Sekilas Tentang Wanita Dalam Perspektif Susastra Hindu

Sekilas Tentang Wanita Dalam Perspektif Susastra Hindu

Oleh I Ketut Subagiasta, diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi September 2007

Dinamika kehidupan masyarakat secara menyeluruh dari berbagai bidang dalam era terakhir ini bahwa wanita sering mendapatkan sorotan. Bilamana sorotan yang diberikan itu bernada miring, tentu sangat disayangkan. Namun demikian, bagaimanapun wanita itu keberadaannya dalam masyarakat sesuai sumber susastra Hindu, maka pihak-pihak lainnya yang terkait wajib memberikan toleransi yang positif terhadap wanita. Oleh karena wanita adalah sebagai bagian yang menentukan bagi kesinambungan dan kelancaran kehidupan secara bersama-sama dalam kehidupan masyarakat luas.

Dalam kenyataannya, bahwa wanita telah berperan secara luas dalam kehidupan masyarakat, baik dari segi profesi dalam masyarakat,  tugas utama dalam keluarga, aktivitas sosial dalam kehidupan agama, sosial, adat-istiadat, maupun dalam kegiatan yang lainnya. Disadari bahwa wanita telah berkiprah dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, baik untuk eksistensi dirinya, eksistensi keluarganya, maupun demi kesinambungan dari pada bangsa dan negara Indonesia tercinta. Tidak sedikit dilihat bahwa wanita banyak yang menjadi pejuang dan pahlawan nasional baik dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan pemerintahan.

Satu hal yang sangat utama diperhatikan bahwa wanita dalam keberadaannya di masyarakat sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, ada yang dilecehkan keberadaannya, terjadinya kasus kekerasan terhadap wanita, hak-hak sebagai wanita yang sejati sering dimanipulasi, adanya perlakuan yang tidak adil terhadap wanita, dan masih banyak lagi model ketidakpantasan prilaku terhadap wanita itu sendiri, baik oleh antar wanita maupun antara wanita dengan lawan jenisnya. Yang jelas, bahwa wanita sering mengalami nasib yang gonjang-ganjing dalam berbagai sisi. Namun paparan ini bukan bermaksud untuk memperuncing mengenai eksistensi atau melemahkan peran wanita, tetapi itulah realita yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam bahasan ini mencoba mengungkap mengenai bagaimana wanita sesuai sumber-sumber dalam susastra Hindu. Pembahasan mengenai wanita sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para pakar wanita dari berbagai perspektif, namun demikian ada baiknya bahwa susastra sangat kaya dengan kajian, wawasan, serta pandangan mengenai wanita itu sendiri, baik dalam perspektif sosial, budaya, hukum, politik, seni, pariwisata, dan yang lainnya. Dalam paparan kecil ini mencoba memberikan sumbangan sederhana tentang wanita dari perspektif susastra Hindu. Inti dari bahasan ini adalah wanita sebagai simbol kekuatan Tuhan, pandangan pustaka itihasa terhadap wanita, dan pandangan pustaka Manawadharmasastra terhadap wanita.

Sekilas Tentang Wanita Dalam Perspektif Susastra Hindu, selengkapnya

Fungsi Seni Lukis Bali Modern Anak Agung Gede Sobrat

Oleh A.A Gede Yugus, Dosen Dosen Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, diterbitkan dalam jurnal mudra edisi september 2007.

Saat berkarya seni, seniman  tidak dapat berkarya tanpa mulai mempertimbangkan “dewasa” positif dan negatif.  Nilai spiritual yang  bersifat relegius magis, seperti gambar rerajahan, gambar bbcggsimbol-simbol pretima, merupakan gambar yang  sangat disucikan, sehingga baru bisa  dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu, seperti pada odalan dan hari-hari suci lainnya. Namun karya seni lukis dijumpai pada  bangunan suci yang difungsikan sebagai penghias pada upacra keagamaan, yakni  untuk  hiasan dinding, hiasan pada ider-ider, kober, langse, umbul-umbul, atau lelontek. Dalam hal ini umumnya karya-karya lukisan selalu mengambil tema dari mitologi seperti ceritera Mahabrata dan Ramayana yang bersumber dari buku-buku ajaran agama Hindu. Akan tetapi bentuk lukisan rerajahan yang digambarkan di atas kain putih berupa perpaduan aksara suci yang berujud Ong Kara (simbol Tuhan ). Sebelum memulai melukis para seniman mesti melakukan doa agar apa yang digoreskan mendapat kesucian dan mewujudkan sepirit (Arsana, 2004:205).

