Sistem Penerimaan  Mahasiswa Baru (SPMB) Tahun 2010

Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Tahun 2010

ISI Denpasar membuka pendaftaran calon mahasiswa baru untuk kelas reguler, dengan 4 jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Adapun 4 jalur SPMB adalah

1. SPMB Jalur Umum

2. SPMB Jalur Unggulan Daerah

3. SPMB Jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK)

4. SPMB Jalur Bidik Misi

Untuk selengkapnya silahkan klik disini

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010

Pada tahun anggaran 2010, ISI Denpasar  kembali menyelenggarakan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) bagi mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan. Mulai tahun 2009 Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) untuk dilaksanakan dan dikembangkan oleh perguruan tinggi.

Pengertian Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahaan adalah suatu proses kreativitas dan inovasi yang mempunyai resiko tinggi untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendatangkan kemakmuran bagi wirausahawan.  Kewirausahaan itu dapat dipelajari walaupun ada juga orang-orang tertentu yang mempunyai bakat dalam hal kewirausahaan.  Strategi pendidikan yang diwujudkan dalam PMW bertujuan membentuk soft skill agar berperilaku sesuai karakter wirausaha.

Pada tahun 2009 ISI Denpasar telah menye-lenggarakan PMW,  menetapkan 88 orang mahasiswa peserta PMW dengan jumlah proposal rencana bisnis 34 judul (mandiri dan berkelompok), modal kerja yang dialokasikan sebesar Rp. 7.900.000,- (tujuh juta sembilan ratus ribu rupiah) per mahasiswa.

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010, selengkapnya.

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang

Oleh I Wayan Mudana, diterbitkan dalam Jurnal Mudra Edisi September 2007

Pengaruh pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat Bali dapat dilihat dari berbagai kreativitas seni yang dilakukan oleh masyarakat, sistem organisasi kemasyarakatan yang dijalankan, serta karakteristik atau prilaku masyarakat Bali yang merupakan unsur utama ke Baliannya. Dari unsur seni budaya, pariwisata dapat mendorong masyarakat untuk menghidupkan kembali seni kebudayan asli yang sudah hampir terlupakan, dapat menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, serta dapat menumbuhkan kreativitas seni masyarakat yang dapat memperkaya kasanah budaya Bali. Namun disayangkan kebanyakan motivasi mereka lebih pada komersialisasi, sehingga sering mengakibatkan terjadinya provanisasi benda-benda seni yang bersifat sakral dan tempat suci yang sering mendapatkan sorotan masyarakat banyak. Dari aspek keorganisasian, pariwisata dapat memperkokoh organisasi tradisional seperti banjar, desa pakraman, subak yang merupakan identitas masyarakat Bali yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Sedangkan dari aspek prilaku dan pola hidup yang sering digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai kebaliannya masyarakat Bali sudah adanya tedensi pergeseran, namun secara umum masyarakat Bali masih bisa mempertahankan karakteristik prilaku sebagai masyarakat Bali.

Khusus mengenai eksistensi seni budaya yang merupakan hasil karya masyarakat Bali asli yang belum dipengaruhi budaya asing (luar) yang sering diidentifikasikan sebagai budaya tradisional yang mencerminkan identitas warna lokal (budaya lokal) Dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap budaya lokal maka dalam penelitian ini akan diteliti tentang salah satu unsur seni budaya yang berupa karya seni patung yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Silakarang, Singapadu Kaler, Sukawati, Gianyar. Lokasi ini merupakan jalur pariwisata yang sering dilewati bahkan dikunjungi oleh wisatawan yang membeli dan memesan patung. Sering sekali patung yang dipesan oleh wisatawan sesuai dengan desain yang mereka kehendaki, sehingga eksistensi patung tradisional terancam perkembangannya bahkan dikwatirkan terancam kepunahannya. Apalagi dengan berkembangnya kunjungan wisatawan dari berbagai belahan dunia yang memungkinkan banyak ide atau desain-desain yang bervaraiasi yang mengapresiasi patung tradisional. Sehingga patung yang dihasilkan tidak lagi memberikan warna lokal asli daerah Bali, tetapi lebih pada dominasi budaya wisatawan terhadap budaya lokal.

Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif dan komperatif, yaitu penelitian yang menjelaskan suatu fenomena dan membandingkan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang eksistensi seni patung tradisional akibat adanya pengaruh pariwisata, dan membandingkan antara pendapatan yang diterima oleh masyarakat dari pembuatan patung tradisional (warna lokal) dengan pendapatan yang diterima dari pembuatan patung modern.

