Eksistensi Tari Sutri Di Pura Samuantiga Desa Bedulu Kabupaten Gianyar

Eksistensi Tari Sutri Di Pura Samuantiga Desa Bedulu Kabupaten Gianyar

Oleh : (Ni Made Bambang Rai Kasumari,SST.,M.Si, Jurusan Tari, FSP, DIPA 2006)

Abstrak Penelitian

Ujian TA seni TariBali memiliki berbagai macam warisan budaya yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Salah satu warisan budaya Bali masa lampau adalah pura Samuantiga. Pura ini terletak di Desa Badulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Dalam pelaksanaan upacara piodalan di pura Samiantiga yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali (pujawali balian) dan setahun sekali pada purnama kedasa (ngusaba), dilaksanakan sebuah tari upacara (wali) yang unik dan khas yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Tari Sutri. Keunikan dan kekhasan tarian ini terletak pada proses dan sarana yang dibawa. Keunikan lainnya, tarian ini diiringi oleh dua barung gamelan secara bersamaan yaitu gamelan Gong Kebyar dan gamelan Angklung.

Keberadaan tarian ini diperkirakan sejaman dengan dibangunnya Pura Samuantiga yaitu pada jaman pemerintahan raja Ganapriya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada sekitar tahun 988-1011 masehi. Di jaman globalisasi masysrakat mengalami perubaha yang disebabkan oleh perkembangan jaman terutama perkembangan dan ekonomi. Seperti beberapa tari-tarian wali, pada mulanya sebagai tari sakral kemudian bergeser fungsi menjadi tari sekuler atau memiliki fungsi ganda. Demikian pula dengan benntuk penyajiannya yang semula sangan sederhana kemudian ditata lebih artistik. Hal tersebut tidak terjadi pada Tari Sutri di Pura Samuantiga, tarian ini tetap eksis seperti semula, tidak banyak mengalami perubahan, perubahan terjadi pada jumlah penari yang kadang-kadang bertambah dan kadang-kadang berkurang. Hal tersbut disebabkan oleh perlakuan masyarakat yang melihat Tari Sutri sebagai tarian yang sangat disucikan sehingga mereka cenderung takut untuk merubahnya.

Tari Sutri dibawakan oleh sekelompok penari wanita disebut dengan permas. Mereka adalah orang-orang yang berkomitmen dalam hidupnya untuk menjado pengayah setiap upacara piodalan berlangsung. Tidak sembarang orang yang bisa menjadi permas, mereka adalah orang-orang yang menjadi pewaris (keturunan) yang pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah (sakit) dan orang-orang tersebut memang sudah dikehendaki oleh Bhatara-Bhatari yang berstana di Pura Samuantiga. Orang-orang yang akan menjadi penari ini harusmenjalani suatu proses yaitu harus melakukan pawintenan (disucikan secara sekala dan niskala), menghaturkan bamnten pejati dan banten pamiak kala. Tari Sutri merupakan tarian skral atau suci yang dilaksanakan dalam upacara piodalan di Pura Samuantiga sebagai tari pengucian dalam rangkaian Ida Bhatara akantedun, dari Pengaruman Ageng. Di samping itu tarian ini juga merupakan ungkapan rasa syukur kehadapan Ida Bhatara yang berstana di Pura Samuantiga atas karunia yang telah dilimpahkan kepada masyarakat, sehinmgga masyarakat didak berani tidak melaksanakan tarian ini.

Berdasarkan tulisan-tulisan yang pernah dibaca serta dari beberapa keterangan informan, tulisan mengenai eksistensi tari Sutri di Pura Samuantiga Bedulu Gianyar, belum ada yang menulisnya. Maka penelitian ini merupakan hasil tulisan yang belum ada sebelumnya. Hal ini menunjukan originalitas dari subyek penelitian.

Beberapa hal diatas menjadi ketertarikan untuk menulis materi tersebut, maka ada beberapa masalah yang diangkat : bagaimana bentuk pertnjukna tari Sutri dalam upacara piodalan dan mengapa tari ini tetap eksis dipertunjukan di Pura Samuantiga, Dari penelitian ini diharapka ada manfaat yang dapat diambil yaitu dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dan dapat menambah khasanah pengetahuan,serta dapat dipakai sebagai sumbangan pemikiran terhadap penentu kebijakan dalam berkesenian di daerah Gianyar dan Bali umumnya. Sumber data penelitian diperoleh dari informan dan dari kajian literatur. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan analisis deskriptif kualitatif. Bentuk pelaksanaan Tari Sutri didukung oleh beberapa elemen dan sajian pertunjukan. Elemen-elemen yang mendukung terbentuknya Tari Sutri antara lain penari, gerak tari, rias dan busana, musik iringan, tempat pementasan, dan sesaji. Tari Sutri ini tetap eksis dipertunjukan di Pura Samuantiga karena memilik beberapa fungsi yaitu fungsi ritual, fungsi sosial, funsi pelestarian, dan fungsi pengobatan serta mengandung makna religius (kesembuhan, kedamaian, kerukunan kesejahteraan bagi masyarakat pendukungnya), soloidaritas. Dari berbagai fungsi yang terdapat dalampelaksanaan Tari Siat Sampian dalam upcara piodalan (ngusaba) di Pura Samuantiga mampu menjaga kelestariannya.

