Pengabdian Masyarakat di Pura Pemayun Banjar Tegal, Buleleng Direspon Sangat Positif

Pengabdian Masyarakat di Pura Pemayun Banjar Tegal, Buleleng Direspon Sangat Positif

Singaraja – Guna merealisasikan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian), ISI Denpasar melaksanakan kegiatan pengabdian di kelurahan Banjar Tegal, Kabupaten Buleleng, tepatnya di Sanggar Karawitan Gita Giri Kencana. Dipilihnya sanggar ini karena Sanggar Karawitan ini memiliki misi untuk melestarikan keberadaan gamelan gong pacek. Dengan sifat kegotong-royongan dan berfungsi sosial, sanggar ini berusaha bertahan ditengah arus globalisasi yang terus beredar. Untuk turut melestarikan tetabuhan gending klasik Buleleng, sanggar ini berupaya memainkan tetabuhan tersebut dalam setiap ajang pementasan. Namun guna memberikan motivasi kepada anggota sekaa (terutama pada generasi muda), serta menambah perbendaharaan kasanah gending-gending, maka sekaa gong ini mendapat pembinaan dari salah satu dosen ISI Denpasar yaitu I Nyoman Kariasa, S.Sn.

Selama kurun waktu satu setengah bulan dengan frekwensi pertemuan sekitar 10 kali, sekaa sudah mampu menambah tetabuhan baru yaitu tabuh iringan Tari Selat Segara, Tabuh Gesuri dan tabuh-tabuh iringan Topeng Prembon serta memantapkan tabuh-tabuh iringan tari lepas lainnya. Guna menyukseskan Upacara Ngenteg Linggih di Pura Pemayun Banjar Tegal Buleleng, pada tanggal 19 Juni 2010, sekaa yang telah mendapat pembinaan melakukan ngayah di pura setempat, dengan menampilkan gending yang telah dipelajari. Dari pengabdian ISI Denpasar menampilkan tari Selat Segara dan Bebondresan. Tari Selat Segara dibawakan oleh penari dari mahasiswa semester IV Jurusan Tari ISI Denpasar, yang diiringi oleh penabuh dari Sanggar Karawitan Gita Giri Kencana.

Pengabdian ISI Denpasar mendapat respon positif dari kalangan masyarakat setempat. Bahkan jauh-jauh hari pengabdian ISI Denpasar telah diumumkan dalam berbagai kesempatan, hingga rencana ngayah. Tak ayal selain penampilan Tari Selat Segara yang menyedot perhatian, bondres yang bawakan ISI Denpasar pun ditunggu-tunggu masyarakat. Mengingat Ni Wayan Suratni yang ikut juga terlibat dalam pengabdian ISI Denpasar ngayah bondres bersama putranya I Komang Gede Arthana Anugrah. Ni Wayan Suratni yang berperan sebagai Liku (Luh Belong) sangat dinantikan oleh penonton. Tak satupun penonton yang beranjak dari tempat duduk mereka. Dengan banyolan-bayolan yang disuguhkan, mengundang gelak tawa, menjadikan suasana menjadi sangat dekat, penuh keakraban.

Sementara Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., dalam kesempatan berbeda sangat mendukung pengabdian yang telah dilakuka oleh para dosen ISI Denpasar. Hal ini penting pembentukan karakter bangsa yang dapat dilakukan melalui seni. Hal itu dikarenakan seni tak pernah lepas dari proses perjalanan sebuah bangsa. Pembentukan karakter bangsa harus dilakukan dengan menggali akar kebudayaan dan kesenian yang dimiliki suatu bangsa itu sendiri, bukan dibangun melalui kebudayaan bangsa lain. Prof Rai menegaskan, pembentukan karakter bangsa harus bermuara pada nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki suatu bangsa, misalnya melalui seni.
Hal tersebut sudah dibuktikan para leluhur dengan menata setiap budaya asing yang masuk dan disesuaikan dengan budaya-budaya lokal yang dimiliki bangsa Indonesia.”Kehebatan itulah yang saat ini sudah mulai menghilang sehingga harus kembali dibangkitkan agar kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk dapat disaring dan disesuaikan dengan budaya lokal,” kata Prof. Rai.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Gender Wayang