Dalam perkembangan berikutnnya seni lukis Bali juga tidak menutup diri dari pengaruh-pengaruh  Barat. Pengaruh ini sudah ada sebelum pemerintah kolonial Belanda berkehendak menguasai penuh Pulau Bali awal abad XX. Hal ini terbukti dengan adanya patra jahe, patra punggel, patra cina, dan  patra olanda dalam pembendaharaan dalam seni lukis di Bali, atau pada patra awangga, campuran gaya ukiran Bali, Belanda, dan Tiongkok (Darmawan, 2006:22).

Tahun 1920-an dibuka kantor pariwisata di Singaraja. Karya ukiran-ukiran sejak tahun itu mulai diproduksi dalam volume yang semakin meningkat dan wisatawan yang berkunjung semakin meningkat. Muncul  pemilahan yang  jelas antara pungsi yang bersifat relegius lama juru gambar  yang masih bertahan  dengan fungsi komersial sekuler yang  baru berkembang. Selain  istilah juru gambar, muncul, istilah “seniman lukis”. Tema karya-karyanya masih  terangkat dari unsur-unsur  kesenian lama, seperti relief, ceritera Tantri, dan fabel.

Selanjutnya, terjadi  perkembangan   mendapat pengaruh seniman asing tersebut (Anonim,1978). Di samping itu,  kedua seniman ini banyak membawa pengaruh dan perubahan  pada bidang seni lukis di Bali. Selain itu, terjadi perpaduan budaya antara pelukis Bali yang telah memiliki keterampilan teknik tradisional yang tinggi dengan pelukis asing ata Barat (R. Bonnet dan Walter Spies ) yang menguasai teknik baru  dari Barat.

Akibat perpaduan  budaya tersebut  menyebabkan seniman-seniman muda Bali membuka diri, terutama perkembangannya sikap toleransi terhadap konsep-konsep baru yang dinilai positif  untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan seni, dan yang  lainnya. Kontak budaya ini terus berlangsung sehingga terbentuklah perkumpulan pelukis yang di beri nama  Pitha Maha  tahun 1935. Kedua pelukis Barat tersebut,  bersama-sama seniman lokal di Ubud, terus mengadakan pembaharuan, khususnya di bidang seni lukis. Di samping itu Walter Spies dan R.Bonnet memberi pendidikan  kepada  mereka yang belajar melukis dan tertarik terhadap  realis, yakni dengan mempelajari proporsi dan anatomi, kemudian        diolah menjadi corak tradisional yang  bersifat dekoratif. Munculnya R. Bonnet dan Walter Spies di tengah-tengah  pelukis-pelukis Pita Maha melahirkan corak dan identitas terhadap para seniman masing-masing. Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dengan seni lukis yang berkembang sebelumnya. Dalam hal ini  seperti penciptaan seni lukis untuk kepentingan relegius atau keagamaan yang di kerjakan secara komunal, yaitu masyarakat secara bersama-sama mengerjakan, kemudian  pada hasil akhir tidak perlu mencamtumkan identitas penciptanya.

