ISI Denpasar Menjadi Highlight Dalam ‘Global Voices of Percussion’ di Denmark

ISI Denpasar Menjadi Highlight Dalam ‘Global Voices of Percussion’ di Denmark

Laporan Rombongan ISI Denpasar di Denmark.

Gladi Bersih Rombongan ISI Denpasar Ke DenmarkDari keberangkatan rombongan ISI Denpasar sejak tanggal 27 Januari lalu ke Denmark, terungkap banyak pengalaman berharga khususnya bagi mahasiswa ISI Denpasar. Menurut Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A. walaupun harus beradaptasi dengan cuaca dingin (dibawah 7 derajat Celsius), saat ini (3 Februari 2010) rombongan ISI Denpasar tengah melakukan persiapan kolaborasi bersama dengan para seniman dunia. ISI Denpasar sebagai wakil Asia dalam ajang bergengsi ini, dijadikan sebagai unggulan. Hal tersebut dilihat dari penempatan posisi gamelan ISI Denpasar saat pementasan nanti, ditempatkan di centre dan dikelilingi oleh penempatan alat musik dari negara lain. Prof. Rai menambahkan ISI Denpasar boleh berbangga karena ISI Denpasar menjadi sorotan/ highlight diantara musisi-musisi kelas dunia yang memiliki skill tinggi, sehingga mampu memberi pengalaman dan manfaat khususnya bagi mahasiswa ISI Denpasar. Mereka dapat berinteraksi dengan para seniman kelas dunia. Rombongan ISI Denpasar selama di Denmark tinggal di mess kampus setempat bersama dengan rombongan dari Mexico. Disinilah saatnya mahasiswa ISI Denpasar untuk mencari relasi berinteraksi, menambah pengetahuan lewat silang budaya. Kedatangan ISI Denpasar juga membawa misi untuk mempromosikan ISI Denpasar khususnya, Bali dan Indonesia pada umumnya. ISI juga mendapat kesempatan untuk mengisi konten acara pawai yang langsung dikomandoi oleh PR IV ISI Denpasar bagian kerjasama dengan menampilkan tari cak. Sehingga disini diperlukan komunikasi dua arah, dan diperlukan orang yang sudah berpengalaman berkerjasama dengan orang asing. Selain itu ISI Denpasar juga diundang untuk memberikan ceramah dan melakukan workshop bersama dengan para dosen dan mahasiswa dari The Royal Denish Academy of Music, Copenhagen. Kunjungan ini sebagai tindak lanjut rencana penandatanganan MoU anatara ISI Denpasar dengan The Royal Denish Academy of Music, Copenhagen, yang merupakan conservatory yang terkemuka di dunia. Prof. Rai menegaskan kerjasama yang memungkinkan dapat terjalin, yaitu pertukaran dosen/ mahasiswa, penelitian bersama, serta kolaborasi seni, yang diharapkan dapat mempercepat visi ISI Denpasar untuk go internasional. Rombongan juga berkesempatan mengunjungi museum yang ada di Copenhagen. Kunjungan ini membawa misi untuk menjalin kerjasama antara ISI Denpasar dengan pihak museum sehingga akan muncul trobosan baru untuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar untuk dapat bersaing dikancah internasional. Salah satu program yang mungkin dapat terjalin adalah menggelar pameran internasional. Namun Prof. Rai menekankan untuk dapat menembus pameran internasional, seniman Bali harus memiliki keunikan, identitas dan keunggulan pada karyanya. Dengan berbekal kasanah budaya, tradisi, dan local wisdom yang dimiliki Bali, seniman Bali dapat unjuk gigi di kancah internasional.