Gender Wayang

Oleh I Wayan Diana

Ringkasan Makalah Mahasiswa Berprestasi

Gender adalah nama dari sebuah tungguhan gamelan yang berbentuk bilah (metalophone). Kata gender biasanya dirangkaikan dengan kata rambat dan wayang yang mempunyai bentuk, laras, dan fungsi yang berbeda. Gender Wayang adalah nama dari salah satu tungguhan gender yang berbilah sepuluh dan berlaras selendro. Spesifikasi Gender Wayang adalah sebuah tungguhan gender yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang

Gender wayang merupakan sebuah gamelan yang masuk pada klasifikasi golongan gamelan tua, di Bali gambelan Gender Wayang diduga telah ada pada abad ke 14 . Tunggguhan gender atau yang lebih dikenal dengan gamelan Gender Wayang keberadaannya menyebar hampir diseluruh penjuru pulau Bali. Gender Wayang adalah sebuah instrument yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan di Bali seperti pada upacara Dewa Yadnya untuk mengiringi pertunjukan Wayang Gedog (wayang lemah) dan pada upacara Manusa Yadnya mengiringi prosesi potong gigi (mepandes). Begitu luas manfaat dan fungsi dari keberadaan gamelan Gender Wayang tersebut bagi kehidupan ritual religius dari masyarakat Bali, namun semua itu masih terbatas dari segi konteks fungsi dari unsur musikalnya, apabila dilihat dari tinjauan etnomusikologi banyak elemen-elemen yang belum terungkap yang memberikan dampak dan pengaruh dalam perkembangan gamelan Gender Wayang khususnya. Di sini pendekatan etnomusikologi digunakan bukan hanya untuk mengulas unsur musikalnya saja, akan tetapi digunakan untuk membedah faktor-faktor lain diluar unsur musikal. Seperti bagaimana hubungannya dengan lingkungan masyarakat pendukung, letak geografis, bentuk topografi, bahasa, kebudayaaan, dan agama dari sebuah tempat hidup berkembangnya gamelan Gender Wayang.

Gamelan Gender Wayang jika dilihat dari sudut etnomusikologi, banyak aspek yang muncul bagaikan tiada bertepi, begitu luasnya pengungkapan hal-hal yang sebelumnya belum pernah terungkap namun lewat pendekatan etnomusikologi sebagai sebuah pisau bedah diharapkan mampu menghadirkan hubungan-hubungan, kaitan-kaitan baru yang terkait dengan sumber atau pokok permasalahan. Di sini gamelan Gender Wayang hadir tidak saja sebagai sebuah bagian dari kesenian, namun Bali sebagai daerah tempat lahir dan berkembangnya juga sebagai bagian dari kajian karena Bali merupakan warisan budaya (heritage culture), filasafat, dan agama dari hidup berkembangnya Gender Wayang. Dari sudut budaya, karakteristik masyarakat pendukung sangat mempengaruhi style atau gaya kedaerahan dari Gender Wayang, terbukti adanya tiga laras slendro dalam kategori saih atau tinggi rendahnya Tuning. Disamping itu juga berpengaruh pada bentuk repertoar gending, jenis tungguhan, dan sistem permainan/pola tetabuhan.

Teknik Permainan Gender Wayang Sukawati Sebagai Suatu Perbandingan

Teknik Permainan Gender Wayang Sukawati Sebagai Suatu Perbandingan

Oleh : Ni Ketut Suryatini, SSKar., M.Sn dan Ni Putu Tisna Andayani, SS (dosen PS Seni Karawitan)

Teknik permainan gamelan Gender Wayang adalah sangat elaborate, intricate, pholiponic, melodie, dan bermacam sistem kotekan atau interloking figuration yang digunakan I Made Bandem, dkk, Wimba Wayang Kulit Ramayana (Ketut Madra), dicetakan oleh Proyek Penggalan/Tradisional dan Baru, 1981/1982, P. 5.. Gender Wayang mempunyai/memiliki kekhasan tersendiri dalam teknik permainan. Berbicara tentang desa Sukawati yaitu di Banjar Babakan Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati yang termasuk dalam wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Gianyar. Sukawati adalah merupakan daerah agraris karena sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian bercocok tanam. Selain itu banyak juga penduduk yang hidup sebagai pedagang terutama untuk kebutuhan konsumsi pariwisata lewat pasar seni dan art shop, pemahat, pemaking, pelukis dan ada pula yang menjadi tukang printing mas (perada). Yang paling menarik adalah disana terdapat puluhan orang dalang yang rata-rata dari mereka itu menggunakan pekerjaan ”ngewayang” sebagai mata pencaharian. Kalau saja dalang-dalang pergi ngewayan sudah tentu akan banyak melibatkan pemain-pemain gender Sukawati telah menyebar ke seluruh daerah-daerah di Bali, lewat kaset-kaset yang dijual di toko-toko kaset, belajar secara langsung oleh orang-orang lokal Bali maupun orang asing dari manca negara. Oleh karena keeksisannya itulah peneliti tertarik menganalisa teknik permainannya sebagai pembanding dan teknik permainan Gender Wayang Kayumas dapat dilihat dari Nada