Dari perubahan pola tersebut,  muncullah seniman yang kreatif menonjolkan identitas karyanya, di antaranya di Ubud yang  sangat menonjol adalah pelukis A.A. Gede Sobrat, A.A Gede Meregeg, Ida Bagus Made, I Gusti Nyoman Moleh, I Dewa Ketut Ding, dan puluhan  seniman lukis lainnya. Termasuk di Br. Padang Tegal. Di Pengosekan muncul pelukis I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Baret, I Ngendon dan yang  lainya.  Seni lukis Bali modern yang baru tumbuh ini mendapat sentuhan modern dari seni lukis corak Barat sehingga melahirkan berbagai gaya atau stil lukisan dengan ciri khas masing-masing. Sentuhan budaya Barat ini mempercepat proses pematangan dan menumbuhkan barbagai stil seperti lukisan gaya Ubud, Batuan, Pengosekan, Tebesaya, Kutuh, Padang Tegal, dan lain-lainnya. Dari berbagai perubahan dan pembaharuan yang dibawa pelukis Barat tersebut, kemudian muncul tema-tema kehidupan sehari-hari, di samping itu, ciri khas yang kedua adalah munculnya garis anatomi, perspektif, pengertian komposisi, proporsi, sinar bayangan, dan teknik   seni lukis yang lebih disempurnakan.

Salah seorang  pelukis Bali yang menonjol saat itu adalah  pelukis A.A. Gede Sobrat dari Banjar Padang Tegal Ubud. A.A. Gede Sobrat sebagai pelopor  pembaharuan seni lukis Ubud. Bakat seni dari garis  ayah dan juga dari garis ibu. Bakat seni dari garis ibu menurun dari kakeknya bernama I Seleseh, adalah seorang undagi terkemuka di desanya dalam mengerjakan Puri Ubud, dan dari ibu yang sangat menguasai jejaitan banten. A.A. Gede Sobrat dilahirkan  di Banjar Padang Tegal  Ubud, Kabupaten Gianyar. Bakat seninya telah tampak  sejak kecil. Dia selalu senang menonton berbagai pertunjukan kesenian, khususnya pertunjukan wayang kulit, yaitu  bentuk kesenian yang memiliki nilai pendidikan, etika, dan kesenirupaan. Pada usia  belasan tahun, yakni untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga, A.A. Gede Sobrat telah bekerja sebagai penerima telepon di Puri Ubud, yang  saat itu sudah sering menerima kunjungan wisatawan domestik dari mancanegara. Di sinilah awal perkenalan dengan wisatawan, termasuk R.Bonnet dan Walter Spies, yang saat itu sebagai tamu Puri Ubud. Dengan perantara Cokorda Agung Sukawati persahabatan Sobrat dengan tamunya semakin akrab.

Fungsi Seni Lukis Bali Modern Anak Agung Gede Sobrat selengkapnya

Analisis Bentuk Dan Fungsi Gerabah  Banyumulek Lombok Barat

Analisis Bentuk Dan Fungsi Gerabah Banyumulek Lombok Barat

Oleh I Ketut Muka Pendet, diterbitkan dalam jurnal mudra edisi september 2007

GerabahSebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal dan dapat ditemukan pada semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang terpencil maupun dalam masyarakta perkotaan yang besar dan kompleks (1994:2). Gerabah sebagai salah satu bagian dari hasil budaya manusia, dalam sistem sosial budaya masyarakat tradisional memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aktivitas ataupun upacara tradisional masyarakat pendukungnya. Sudarso Sp (2002) dalam makalahnya “Merevitalisasi Seni Kriya Tradisi Menuju Aspirasi dan Kebutuhan Masyarakat Masa Kini” menyebutkan barang-barang pecah belah (earthenware), cobek, tempayan dan celengan (kitty) tempat menyimpan uang logam, merupakan seni rakyat yaitu seni yang berkembang di desa-desa (dulu) di lingkar istana atau pusat-pusat kesenian yang bisa menopang timbulnya budaya agung atau budaya adiluhung.

Eratnya hubungan baik antara keluarga dan masyarakat, hampir setiap kegiatan sosial budaya dilakukan secara bersama-sama. Demikian pula dalam pembuatan gerabah yang di dalamnya terkandung unsur sent terapan perlu dipelajari bukan hanya sebagai seni tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang, melainkan juga sebagai upaya untuk memahami keberadaan gerabah dalam tata kehidupan budaya masyarakat. Kerajinan gerabah, anyam-anyaman dari bambu, ukiran kayu dan yang lainnya walaupun dalam bentuknya sederhana merupakan seni komunitas pedesaan yang masih akrab, homogen dan masih berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas (Kayam dalam Sudarso, 2002:2).

