jatuhnya kerajaan Bedahulu dibawah kekuasaan Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, maka kebudayaan Majapahit mengalir terus ke Bali dan berakumulasi baik dalam bentuk keagamaan maupun kesenian.  Jalinan antara kehidupan beragama dengan kesenian dalam bentuk upacara keagamaan di Bali telah menjadi identitas budaya Bali yang memberikan taksu kepada Bali sehingga menjadi daya tarik bagi setiap pengunjung yang datang ke Bali.

Dengan demikian prasasti-prasasti di atas memberikan gambaran tentang pesatnnya perkembangan kesenian pada saat itu, seperti seni bangunan, yaitu bangunan candi yang berpola pada bangunan candi-candi di Jawa Timur, karena itu candi ini dianggap sebagai makam. Kemudian seni arca seperti patung Bairawa yang menunjukan bahwa masyarakat pada waktu itu adalah penganut kepercayaan Tantrayana, walaupun sesungguhnya pada waktu itu agama Siwa dan Budha masih tetap berkembang, namun ketika Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berkuasa kurang mendapatkan perhatian. Sekte-sekte juga berkembang pada waktu itu tetapi hanya ada diwilayah-wilayah tertentu dan jumlahnya sangat kecil yang diawasi oleh para Senopati.

Agama Siwa dan Budha sebagai agama yang cukup kuat perkembangannya pada waktu itu di buktikan dengan adanya dua Dharmadiyaksa yaitu Dang Acarya (pendeta Siwa) dan  Dang Upadhyaya (pendeta Budha). Pendeta Siwa yang ada di Bali saat itu adalah Siwa Kangsita, Siwa Nirmala, dan Siwa Prajana (Kartodirdjo, op cit. p. 171). Dalam prasasti disebut ada 21 orang pendeta Siwa, dan Bhuda hanya 5 orang, sehingga presentase penganut Siwa jauh lebih banyak dari pada penganut Budha dan ini juga menjadi kenyataan sampai sekarang.

Sosialisasi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2010

PENGUMUMAN

Nomor 287/I5.12/KM/2010

Tanggal  8 Pebruari 2010

Tentang

PROGRAM MAHASISWA WIRAUSAHA

DI LINGKUNGAN ISI DENPASAR TAHUN 2010

Dengan hormat, ditujukan kepada mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar angkatan tahun 2006 dan 2007, kami mengharapkan kehadiran Saudara pada :

Hari/Tanggal          : Kamis, 11 Februari 2010

Pukul                        : 12.30 WITA

Tempat                    : Gedung Natya Mandala ISI Denpasar

Acara                       : Sosialisasi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2010

Demikian disampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

an. Rektor

Pembantu Rektor III

Drs. I Made Subrata,M.Si

NIP. 195202111980031002

Tembusan :

1. Rektor ISI Denpasar sebagai laporan.

2. Dekan FSRD untuk disampaikan kepada mahasiswa

3. Dekan FSP untuk disampaikan kepada mahasiswa

Makna Musik Keroncong

Makna Musik Keroncong

Oleh Ni Wayan Ardini

Makna Estetika

Malam KesenianDalam kehidupan yang serba rumit, karya estetik tetap harus memiliki makna bagi kehidupan manusia. Dengan demikian pemaknaan dinilai sebagai suatu cara yang paling obyektif untuk memberi arti dalam semua pekerjaan estetik, karena tanpa makna, apapun yang dikerjakan oleh manusia sama dengan ”tiada”. Namun makna tak selamanya menyertai sebuah karya estetik, hanya dalam hal-hal khusus makna juga secara total hadir dalam karya estetik (Theodor Ardono dalam Sachari, 2002:98). Bagaimanapun rumitnya perwujudan dan bentuk sebuah karya seni senantiasa mengisyaratkan adanya suatu nilai estetik. Hasil kesenian yang menjadi sasaran analisis setetika setidak-tidaknya memiliki tiga aspek dasar, yakni; wujud, bobot, dan penampilan (Djelantik,2004:7). Makna Estetis atau keindahan yang terkandung dalam musik keroncong dapat tercermin memalui beberapa unsur, yakni  lirik lagu, melodi dan ritme, Iringan musik, dan penampilan penyanyi.