Perbedaan laras. Laras Gender Wayang disebut slendro. Secara teoritis laras slendro memiliki lima nada. Perbedaan laras gender wayang Sukawati yang dilihat dari perbedaan frekuensi, interval dan getarannya menunjukkan pada kita adanya sistem dipersifikasi dalam pembuatan gender wayang dan sistem ini menjadi lebih rumit jika dikaitkan dengan aspek komposisi dan teknik permainan.

Teknik Permainan Gender Wayang Sukawati Sebagai Suatu Perbandingan selenmgkapnya

Bayumas: Sebuah Tijauan Historis

Bayumas: Sebuah Tijauan Historis

Oleh Saptono, Dosen PS Seni Karawitan

Salah satu sumber dapat dilihat dari  babad Banyumas. Ada beberapa versi tentang babad Banyumas diantaranya: babad Pasir,  Raden Baribin, Adipati Wirasaba, Tragedi hari Sabtu Pahing, Adipati Mrapat, Joko Kaiman membentuk Kabupaten Banyumas, Pembagian Daerah Kasepuhan dan Kanoman.

Babad Pasir yang menceritakan hubungan antara kerajaan Pajajaran dengan negeri Pasirluhur. Ketika Raden Banyakcatra sebagai putra raja pajajaran (Prabu Siliwangi)menyamar dan mengabdi pada patih Pasirluhur Ki Reksanata, kemudian putra raja tersebut (dengan samaran Kamandaka)menjalin hubungan asmara dengan putri bungsu Adidapi Kandadaha dari negeri Pasirluhur yang bernamaa Dewi Ciptarasa. Akhirnya adipati Pasir pun menjodohkan putrinya dengan Banyakcatra yang selanjutkan menggantikan kedudukan mertuanya menjadi adipati Pasir. Kadipaten Pasir mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, Demak. Namun dengan perubahan jaman kadipaten pasir menjadi sebuah kademangan, dan selanjutnya menjadi desa perdikan.

Raden Baribin: dalam versi babad Banyumas, diceritakan salah seorang putra Raja Majapahit ke-4 bernama Raden Baribin. Ia merupakan adik dari raja Majapahit yang terakhir (1466-1478) yang bernama Kertabumi (Prabu Brawijaya ke 5) dari ibu yang berbeda. Rutuhnya majapahit diandai dengan candrasengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi = 0041 atau 1400 tahun saka. Ketika Raden Baribin diusir oleh kakaknya (Brawijaya V), selanjutnya mereka bersama pengikutnya pergi ke arah barat hingga tiba di kerajaan Pajajaran, dan mereka mengabdi disana. Rajanya adalah Prabu Siliwangi yang mempunyai empat orang putra, dan yang paling bungsu bernama Roro Dewi Retno Pamekas. Setelah sekian lama mengabdi pada raja Pasundan, Prabu Siliwangi. Singkat cerita putra Majapahit itu dikawinkan dengan putrinya dan perkawinannya melahirkan seorang putra bernama Raden Ketuhu. Trah (keturunan) Majapahit dan trah Pajajaran inilah yang kelak membuka babad Banyumas dan menjadi leluhur (dinasti) para bupati di wilayah Banyumas.

Salah satu politik kerajaan untuk memperkuat kekuasaannya adalah memperisteri keluarga para adipati di daerah-daerah kekuasaannya. Hegemoni kekuasaan kerajaan-kerajaan besar tersebut dapat dipilah menjadi dua macam, yaitu kekuasaan secara teritorial seperti dalam kekuasaan yang secara turun-temurun yang tersirat dalam cerita babad, dan secara kultural.

Demikian juga degan versi babad Banyumas yang lain, menceritakan Raden Baribin yang bermukim di daerah Pajajaran dan mempunyai empat orang anak. Keempat anak tersebut yaitu Raden Ketuhu, Banyaksasra, Raden Banyakkusuma yang kelak tinggal di Kaleng (kebumen), dan keempat R. Rr Ngaisah (Nyi Mranggi) tinggal di Banyumas.