Gerabah atau tembikar merupakan peninggalan budaya tradisional yang tergolong sangat tua. Menurut para ahli, berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa benda­benda tembikar atau gerabah sudah mulai dikenal sejak masa bercocok tanam. Sejalan dengan pendapat tersebut Yardani Yumarta (1981:9) menyebutkan gerabah mulai dikenal manusia sejak zaman neoliticum ketika manusia purba mulai hidup menetap, bercocok tanam dan mengenal api.

Kerajinan gerabah khususnya yang tumbuh dan berkembang di Banyumulek Lombok Barat memiliki nilai spesifik, berbeda dengan gerabah di daerah lain baik bentuk, proses desain, dekorasi serta penyelesaian (finishing) sudah memanfaatkan teknik semi tradisional (modern). Masyarakat pengrajin dalam kemampuannya berkarya dan berkreativitas secara berkesinambungan dengan menciptakan desain baru mengikuti sejera konsumen (pasar). Gustami (2002) dalam makalahnya yang berjudul “Seni Kriya Akar Seni Rupa Indonesia” menyebutkan yang menarik perhatian cabang seni kerajinan (gerabah) dimasing-masing daerah memiliki gaya tersendiri yang dapat melengkapi pesona, daya pikat dan keunggulan komperatif bila dibandingkan dengan cabang seni lainnya.

Faktor bahan, daya kreasi dan kebutuhan sangat menentukan tumbuh kembangnya gerabah Banyumulek. Di samping itu gerabah Banyumulek tetap menampakkan nilai ritual dan ekonomis yang dalam, diilhami oleh karya-karya gerabah penunjang kehidupan sehari­hari, upacara maupun kegiatan rumah tangga. Melalui ketrampilan para pengrajin dalam mengembangkan dan menciptakan bentuk-bentuk baru seperti vas bunga, asbak, tempat lilin, guci air, gentong maupun bentuk lampu taman dengan memadukan unsur-unsur tradisional sebagai ciri khas daerah sangat menentukan pertumbuhan kerajinan gerabah di daerah ini. Peranan disainer dalam usaha mengembangkan dan menciptakan ciri khas daerah sangat menentukan, perkembangan gerabah Banyumulek dengan sentuhan nilai modern.

[download id=”150″]

Penciptaan Desain Busana Wanita Dengan Sumber Ide Lagu Dolanan

Oleh Widyabakti Sabatari, diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi September 2007

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakatnya, kepada peserta didiknya. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia Wardiman Djojonegoro dalam pengantar buku “Kreativitas, Kebudayaan dan Pengembangan Iptek”, mengemukakan bahwa manusia sebagai aktor budaya memberikan makna dan arah terhadap bentuk-bentuk budaya lahiriah serta pembangunan itu sendiri. Perkembangan kebudayaan nasional diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan wahana pada pembangunan nasional dalam segenap dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia, memperkuat jatidiri dan kepribadian bangsa. Dalam hal ini, pendidikan merupakan wahana yang sangat penting dalam proses pengembangan kebudayaan nasional, karena pada dasarnya pendidikan itu sendiri merupakan proses pembudayaan. Pendidikan sebagai usaha sadar yang diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan, ketrampilam, sikap, dan kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Di antaranya adalah mendorong berkembangnya kreativitas peserta didik, yang sejalan dengan perkembangan aspek-aspek yang lain seperti keimanan dan ketaqwaan, kecerdasan, ketrampilan, semangat kebangsaan, dan lain-lain, sehingga tercipta keseimbangan dan keselarasan (Supriadi, 1994:vi-vii).