Keindahan lirik

Keindahan lirik dalam suatu lagu akan dapat menyentuh hati pemirsanya. Lagu tersebut menjadi mudah diingat dan enak dinyanyikan. Dari lirik yang indah akan timbul kesan atau pesan yang menarik, sehingga banyak lagu-lagu menjadi sangat terkenal karena keindahan lirik di dalamnya.

Keindahan melodi dan ritme

Keindahan melodi dan ritme  dalam musik keroncong nampak sangat berbeda dengan jenis musik yang lain, dimana seorang penyanyi keroncong dituntut telah memiliki materi suara dengan tehnik vokal yang bagus, karena dalam pembawaan melodi dan ritme yang umumnya bersifat improvisasi bercengkok dan gregel memerlukan ungkapan tanggapan jiwa yang dalam dari si penyanyi. Penyanyi mengisi kekosongan, dengan improv-improv, sehingga pembawaannya menjadi sangat ritmis dan dinamis.

Keindahan musik iringan

Iringan Musik keroncong adalah iringan musik  yang terdiri dari tujuh alat musik diantaranya; biola, flute, gitar, ukulele, banyo (cak atau cak tenor, dan bas. Apabila sudah ada ketujuh macam alat musik keroncong ini, maka permainan musik keroncong sudah dapat dikatakan lengkap. Yang menarik dari musik iringan keroncong ini  adalah, semua alat bermain secara improvisatoris namun masih dalam ikatan. Dari semua alat tersebut mempunyai peranan yang berbeda, sebagai pemegang melodi biasanya instrumen biola dan flute, sedangkan sebagai pengiring, instrumen gitar, ukulele, banyo, cello dan bas. Iringan musik keroncong sangat mendukung suasana yang tercipta dalam lagu, sehingga antara lagu dengan musik iringan bisa menyatu dan saling terkait.

Keindahan penampilan penyanyi

Keindahan lain yang dapat dilihat dalam pertunjukan musik keroncong adalah keindahan penampilan penyanyi. Penampilan  penyanyi dari musik keroncong dapat dilihat dari kostum yang umumnya mereka kenakan. Bagi penyanyi wanita memakai kain dan kebaya, sedangkan penyanyi yang pria mengenakan setelan jas. Dalam penyajiannya yang luwes dan sopan dengan karakter keroncong yang berpadu dalam keharmonisan sehingga nampak etis dan estetis.

Dalam hal ini seperti yang dipaparkan dalam The Aesthetic Experience (Jacones Maquet, 1986) obyek seni yang dimaksudkan di sini mencakup seni lukis, gambaran, patung ditambah dengan benda-benda lainnya yang terkait seperti fitigrafi, tekstil dan barang tembikar. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak disadari kita dikelilingi oleh benda-benda visual yang bernilai estetik. Nilai dan tempat menjadi dua faktor penentu bisa tidaknya suatu obyek untuk disebut sebagai obyek seni.

Obyek dan karya seni juga membangun sikap, prilaku dan budaya (kebiasaan) para penikmat, seperti apa yang sudah dipaparkan di atas bahwa estetika musik keroncong memang diciptakan sebagai benda seni. Dalam hal ini untuk membedakan benda-benda seni yang ada disekitar kita, dapat digunakan dua konsep yang berbeda yaitu: art by destination dan art by metamorphosis.

Art by destination adalah: karya seni yang memang diciptakan dengan maksud dan tujuan sebagai benda seni untuk dipajangkan guna dinikmati daya pikat artistiknya. Sedangkan art by metamorphosis adalah obyek atau karya seni yang pada awalnya diciptakan tidak sebagai benda seni melainkan sebagai benda pakai. Proses metamorphosis tidak selamanya terjadi terhadap karya seni melainkan juga terhadap segala sesuatu yang berbeda dan berasal dari luar budaya kita sendiri. Tetapi lain halnya dengan paparan yang terdapat dalam Estetika, Estetisian, Kritikus art World. (Howard S Backer, 1982) yaitu : kritikus menggunakan sistem estetika untuk menentukan nilai dari suatu karya seni, yang hasil penilaiannya melahirkan sebuah reputasi bagi karya seni dan senimannya. Sehingga dalam aktivitas penilaian di atas bukan saja dilakukan oleh estetisan melainkan oleh semua yang terlibat dalam pasar seni.

Loading...