Kesimpulan dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian menunjukan bahwa warga masyarakat Bedulu merasa bangga memiliki sebuah bentuk Tari Sutri yang sakral dandisucikan oleh masyarakat setempat, yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara piodalan di Pura Samuantiga. Tarian ini merupakan warisan budaya turun temurun yang memiliki nilai-nilai religius yang cukup tinggi yang tetap eksis dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Tarian ini wajib dan harus dilaksanakan serta memiliki identitas dan kekhasan tersendiri yang sangat mudah dikenal yaitu adanya suatu proses,  kostumnya dominan warna putih, diiringi oleh dua barungan gambelan sekaligus yaitu gamelan gong kebyar dan gamelan Angklung. Kehadirannya dalam upacara piodalan di Pura Samuantiga sebagai tari penyucian yang bertujuan untuk menyucikan palinggih-palinggih dan areal pura secara spiritual dalm rangkaian para bhatara akan tedun  dari Pangaruman Ageng. Tarian ini juga memberikan dampak positif bagi warga masysrakat seperti penyembuhan, kesejahteraan lahir batin, rasa kebersamaan, rasa kesatuan dan persatuan, serta rasa solodaritas yang tinggi terhadap sesamanya.

Panduan Program Pengabdian kepada Masyarakat

Panduan Program Pengabdian kepada Masyarakat

logoBuku Panduan Pelaksanaan Hibah Pengabdian kepada Masyarakat ini merupakan penyempurnaan dari Edisi VII tahun 2006. Sejak diterbitkan dalam bentuk draf pada akhir tahun 1980-an, buku panduan ini sudah mengalami banyak perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan, antara lain karena berkembangnya program yang dikelola oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Buku Panduan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas program pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi, terutama mengenai luarannya yang harus terukur dan harus di publikasikan di tingkat domestik maupun internasional. Meskipun program-program hibah yang dikelola pada prinsipnya tidak berbeda, para pengguna di lapangan sangat merasakan perlunya informasi yang lengkap untuk mengikuti perkembangan yang ada. Buku panduan seperti ini diharapkan dapat mengatasi kesulitan memperoleh informasi yang disebabkan oleh sering tidak terdokumentasikannya dengan baik berbagai dokumen dan kebaruannya. Setiap program dijelaskan dalam bab terpisah sehingga dapat diperbanyak sesuai dengan kebutuhan.

Buku ini berisi panduan pengajuan usul program, evaluasi, pemantauan dan pelaporan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu dan relevansi pengabdian kepada masyarakat oleh perguruan tinggi. Perlu lebih disadari bahwa kegiatan pengabdian kepada masyarakat tidak hanya merupakan pengabdian tanpa basis ilmiah yang jelas tetapi merupakan suatu wahana penerapan hasil penelitian dan pendidikan kepada khalayak sasaran yang memerlukan.

Buku Panduan ini diharapkan juga dapat memperlancar pertanggungjawaban administrasi berbagai pihak terkait, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas para pengusul kegiatan.

Panduan Program Pengabdian kepada Masyarakat, selengkapnya

Peranan Wanita Dalam Seni Pewayangan Di Bali

Peranan Wanita Dalam Seni Pewayangan Di Bali

Oleh : (Ni Komang Sekar Marhaeni, SSP, Jurusan Pedalangan, FSP, DIPA 2006)