Tujuan pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Pada hakekatnya setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, oleh karena itu memerlukan pendidikan yang berbeda pula. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu serta memupuk, mengembangkan dan meningkatkan bakat tersebut. Mengutip pendapatnya Renzuli tentang keberbakatan dikatakan bahwa, dulu orang biasa mengartikan “anak berbakat” sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya inteligensi (kecerdasan), melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi (Utami, 2004:6). Kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya. Kreativitas dapat muncul dalam setiap kegiatan manusia tidak terbatas dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak terbatas pula pada tingkat usia, jenis kelamin, suku bangsa atau kebudayaan (Semiawan, 1987:7). Kreativitas secara naluri memang terkandung di dalam setiap manusia, walaupun dengan derajad yang berbeda. Pemahaman ini juga disepakati Todd I. Lubbart dalam buku Handbook of Creativity yang mengatakan  “creativity can occur in virtually any domain, including the visual arts, literature, music, business, science, education, and everyday life (Sternberg ed.,1999:339). Salah satu kendala konseptual utama terhadap studi kreativitas adalah pengertian tentang kreativitas, alat-alat ukur yang digunakan, dan kesulitan me-rumuskan konsep kreativitas itu sendiri. Disadari bahwa sekarang ini hampir setiap orang, pemimpin lembaga kependidikan, manajer perusahaan, sampai pejabat pemerintah menganggap pentingnya kreativitas dalam usahanya untuk mengembangkan di sekolah, pekerjaan atau pun dalam pembangunan.

Sejalan dengan pemikiran ini dan permasalahan yang sudah dikemukakan,  maka fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah keinginan penulis untuk menyampaikan gagasan tentang pemanfaatan seni dan budaya dalam pembelajaran desain busana. yaitu menggunakan lagu-lagu dolanan atau lagu-lagu Jawa sebagai sumber ide dalam penciptaan desain busana wanita yang ditujukan untuk kostum grup vokal.

Penciptaan Desain Busana Wanita Dengan Sumber Ide Lagu Dolanan selengkapnnya

Tata Busana Adat Bali

Kiriman I Ketut Darsana Dosen PS. Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan, diterbitkan dalam jurnal Mudra.

Busana Agung merupakan busana tradisional Bali yang paling mewah. Busana ini terlihat gemerlap bak pakaian seorang raja beserta permaisurinya yang cantik dan anggun. Busana agung di Bali bentuknya juga beragam tergantung dari daerah dimana busana adat itu berada. Antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali memiliki kesamaan dan juga perbedaan dalam hal Busana agung ini. Namun untuk lebih mudah mengenali Busana Agung sebaiknya dilihat pada Busana agung yang paling umum digunakan. Busana jenis ini umumnya dipergunakan dalam rangkaian upacara “Potong Gigi” dan Perkawinan.Saat persembahyangan di halaman rumah untuk memohon keselamatan kehadapan Hyang Widhi sampai naik ke balai-balai tempat Potong Gigi berlangsung para remaja yang akan mengenakan busana jenis ini. Busana ini juga masih tetap digunakan tatkala upacara merajah menulisi dengan huruf sakti pada tempat-tempat tertentu di badan dan ke enam gigi yang akan diasah, mabiakala, natab ayaban, mapadampel, serta saat mejaya-jaya mohon keselamatan dan kesejahteraan.

Busana Agung memang beragam  sesuai dengan desa-kala-patra (tempat, waktu, dan keadaan) setempat. Kain yang digunakan adalah wastra-wali khusus untuk upacara. Kadangkala juga bisa diganti dengan wastra putih, simbol penggerak kesucian. Yang paling umum wastra- wali seringkali diganti dengan kain songket, karena kain jenis ini sangat pas untuk mewakili kemewahan dengan gemerlap benangnya. Bagaimana pun kain jenis ini melambangkan status atau prestise bagi pemakainya. Selain mengenakan wastra kain sang pria juga menggunakan kampuh gelagan atau dodot yang ukurannya sama dengan kain yang dipakai. Kampuh ini juga dipakai hingga menutupi dada, karena si pria tidak mengenakan baju. Pada punggung seringkali tersembul keris yang rebah ke kanan. Biasanya keris yang disungkit adalah keris pusaka keluarga yang berhulu emas bertahtakan permata atau berbilah gading bagi yang punya. Hiasan kepala yang digunakan berupa petitis atau gelungan terbuat dari emas, dengan beberapa bunga emas, dan bunga segar yang bertengger di bagian belakang.