Sementara Pembantu Rektor IV ISI Denpasar, I Wayan Sweca, M.Mus, yang ikut dalam Festival Internasional yaitu The World Wide Cooperation Project; Global Voices of Percussion, mengungkapkan bahwa banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan ini, dimana para mahasiswa ISI dari Fakultas Seni Pertujukan yang berjumlah 19 orang ini akan mampu membuka cakrawala mereka baik tentang pengetahuan music maupun budayanya. Karena event ini adalah melibatkan 100 musisi dan penari kelas dunia, sehingga bisa menyatukan bangsa lewat musik. Mereka akan berkolaborasi dengan seniman seniman dari Amerika, Eropa, Afrika dan Asia, sehingga selain menunjukkan identitas diri sebagai wakil dari Asia, para mahasiswa juga dapat belajar mengadopsi konsep-konsep musik barat dan ide-ide brilliant yang muncul saat kolaborasi oleh para komposer-komposer kelas dunia. Rombongan akan tampil tanggal 4 Februari 2010 dan akan kembali ke Bali tanggal 9 Februari 2010.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Balaganjur Dalam Makna Religius

Balaganjur Dalam Makna Religius

Kiriman I Wayan Suharta Dosen PS. Seni Karawitan dan telah diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi Februari 2007.

Adhi Merdangga ISI DenpasarKehidupan masyarakat Bali di masa silam sangat tergantung dengan alam. Perilaku mereka mencerminkan pemikiran magis dan sakral yang kuat seperti keyakinan adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib, serta relasi antara manusia dengan kekuatan spiritual. Persepsi yang relegius ini  menunjukan sudah adanya gejala-gejala tentang kepercayaan kepada kekuatan spiritual tertinggi atau Tuhan, yang dikondisikan oleh alam pikiran mereka memuja kekuatan alam dan alam gaib (Suartaya, 2001:130).

Di kalangan masyarakat Hindu di Bali kesenian persembahan kepada Tuhan dan alam niskala dapat dibedakan menjadi dua kelompok; kesenian  wali dan kesenian bebali. Kesenian wali mencakup berbagai bentuk kesenian yang tergolong tua dan oleh karena itu telah memiliki unsur-unsur keaslian (originalitas) dan kesucian. Dikalangan masyarakat Bali seni sakral merupakan salah satu aspek vital kehidupan spiritual masyarakat Hindu yang bermakna relegius yang merupakan bagian integral dari pelaksanaan upacara (Dibia, 2003:98).

Balaganjur dalam kaitannya dengan kegiatan ritual merupakan implementasi dari sosio-relegius yang sangat ketat dan kuat memberikan dukungan terhadap keberadaan Balaganjur. Dalam kontek religius, semua angota sekaa terlibat dalam penyajian Balaganjur sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, yang semuanya dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut ngayah.

Ketika terlibat dalam kegiatan ritual, para penabuh Balaganjur menyerahkan diri secara tulus demi suatu kepercayaan yang mereka yakini. Berpatisipasi megambel terutama bagi kaum pria yang me-rasa mampu, selain untuk mengekpresikan naluri berkesenian namun pada intinya merupakan yadnya bagi kehidupannya dibawah perlindungan dari kekuatan Yang Maha Kuasa.

Yadnya atau pengorbanan suci mencakup penyerahan diri sering kali melibatkan upacara-upacara ritual. Berpegang kepada keyakinan bahwa kesenian adalah ciptaan Tuhan, orang Hindu men-jadikan kesenian sebagai sebuah persembahan dan yadnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja memuaskan serta memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, tapi juga sebagai wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu, yaitu Tuhan.

Eksistensi masyarakat Bali dalam mengekpresikan peng-akuannya terhadap kebesaran Ida Sanghyang Widhi diejawantahkan dalam wujud ngayah tersebut. Budaya ini selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam gerak laku masyarakat Bali hingga sekarang. Dalam bidang kesenian misalnya, semua orang merasa memiliki peran. Mereka yang tak bisa menari atau menabuh mungkin bertugas menata atau mengerjakan dekorasi panggung. Termasuk juga ketika membantu para penari mengenakan kostum tarinyapun sudah termasuk ngayah. Begitu juga bila berpartisipasi mengangkat gamelan dan mengurus konsumsi penari dan penabuh juga termasuk ngayah.