Abstrak penelitian

Ujian TA PedalanganPeran serta atau peranan wanita dalam seni pewayangan sangat besar dan sangat mendukung dalam melakukan aktivitas di dalam seni pewayangan . Pementasan wayang tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya peran sera kaum wanita didalamnya. Upakara (banten) yang diperlukan dalam mengadakan suatu pementasan disajikan oleh kaum wanita, meski juga melibatkan kaum laki-laki di dalamnya. Aktivitas yang dilakukan sebagai seorang dalang, wanita dianggap mampu melakukan ini. Meski bisa dihtung denga njari keberadaannya dibanding kaum lak-laki, tetapi wanita sudah mampu mengangkat harga diri dan derajatnya, menyamai kaum laki-laki. Kesuksesan seorang wanita menjadi seorang dalang tidak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang menghadapi kendala atau hambatan dalam melakukan aktivitasnya dalam seni pewayangan. Meskipun tidak sehebat kaum laki-laki, tetapi wanit mampu memegang peranan dalam mengisi pembangunan dan ikut serta dunia pewayangan secara khusus. Tak luput pula wanit ikut bertanggung jawab dalam membantu perekonomian keluarga. Pada era Globalisasi seperti sekarang ini, wanita atau perempuan hendaknya ikut maju sejalan dengan perkembangan jaman,  mengikuti modernisasi yang terjadi di masyarakat. Hanya saja perlu diperhatikan bagaimana menempatkan diri di Masyarakat sebagai seorang wanita. Kaum wanita kini semakin menyadari akan tanggung jawabnya dalam mengisi pembangunan dengan dua pengertian : Pertama, pembangunan dapat memberikan kemudahan bagi wanita ikut berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Kedua, pembangunan juga memberikan kemungkianan bagi wanita untuk menyalurkan tenaga, ketrampilan, pikiran dan keahlian dalm proses pembangunan. Wanita yangt dulu hanya dikenal sebagai ibu rumah tangga yang bertugas mengurus rumah tangga, suami dan anak-anaknya, pada jaman sekarang ini wanita sudah mengetahui berbagai macam pengetahuan yang mampu bersaing dengan kaum laki-laki. Wanit juga mampu menmpatkan peranannya sebagai seorang dalang dalam melakukan aktivitasnya dalam seni pertunjukan wayang. Kulit Bali.

Sejarah Karawitan Bali di Yogyakarta

Sejarah Karawitan Bali di Yogyakarta

Oleh I Ketut Ardana

Ujian TA Seni KarawitanKarawitan Bali sebagai bagian dari seni musik tradisional (etnis) Indonesia telah berkembang pesat. Salah satu fenomena seni yang dapat mengindikasikan wacana tersebut di atas adalah banyaknya bermunculan group-group karawitan Bali di Bali, seperti sanggar printing mas, sanggar saraswasti, sekehe gong kencana wiguna, dan lain-lain. Berdirinya group-group karawitan Bali bahkan sampai ke luar Bali antara lain : Jepang(sekar jepun), Amerika Serikat (Sekar Jaya), Jerman (Kacau Balau), Jakarta, dan Yogyakarta. Perkembangan ini disebabkan antara lain: 1) budaya Bali yang tidak dapat dipisahkan dengan kesenian khususnya seni karawitan, seperti misalnya agama dan adat-istiadat Bali. 2) sikap terbuka masyarakat Bali yang selalu mampu mengkomparasi karawitan Bali dengan idiom-idiom musik atau karawitan Jawa (gending gambang suling). 3) sikap-sikap kreatif para seniman Bali yang selalu memberikan wajah-wajah baru dalam khasanah gending-gending karawitan Bali. 4) nuansa karawitan Bali khususnya gending-gending kebyar bersifat enerjik, keras, dan dinamis. Selain itu, keterkaitan antara upacara agama Hindu yang diklasifikasi dalam panca yadnya dengan karawitan Bali berdampak pada kehidupan karawitan Bali di luar Bali yaitu di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Orang-orang Bali yang merantau ke Yogyakarta selain berbekal tekad yang kuat untuk merintis karir secara ekonomi, bersekolah, juga membawa budaya dan pemikiran-pemikiran kreatif sebagai orang Bali. Oleh karena itu, peta perkembangan karawitan Bali di Yogyakarta cukup signifikan. Pada tahun 1953 pemerintah Daerah Bali mendirikan Asrama Putra Bali di Jalan Mawar no 2 Baciro Yogyakarta yang bernama Asrama Saraswasti, diresmikan pada tahun 1954. Asrama ini kemudian dijadikan pusat kegiatan untuk seluruh warga Bali yang ada di Yogyakarta, mulai dari kegiatan kesenian, olah raga, dan kegiatan keagamaan. Seiring dengan adanya sekretariat kegiatan orang Bali di Yogyakarta, maka dengan alasan sosial kemasyarakatan dibentuk sebuah organisasi yang menaungi orang-orang Bali di Yogyakarta. Organisasi itu bernama Keluarga Putra Bali (KPB) Purantara Yogyakarta. Sama halnya dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain, secara struktural kepengurusan KPB terdiri dari : ketua umum, wakil ketua umum, bendahara, sekretaris, ditambah dengan seksi-seksi seperti seksi kesenian, seksi upacara, dan lain-lain. sampai sekarang jumlah anggato dari KPB sudah mencapai ratusan kepala keluarga. Ada yang sebagai pengusaha, polisi, buruh, dosen, serta seniman. Meskipun memiliki bakat atau keahlian yang berbeda-beda namun masyarakat KPB menyempatkan diri untuk belajar bermain karawitan Bali khususnya gamelan. Adanya suatu oraganisasi yang menaungi masyarakat perantau dapat memberikan kebebasan ruang kepada masyarakat Bali di Yogyakarta untuk mengekspresikan budayanya. Sebuah budaya adiluhung sebagai identitas etnis asalnya.