Adakalanya gelungan diganti dengan ikat kepala biasa atau sering disebut destar terbuat dari kain songket yang tidak kalah gemerlapnya. Langkah yang gagah, memegang ujung kain yang menjuntai panjang ke bawah, memberi nilai tambah bagi kelelakian seseorang di kala upacara berlangsung.

Bagi wanitanya, yang paling menarik untuk ditatap tentu hiasan kepalanya yang berupa petitis emas, ron-ronan yang dihias dengan rangkaian bunga cempaka di bagian belakang dikombinasikan dengan bunga kembang sepatu berwarna merah yang lazim disebut pucuk bang atau pucuk rejuna yang dipasang di tengah bagian muka gelung agung. Kembang sepatu ini bisa diganti dengan mawar merah atau bunga kenyeri susun merah yang tetap mengesankan meriah dan anggunnya paras sang wanita. Di lain tempat gelung agung biasa diganti dengan bancangan bunga tanpa petitis, dan ron-ronan.

Namun hiasan bunganya tetap sama, termasuk peran bunga emas yang sering mendominasi. Unsur lainnya adalah kain berwarna gelap yang disebut wastra wali cokordi, wastra wali keeling, atau wastra wali bias membah. Sebelum kain yang khusus ini dikenakan, wanita yang berbusana agung mengenakan terlebih dahulu kain lapis dalam yang disebut sinjang atau tapih yang nampak keluar dari batas bawah kain, yang ujungnya mengarah ke belakang, terlepas bebas diantara kedua kaki sang wanita.

Sinjang ini pada akhirnya seolah mengatur langkah wanita menjadi pelan namun anggun. Stagen atau pepetet juga dikenakan, dengan ciri khas terdiri dari potongan kain warna-warni yang indah dan harmonis ditambah dengan lukisan prada emas. Yang terakhir adalah peran selendang yang disebut wastra wali petak sari atau wastra wali kesetan gedebong dengan warna kuning sekaligus berfungsi sebagai penutup dada, dengan ujungnya menggelantung bebas ke belakang, melalui bahu kiri.

Busana Adat Reresonan adalah busana untuk bekerja dalam segala macam kegiatan adat. Karena itu, busana jenis ini ditata ringkas dan sederhana baik bagi wanita maupun prianya. Pada dasarnya baik wanita ataupun prianya hanya memakai kain serta penutup dada. Khusus untuk prianya, penutup dada disebut saput atau kampuh bisa langsung menjadi ikat pinggang, dan dinamai bebed, atau ubed-ubed. Kadangkala saput dipakai dengan ikat pinggang yang disebut sabuk tubuan seperti dikenakan remaja desa adat Tenganan Pegringsingan. Mereka menyebutnya saput mebasa-basa. Kini baik wanita maupun pria melengkapi dirinya dengan baju, saat mengenakan busana adat reresonan

Busana Adat Modern, busana adat ini banyak memunculkan kreasi-kreasi baru, namun tetap memakai pola dasar tradisional. Bagi wanita mengenakan baju kebaya, selendang yang dijadikan stagen, serta kain. Sanggul wanita tetap dipilih sanggul tradisional Bali. Sedangkan untuk remaja lebih sering tidak mengenakan sanggul. Yang terpenting pada penggunaan busana jenis ini adalah pemilihan warna yang serasi antara kain, baju, selendang, serta aksesoris yang dikenakan. Bagi  pria busananya terdiri dari destar atau ikat kepala, baju, kain, kampuh yang menyelimuti kain, umpal yang mengikat kampuh. Busana jenis ini sangat umum dipakai saat ini.