Terkait dengan prinsip ritual seniman-seniwati di Bali yang berkesenian atas dasar ngayah, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan selalu melibatkan unsur-unsur ritual dalam setiap aktivitas berkesenian untuk menjaga kesucian karya seni yang dihasilkan. Selain itu, upacara ritual dilaksanakan sebagai suatu cara untuk memohon lindungan Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya agar penyajian kesenian dapat berlangsung sebagaimana mestinya dan yang lebih penting lagi bisa memperoleh kekuatan sinar suci-Nya (Ibid., p. 101).

Untuk mengawali penyajian Balaganjur atau jenis pertunjukan yang lain, sudah menjadi kebiasaan bagi para seniman seni pertunjukan di Bali untuk melakukan upacara ritual. Upacara ritual seperti ini akan selalu mengingatkan para seniman akan keberadaan Tuhan. Disamping itu, juga memperlihatkan bahwa berkesenian adalah sebuah persembahan yang bermakna relegius yang intinya mengingatkan pelaku seni akan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Kehidupan berkesenian bagi masyarakat Bali menjadi satu aspek yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena sebagian besar dari wujud hidup keseharian itu dibarengi dengan penyertaan unsur-unsur benda, aktivitas dan pilosofi yang bernilai seni. Terbentuknya kelompok-kelompok kesenian seperti; sekaa gong, sekaa barong, sekaa angklung dan sebagainya, menunjuk pada aspek kesenian yang dapat berorientasi ekonomi. Sekaa-sekaa tersebut menunjukkan kelompok kesenian yang memiliki makna relegius dan banyak dihubungkan dengan ketakso; kreativitas budaya yang memberikan kekuatan spiritual untuk mewujudkan keseniannya. Karena itu peranannya dalam menunjang kegiatan adat dan agama khususnya upacara menjadi sangat besar (Astika, 1994:121).

Balaganjur dalam fungsinya mengiringi prosesi ritual keagamaan memiliki makna relegius. Penabuh Balaganjur oleh puluhan partisipan mengikuti ritual dalam prosesi ritual keagamaan. Kendatipun para penabuh tidak disakralkan akan tetapi saat keterlibatan mereka ketika ngayah, baik sebelum memulai atau seusai menyajikan gending-gending Balaganjur, para penabuh mendapatkan percikan air suci, mendapatkan berkah atau pem-bersihan diri secara niskala.

Dampak Penggunaan Energi Listrik Tenaga Surya Terhadap Life Style Masyarakat di Desa Pusu, Amumba Barat, NTT

Dampak Penggunaan Energi Listrik Tenaga Surya Terhadap Life Style Masyarakat di Desa Pusu, Amumba Barat, NTT

Kiriman Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana Fakultas Seni Rupa Dan Disain- Institut Seni Indonesia Denpasar

Rumat Adat (tempat penyimpanan makanan)Desa Pusu merupakan desa terpencil yang menggunakan energi terbarukan (renewable energy) tenaga surya di kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ketika teknologi berada pada satu titik dengan masyarakat desa terpencil, maka terjadi fenomena – fenomena sosial. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan dampak penggunaan energi listrik tenaga surya terhadap gaya hidup di desa tersebut dengan menilik profil pelaksanaan program PLTS baik secara teknis maupun non teknis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi geografis Desa Pusu sangat berpengaruh terhadap aktivitas civitas yang terbatas. Musim kemarau panjang 7 – 8 bulan dalam setahun dan 53% rata-rata waktu efektif bekerja di ladang dalam sehari merupakan ciri khas kehidupan masyarakat lahan kering yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Intervensi teknologi didasarkan atas kesadaran masyarakat Desa Pusu. PLTS sebagai entry point menuju masyarakat sejahtera berdampak terhadap gaya hidup masyarakat desa yang teraplikasi pada beberapa aspek, yaitu : aspek sosial dan budaya, ekonomi, pendidikan serta kesehatan. Habitus masyarakat desa setelah PLTS membentuk subkultur baru, dimana artefak teknologi (Solar Home System) diinternalisasi dalam kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan ada penentuan prioritas tindakan.Dari fase awal PLTS hingga fase pendampingan , kondisi tipikal masyarakat menunjukkan tanda-tanda yang berkemampuan melekatkan dirinya suatu diskursus tertentu yang mampu memberikan sebuah identitas, yaitu masyarakat pengguna PLTS. Setelah pendampingan selesai pada tahun 2006 hingga sekarang, terjadi stagnansi bahkan kondisi tipikal masyarakat desa menurun secara perlahan yang disebabkan faktor internal (masyarakat itu sendiri) dan eksternal (agen perubahan)