Masyarakat KPB yang kebanyakan menganut agama Hindu bersama-sama, berbaur, bekerjasama dengan masyarakat Yogyakarta asli yang beragama Hindu dan para mahasiswa Hindu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan mulai dari upacara piodalan di pura-pura di Yogyakarta maupun melakukan perayaan tahunan upacara nyepi yang terpusat di Candi Prambanan Yogyakarta. Agama sebagai garis vertikal yang menghubungkan tuhan dengan umatnya memberi suatu dampak positif terhadap kesenian. Ada anggapan bahwa ngayah dengan bermain gamelan dan menari merupakan sebuah doa sebagai umat beragama Hindu. Anggapan tersebut memberi motivasi yang kuat kepada masyarakat untuk belajar seni.  Oleh karena itu, pada tahun 1963 KPB Purantara membentuk sanggar tari Bali serta group karawitan Bali. Selain itu, pola pikir terhadap pengembangan budaya khususnya kesenian juga menjadi faktor kehadiran sanggar tari dan karawitan.

Sampai saat ini di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat lebih kurang 9 barung gamelan Bali, yaitu 1 barung gamelan gong kebyar, 1 barung gamelan semaradana, dan 1 barung balaganjur dimiliki oleh asrama Saraswati; 1 barung gamelan gong kebyar, 1 barung gamelan gong gede, 1 barung gamelan semar pagulingan, 1 barung gamelan gender wayang dimiliki oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta; 1 barung gamelan gong kebyar dimiliki oleh SMKI Yogyakarta; dan 1 barung gamelan semaradana dimiliki oleh Bapak I Wayan Senen. Dari sekian banyaknya barungan gamelan hanya 2 sekehe gong yang eksis sampai sekarang, yaitu sekehe gong Sarawati dan sekehe gong Arya Kusuma sekehe gong asrama saraswati anggotanya kebanyakan yang terlibat adalah para mahasiswa dari Universitas UKDW, Universitas Gadjah Mada, AKAKOM, ISI Yogyakarta, serta beberapa dari anggota KPB Purantara. Dengan demikian keanggotaan sekehe gong asrama saraswati bersifat sementara. Ketika para mahasiswa itu lulus maka mereka meninggalkan Yogyakarta sekaligus keluar dari anggota sekehe dan digantikan oleh mahasiswa baru. Dari tahun ke tahun regenerasi keanggotaan sekehe gong asrama saraswati lebih banyak dari orang yang keterima sebagai mahasiswa baru di lingkungan universitas se Yogyakarta. Seperti itulah keberadaan sekehe gong asrama Saraswati.

Seni Lukis Kontemporer

Seni Lukis Kontemporer

Oleh Ni Made Purnami Utami

Bhendi YudhaPengertian “Kontemporer” dibandingkan dengan istilah modern. Kontemporer sekedar sebagai munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan menempatkan seniman-seniman Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollok sebagai tanda peralihan. Udo Kulterman seorang pemikir Jerman mengatakan bahwa pengertian kontemporer dekat dengan pengertian post modern dalam arsitektur, munculnya era baru dalam ekspresi kesenian. Paham baru ini menentang paham modern yang dingin dan berpihak pada simbolisme instink (Dharsono, 2004). Sumartono menjelaskan, ada dua pengertian “seni rupa kontemporer” yang berlaku di Indonesia: 1). Pengertian yang beredar secara luas dimasyarakat, ‘seni rupa kontemporer’ bisa berarti seni rupa kontemporer bisa berarti seni rupa modern dan seni rupa alternatif, seperti: instalasi, happenings,dan  performance art , yang berkembang di masa sekarang. Instalasi adalah karya seni rupa yang diciptakan dengan menggabungkan berbagai media, dengan membentuk kesatuan baru, dan menawarkan makna baru. Karya instalasi tampil secara bebas, tidak menghiraukan pengkotakan cabang-cabang seni menjadi ‘seni lukis’ seni patung, seni grafis, dan lin-lain. Instalasi bisa saja mengandung kritik, sindiran atau keprihatinan. 2). Membatasi seni rupa kontemporer hanya saja pada seni rupa alternatif, seperti instalasi, happenings, performance art, dan karya-karya lain yang menggunakan kecendrungan bertentangan dengan seni rupa modern. Seni rupa kontemporer adalah penolakan terhadap seni rupa modern. Istilah kontemporer cenderung mengarah untuk seni rupa kontemporer dalam pengertian yang kedua ‘antimodernisme’.