Penelitian ini dilakukan di Desa Silakarang yang merupakan jalur menuju kawasan pariwisata Ubud dan mulai dilakukan dari bulan Oktober 2005 sampai bulan Februari 2006. Alasan pengambilan lokasi ini, karena di Desa Silakarang yang 90% masyarakatnya sebagai pematung batu padas dan merupakan daerah pematung pertama di daerah Gianyar, yang sering disebut sebagai sentral seni patung batu padas. Karya-karya seni patung yang dibuat di Silakarang dianggap bisa mewakili eksistensi seni patung tradisional kalau dilihat dari aspek bentuk, fungsi dana makna, dan dampak pariwisata dilihat dari aspek estetik, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai jalur wisata yang banyak dilewati oleh para wisatawan, transaksi bisnis antara para wisatawan dengan para pengusaha sangat besar pengaruh pariwisata terhadap eksistensi budaya lokal khusunya seni patung tradisional.

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang, selengkapnya

Apresiasi  Estetika Dan  Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga  Kebertahanan NKRI

Apresiasi Estetika Dan Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga Kebertahanan NKRI

Oleh Ketut Sumadi, diterbitkan dalam jurnal Mudra Edisi September 2007

Indonesia termasuk negara besar di kawasan Asia Tenggara yang terdiri atas ratusan pulau, memiliki beragam etnik (suku) yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak budaya berbeda satu sama lain. Kemajemukan budaya atau multibudaya dalam pandangan Posmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme.  Paham  multikulturalisme diperkirakan diwacanakan pertama kali pada tahun 1960 oleh ahli Sosiologi Kanada, Charles Hobart ketika dilangsungkannya konferensi tentang Dewan Kanada tentang agama Kristen dan Yesus di Winnipeg (Manitoba) Kanada, namun sebagai wacana politik yang resmi berkembang di Kanada tahun 1997 dan di Australia tahun 1977-1978 (Ardhana,2001:3), konsep multikulturalisme ini diterjemahkan Edi Sedyawati sebagai konsep “aneka budaya” (Bagus, 2001:8).

Keunikan dan keanekaragaman kultur masing-masing etnis itu, baik dalam bentuk seni sastra, seni pertunjukkan, seni suara/musik, seni kriya, maupun seni lukis, memiliki estetika yang berbeda pula.. Di Eropa perumusan tentang estetika baru terjadi tahun 1648 oleh Baumgarten, tetapi baru dapat diakui secara umum setelah Immanuel Kant (1724-1804), seorang Filsuf Jerman, memakainya dalam tulisan-tulisan falsafinya (Jelantik, 1994: 15).  Estetika sebagai filsafat keindahan memang berkaitan erat dengan seni (Wurianto, 2006 dalam Suastika, 2006:vii). Mengutif Plato (dalam Sutrisno, 1999;107), Wurianto menguraikan, keindahan dapat ditengarai dari dua hal, yaitu benda-benda/hal-hal indah merupakan kelompok objek yang dilihat, dinikmati dan didengar yang berada di sekeliling manusia. Selain itu keindahan  ada tanpa melekat  dalam dunia objek-objek indera, tetapi berada dalam “the intelligible world”, yaitu dunia nontemporal, nonspesial, tetapi dalam dunia forma yang berisi sari-sari pokok dan abadi dari pengetahuan. Keindahan mengatasi dunia indera, pengalaman, yaitu pengalaman akan keindahan merupakan hal yang khusus, tidak dapat tuntas dideskripsikan, dipaparkan. Sementara itu,  Thomas Aquinas  memberikan syarat-syarat mengenai keindahan dengan ciri: (a) Indah itu sekaligus sempurna, tidak terpecah dan tidak tersamai; (b) Berciri harmoni, selaras, bermakna proporsional; (c) Jelas, terang, dan jernih. Sedangkan G.W.F. Hegel (dalam Woryomartono, 2001:39) menyatakan bahwa letak dan kedudukan karya seni yang dalam hal ini disebut dengan “fina art” adalah usaha dan manifestasi dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya.