Dapat disimpulkan bahwa Desa Pusu termasuk dalam kategori desa terpencil dengan kondisi geografis khusus serta kemakmuran dibawah garis kemiskinan (poverty line).

Konstruksi rumah penduduk di Desa Pusu sebelum PLTSDampak penggunaan PLTS terhadap life style masyarakat terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap awal terjadi fleksibelitas intepretatif dimana masyarakat desa Pusu mengintepretasikan suatu artefak teknologi (SHS), tahap berikut terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok masyarakat pengguna artefak teknologi (SHS) dengan gaya hidup masyarakat diwarnai dengan konflik dan negosiasi antar kelompok masyarakat yang berujung pada sebuah kompromi, tahap akhir : kestabilan tidak dapat bertahan lama, terjadi stagnan dan cenderung menurun disebabkan pola pikir masyarakat dalam pengartikan perubahan itu. Kondisi tipikal masyarakat berada pada batas kejenuhan yang diakibatkan oleh terbendungnya segala keinginan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan lain dengan daya yang terbatas sehingga masyarakat kembali pada pola lama, yaitu sikap menerima apa adanya, malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, cenderung bersikap apatis. Yang merupakan ciri-ciri gaya hidup masyarakat dengan predikat kemiskinan budaya (poverty cultural).

Indentifikasi dan Inventarisasi Kain Gringsing di Desa Tenganan, Karangasem

Indentifikasi dan Inventarisasi Kain Gringsing di Desa Tenganan, Karangasem

Oleh : Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana (Dosen Program Studi Desain Interior ISI Denpasar)

Anonim dari Pagerinsingan foto Ratna CoraDalam selembar kain terjelma perjalanan panjang sebuah bangsa. Kreativitas bangsa Indonesia selama kurun waktu kurang lebih 1500 tahun, melalui berbagai kegiatan tradisi budaya menciptakan berbagai teknik pembuatan kain dan ragam hiasnya.

Ketrampilan membuat ragam hias di Indonesia dipengaruhi oleh unsur sejarah. Pengaruh yang paling menonjol tampak dari masa neolithikum. Setelah itu pengaruh datang dari kebudayaan Dongson yang dibawa bangsa dari Tonkin dan Annam Utara sekitar 700 tahun sebelum Masehi, bangsa inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Selain bentuk – bentuk fauna dan flora serta pemujaan terhadap leluhur yang dikenal dari masa neolitik , salah satu bukti peninggalan di Bali berupa nekara kecil dari bahan perunggu yang bermotif katak dan garis-garis geometris mempengaruhi motif ragam hias pada tenunan Indonesia.