Diceritakan R.Ketuhu mengabdi pada Ki Gede Buwara di Wirasaba (Purbalingga). Adipati Wirasaba atau yang bernama Adipati Paguwan (Wirautama I sampai kerajaan Islam Pajang) mengangkat R.Katuhu sebagai anak (jaman Majapahit). Setelah Adipati Paguwan mangkat R.Katuhu menggantikan kedudukan ayah angkatnya dengan gelar Adipati Wirautama II (jaman Demak). Selanjutnya berturut-turut yang menjadi Adipati Wirasaba yaitu Adipati Wirautama III (Adipati Urang), Adipati Surawin, Adipati Surautama atau Joko Tambangan (pada jaman Demak).

Bayumas: sebuah Tijauan Historis selengkapnya

Gerabah Bali

Gerabah Bali

Oleh : Drs. I Wayan Mudra, M.Sn.Dosen PS Kriya seni

Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan oleh para ahli purbakala di beberapa tempat di Bali membuktikan bahwa masyarakat Bali purba sudah mengenal pembuatan barang-barang keramik dari tanah liat. Stupa-stupa kecil dan materai-materai dari tanah liat ditemukan di Pejeng (Gianyar). Benda-benda tersebut diyakini berhubungan dengan kepercayaan Agama Budha. Sedangkan periuk-periuk yang ditemukan  diyakini berhubungan dengan kepercayaan bekal kubur untuk tempat makanan dan minuman (Oka, I.B., l975 : 10). Nilai-nilai kepercayaan tersebut masih dapat kita jumpai sampai sekarang. Hal ini terlihat dari penggunaan benda-benda  gerabah sebagai sarana pelengkapan upacara yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali dapat dijumpai sampai sekarang. Misalnya gerabah  sebagai tempat air suci, tempat api suci, dan lain-lain.

Pembuatan gerabah di Bali pada awalnya tersebar di beberapa pedesaan, seperti Banjar Basangtamiang (Desa Kapal) dan Banjar Benoh (Desa Ubung) di Kabupaten Badung,  Desa Pejaten di Kabupaten Tabanan, Desa Banyuning di Kabupaten Buleleng,  Desa Jasi di Kabupaten Karangasem dan di Desa Pering Kabupaten Gianyar.  Dari beberapa sentra kriya tersebut yang masih menampakkan aktifitasnya sampai sekarang adalah pembuatan gerabah di Banjar Basangtamiang, Binoh, Pejaten dan Banyuning.

Masing-masing sentra kriyawan tersebut memiliki kekhasan yang berbeda-beda sesuai sumber daya dan budaya masing-masing kriyawan.  Pada awalnya pekerjaan mengerjakan gerabah ini hanya sebagai kegiatan sampingan diluar pekerjaan pokok sebagai petani. Demikian juga hasil yang didapatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari baik untuk kebutuhan rumah tangga dan untuk kepentingan yang berhubungan dengan kepercayaan/agama masyarakat setempat. Bahan baku yang digunakan adalah tanah liat dan batu padas halus sebagai bahan campurannya dengan perbadingan 2 : 1.

Perkembangan pariwisata di Bali yang cukup pesat terlihat berpengaruh terhadap kemajuan beberapa sentra pembuatan gerabah di wilayah ini. Aktifitas pembuat kriya makin meningkat, karena kebutuhan pariwisata akan barang-barang gerabah meningkat. Beberapa kriyawan mengkhususkan diri bekerja sebagai pembuat gerabah, bukan lagi merupakan pekerjaan sampingan tetapi sudah merupakan pekerjaan pokok keluarga.  Benda-benda gerabah hasil kriyawan tersebut telah meimiliki nilai ekonomi yang dapat menghidupi keluarga. Pekerjaan membuat gerabah di Bali kebanyakan ditekuni oleh keluarga yang diwarisi secara turun temurun. Nampaknya kriya gerabah kurang menarik untuk ditekuni oleh masyarakat umum. Dengan demikian walaupun peluang pasarnya cukup baik, pembuatannya di masyarakat tidak sebaik kriya lainnya. Sehingga kalau dibandingkan apa yang terlihat di pasar secara kuantitas gerabah Bali masih jauh ketinggalan dari gerabah Lombok dan Yogyakarta. Disamping itu beberapa sentra gerabah di Bali yang tidak sanggup bersaing sudah tidak berproduksi lagi.

Gerabah Bali Selengkapnya

Loading...