Dalam keseharian, untuk menghindari terlepasnya sanggul, wanita Bali akan mengenakan pengikat sanggul yang lazim disebut “teng kuluk”. Di tempat umum seperti pasar-pasar tradisional, tengkuluk sangat lazim digunakan oleh masyarakat. Jenis dan bentuk tengkuluk pun sangat be-ragam. Salah satu diantaranya ya lelunakan. Lelunakan sendiri merupakan pengembangan tengkuluk dalam bentuknya yang manis dan indah, karena kain yang dipakai bukan lagi handuk, melainkan selendang. Kain selendang yang digunakan untuk lelunakan ujung-ujungnya tertata rapi serta memiliki bukaan yang lebar, sehingga lebih melindungi kepala dan mengikat rambut yang tergelung lebih erat.

Lelunakan yang menambah ayunya wanita Bali ini, pada awalnya merupakan pengikat kepala dan rambut wanita Desa Adat Badung. Dalam perkembangannya, cenderung menjadi milik khas wanita seluruh Kabupaten Badung. Bahkan karena keindahannya, sekarang telah menjadi milik wanita Bali, secara keseluruhan. Lelunakan biasanya digunakan dalam upacara kematian di banjar yang dikenal dengan Ngaben, dengan aneka rangkaiannya. Lelunakan menjadi semakin populer saat diciptakannya tari Tenun sekitar 1960–an. Si penari Tenun yang tentunya para remaja pilihan berparas ayu tampil di pentas dengan gelung lelunakannya yang dimodifikasi begitu indah dan asrinya. Maka jadilah lelunakan ini hiasan kepala wanita Bali yang memikat dan semakin popular, bahkan sudah pula dipakai pada acara resmi diluar kegiatan adat.

Perlu diketahui bancangan merupakan alat untuk menancapkan bunga. Disamping menghias kepala wanita, bancangan dipergunakan pula untuk menghiasi beberapa jenis sesajen atau sarana pemujaan lainnya, seperti gebogan, prani, gegaluh, pratima, pralingga, dan pecanangan saat upacara keagamaan. Tangkainya bancangan umumnya terbuat dari bambu sedangkan tempat menancapkan bunga terbuat dari kawat yang dibentuk seperti spiral, sehingga bunga yang tertancap bisa bergerak gemulai kala dipakai.

Sebagai bagian dari busana wanita Bali, bancangan umum dipakai dalam Tari Pendet, Tari Sisia, atau saat prosesi yang dinamai peed dilakukan. Dalam momen seperti itu, bancangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu mahkota kebesaran atau gelung-agung.

Kerangka Bancangan terbuat dari rotan kecil yang kalau di Bali disebut penyalin. Tempat menancapkan bunga diatur sedemikian rupa yakni mengecil ke atas. Namun bentuk keseluruhannya tetap berbentuk bulan sabit, atau Ardha Chandra seperti yang terlihat pada gelung agung gelung janger, onggar-onggar rejang Bungaya dan Rejang Asak. Warna bunga jepun Bali yang dipakai adalah yang berwarna putih dengan pangkal helai bunga berwarna kuning. Bunga ini selanjutnya diimbuhi kembang kuning Alamanda di bagian bawahnya, denga tajuk mahkota digunting sehingga selaras proporsi dan komposisinya dengan bunga jepun.

Satu lagi, di puncak tengah bancangan dipasang sekuntum bunga mawar merah atau sekuntum pucuk bang kembang sepatu warna merah yang juga disebut pucuk rejuna. Dengan gradasi dan komposisi warna yang manis dan indah itu, bancangan jepun sampai sekarang menjadi salah satu mahkota wanita Bali yang sangat popular.

Onggar-onggar entah kapan diciptakan, dan entah siapa penciptanya, hiasan kepala seunik dan seindah Onggar-onggar menjadi ada dan acapkali digunakan pada suatu acara di desa adat. Onggar-onggar merupakan gelung hiasan kepala di desa adat Bungaya Karangasem. Hiasan kepala ini dipakai para wanita penari Rejang Saput Karah. Gelung Onggar-onggar diselipi bunga emas yang disebut sekar sasak. Sehingga mahkota rejang itu membuat sang penari tampak semakin anggun.

Loading...