Perkembangan berbagai ragam hias dibarengi berbagai teknik pembuatan kain seperti : Teknik tenun ikat single dan double, batik, celup dan printing (cap). Sebagai bangsa Indonesia kita patut berbangga, karena hanya ada tiga tempat di dunia yang menggunakan teknik dobel ikat, yaitu Jepang, India dan Indonesia. Satu-satunya daerah di Indonesia yang mengenal pembuatan tenun dobel ikat adalah Tenganan, Karangasem,Bali. Hasil tenunan dengan teknik ini dinamakan kain Gringsing. Tenganan Pegringsingan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Desa seluas 1.496.002 hektar, berpenghuni sekitar 600 jiwa terdiri atas tiga banjar, yaitu : Banjar Dauh, Banjar Kangin dan Banjar Pande mencerminkan budaya abad ke – 11. Tenganan merupakan salah satu desa kuno di Bali yang disebut dengan ”Bali Aga”.

Menurut hasil penelitian, V.E Korn, De Dorpsrepubliek Tenganan Pegeringsingan (1933), Kata Pegringsingan diambil dari kata gringsing yang terdiri dari kata gring dan sing. Gring berarti sakit dan sing berarti tidak. Jadi gringsing berarti tidak sakit. Bahkan orang yang memakai kain gringsing dipercaya dapat terhindar dari penyakit dan lebih kompleks lagi gringsing adalah penolak mara bahaya. Pendapat lain datang dari Urs Ramseyer (1984) dalam tulisan yang berjudul ”Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali”, menduga orang Tenganan sebagai sesama penganut dewa Indra merupakan imigran dari India kuno, kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh. Kemudian teknik dobel ikat ini dikembangkan secara independen di Tenganan. Atau mungkin juga para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini suatu dinamika dalam kebudayaan terjadi juga di Tenganan yang sedang mengalami perubahan. Meskipun demikian ada unsur-unsur budaya yang tetap dipertahankan. Kaye Crippen (1994), Change and Continuation of Double Ikat Weaving in Tenganan, Bali mengemukakan bahwa adanya upaya untuk menghidupkan kembali motif-motif kain gringsing. Walaupun warna dan keunikan desain ikat saat ini tidak sama dengan kain-kain kuno yang pernah didokumentasikan oleh museum-museum di Eropa, khususnya dari museum Basel,Swiss. Tahun 1972, Group Peneliti dari museum Fur Volkerkunde, Basel, Schwitzerland, Urs Ramseyer membawa foto-foto kain gringsing yang beberapa jenisnya tidak lagi berada di Desa Tenganan bahkan tidak diketahui namanya. Mereka sangat berjasa membawa foto-foto kain kuno untuk dipelajari dan dibuat kembali. Dengan demikian masyarakat Tenganan dapat merevitalisasikan keunikan budayanya yang menjadi identitas masyarakat setempat.

Ragam motif kain gringsing terilhami oleh bentuk flora, fauna, wayang dan candi.

Motif Anonim dari Pegeringsingan, foto Ratna CoraAdapun motif-motif kuno kain gringsing yang dikenal meliputi: 1) Wayang kebo, 2) Cemplong ; 3)Cecempakan ; 4)Lubeng ; 5) Teteledan ; 6) Batung Tuhung ; 7) Patlikur Isi; 8. Tidak diketahui namanya (tetapi motif dasar Patlikur Isi dengan ukuran besar) ; 9) Enjekan Siap ; 10) Wayang Putri ; 11) Tidak diketahui namanya (di duga Pitri Dedari,disebabkan motif wayang istri) ; 12) Tidak diketahui namanya ; 13) Tidak diketahui namanya ; 14) Pepare ; 15) Gegonggangan ;16) Sanan Empeg ;17) Sitan Pegat ; 18) Dinding Ai ; 19) Dinding Sigading ; 20) Talidandan ; 21) Tidak diketahui namanya (mirip enjekan siap) ; 22) Tidak diketahui namanya ; 23) Wayang (tidak diketahui namanya – sikap : menyilangkan kaki). Hingga kini masih meninggalkan tanda tanya perjalanan beberapa kain gringsing yang tidak diketahui namanya. Foto-foto beberapa motif kain gringsing yang tidak diketahui namanya.

Loading...