Dalam perspektif kajian budaya (culture study) di Indonesia, masing-masing  kultur etnis di Indonesia memiliki estetika yang sarat muatan untuk membangun kehidupan harmonis dan  selaras dalam ranah budaya Nusantara yang bhineka tunggal ika. Karena itu,  tidak berlebihan kiranya, jika kajian pengetahuan tentang estetika dan  etnis multikultur di Indonesia  diharapkan dapat  mengangkat nilai relevansi dan makna dari keragaman budaya tersebut, sehingga akan melahirkan pemahaman tentang seni budaya sebagai  upaya mencegah disharmoni berbangsa dan bernegara, yang pada akhirnya bermuara pada kebertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di sinilah diperlukan adanya kemauan yang tulus dari seluruh etnis di Indonesia untuk melangkah seiring seirama dalam mengapresiasi estetika dalam kandungan budaya yang beragam itu. Konsep  apresiasi sangat dekat dengan penikmatan. Dalam apresiasi terdapat proses yang melibatkan aspek pemahaman, sikap, dan penilaian Pemahaman terkait dengan pengalaman pribadi yang berhubungan dengan ingatan, penerapan, analisis, kemampuan mensintesis dan unsur-unsur kritis. Di tengah gegap gempitanya kreativitas para seniman melahirkan karya-karya seni,  menurut Jelantik (1994:7), pembicaraan tentang estetika menjadi semakin penting, karena  karya seni yang dilahirkan itu tidak bisa lepas dari  rasa kepedulian atas bobot dan mutu estetik, serta  kepedulian atas arah kemana dibawanya kesenian itu.  Oleh karena itu,  wahana yang  besar untuk menumbuhkan  iklim apresiasi estetika itu  adalah melalui bangku pendidikan, baik formal maupun nonformal.

Secara formal pengenalan dan kajian apresiasi estetika diberikan di sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai di Perguruan Tinggi, terlebih pada Perguruan Tinggi Seni seperti di Institut Seni Indonesia (ISI) di seluruh Indonesia, kajian estetika tidak cukup di atas kertas semata, tetapi lebih pada usaha membawa keindahan itu dalam ranah budaya yang mengantar setiap orang menemukan jati dirinya dan kesadaran sebagai warga negara Indonesia yang bersatu serta berdaulat.

Sedangkan secara nonformal, pengenalan dan kajian apresiasi estetika kultural multietnis di Indonesia bisa diberikan lewat  aktivitas berkesenian di bale banjar atau di sanggar-sanggar kesenian yang kini tumbuh subur di tengah masyarakat, seperti yang dilakukan Sanggar Tari “Lokananta” dari Banjar Mukti Singapadu, Sukawati Gianyar (Bali Post,  4 Februari 2007). Pesta Kesenian Bali (PKB) juga bisa menjadi studi kasus menarik, karena selama sebulan berlangsungnya  PKB setiap tahun, banyak menampilkan seniman dari berbagai etnis di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Demikian pula para seniman kini mulai menampilkan karya-karya seni yang menggabungkan berbagai elemen budaya etnis di Indonesia sebagai wujud usaha mereka  membangun semangat kebersamaan dan persatuan bangsa melalui estetika.

Tulisan singkat ini memang dimaksudkan untuk menggugah apresiasi masyarakat terhadap estetika seni multietnis itu dari perspektif kajian budaya dalam rangka mencegah  disharmoni dan menjaga kebertahanan NKRI di tengah krisis multidimensi yang, salah satunya diwarnai dengan terjadinya  konflik  etnis di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini.

Apresiasi  Estetika Dan  Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga  Kebertahanan NKRI, selengkapnya

Peranan Tindak Tutur Dalam Seni Pertunjukan Ketoprak

Oleh Agus Rinto Basuki, diterbitkan dalam Jurnal Mudra edisi September 2007

Ketoprak sebagai salah satu kesenian daerah Jawa Tengah (khususnya), telah mampu mengundang banyak penonton dan pendengar di pelbagai pelosok pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh penampilan ketoprak sebagai ‘teater tradisional’, dapat menggambarkan cerita yang telah berakar, berdasarkan keteladanan yang luhur bangsa Indonesia pada masa silam, dan merupakan refleksi kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa khususnya.

Bahasa yang digunakan dalam ketoprak dapat mengakrabkan situasi dengan masyarakat penonton. Kenyataan ini tampak berbagai pertunjukan, baik melalui panggung, radio, maupun televisi, merupakan salah satu unsur yang memiliki peranan sangat dominan. Oleh karena itu, bahasa ketoprak merupakan repertoar yang sangat menarik untuk diteliti, terutama yang menyangkut penggunaan bahasa, atau dalam kajian ini difokuskan pada segi tindak tutur.