Moderinisme selalu mementingkan norma kebenaran, keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut melahirkan “tradisi of the new”  atau “ tradisi Avan Garde”, pola lahirnya gaya seni yang baru, sempat ditolak kemudian diterima masyarakat sebagai inovasi baru. Seni instalasi, happenings, performance art, dan karya-karya lain yang mengandung sindiran, kritik, ritual, ruwatan atau keprihatinan sebagai perkembangan seni rupa paling mutakhir. Seni rupa ini dekat kepada masyarakat. Tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat menyentuh berbagai aspek kehidupan dengan media dan teknik terbatas. Dalam seni rupa kontemporer setiap negara memiliki cara pandangnya sendiri – sendiri dalam menghadapi globalisasi berlandaskan etnisitas masing-masing. Karena seni rupa kontemporer bukan gerakan atau aliran, bukan mengejar identitas, tetapi merupakan refleksi masa tradisi.

Munculnya berbagai karya seni yang radikal sebagai reaksi terhadap modernisme, seperti yang ditunajukkan oleh Pop Art, Neo Dada, performance Art, Happening Art, dan Seni Instalasi. Sering kali karya-karya mereka hanya membuat shock pada penonton dari pada kesenangan estetik, karena wajah seni rupa sudah tidak terperikan. Wajah seni yang semakin beragam, dikenal sebagai pluralisme, merupakan paraktek kesenian yang memiliki prinsip saling bertentangan. Seni terkadang tidak bisa lepas dari ideologi politik dan diperalat untuk memperjuangkan kepentingan ideologi yang bersifat advokatif. Akibatnya banyak karya-karya seniman kontemporer yang hadir dengan penampilan radikal untuk menarik perhatian, mengangkat persoalan dan mereka yakin bahwa seni bisa dipergunakan sebagaia salah satu alat untuk perubahan sosial (Irianto, 2000).

seni modernitas yang telah dianggap menjadi konvensi-konvensi yang beku terhadap perkembangan zaman, perlu pencarian nafas baru yaitu seni kontemporer yang dianggap mampu membikin gerak dinamika dan sesuai dengan nafas zaman. Seni kontemporer tidak terikat oleh konvensi atau dogma manapun. Oleh karena itu ia arti kemampuan (anti segala konvensi, gaya, corak bahkan estetik).

Memasuki abad, kita dihadapkan berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi dan berbagai segi kehidupan yang terkait dengan moralitas. Maka munculah beberapa kelompok seniman muda mencoba menawarkan berbagai warna dalam berbagai bentuk “performance art, instalasi art, dan collaborasi art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mengangkat idiom tradisi yang sarat ajaran budaya pluralis sebagai satu tawaran alternatif tarif, yang mampu memberikan berbagai makna universal dari sisi kehidupan  (Dhasono, 2004).

Kecedasan kreatif adalah kemampuan untuk memunculkan ide-ide baru, menyelesaikan masalah dengan cara yang khas, untuk meningkatkan imajinasi, prilaku dan produktivitas kerja (Buzan, 2002). Seniman kreatif selalu berusaha mencari nilai-nilai kebaruan pada saat mereka berhadapan dengan setiap obyek dengan sikap pandangan yang berbeda untuk mencapai originalitas yang tinggi.

Sunjoya (1976), menyatakan bahwa jenjang karya menurut Revesz dipilih sebagai berikut:

1. Karya reproduktif, adalah hasil dari meniru karya lain setepat mungkin.

2. Karya aplikatif, karya yang dipelajari diterapkan dengan penuh arti pada situasi dan kondisi yang dihadapi.

3. Karya interpretatif, karya yang dipelajari, mendapat tafsir pribadi, masih mengalami dan menghormati sumbernya.

4.  Karya produktif, karya asli yang belum pernah ada.

Loading...