Menurut Austin (dalam Levinson, 1983:236)22 JL. Austin adalah seorang filosof berkebangsaan Inggris, ia merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang dapat dilakukan dengan kata-kata. Pandangannya yang paling mendasar tercermin dalam kuliah-kuliahnya, yang terkumpul menjadi sebuah buku yang diberi judul How to Do Things with Words.

Austin mengamati bahwa tuturan-tuturan itu tidak saja dipakai untuk melaporkan sesuatu kejadian, tetapi dalam hal-hal tertentu, tuturan itu harus diperhitungkan sebagai sebuah pelaksanaan tindakan (actions).

Penelitian ini bertujuan antara lain: a) Mendeskripsikan berbagai bentuk tindak tutur dalam ketoprak, b) Mendeskripsikan beberapa konteks tuturan, dan c) Mengetahui fungsi tindak tutur dalam ketoprak. Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis penelitian ini akan diwujudkan dalam bentuk khasanah teori Seni dan teori Linguistik, khususnya tentang teori tindak tutur yang bertipe kesenian panggung (ketoprak, wayang, ludruk, kentrung, dan sebagainya). Manfaat praktis dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti bidang seni budaya, yang memfokuskan pada masalah kebahasaan. Diharapkan pula, hasil dari penelitian ini dapat menopang pengetahuan para seniman panggung, untuk lebih memperhatikan kaidah-kaidah linguistik (pragmatik), daripada kaidah-kaidah konvensional.

Beberapa teori yang dijadikan ancangan dalam penelitian ini antara lain: a) Semantik dan Pragmatik, b) Konteks, dan c) Pra anggapan, Implikatur dan Inferensi. Semantik berbeda dengan Pragmatik, meskipun keduanya memandang bahasa dari segi makna. Semantik memandang bahasa menurut makna leksikal, yang terpisah dari situasi dan konteks. Dengan kata lain, memandang makna bahasa yang bebas konteks (context independent). Pragmatik memandang makna bahasa menurut pemakainya, yang terikat oleh situasi dan konteks (context dependent). Sehubungan dengan penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pada kajian pragmatik.

Istilah Konteks dipergunakan untuk mengacu pada pemahaman antar tokoh (penutur dengan mitra tutur), tentang pengetahuan, pengalaman, persoalan yang dipraanggapkan, situasi, waktu, tempat, dan peristiwa. Atau dengan kata lain, semua latar belakang yang berkaitan dengan pengetahuan penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, konteks tidak hanya mengacu ungkapan secara verbal sebagai konteks lingual (cotext), tetapi juga mengacu pada beberapa hal yang ada di luar bahasa, sebagai konteks non lingual (context).

Makna pragmatik sebuah tuturan tidak selalu didapatkan dari tuturan yang sungguh-sungguh disampaikan oleh penutur. Dengan kata lain, makna yang tersurat dalam sebuah tuturan, tidaklah selalu sama dengan makna yang tersirat. Makna yang tersirat akan dapat diperoleh dengan mencermati konteks yang menyertai munculnya tuturan itu. Untuk dapat memahami sebuah konteks, diperlukan piranti yang berupa teori, yaitu ; Pra anggapan, Implikatur, dan Inferensi.

Secara umum, penutur selalu merancang pesan-pesan bahasanya berdasarkan asumsi-asumsi, yang sudah diketahui oleh mitra tutur. Tentu saja asumsi itu dapat salah, tetapi asumsi-asumsi itu mendasari banyak hal dalam penggunaan bahasa. Apa yang diasumsikan oleh penutur, sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui oleh mitra tutur, dapat disebut sebagai pra anggapan (presupposition).

Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang sebenarnya, bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut, dan bukan pula merupakan konskwensi logis dari tuturan itu, itulah yang disebut dengan implikatur.

Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh mitra tutur, karena dia tidak tahu apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh penutur. Karena jalan pikiran penutur berbeda dengan mitra tutur, akan memungkinkan kesimpulan mitra tutur meleset, atau bahkan salah sama sekali. Apabila hal ini terjadi, maka mitra tutur harus membuat inferensi lagi. Dalam hal ini Gumperz (dalam Kartomihardjo, 1993:31) menganjurkan untuk lebih banyak menggunakan kesimpulan yang bersifat pragmatik, dan bukannya yang logis saja.

Peranan  Tindak  Tutur Dalam  Seni  Pertunjukan  Ketoprak Selengkapnya

Loading...